Pengaruh Partisipasi Politik Etnis Tionghoa terhadap kemenangan pasangan
Jokowi-Ahok dalam pemilukada Jakarta
Latar Belakang
Selama ini dalam perjalanan
dunia politik di Indonesia, jarang sekali masyarakat kita yang menjumpai
partisipasi etnis Tionghoa dalam pemilihan kepala daerah maupun Gubernur.Realitanya,
mayoritas masyarakat awam selalu menganggap bahwa masyarakat etnis Tionghoa
sebagai "Bintang
ekonomi" dan "apolitis" yang menilai partisipasi masyarakat Tionghoa
di Indonesia hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan yang berkutat pada keuntungan
ekonomis semata seperti halnya dunia perdagangan dan bisnis yang sebagian besar
memang dirajai oleh pengusaha yang berlatar belakang dari keluarga keturunan
Tionghoa.
Buktinya Pada pemilu tahun 1999, komunitas Tionghoa
sangatlah malu-malu dan agak canggung dalam berpolitik dikarenakan muncul suatu
rasa trauma yang mendalam akibat kekejaman pemimpin di era presiden Soeharto
yang melarang berbagai macam aktivitas kebudayaan maupun kehidupan yang
menggunakan unsur berbau Tionghoa di dalamnya, Selain itu aksi pembantaian dan
pemerkosaan etnis Tionghoa pada 14 Mei 1998 juga sangat mempengaruhi
ketidakinginan mereka untuk memilih pemimpin. Dikarenakan selama ini, Gaya
kepemimpinan Soeharto sangat menomorduakan masyarakat Tionghoa dan tidak
berpihak pada nasib kehidupan sosial dan politik warga Tionghoa Indonesia . Hal
tersebut senada dengat pernyataan Ester Indriani Jusuf, Ketua Solidaritas Nusa
Bangsa, yang menulis sebuah artikel di koran Jakarta Post (8-9 Juni 1999) yang menyatakan
bahwa era kepemimpinan Soeharto memang menyudutkan warga Tionghoa selama ini,
tetapi dengan turut serta dalam pemilihan umum di era yang baru ini, etnis
Tiong-hoa dapat belajar dan berpartisipasi untuk memperjuangkan perubahan,
termasuk perubahan atas nasibnya agar setara dengan WNI yang bukan warga
keturunan Tionghoa.
Setelah Orde Baru runtuh, Pemilu 1999
memunculkan fenomena menarik untuk dicermati, khususnya berkaitan dengan
perubahan perilaku politik WNI etnis Tionghoa.
Pada tahapan sebelum pemilu, terbentuk beberapa partai
baru yang secara terbuka menyatakan akan memperjuangkan aspirasi etnis
Tionghoa. Partai-partai itu adalah Partai Reformasi Tionghoa Indonesia, Partai
Bhineka Tunggal Ika, Partai Pembaruan Indonesia dan Partai Warga Baru Indonesia.
Berdirinya partai-partai Tiong-hoa tersebut dihadapkan
pada kondisi objektif masyarakat keturunan Tionghoa yang masih mengambil jarak
cukup jauh dari politik praktis. Kemunculan partai-partai yang membawa nama
Tionghoa dinilai hanya akan membawa kerugian secara politik, dan dikhawatirkan
memancing reaksi antipati dari kalangan masyarakat luas. Kondisi itu akhirnya membuat semua partai yang
bernuansa etnis tersebut gagal dan bertumbangan satu persatu dalam dunia
perpolitikan nasional .
Menurut Sejarah Perjalanan Bangsa ,
Partisipasi politik etnis Tionghoa di Indonesia mulai terlihat secara konkret
ketika Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1926,
walaupun warga Tionghoa hanya dapat menjadi pengamat. Pada waktu itu, semua partai
politik di Indonesia bersifat eksklusif, hanya mengakui warga Indonesia,
kecuali Perhimpunan Hindia (Indisch Partij) yang diprakarsai oleh Tjipto
Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara yang dapat menerima etnis
lainnya sebagai anggota. Sebagai tanggapan atas tidak diikutsertakan dalam
percaturan kekuatan politik, kelompok peranakan Tionghoa yang ingin mendukung
Indonesia merdeka, membentuk Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 1930.
Setelah Indonesia merdeka, banyak
etnis Tionghoa menjadi warga negara Indonesia. Pemimpin etnis Tionghoa yang
ingin turut serta berpartisipasi dalam kancah politik di negara Republik
Indonesia dengan membentuk berbagai macam organisasi politik untuk melindungi
kepentingan mereka seperti Chung Hwa Hwee yang dibentuk sebelum Perang Dunia
II, kemudian dilarang pemerintah pendudukan Jepang.
Tetapi, pada
1948, beberapa pemimpinnya mendirikan Persatuan Demokrat Tionghoa Indonesia
(PDTI). Pada 1954, berbagai partai etnis Tionghoa (termasuk PDTI) membentuk
Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Yang mula-mula
berupaya memperjuangkan persamaan hak semua rakyat Indonesia, termasuk etnis
Tionghoa, tetapi kemudian melenceng. Tokoh politik Tionghoa yang paling
terkemuka di Baperki adalah Siauw Giok Tjhan dan Yap Thiam Hin. Siauw adalah mantan Direktur Harian Rakyat sebelum diambil
alih secara resmi oleh PKI. Siauw yakin bahwa masalah Tionghoa di Indonesia hanya dapat dipecahkan setelah terwujud “Masyarakat
Sosialis”.
Zamanpun terus berkembang dan pemimpin bangsapun
satu persatu silih berganti , berbagai macam peristiwa politik yang terjadi
semakin membuka pikiran masyarakat Tionghoa akan pentingnya Partisipasi mereka
dalam dunia perpolitikan nasional. Apalagi setelah beberapa tahun belakangan
ini, muncul pemimpin-pemimpin bangsa yang berasal dari etnis Tionghoa yang
dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia . Dan salah satu yang menjadi fenomena yang menghebohkan
dunia perpolitikan nasional adalah keberanian majunya pasangan Jokowi dan Ahok
yang berasal dari luar Jakarta mampu untuk mencalonkan diri mereka sebagai calon Pemimpin
Ibukota Negara yang menjadi basisnya pemerintahan nasional selama Negara ini
merdeka.
Keberanian Ahok sebagai calon wakil gubernur
yang berasal dari warga etnis keturunan Tionghoa, semakin membuka mata warga Tionghoa untuk membuktikan bahwa inilah saat
yang paling tepat untuk memilih pemimpin masyarakat Tionghoa Jakarta melalui
keterlibatan Bapak Basuki Tjahaja Purnama dalam kancah perpolitikan nasional
dan daerah Jakarta yang selama ini mitosnya hanya dapat ditaklukkan oleh
orang-orang asli Betawi.
Dukungan sepenuhnya warga etnis Tionghoa
terhadap Ahok dibuktikan dengan diadakannya aksi galang cap jempol darah di
Solo untuk mendukung kemenangan Jokowi Ahok dalam Pemilukada Jakarta, seperti
yang Saya kutip dari website resmi surat kabar suara merdeka edisi minggu 15
Juli 2012, berikut ini :
“Kelima sekawan pemuda Tionghoa itu kompak beramai-ramai meletakkan jari
jempol kanan ke bantalan stempel yang telah basah oleh tinta biru. Pun demikian
saat ngecap jempol, mereka juga bareng-bareng menempelkan ibu jari ke poster.
“Sebagai warga Solo, saya jelas mendukung Pak Jokowi dan berdoa semoga bisa
menang. Saya dukung dua cap jempol,” kata pemuda asal kampung Gajahan,
kecamatan Pasar Kliwon ini.
Menurut Hartono, cap jempol yang ia berikan juga diberikan untuk Ahok
yang merupakan satu-satunya calon wakil gubernur DKI dari Tionghoa. Dukungannya
pada Ahok ia dimaksudkan agar mantan Bupati Belitung Timur itu tak goyah oleh
isu SARA yang dilontarkan oleh pasangan lain. “Tak perlu terpengaruh SARA. Cara
menjatuhkan seperti itu sudah tidak jaman lagi saat ini,” katanya
Dengan adanya fenomena keikutsertaan warga
etnis Tionghoa dalam pemilihan kepala daerah Jakarta , diharapkan dapat merubah
steorotipe masyarakat pendukung pasangan Gubernur pertahanan yang mengatakan” Cuma Orang Betawi Aje nyang bisa mimpin
ini tanah Jakarte” .Buktinya Pada saat ini yang memimpin mereka justru
orang yang berasal dari luar etnis Betawi,yaitu Jokowi berasal dari etnis Jawa dan
Ahok berasal dari etnis Tionghoa yang maju bersama untuk menciptakan Jakarta
Baru yang ramah dan nyaman bagi penduduknya .
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :
1) Adakah pengaruh partisipasi politik etnis Tionghoa terhadap kemenangan Pasangan Jokowi-Ahok dalam Pemilukada
2) Seberapa besar pengaruh partisipasi poltik etnis Tionghoa terhadap kemenangan pasangan Jokowi-Ahok dalam pemilukada
No comments:
Post a Comment