Friday, June 27, 2014

Sunday, June 22, 2014

MENCARI JATI DIRI ALA BUMI LUMPIA

MENCARI RUMAH ASLI SEMARANG : Upaya Temukan Jati Diri   


CIRI KHAS SEMARANG : Paviliun Semarang ini diperkirakan bangunan yang berciri khas Semarang, yang antara lain ditandai adanya hiasan anag di bubungan atap dan ukiran kayu pada atop depan. Paviliun tersebut dibangun saat diselenggarakannya Koloniale Tenroon Stelling di Semanang pada tahun 1914 di (sekarang) Jalan Mugas. Bangunan ini maupun sejenisnya kini tak mungkin lagi dijumpai. (Foto: Dok. Amen Budiman- 13).

Cetusan Wali Kota Semarang Soetrisno Suharto kala masa jabatannya untuk mencari bentuk arsitektur atau rumah asli Semarang, menarik untuk digali. Sebagai bagian dari subkultur Jawa, Semarang diyakini punya keunikan —atau jati diri— yang diharapkan tidak akan hancur begitu saja. Salah satu wujudnya adalah karya arsitektur.

What is a city but its people, kata Shakespeare. Kota tiada lain adalah masyarakatnya. Bagaimana kita mengenal siapa kita kalau bukan lewat karya yang terlahir. Lewat rumah yang kita tinggali, misalnya, kita bisa mengenal diri sendiri. Jadi sesungguhnya, mencari arsitekiur asli Semarang tak ubahnya mencari kembali “asli diri kita” sebenarnya.

Ini bukan soal romantisme kedaerahan. Identitas adalah pencarian abadi dalam sejarah manusia. “Lewat rumah, kita bisa bicara banyak tentang sejarah,” ungkap pakar arsitektur dari Unika Soegijapranata, Ir Andy Siswanto MSc, MArch.

Mengapa? Arsitektur memang tidak bisa dilepaskan dari pemikiran, sistem kekuasaan, atau ideologi atau sistem yang berlaku saat suatu karya diciptakan. Semua itu tercermin dalam arsitektur.
Persoalannya, seperti apakah rumah asli Semarang, kalau itu memang ada. Menurut pakar arsitektur dari Undip, Prof Ir Eko Budihardjo MSc, arsitektur pesisiran seperti halnya Semarang memang tidak terlalu impresif. Berbeda dari arsitektur daerah selatan.

Ditegaskan oleh Andy, rumah khas pesisiran tidak terlalu signifikan dari sisi arsitektural. “Tetapi kalau bicara soal asli tidak asli, pasti bukan signifikannya yang penting,” katanya.

ARSITEKTUR TROPIS

Dalam lingkup lebih luas, kedua ahli tersebut sepakat bahwa arsitektur Indonesia termasuk dalam arsitektur tropis. Iklim, jelas Andy, sejak zaman purba selalu memainkan peranan penting dalam kebutuhan pemukiman. Arsitektur Indonesia juga bereaksi secara khas terhadap iklim, misalnya bentuk rumah pangung seperti terukir pula pada relief candi.

Salah satu karya arsitektur yang sangat Indonesia adalah Gedung Teater Sobokarti Semarang. Bangunan ini dirancang oleh Thomas Karsten (sekitar tahun 1920- Red) dengan konsep “dari pendopo untuk rakyat”.
“Kendati berdenah teater Romawi, seluruh ekspresi arsitekturnya adalah arsitektur Jawa dan tropis. Harus diakui, arsitek Belanda ini ternyata sangat serius dalam menyiasati iklim tropis. Sebuah masterpiece”, paparnya.

Bila kemudian harus dicari rumah asli Semarang. tentulah harus dapat dibedakan dengan ansitektur khas Demak. Jepara, Kudus, atau daerah lain di pesisir. Ciri umum arsitektur pesisiran adalah suasananya yang lebih egaliter. Berbeda dari ciri selatan yang lebih aristokratis, berlandaskan filosofi feodalisme. Jika rumah akan diperluas, ekspansinya akan menyamping ke kiri atau ke kanan, bukan ke depan.

Namun, sebegitu jauh, belum ada pihak yang sudah dapat mengklaim rumah asli Sernarang. Baik Andy maupun Eko mengaku, belum dapat menentukan yang mana sebetulnya yang dapat disebut rumah asli Semarang. “Sebab, asli tidak sekadar kuno, yang kuno belum tentu bisa disebut asli” tutur Eko.

Andy menandaskan, rumah asli tersebut harus dicoba ditemukan, dilacak semua yang mungkin, dan kemudian harus dikonversi. Sebab, karya arsitektur sangat didaktis, ia bagaikan museum hidup, tidak seperti benda-benda arkeologi lainnya.

MASIH DUGAAN

Beberapa sumber menyebutkan, salah satu bangunan yang diduga merupakan rumah asli Semarang adalah rumah Gubernur Jawa Timur Soeharso di Jalan Rejosari I Semarang. dibangun sekitar tahun 1920-an. Tipe-tipe rumah tersebut dapat ditemukan pula pada beberapa rumah di daerah Pekunden dan Barusari.

Tidak berbeda jauh dari gaya pesisir di daerah lain, desain arsitektur rumah tersebut sangat sederhana. Beratap limas, bahan dari kayu, bagian depan berpintu tiga, teras depan sempit. Pintu tengah selalu berlapis, sepasang daun pintu kayu untuk sebelah luar, dan sepasang daun pintu berkaca di sebelah dalam.

Tidak ada ornamen atau hiasan apapun di bagian rumah tersebut. Seperti halnya rumah Jawa, rumah-rumah tersebut juga menghadap ke selatan atau ke utara. Di Jalan Rejosari terdapat beberapa rumah sejenis dan sezaman. Rumah di Sebelah rumah Gubernur tersebut, menurut si empunya, dibangun tahun 1904.

Beberapa ciri lain yang menonjol, umumnya berupa dua lokal bangunan yang memanjang, depan belakang dihubungkan dengan semacam koridor terbuka. Dilihat dari tipe dan morfologinya, sulit diidentitikasi bagian mana bangunan induk, atau barangkali dua-duanya memang induk.

Di atas pintu ruang tengah, ada kisi-kisi berhiaskan anak panah dari 8 penjuru berpusat di daun teratai di tengah. Namun, diduga, inipun impor dan gaya Belanda abad 19.

TERGUSUR

Pengamat sejarah Semarang Amen Budiman tegas membantah bahwa rumah-rumah tersebut bukan rumah asli. “Bangunan tersebut memang kuno, tetapi bukan khas Sernarang,” tegasnya. Amen berkesimpulan, rumah asli sudah tidak dapat ditemukan lagi sekarang ini, karena sudah tergusur zaman.

Bangunan yang bisa diidentifikasi sebagai khas Semarang adalah yang pernah dibangun sewaktu diselenggarakan Koloniale Tentoon Stelling (semacam pasar malam) di Semanang tahun 1914. Pemerintah Semarang menampilkan bangunan paviliun Semarang tersehut.

Kekhasan pavilion tersebut, jelas Amen, adalah hiasan naga di bubungan atap, serta ukir-ukiran kayu di bagian atap depan. Sedang, desain arsitektur serta tipologinya secara umum mirip dengan joglo. Hanya, paviliun Semarang memiliki beberapa trap (anak tangga).

Ditambahkan, salah satu ciri khas lain Semarang adalah rumah panggung. Model ini dapat dilihat pada bangunan langgar (surau) kuno di Jahan Suburan. Di langgar tersebut terdapat tulisan yang menyatakan, langgar dibangun tahun 1903.

“Ini logis, karena sebagai daerah pantai yang menghadapi kemungkinan banjir, desain rumah panggung memang tepat,” tambahnya.

Beberapa elemen lain khas Semarang masih bisa ditemukan di Kampung Petolongan, Kampung Pusparagan dan Pengapon. Hanya sisa elemen, karena sudah direhab modern.

Kesulitan mencari bentuk khas tradisi Semarang, menurut Sejarawan dan arkeolog Undip Drs Eko Punto Hendro, adalah bahwa tradisi Semarang pun hingga kini masih dicari. Perjalanan Semarang sejak dari Bergota menurutnya masih relatif muda. Ketika tradisi masih belum terbentuk, masuk kultur lain seperti Cina dan Belanda yang sangat dominan membentuk “budaya” Semarang.

Berbeda dengan Kudus, Demak, atau Yogyakarta misalnya, proses yang terjadi adalah proses akulturasi atau singgungan antara berbagai elemen budaya. Proses sejarah di Semarang sulit disebut akulturasi karena tradisi Semarang sendiri masih amorf (tidak mewujud),” katanya.

Namun, Amen Budiman berpendapat lain. Menurutnya, budaya Semarangan jelas ada. Soal pengaruh etnik lain, memang tidak terhindarkan. Tetapi, semua pihak sepakat, pencarian ini harus dilakukan, kendati berat dan tidak mudah.

Pentanyaan berikut, setelah ditemukan, lantas akan diapakan? Andy melontarkan pertanyaan setengah menggugat, karena pada kenyataannya pelaksanaan konservasi bangunan kuno tetap masalah besar. (Gn Permadi-13).

--------------------------
Surat Kabar Harian Suara Merdeka, Sabtu 17 Oktober 1992, halaman 3