Saturday, October 5, 2013

DINASTI TERAKHIR WAYANG POTEHI


Thio Tiong Gie, Benteng Terakhir Wayang Potehi


 
Setengah abad mendalang,
ia masih saja hidup di petak sempit
sebuah gang buntu.
Padahal ia mewarisi
kesenian penting Tionghoa
yang kini sudah menjadi bagian
budaya Indonesia.

Thio Tiong Gie atau Teguh Chandra Irawan bisa dibilang barang langka. Ia adalah satu-satunya dalang wayang golek china atau Wayang Potehi di Semarang bahkan di Jawa Tengah. Secara nasional pun, Tiong Gie diakui sebagai salah satu dalang Potehi senior yang sulit dicari tandingannya.
Dalam usianya yang kini 76 tahun kemahirannya mendalang tak luntur. Intonasi dan aksen, cengkok dan nyanyiannya meliak-liuk indah. Ketrampilannya itu didukung penguasaan Bahasa China Hokkian yang mumpuni. Sebab itulah ia paham betul dimana penekanan kata dan bagaimana menghayatinya.
Namanya begitu terkenal sebagai tokoh seniman Potehi. Ia sering diundang tampil di berbagai kota di Jawa Barat, Jakarta, Surabaya dan Semarang sendiri. Bulan ke-6 Imlek, adalah bulan dimana ia panen order. Perayaan Sam Poo Kong atau Sam Poo Tay Djien dan ulang tahun Kwan Kong adalah event dimana ia tampil di bulan tersebut.
Meski begitu, sebenarnya wayang Potehi belum mendapat tempat yang layak sebagai salah satu kesenian yang bernilai tinggi. Perhatian masyarakat dan (apalagi) pemerintah masih sangat sangat kurang. Terbukti, tak banyak upaya untuk melestarikan kesenian yang seharusnya bisa dikembangkan sebagai bagian budaya bangsa ini.
Dampaknya, lambat laun, wayang Potehi semakin tergerus dan terancam punah. Betapa tidak, Semarang sebagai salah satu pusatnya budaya tionghoa bermukim, hanya Thio Tiong Gie seorang yang masih bertahan melestarikan Potehi. Melihat usianya sekarang, jika tidak bergerak cepat, maka Semarang harus mengimpor dalang dari kota lain jika ingin nanggap Wayang Potehi.
Ditemui di rumahnya di Jalan Petunduhan, Kampung Pesantren, Kelurahan Purwodinatan, Semarang Tengah, Thiong Gie mengeluhkan dunia kepotehiannya yang tengah sekarat. Menurutnya, kondisi ini tak lepas dari represifitas pemerintah orde baru yang melarang segala hal berbau tionghoa melalui Inpres No. 14 tahun 1967. Padahal saat itu, Potehi sedang jaya-jayanya. Praktis, selama 32 tahun kemudian, kesenian ini mulai luntur lantaran paranoidnya para pelestari kesenian ini yang memicu alerginya generasi muda Tionghoa sendiri.
Bahkan sekarang, Tiong Gie harus mengontak pemain musik dari Surabaya jika tawaran order datang. Sebabnya tak lain ya karena tak ada satupun orang Semarang yang sanggup memainkan musik Potehi. Ia hanya punya satu orang asisten setianya Oei Tjiang Hwat. “Anak-anak saya saja lebih suka Barongsay. Ya bagaimana, dalang memang tidak menguntungkan secara financial,’ katanya sembari menghirup menthol po’onya.
Meski begitu, semangat Tiong Gie tampaknya tak ikut luntur. Pribadinya yang keras tampak dari suaranya tegas. Daya ingatnya juga kuat, tak berlebihan jika ia sempat mengaku selain sebagai dalang juga ahli sejarah dan pengajar sekaligus. Diceritakannya bahwa wayang potehi sebetulnya berarti wayang kantung. Poo berarti kain, tay berarti kantung, dan hie berarti wayang. “Jadi Poo Tay Hie, aslinya adalah wayang kantung, yang dimainkan dengan menggunakan tangan. Potehi masuk ke Indonesia bersamaan dengan awal perantauan Tionghoa ke negeri ini yakni sekitar 300 tahun silam,” katanya.
Badan wayang yang berupa kantung kain sekaligus menjadi baju si tokoh wayang yang berwarna-warni dan berpola indah. Di bagian atas kantung ada kepala wayang terbuat dari kayu dan di cat dengan berbagai mimik muka yang berbeda. Ada yang tampak baik hati, ada yang bengis sekali.
Kalau pada Wayang Golek, dalang menggerakkan wayang menggunakan tongkat yang tertempel di ujung tangan wayang, dalang Wayang Potehi memasukkan tangannya ke dalam kantung kain alias badan wayang dan menggunakan jemarinya untuk menggerakkan kepala dan kedua tangan si wayang.
Dalang mahir semacam Tiong Gie bisa menggerakkan wayang-wayang dalam sebuah adegan perang sehingga mereka tampak hidup. Sebuah wayang yang memegang pedang dimainkan bertempur dengan wayang yang memegang tombak bagaikan adegan dalam film silat, gerakannya mengalir dengan lancar, dan boneka tampak hidup.
Pementasan Wayang Potehi menggunakan sebuah panggung berukuran sekitar 3×3 meter. Di dalamnya ada dua orang yang memainkan wayang dengan menggunakan jari tangannya. Kemudian di belakangnya duduk para penabuh musik. Setidaknya, ada empat orang yang memainkan alat musik. Mereka antara lain memainkan siauw ku (kecer besar), al hu (musik gesek mirip rebab), dong kauw (semacam ketipung), dan terompet.
Lakonnya pun sangat beragam. Salah satu yang terkenal adalah “Sie Jin Kwie”. Juga ada cerita menarik lainnya seperti “Hong Kiam Cun Ciu”, “Cun Hun Cauw Kok”, dan “Poei Sie Giok”. Cerita-cerita itu dimainkan dengan dukungan 100 karakter tokoh wayang. Pementasan wayang tersebut tidak seperti wayang purwa atau wayang golek pasundan yang selesai hanya dalam semalam. Episode yang dimainkan dalang Wayang Potehi seperti cerita bersambung panjang. Idealnya, cerita wayang potehi menghabiskan waktu sekitar 1,5 bulan dengan dimainkan selama empat jam sehari.
Menurut bapak tujuh anak dan 16 cucu itu, wayang ini lahir dari penderitaan empat terpidana di zaman Dinasti Siong Theng, 3000 tahun lalu. Dikisahkan, Raja Tiu Ong yang bengis itu memutuskan untuk menghukum mati empat narapidana, entah karena kesalahan apa. Merasa nyawa mereka sudah di ujung tanduk, maka tiga orang di antaranya menjadi sedih, tak mau makan dan tidur, selalu menangis.Yang seorang ternyata cukup tabah menghadapi kenyataan. Dia menyarankan pada teman-temannya lebih baik bergembira sebelum mati. Sadar bahwa kesedihan adalah percuma, maka mereka berinisiatif mencari sesuatu dalam penjara untuk dibunyi-bunyikan. Ada tutup panci yang dipakai sebagai kecer, tangkai sapu bambu dengan pecahan beling dibuat suling, dan tutup panci yang dijadikan gembreng. Alat-alat itu dipukul-pukulkan untuk mengiringi cerita kebaikan raja-raja yang bengis itu. Anehnya, raja yang bengis itu dikisahkan sebagai raja yang baik dan bijaksana oleh terpidana itu. Orang yang tabah itu memakai sepotong kain bekas yang diikat salah satu ujungnya menjadi kepala, ujung lainnya dibuat badan boneka raja. Permainan ini akhirnya sampai terdengar Raja Tiu Ong. Raja yang senang dengan cerita itu lalu membebaskan mereka. Dalam hikayat, Tiu Ong belakangan menjadi raja yang betul-betul arif.
Perjalanan Tiong Gie dalam bergelut dengan Wayang Potehi tidak dapat dilepaskan dari situasi perpolitikan di Indonesia. Tiong Gie yang dilahirkan di Demak pada 9 Januari 1933, hijrah ke Semarang saat berumur sembilan tahun. Sang ayah, Thio Thiang Soe terpaksa hijrahnya karena tokonya (Toko Cita dikawasan pecinan Demak) dirampok dalam aksi kerusuhan 1942. Di Semarang, ayahnya mengais nafkah sebagai pemulung. Kondisi ekonomi keluarga yang tidak mapan, mengharuskan dia menunda sekolah, sehingga baru pada usia 14 tahun dia mengecap bangku pendidikan. Di situ dia masuk sekolah Cina, Cung Hua Kung Siek atau sekarang bernama Nusa Putra sehingga pada usia 20 tahun dia baru lulus.
Pada umur 25 tahun, dia menemukan koran bekas yang memuat cerita wayang potehi. Rupanya dia tertarik dan akhirnya mempelajarinya. Hingga suatu ketika, dia mendapat hadiah berupa seperangkat wayang potehi dari teman ayahnya yang juga seorang dalang, Oey Sing Twe. Dari situlah, bakatnya menjadikannya sebagai seniman wayang potehi. Thiong Gie pun resmi menyandang predikat Saay Hu atau Too Yan yang berarti dalang. “Waktu itu, pentasnya cukup banyak, mulai dari Cianjur hingga kota-kota di Jateng. Bahkan, juga keluar Jawa seperti ke Lampung dan Palembang,” ujarnya.
Saat pentasnya sedang jaya-jayanya dan memperoleh pendapatan lumayan, tiba-tiba pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Tahun 1967 mengenai larangan pementasan kesenian yang bernuansa Tionghoa. “Terus terang, saya juga kaget karena apa lagi yang dapat kami lakukan untuk menambah penghasilan keluarga. Saat itu sebetulnya pementasan baru sangat ramai. Tetapi apa boleh buat, kami harus menaati keputusan pemerintah,” katanya.
Praktis 32 tahun, Thiong Gie hanya main di tempat-tempat yang diijinkan seperti klenteng. Itupun terkadang masih saja ada oknum aparat yang usil. Dan ketika Presiden Gusdur mencabut Inpres tersebut, maka terbukalah kran kebebasan baginya untuk bermain. Undangan dari Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta pada 1999 adalah comeback-nya pertama kali setelah Soeharto lengser.
Melihat kondisi sekarang ini, suami almarhum Hoo Sian Nio, 43, ini bukannya diam dan nrimo, ia telah banya melakukan upaya-upaya pembaruan agar Potehi lebih disukai masyarakat. Misalnya”menghidupkan” tokoh-tokoh wayangnya lewat teknik visual. Misalnya dalam adegan perang, ada adegan adu pedang yang memancarkan api. Api itu berasal dari aki yang hubungkan kabel kecil pada tokoh yang sedang berduel. Ketika pedang beradu, terjadi korsleting sehingga seperti kembang api.

Atau penggunaan Bahasa Indoensia menggantikan Bahasa China sehingga cerita lebih dimengerti oleh penonton. Bahkan, Tiong Gie seringkali nakal merangsang kepenasaranan penonton lewat penyelipan budaya-budaya lokal seperti menggunakan tembang-tembang campursari sebagai pengiring pentas.
Meski begitu, apalah artinya gerilya Tiong Gie tanpa dukungan pemerintah dan kalangan swasta. Upaya menjadikan wayang potehi sebagai tontonan bernas, popular dan menjadi milik masyarakat umum dan bukan hanya Tionghoa semata masih jauh panggang dari pads api. Apalagi menjadikan dalang sebagai profesi yang layak secara finansial.
Lihat saja dalang sekondang Thiong Gie pun tak cukup hanya ndalang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Tiong Gie sekeluarga menggantungkan pada usaha sebuah bengkel las. (*)