BUDAYA KEKERASAN DALAM PERSPEKTIF
NILAI-NILAI DAN ETIKA
MASYARAKAT JAWA
Selama ini, sebagian besar masyarakat Indonesia selalu memiliki anggapan
bahwa etnis Jawa merupakan salah satu etnis di Indonesia yang memiliki
kepribadian paling halus, sopan dan bertata karma paling sesuai serta
menjunjung tinggi prinsip etika jawa tentang prinsip hormat, rukun, dan isin
yang mengajarkan bahwa didalam kehidupannya, orang Jawa haruslah hormat
terhadap orang lain yang disesuaikan dengan derajat dan kedudukannya, selalu
bersikap rukun terhadap sesama agar tercapai kehidupan yang selaras tanpa
perselisihan, serta yang terakhir adalah menanamkan sikap malu (isin) jika melakukan tindakan yang
tidak semestinya dilakukan oleh orang Jawa.
Padahal, prinsip-prinsip hidup ala orang Jawa yang demikian itu justru
sangatlah bertolak belakang dengan keadaan yang terjadi di masa lalu yang
cenderung menganggap orang jawa sebagai etnis yang paling kasar dan memiliki
daya takluk yang paling kuat untuk menguasai wilayah lain di kawasan dalam
maupun luar negeri. Kemampuan dan keberanian suku ini untuk menaklukkan wilayah
daerah lain di luar Pulau Jawa ditunjukkan melalui beberapa peristiwa besar yang
tidak akan kita lupakan, seperti halnya Penaklukan Pulau Sumatera oleh Kerajaan
Singasari melalui ekspedisi Pamalayu, Penaklukan hampir seluruh kawasan di
wilayah Asia Tenggara oleh kerajaan Majapahit , dan keberhasilan penaklukan
seluruh kawasan di seluruh pulau Jawa (
kecuali Banten dan Batavia), Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan oleh
Kerajaan Mataram.
Tetapi sesuai dengan perkembangannya di masa kini, stigma negatif yang
menganggap bahwa etnis Jawa sebagai etnis yang kasar sudah jarang terdengar
lagi ke permukaan publik dikarenakan adanya persepsi baru di era kekinian yang justru
menyatakan bahwa masyarakat Jawa masa kini lebih cenderung memandang perilaku
kekerasan sebagai hal yang tidak baik dan memiliki dampak negatif yang harus
dihindari oleh orang Jawa itu sendiri. Contoh kekerasan yang dapat diredam oleh
peran orang Jawa di dalamnya adalah ketika terjadi peristiwa reformasi 1998
yang menuntut presiden Soeharto untuk mundur. Ketika didaerah lain di luar
Yogyakarta terjadi huru-hara yang berakhir konflik berdarah, situasi demo
besar-besaran yang juga terjadi di kota Yogya , justru berakhir tanpa kekerasan
dikarenakan diadakan bebarengan dengan perhelatan Pisowanan Ageng yang diakhiri dengan acara Gunungan garebeg ( berupa pemberian makanan dan minuman
secara gratis oleh masyarakat Yogya kepada massa pisowanan ageng di sepanjang
jalan yang dilewati demonstran) yang diusulkan oleh Hamengkubowono X sebagai
peredam atau penjinak dari aksi kekerasan yang dapat merusak stigma etnis Jawa
sebagai etnis yang alus, sopan dan bertata krama Jawa yang adi luhung.
Dalam pelaksanaannya, ternyata acara pisowanan ageng yang dilaksanakan
oleh pihak Kraton sering disebut oleh beberapa pengamat sebagai suatu tindakan people power yang didalamnya memiliki
dua makna yang cukup masuk akal untuk keadaan negara waktu itu. Pertama, ada
beberapa pihak yang mengatakan bahwa gerakan massa
pada 20 Mei 1998 bukan sebagai aksi people
power dikarenakan aksi tersebut tidak sampai menggulingkan kekuasaaan
dinasti Soeharto, tetapi hanya sekedar memberikan tekanan kepada penguasa saja.
Kedua, di lain pihak ada beberapa orang pengamat yang justru menilai jika
gerakan people power waktu itu lebih diartikan sebagai sebuah kekuatan rakyat
untuk memaksa penguasa turun, maka gerakan massa pisowanan ageng 1998 juga bisa
dikatakan sebagai gerakan people power.
Selain dari contoh nyata di atas yang dapat membuktikan bahwa sikap halus
orang Jawa dapat mengalahkan angkara murka dapat pula diekspresikan dalam
jargon jawa yang berbunyi” Surodiro Jayaningrat, Lebur dening pangastuti” yang
mengandung arti bahwa sampai kapanpun, sifat negatif ( angkara murka) dapat
dikalahkan dengan sifat positif ( Pangastuti yang mengandung kebaikan, alus, satria
,dan kesaktian) yang pasti akan menjadi pemenangnya. Dengan adanya jargon
tersebut, orang Jawa masa kini kemudian seakan-akan menjadi mempercayai bahwa
perilaku baik haruslah dijadikan pegangan di dalam bertindak sehari-hari
dikarenakan dapat membawa dampak yang positif bagi kehidupan mereka. Sedangkan
untuk perilaku jahat yang lebih banyak merugikan pihak lain haruslah dijauhi
dikarenakan bagaimanapun juga, aksi tindak kejahatan akan selalu membawa dampak
buruk bagi para pelakunya.
Tetapi, di balik sisi kealusan yang dimiliki orang Jawa, ternyata etnis
Jawa juga mewariskan tradisi kekerasan lewat seni wayang kulit dan wong melalui
cerita perang Barata Yudha yang sarat akan adegan kekerasan, peperangan, dan
pertumpahan darah yang justru dikagumi oleh masyarakat Jawa kebanyakan.
Disinyalir melalui pewarisan secara turun-temurun cerita wayang tersebut,
sangatlah menginspirasi gagasan kekerasan di masyarakat Jawa yang kemudian diaplikasikan di dalam
kehidupan nyata .
Jika melihat fenomena diatas, Saya pribadi sebagai penulis menjadi paham
tentang terjadinya fenomena kebergeseran perilaku yang dialami oleh orang Jawa
akibat adanya perkembangan zaman. Jika di masa lalu, orang Jawa selalu
diidentikkan sebagai suku yang gemar bertindak kekerasan dikarenakan kemampuan
mereka untuk menguasai daerah lain dengan cara yang kejam dan terkesan brutal .
Hal itu justru kemudian berubah di masa kekinian, dikarenakan muncul suatu
presepsi baru yang justru menganggap orang Jawa sebagai orang yang ramah dan
menjunjung tinggi sopan santun di dalam kehidupannya. Hal itupun nyatanya dibuktikan
dalam perhelatan pisowanan agung yang pada akhirnya berakhir damai tanpa
bentrok dikarenakan peran Sri Sultan Hamengkubowono X yang sangat bijaksana dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan di dalam berperilaku .
Tetapi walaupun begitu, sifat kekerasan masih diwarisi oleh orang Jawa
masa kini melalui keberadaan cerita wayang yang lebih diwujudkan dalam bentuk
kekerasan verbal atau yang biasa kita kenal dengan verbal abuse. Kekerasan verbal atau verbal abuse adalah
sebentuk kekerasan menggunakan kata-kata. Kata-kata dipakai sebagai alat untuk
menyerang atau menyakiti orang lain. Kekerasan ini bisa menjadi sejenis
penyerangan terhadap kepercayaan diri seseorang, semacam kekerasan psikologis
Menurut pendapat
saya wayang bisa menjadi sumber kekerasan verbal karena secara umum wayang
diterima sebagai media yang sehat untuk mewariskan nilai-nilai budaya Jawa.
Lebih dari itu banyak orang Jawa menginditifikasikan diri dengan berbagai tokoh
baik dalam wayang. Tetapi dalam kenyataannya kegandrungan masyarakat terhadap
tokoh baik dalam wayang tidak sepenuhnya dapat dijadikan tuladha
( contoh ) untuk kehidupan mereka, dikarenakan terkadang di beberapa adegan
pewayangan tradisi, ada kalanya pula pemeran tokoh baik juga akan melakukan
Kekerasan verbal yang selama ini hanya diidentikan dengan tokoh jahat saja.
Wayang sendiri, dalam realita yang ada sangatlah jelas memisahkan tokoh baik
dan tokoh jahat. Bahkan sebelum wayang mulai penonton sudah tahu siapa saja
tokoh baik dan siapa saja tokoh jahat karena dalang menyusun tokoh baik di
sebelah kanannya dan tokoh jahat di sisi kirinya.
MATUR SUWUN
No comments:
Post a Comment