Thio
Tiong Gie, Benteng Terakhir Wayang Potehi
Setengah
abad mendalang,
ia masih
saja hidup di petak sempit
sebuah
gang buntu.
Padahal
ia mewarisi
kesenian
penting Tionghoa
yang kini
sudah menjadi bagian
budaya Indonesia .
Thio Tiong Gie atau Teguh
Chandra Irawan bisa dibilang barang langka. Ia
adalah satu-satunya dalang wayang golek china atau Wayang Potehi di Semarang
bahkan di Jawa Tengah. Secara nasional pun, Tiong Gie diakui sebagai salah satu
dalang Potehi senior yang sulit dicari tandingannya.
Dalam usianya yang
kini 76 tahun kemahirannya mendalang tak luntur. Intonasi dan aksen, cengkok
dan nyanyiannya meliak-liuk indah. Ketrampilannya itu didukung penguasaan
Bahasa China Hokkian yang mumpuni. Sebab itulah ia paham betul dimana penekanan
kata dan bagaimana menghayatinya.
Namanya begitu terkenal sebagai tokoh seniman Potehi. Ia sering diundang
tampil di berbagai kota di Jawa Barat, Jakarta, Surabaya dan Semarang sendiri. Bulan
ke-6 Imlek, adalah bulan dimana ia panen order. Perayaan Sam Poo Kong atau Sam
Poo Tay Djien dan ulang tahun Kwan Kong adalah event dimana ia tampil di bulan
tersebut.
Meski begitu,
sebenarnya wayang Potehi belum mendapat tempat yang layak sebagai salah satu
kesenian yang bernilai tinggi. Perhatian masyarakat dan (apalagi) pemerintah
masih sangat sangat kurang. Terbukti, tak banyak upaya untuk melestarikan
kesenian yang seharusnya bisa dikembangkan sebagai bagian budaya bangsa ini.
Dampaknya, lambat
laun, wayang Potehi semakin tergerus dan terancam punah. Betapa tidak, Semarang sebagai salah satu pusatnya budaya tionghoa bermukim,
hanya Thio Tiong Gie seorang yang masih bertahan melestarikan Potehi. Melihat
usianya sekarang, jika tidak bergerak cepat, maka Semarang harus mengimpor dalang dari kota lain jika ingin nanggap Wayang Potehi.
Ditemui di rumahnya di
Jalan Petunduhan, Kampung Pesantren, Kelurahan Purwodinatan, Semarang Tengah,
Thiong Gie mengeluhkan dunia kepotehiannya yang tengah sekarat. Menurutnya,
kondisi ini tak lepas dari represifitas pemerintah orde baru yang melarang
segala hal berbau tionghoa melalui Inpres No. 14 tahun 1967. Padahal saat itu,
Potehi sedang jaya-jayanya. Praktis, selama 32 tahun kemudian, kesenian ini
mulai luntur lantaran paranoidnya para pelestari kesenian ini yang memicu
alerginya generasi muda Tionghoa sendiri.
Bahkan sekarang, Tiong
Gie harus mengontak pemain musik dari Surabaya jika tawaran order datang. Sebabnya tak lain ya karena tak
ada satupun orang Semarang yang sanggup memainkan musik Potehi. Ia hanya punya satu
orang asisten setianya Oei Tjiang Hwat. “Anak-anak saya saja lebih suka
Barongsay. Ya bagaimana, dalang memang tidak menguntungkan secara financial,’
katanya sembari menghirup menthol po’onya.
Meski begitu, semangat
Tiong Gie tampaknya tak ikut luntur. Pribadinya yang keras tampak dari suaranya
tegas. Daya ingatnya juga kuat, tak berlebihan jika ia sempat mengaku selain
sebagai dalang juga ahli sejarah dan pengajar sekaligus. Diceritakannya bahwa
wayang potehi sebetulnya berarti wayang kantung. Poo berarti kain, tay berarti
kantung, dan hie berarti wayang. “Jadi Poo Tay Hie, aslinya adalah wayang
kantung, yang dimainkan dengan menggunakan tangan. Potehi masuk ke Indonesia bersamaan dengan awal perantauan Tionghoa ke negeri ini
yakni sekitar 300 tahun silam,” katanya.
Badan wayang yang
berupa kantung kain sekaligus menjadi baju si tokoh wayang yang berwarna-warni
dan berpola indah. Di bagian atas kantung ada kepala wayang terbuat dari kayu
dan di cat dengan berbagai mimik muka yang berbeda. Ada
yang tampak baik hati, ada yang bengis sekali.
Kalau pada Wayang
Golek, dalang menggerakkan wayang menggunakan tongkat yang tertempel di ujung
tangan wayang, dalang Wayang Potehi memasukkan tangannya ke dalam kantung kain
alias badan wayang dan menggunakan jemarinya untuk menggerakkan kepala dan
kedua tangan si wayang.
Dalang mahir semacam
Tiong Gie bisa menggerakkan wayang-wayang dalam sebuah adegan perang sehingga
mereka tampak hidup. Sebuah wayang yang memegang pedang dimainkan bertempur
dengan wayang yang memegang tombak bagaikan adegan dalam film silat, gerakannya
mengalir dengan lancar, dan boneka tampak hidup.
Pementasan Wayang
Potehi menggunakan sebuah panggung berukuran sekitar 3×3 meter. Di dalamnya ada
dua orang yang memainkan wayang dengan menggunakan jari tangannya. Kemudian di
belakangnya duduk para penabuh musik. Setidaknya, ada empat orang yang
memainkan alat musik. Mereka antara lain memainkan siauw ku (kecer besar), al
hu (musik gesek mirip rebab), dong kauw (semacam ketipung), dan terompet.
Lakonnya pun sangat
beragam. Salah satu yang terkenal adalah “Sie Jin Kwie”. Juga ada cerita
menarik lainnya seperti “Hong Kiam Cun Ciu”, “Cun Hun Cauw Kok”, dan “Poei Sie
Giok”. Cerita-cerita itu dimainkan dengan dukungan 100 karakter tokoh wayang.
Pementasan wayang tersebut tidak seperti wayang purwa atau wayang golek
pasundan yang selesai hanya dalam semalam. Episode yang dimainkan dalang Wayang
Potehi seperti cerita bersambung panjang. Idealnya, cerita wayang potehi
menghabiskan waktu sekitar 1,5 bulan dengan dimainkan selama empat jam sehari.
Menurut bapak tujuh
anak dan 16 cucu itu, wayang ini lahir dari penderitaan empat terpidana di
zaman Dinasti Siong Theng, 3000 tahun lalu. Dikisahkan, Raja Tiu Ong yang
bengis itu memutuskan untuk menghukum mati empat narapidana, entah karena
kesalahan apa. Merasa nyawa mereka sudah di ujung tanduk, maka tiga orang di
antaranya menjadi sedih, tak mau makan dan tidur, selalu menangis.Yang seorang
ternyata cukup tabah menghadapi kenyataan. Dia menyarankan pada teman-temannya
lebih baik bergembira sebelum mati. Sadar bahwa kesedihan adalah percuma, maka
mereka berinisiatif mencari sesuatu dalam penjara untuk dibunyi-bunyikan. Ada
tutup panci yang dipakai sebagai kecer, tangkai sapu bambu dengan pecahan
beling dibuat suling, dan tutup panci yang dijadikan gembreng. Alat-alat itu dipukul-pukulkan
untuk mengiringi cerita kebaikan raja-raja yang bengis itu. Anehnya, raja yang
bengis itu dikisahkan sebagai raja yang baik dan bijaksana oleh terpidana itu. Orang
yang tabah itu memakai sepotong kain bekas yang diikat salah satu ujungnya
menjadi kepala, ujung lainnya dibuat badan boneka raja. Permainan ini akhirnya
sampai terdengar Raja Tiu Ong. Raja yang senang dengan cerita itu lalu
membebaskan mereka. Dalam hikayat, Tiu Ong belakangan menjadi raja yang
betul-betul arif.
Perjalanan Tiong Gie
dalam bergelut dengan Wayang Potehi tidak dapat dilepaskan dari situasi
perpolitikan di Indonesia. Tiong Gie yang dilahirkan di Demak pada 9 Januari
1933, hijrah ke Semarang saat berumur sembilan tahun. Sang ayah, Thio Thiang Soe
terpaksa hijrahnya karena tokonya (Toko Cita dikawasan pecinan Demak) dirampok
dalam aksi kerusuhan 1942. Di Semarang, ayahnya mengais nafkah sebagai
pemulung. Kondisi ekonomi keluarga yang tidak mapan, mengharuskan dia menunda
sekolah, sehingga baru pada usia 14 tahun dia mengecap bangku pendidikan. Di
situ dia masuk sekolah Cina, Cung Hua Kung Siek atau sekarang bernama Nusa
Putra sehingga pada usia 20 tahun dia baru lulus.
Pada umur 25 tahun,
dia menemukan koran bekas yang memuat cerita wayang potehi. Rupanya dia
tertarik dan akhirnya mempelajarinya. Hingga suatu ketika, dia mendapat hadiah
berupa seperangkat wayang potehi dari teman ayahnya yang juga seorang dalang,
Oey Sing Twe. Dari situlah, bakatnya menjadikannya sebagai seniman wayang
potehi. Thiong Gie pun resmi menyandang predikat Saay Hu atau Too Yan yang
berarti dalang. “Waktu itu, pentasnya cukup banyak, mulai dari Cianjur hingga
kota-kota di Jateng. Bahkan, juga keluar Jawa seperti ke Lampung dan Palembang ,” ujarnya.
Saat pentasnya sedang
jaya-jayanya dan memperoleh pendapatan lumayan, tiba-tiba pemerintah di bawah
kepemimpinan Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Tahun
1967 mengenai larangan pementasan kesenian yang bernuansa Tionghoa. “Terus
terang, saya juga kaget karena apa lagi yang dapat kami lakukan untuk menambah
penghasilan keluarga. Saat itu sebetulnya pementasan baru sangat ramai. Tetapi
apa boleh buat, kami harus menaati keputusan pemerintah,” katanya.
Praktis 32 tahun,
Thiong Gie hanya main di tempat-tempat yang diijinkan seperti klenteng. Itupun
terkadang masih saja ada oknum aparat yang usil. Dan ketika Presiden Gusdur
mencabut Inpres tersebut, maka terbukalah kran kebebasan baginya untuk bermain.
Undangan dari Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta pada 1999 adalah
comeback-nya pertama kali setelah Soeharto lengser.
Melihat kondisi
sekarang ini, suami almarhum Hoo Sian Nio, 43, ini bukannya diam dan nrimo, ia
telah banya melakukan upaya-upaya pembaruan agar Potehi lebih disukai
masyarakat. Misalnya”menghidupkan” tokoh-tokoh wayangnya lewat teknik visual.
Misalnya dalam adegan perang, ada adegan adu pedang yang memancarkan api. Api
itu berasal dari aki yang hubungkan kabel kecil pada tokoh yang sedang berduel.
Ketika pedang beradu, terjadi korsleting sehingga seperti kembang api.
Atau penggunaan Bahasa
Indoensia menggantikan Bahasa China sehingga cerita lebih dimengerti oleh penonton. Bahkan,
Tiong Gie seringkali nakal merangsang kepenasaranan penonton lewat penyelipan
budaya-budaya lokal seperti menggunakan tembang-tembang campursari sebagai
pengiring pentas.
Meski begitu, apalah
artinya gerilya Tiong Gie tanpa dukungan pemerintah dan kalangan swasta. Upaya
menjadikan wayang potehi sebagai tontonan bernas, popular dan menjadi milik
masyarakat umum dan bukan hanya Tionghoa semata masih jauh panggang dari pads
api. Apalagi menjadikan dalang sebagai profesi yang layak secara finansial.
Lihat saja dalang
sekondang Thiong Gie pun tak cukup hanya ndalang untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Tiong Gie sekeluarga
menggantungkan pada usaha sebuah bengkel las. (*)
شركة تسليك مجاري
ReplyDeleteتسليك مجاري