Friday, May 31, 2013

Harmoni masyarakat Tionghoa di Bumi Lumpia



                                 Harmoni Para Naga Tionghoa di Bumi Venesia Van Java 
              
Semarang ibukota Jawa Tengah memiliki sejarah panjang dan menarik. Dari namanya kota ini memiliki kisah yang unik. Masyarakat percaya nama Semarang berasal dari Sunan Pandanaran yang melihat sebatang pohon asam yang ‘arang’ atau jarang saat menyebarkan agama Islam. Berawal dari hal itu kata semarang muncul dan menjadi nama kota hingga saat ini.

Sejarah lain kota Semarang adalah kisah kedatangan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1405 di daerah Simongan. Banyak masyarakat percaya ketika Cheng Ho mendarat sempat mendirikan kelenteng dan masjid yang hingga kini banyak dikunjungi. 

Walau bukti tertulis tidak ditemukan, namun peninggalan jangkar yang tersimpan di salah satu bangunan klenteng membuat masyarakat yakin jika Cheng Ho memang pernah mendarat di  Semarang. Kedatangan laksamana Cheng Ho berpengaruh terhadap percampuran budaya antara masyarakat Jawa dengan Tionghoa seperti menikahi perempuan jawa, mengenalkan tata cara dan peralatan pertanian,  serta kuliner. 

Kehadiran kawasan pecinan menjadi potongan jejak budaya Tionghoa di bumi Semarang yang masih tersisa hingga kini. Bangunan-bangunan tua bergaya Tionghoa di sekitar Gang Lombok Semarang menjadi bukti nyata sentuhan budaya telah ada sejak ratusan tahun lalu.
Keunikan lain yang ditawarkan kota Semarang dalam percampuran budaya Jawa dan Tionghoa bisa dilihat di Pasar Gang Baru. Di pasar yang hanya berupa jalan kecil ini terlihat kehidupan dua budaya dari pedagang yang sering disebut  Mbok Jawa yang tetap setia memakai kebaya hingga  bahan-bahan makanan yang biasa digunakan etnis Tionghoa. 

Saat malam menjelang, komunitas Semarang untuk wisata atau Semawis menggelar acara rutin berupa pasar malam. Lagi-lagi percampuran Tionghoa dan Jawa sangat kental dengan banyaknya  pengunjung dari etnis Tionghoa maupun Jawa membaur menikmati pasar malam.

Berkunjung ke Semarang pun rasanya tak lengkap jika tidak menikmati kuliner khas seperti lunpia. Kudapan dari tanah Tionghoa ini dikenal di Semarang ketika pesta olahraga Ganefo pada masa Presiden Soekarno. 

Lumpia semarang ini merupakan usaha turun temurun yang sudah memasuki pada generasi ke tiga. Kios tertua dan pertama menjual lunpia adalah kios lunpia Gang Lombok yang dikelola Purnomo Usodo. 

Lembaran kulit lumpia yang berisi rebung, telur, sayuran segar dan udang ini banyak digemari warga Semarang maupun pengunjung dari luar daerah. Tak heran jika dalam sehari Purnomo mampu membuat seribu lunpia. Lunpia ini dijual Rp 10.000 per buah.

Percampuran budaya etnis Tionghoa dengan masyarakat Jawa di Semarang tak hanya sebatas perdagangan, atau makanan saja. Akulturasi bahkan sudah masuk dalam dunia pendidikan, salah satunya di sekolah Kuncup Melati di kawasan Gang Lombok. Di sekolah yang membebaskan seluruh biaya pendidikan ini anak-anak bisa berbaur bersama dalam keaneka ragaman ras dan suku. 

No comments:

Post a Comment