KAPITALISME BUDAYA DAN
SENI
Oleh : Sae Panggalih
Mengenal Peran Seni dalam
Masyarakat Kapitalis
H
|
akekat
seni selama ini telah menjadi perbicangan dan perdebatan yang sangat memukau di
kalangan seniman maupun tokoh intelektual. Perbincangan tersebut terjadi antara
para filsuf maupun kritik seni. Tidak mungkin pembicaraan seni sebagai realitas
independen yang lahir begitu saja tanpa adanya pertarungan konsep, ideologi,
dan filsafat yang ada di benak para seniman. Maka, untuk membicarakan masalah
seni, pada akhirnya adalah membicarakan kesenian itu sendiri. Pada akhirnya
perbincagan gagasan-gagasan dari manusia yang berkarya di belakang
penciptaannya seni itu sendiri.
Dalam
hal ini ada aspek utama yang perlu dipertimbangkan dalam proses seni, yaitu
aspek obyektif dan aspek subyektif. Aspek obyektif berkaitan dengan
pertimbangan berbagai faktor yang yang membatasi antara proses perkembangan
seni, seperti teknologi, material, konvensi. Aspek subyektif berkaitan dengan
kemampuan artistik dan daya kreativitas seniman, yang di bentuk oleh
kebudayaan, mitos kepercayaan serta bawah sadar seniman itu sendiri.
Di
Indonesia sejauh ini, kesenian seringkali direduksi sedemikian rupa sehingga
tidak lagi di pandang sebagai gagasan kreativitas yang di dasarkan pada suatu
filsafat tertentu, melainkan suatu gerakan yang berkesenian yang berorientasi
pada politis secara sempit. Dalam perkembagannya, keperpihakan seni dan seniman
ini, tanpaknya lebih cenderung menempatkan seni dan juga kebudayaan sebagai
media untuk mempengaruhi pola pikir, kebiasaan, serta selera masyarakat yang
diarahkan untuk berpihak pada struktur yang berkuasa, baik ekonomi, sosial,
maupun politik. Misalnya dalam masyarakat yang masih mempercayai mitologi, seni
di pakai untuk menamakan mitos-mitos ke dalam benak masyarakat. Di sini seni
tampak menjadi agen kekuasaan para dewa, dan dengan demikian, juga orang-orang
tertentu yang di angkat sebagai para wakil di dunia.
Kita
lihat di abad pertengahan, di mana seni harus mengabdi pada keagungan dan
kepentigan gereja dan dogma-dogma serta ajaran yang harus disampaikan ke dalam
pikiran masyarakat untuk mengakui semacam ini, dan pada akhirnya menuntut
masyarakat untuk mengakui kekuasaan gereja.
Hubungan Seni dan Kekuasaan
Kapitalis
H
|
ubungan
seni dan kekuasaan terus berlanjut selama sejarah peradaban manusia masih
berjalan. Misalnya, di masa lahirnya Revolusi Industri yang ditandai dengan
berkekuasaan modal atas kerja manusia, seni kembali harus mereposisi perannya
kembali. Kapitalisme yang didukung kekuatan modal, memaksa seni untuk berpihak
pada dirinya, yang akhirnya muncul istilah aplicated art serta pop art, yang
semuanya mengacu pada seni yang di jual. Di sini seni telah di tempatkan
sebagai komoditas, dan keindahan seni mulai diukur dengan uang serta hubungan
dengan keuntungan kapital.
Fenomena
ini antara lain di tangkap oleh Antonio Gramsci sebagai suatu cara kelas
dominan atau yang berkuasa untuk menghegemoni masyarakat. Di sini seni di
pergunakan sebagai alat penghegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap
budaya dan ideologi masyarakat. Dalam lingkup kesenian, hegemoni senantiasa
muncul berupa produk-produk kesenian massal yang serba seragam, yang bahkan
masuk pada wilayah ekspresi- ekspresi artistik publik, dan secara riil membunuh
kreativitas. Contohnya hegemoni seperti dapat ditemukan di wilayah-wilayah
pedesaan dan kampung-kampung, di mana masyarakat dibuat tidak berdaya pada
kehendak kelas yang dominan, dalam hal ini aparatur negara.
Seni
sebagai agen kamapanan, di satu sisi pada akhirnya menimbulkan konflik
tersendiri di dalam dirinya. "Karena seni sesungguhnya
pemberontakan," kata Albert Camus, seorang filsuf dan seniman Prancis,
tendensi-tendensi pemberontakan seni, merupakan prasyarat bagi lahirnya
kreativitas, jika selama seni melulu mengabdi pada kekuasaan yang nota bene
berarti kemampuan seni akan kehilangan sumber dayanya yang paling utama, yaitu
kreativitas. Dan dengan sendirinya seni akan mati sebagai seni.
Pemberontakan
seni, mau tidak mau pada akhirnya memunculkan suatu arus baru dalam
berkesenian. Aliran-aliran baru yang muncul, merupakan representasi adanya
gerak dialektis dalam berkesenian, sebagai antitesis terhadap aliran-aliran
sebelumnya. Sebab, seni hadir untuk melawan dominasi, dari beberapa pemikiran
Karl Marx dan dapat disimpulkan bahwa seni harus mengabdi pada revolusi dan
kepentingan rakyat. Dengan ungkapan lain, Leon Trotsky menyatakan bahwa
pemberontakan seni lahir sebagai ungkapan perjuangan manusia untuk memperoleh
hak-haknya yang dirampas oleh struktur yang bekuasa. Ini semakin membuktikan
bahwa pemberontakan seni merupakan awal dari tendensi-tendensi baru dalam
berkesenian.
Mengenal kapitalis
dari sudut pandang perkembangan budaya nusantara
B
|
udaya adalah sebuah warisan
sosial yang mengandung arti bahwa budaya adalah pemberian suatu hasil akumulasi
berbagai macam interaksi tatanan sosial dimasa lalu kepada generasi setelahnya
untuk kemudian berulang seperti sebuah siklus. Siklus itu hanya akan terputus
jika budaya (warisan) itu tidak lagi diulang oleh generasi selanjutnya. Jadi
artinya budaya akan terus menjadi sebuah warisan, jika masyarakat (faktor
sosial) terus menggunakannya sebagai bagian dari keterinteraksian antar mereka.
Di Indonesia sendiri, perkembangan kebudayaan selalu saja
mengalami fase naik dan turun seperti halnya prinsip roda kehidupan. Pada
awalnya, Indonesia banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang
terdahulu yang patut untuk dibanggakan dan dikagumi oleh masyarakatnya, tetapi
seiring dengan berkembangnya zaman, kekayaan Budaya lokal yang ada di Indonesia
sepertinya mulai mengalami perubahan besar yang seakan-akan sudah keluar dari
pakem kelokalannya , Hal itu
disinyalir bisa terjadi dikarenakan di masa yang semakin modern ini, banyak
anak bangsa yang mulai melupakan akar budaya negerinya dikarenakan gaya
pemikiran mereka yang mulai merujuk dan berpedoman kepada gaya berpikir
kapitalis , Dalam konteks
kapitalisme, istilah budaya sendiri lebih berkaitan dengan produk ideologi,
produk seni, sastra, gaya hidup, kebiasaan, pola pikir, dan lain-lain yang
dipahami sebagai produk yang bisa menghasilkan keuntungan atau kerugian dan
bukan dipahami sebagai anugerah kearifan lokal yang patut dijaga
kelestariannya.
Menurut Frederich Jameson
(1984), budaya yang ada sangat mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat kapitalisme. Karena bagi kaum kapitalis, budaya merupakan
bagian atau unsur yang tidak terlepas dan tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat konsumen. Di era
kapitalis, dengan semakin majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
manusia kapitalis mulai menghitung segalanya dengan prinsip untung rugi. Di
masa kini, produk atau hasil cipta karsa kebudayaan yang ada, semata-mata hanya
dianggap sebagai hasil kreativitas yang bisa dijual secara ekonomis dengan
prinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dari penjualan produk budaya
lokal tanpa memikirkan fungsi utama dari budaya lokal yang ada.
Dengan munculnya pemikiran
kapitalis terhadap perkembangan budaya lokal, maka secara otomatis kemurnian
dari sebuah kepakeman budaya lokal
mulai mengalami pergeseran fungsi dan pemaknaan. Hal itu dikarenakan dalam
penampilan barunya, budaya lokal yang ada bukan lagi tampil sebagai karya murni
cipta karsa leluhur yang adiluhung ,
melainkan budaya yang ada justru akan tampil dalam kemasan yang berbeda dan melenceng
dari nilai-nilai kearifan lokal sebelumnya dikarenakan munculnya paham untung
rugi yang ada dalam kebudayaan kapitalis yang menggeser nilai kesakralan dari
pakem budaya lokal .
Ketika kesakralan budaya berubah menjadi tontonan belaka
D
|
i era Kapitalis seperti sekarang ini, nilai-nilai kesakralan yang ada dalam
suatu budaya lokal mulai mengalami pergeseran yang mengkhawatirkan, misalnya
saja dalam kesenian pemanggilan arwah orang yang sudah meninggal lewat media
boneka Nini Thowok yang berasal dari
Jogja , lambat laun fungsi utama dari ritual pemanggilan arwah ini mulai
mengalami pergeseran fungsi dan makna akibat masuknya nilai-nilai kapitalis ke
dalam budaya Jawa. Di masa kini , kesenian Nini
Thowok bukan dianggap lagi sebagai kesenian tradisional yang sakral dan
mistis seperti dahulu kala, melainkan fungsinya sudah bergeser menjadi kesenian
hiburan yang dapat menghasilkan keuntungan finansial yang cukup menjanjikan
bagi para investor kapitalis yang berani menanamkan modal untuk keberlangsungan
pementasan acara kesenian Nini Thowok yang tentunya akan menghasilkan
pundi-pundi rupiah .
Di
zaman sekarang, kesenian Nini Thowok tidak lagi hanya dipentaskan di
lokasi desa-desa kramat yang jauh dari hiruk pikuk Kota Jogja saja, melainkan
lokasi pementasannya kini, mulai berpindah ketempat-tempat wisata yang penuh
dengan keramaian wisatawan yang haus akan pertunjukan tradisi lokal . Lewat
kemenarikan budaya yang ditawarkan oleh kesenian Nini Thowok, Para investor
kapitalis akan mencoba untuk mengemas kesenian Nini Thowok menjadi lebih modern
dan pantas menjadi pertunjukkan yang patut ditonton oleh wisatawan berduit agar
dapat membawa keuntungan yang menggiurkan bagi para investor kapitalis di
bidang budaya tersebut .
Jika dilihat dari kasus pergeseran fungsi
dari kesenian Nini Thowok diatas,
maka kita sebagai masyarakat awam mulai mengetahui secara jelas bahwa
paham-paham kapitalis mulai merasuk kedalam kebudayaan lokal Indonesia, hal itu
dibuktikan dengan pergeseran makna kesakralan dalam kesenian Nini Thowok , yang dimasa kekinian
justru berubah menjadi hiburan belaka yang bisa menghasilkan rupiah akibat
ditonton oleh semua orang yang berminat untuk menyaksikan keunikan dari
kesenian Nini Thowok. Apabila kebudayaan kita terus digerogoti oleh paham
kapitalis, seperti halnya dalam kasus kesenian Nini Thowok, maka secara cepat
atau lambat, sejumlah warisan
leluhur yang syarat akan nilai filosofi yang adiluhung itu kian mengalami
perubahan yang melenceng dari pakem aslinya akibat munculnya nilai ekonomis yang
bisa menghasilkan keuntungan lebih dari kebudayaan yang ditampilkan. Lalu,
Ketika hal ini sudah terjadi, berarti kita sebagai bangsa yang berbudaya ,
tidak akan mengetahui secara pasti tentang mana kebudayaan yang asli Indonesia
dan mana pula wujud kebudayaan yang merupakan hasil campur tangan budaya
kapitalis dikarenakan sudah terjadi pergeseran fungsi dan makna yang melenceng
dari nilai kepakeman yang telah diciptakan oleh nenek moyang kita di masa
dahulu.
Dampak buruk dari semua intrik kapitalis yang
melenceng dari pakem asli itu pasti akan dirasakan di masa mendatang, misalnya
saja kesakralan suara gamelan dan gending-gending Jawa hilang dari pendengaran,
Kepiawaian membuang sampur dan lemah gemulai tangan seorang penari mulai jarang
terlihat, Keterampilan memainkan wayang kulit dan suluk seorang dalang tak
pernah dilihat. Pendek kata, Nilai kesakrakalan budaya tradisional di era kapitalisme
akan mengalami kepudaran akibat lebih dipikirkannya fungsi ekonomis dari sebuah
budaya , Sedangkan untuk fungsi kesakralan pakem lokalnya justru dinomorduakan
bahkan dilupakan oleh para investor berotak kapitalis karena dianggap tidak ada
hubungannya dengan keuntungan finansial yang akan mereka dapatkan .
Aksi kaum Kapitalis bengis di Kawasan Candi Prambanan
C
|
andi
prambanan merupakan salah satu candi terkenal di Indonesia yang terletak di
Provinsi Yogyakarta. Sejak diresmikan menjadi destinasi wisata andalan Kota
Gudeg, kawasan ini sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara dan
domestik, tetapi seiring dengan ketenarannya, keberadaan kawasan di sekitar
Candi Prambanan mulai menjadi sasaran empuk bagi para investor yang bergerak di
Industri Pariwisata untuk melancarakan siasat kapitalisnya , dan salah satu
siasat nakal yang coba untuk digencarkan oleh para monster kapitalis adalah dengan cara berencana untuk
mendirikan sejumlah fasilitas penginapan untuk para turis di sekitar kawasan
situs pusaka cagar budaya Candi Prambanan. Tetapi, ketika wacana tersebut
menyeruak ke publik, justru banyak masyarakat awam yang menyatakan komentar
tidak setuju dengan rencana konyol monster kapitalis tersebut, hal itu
dikarenakan para warga khawatir jika didirikan fasilitas modern, maka tatanan sosial-kultural di sekitar kawasan
Candi Prambanan akan rusak .
Dalam kasus prambanan, seharusnya ada pembatasan yang
jelas dan tegas antara ruang budaya tradisional dan ruang bisnis kapitalisme.
Di era awal pendiriannya, Para pelaku budaya tradisional masa prambanan saja
sudah mampu untuk memisahkan antara kepentingan spiritual dan material agar
masyarakat masa kini tetap bisa menyaksikan kelangsungan hidup budaya tersebut
dan diharapkan mampu melestarikan pusaka atau warisan sejarah nasional sebagai
bukti kehebatan budaya masa lampau. Sedangkan, hal yang sebaliknya justru
terjadi pada para pelaku bisnis-kapitalisme yang berkecenderungan selalu
bertindak agresif, ganas, bengis-sadis, rakus, dan brutal untuk mendapatakan
keuntungan finansial yang sebesar-besarnya.
Rencana
pembangunan hotel atau penginapan tersebut dapat menjadi bukti bahwa pihak
pemerintah dan pengusaha hotel sama sekali tidak mampu menghargai kawasan
pusaka dunia Prambanan, melainkan mereka hanya memikirkan profit sesaat
(kapitalisme) yang menggiurkan. Gagasan perlindungan kawasan cagar budaya yang
kerap mereka janjikan bukanlah merupakan gagasan yang sungguh-sungguh dalam
menghargai warisan budaya, melainkan hanyalah berisi gagasan palsu yang
difungsikan untuk mendapatkan keuntungan (profit) bagi kalangan mereka sendiri.
Kalau monster kapitalisme secara terang-terangan berkepentingan
material-profit, tidaklah pantas hal tersebut menjadi tujuan utama birokrasi.
Lalu, Apabila rencana tersebut tetap dipaksakan, maka ulah kedua
belah pihak ini sudah dapat kategorikan sebagai bentuk nyata dari perusakan
pusaka atau warisan budaya di Indonesia. Dan tentunya, pihak yang paling
bertanggung jawab dalam perusakan budaya itu adalah pemerintah, selaku
birokrasi yang menentukan boleh-tidaknya kawasan pusaka disusupi oleh
monster-monster kapitalisme. Jadi apabila pemerintah Menghidupkan
kegiatan kapitalisme dalam kawasan pustaka, usaha itu sama halnya dengan
membunuh budaya tradisional lewat siasat para monster kapitalis yang keji . Dan apabila Pemerintah memberikan sedikit
saja kesempatan atau peluang kepada monster kapitalis , maka secara otomatis,
mereka akan mulai menggerogoti lantas mengacau esensialitas-substansialitas
kawasan prambanan yang tradisional.
Dendang Kapitalis
dalam Seni musik Campur Sari
D
|
alam moda produksi kapitalis, karya seni yang ada
lebih sering menjadi komoditi yang diperjualbelikan, dan cenderung mengikuti
fluktuasi permintaan di pasar. Hal itu pulalah yang terjadi pada perkembangan
musik campur sari di Indonesia yang mulai dirasuki oleh unsur-unsur kapitalis
yang berasal dari pasar industri musik tradisional Indonesia. Di masa kini, genre musik campur Sari yang adapun
seakan-akan sudah keluar dari pakem asli yang diciptakan oleh para maestro
campur sari wanita maupun pria tempo
dulu dikarenakan mulai munculnya permintaan pasar musik yang mulai mengusulkan
agar gaya menyanyi campur Sari tempo dulu yang cenderung bernyanyi dengan gaya
yang klemak-klemek ( mendayu-dayu dan
lemah gemulai ) dan berbusana Jawa tradisional yang terkesan kaku dan ribet tidak lagi ditampilkan
dalam penampilan seni campur sari modern, hal itu dikarenakan para konsumen
penikmat musik campur Sari masa kini, justru lebih menggemari dendang musik
campur sari yang dinyanyikan dengan cengkok suara yang seksi dengan gerakan
penarinya yang energik dan berbusana modern.
Dengan adanya permintaan pasar
tersebut, mau tidak mau para produser musik campur Sari yang kebanyakan
menggunakan pola pemikiran kapitalis, saling berlomba-loma untuk menciptakan
genre musik campur sari terbaru dalam kemasan yang lebih modern guna memenuhi
selera pasar konsumen yang menikmati alunan musik campur sari ini dan tentunya,
secara otomatis dapat menghasilkan keuntungan finansial yang cukup besar bagi
para produser musik yang mayoritas berprinsip ala kapitalis ” berani keluar modal yang layak untuk
meraup keuntungan yang banyak ” . Dengan pola pikir yang demikian itu, pada
akhirnya banyak menimbulkan ironi pada perkembangan musik campur sari di
Indonesia, misalnya saja : jika di masa lalu, gerakan para penyanyi atau panembang lagu campur sari sangat
dikenal dengan gerakannya yang lemah gemulai, justru di masa kini telah berubah
menjadi gerak energik yang terkadang cenderung mengarah ke gerakan seronok dan
terlalu sensual yang justru lebih
dikonotasikan sebagai bagian dari aksi pornoaksi yang membahayakan, sehingga
keberadaan musik itu, tidak sesuai dengan pakem budaya Jawa asli yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan ala Bangsa ketimuran. Munculnya
ironi-ironi tersebut, seharusnya dapat membuat sadar para pelaku paham
kapitalis di bidang kesenian agar mereka
harus berhati-hati dalam memenuhi selera pasaran musik Indonnesia. Hal itu
dikarenakan dalam perkembangannya ,tidak semua anggota masyarakat bisa menerima
perubahan mendadak yang terjadi pada musik campur sari, alih-alih ingin
menghasilkan keuntungan yang berlebih dari
project musik campur sari modern
yang mereka buat, justru kerugianlah yang akan mereka terima dikarenakan para
penikmat campur sari tidak bisa menerima modifikasi musik campur sari yang
investor kapitalis buat .
Siasat Kapitalis :
membuat Desa Adat semakin padat
B
|
eberapa tahun belakangan ini, wisata kampung adat rupanya juga telah
menjadi incaran potensial yang dapat menghasilkan keuntungan besar bagi para
pemilik modal yang berjiwa kapitalis sejati. Jika di zaman dahulu, kawasan
sekitar kampung adat pantang hukumnya untuk dikomersialisasikan kepada
masyarakat luas karena alasan kesakralannya dan kemistisannya yang abadi.
Tetapi di masa kini , para kapitalis di bidang industri pariwisata, berhasil
memberikan penjelasan panjang lebar yang bisa meyakinkan kepada seluruh warga
desa tetang keuntungan menarik yang dapat mereka terima apabila kampung adat
diubah menjadi tempat wisata edukasi dan rekreasi bagi masyarakat umum. Di masa kini ,
berkunjung ke kampung adat bukanlah menjadi hal yang menakutkan lagi bagi para
orang luar adat, tetapi hal yang sebaliknya justru akan terjadi , apalagi
setelah para wisatawan melihat berbagai fasilitas tambahan yang dibangun oleh
para investor yang ingin mengeruk keuntungan dari kemajuan pariwisata di
Kampung adat yang Ia kembangkan.
Tetapi lambat laun, perkembangan pesat yang
terjadi didesa adat akibat adanya pengembangan industri pariwisata, bukanlah
menjadi suatu hal yang dibanggakan oleh sebagian besar warga desa adat, bisa
dikatakan demikian karena dengan munculnya gaya hidup modern yang dibawa oleh
para turis ke dalam desa, maka secara otomatis kehidupan warga desa yang
dulunya berpikiran tradisional mulai terkontaminasi dengan gaya kehidupan ala orang modern yang tentunya sangat
bertentangan dengan adat-istiadat yang telah diciptakan di zaman dahulu. Tetapi
anehnya, para investor yang menanamkan modal untuk pengembangan wisata kampung
adat , tidak pernah memikirkan aspek kerugian yang dialami oleh warga kampung
adat akibat adanya pengembangan industri pariwisata di wilayah adat. Di benak
mereka ( para investor) keuntungan finasial lebih menjadi perhatian yang
diutamakan ketimbang harus memikirkan
kerugian yang diperoleh warga desa adat akibat adanya unsur modernisasi yang
masuk ke kawasan desa mereka.
Dan di bawah ini, merupakan beberapa contoh
desa adat terkenal di Indonesia yang telah dirasuki oleh gaya hidup kapitalis
modern, akibat telah dimanfaatkan oleh para investor untuk menjadi tempat
wisata edukasi dan rekreasi bagi masyarakat luas :
1.
Kampung adat Ciptagelar
Kampung adat Ciptagelar
berada di antara Gunung Karancang, gunung Surandil dan Gunung Kendang dan
berada pada ketinggian 1.050 meter diatas permukaan laut. Lokasi Medan yang
ditempuh memang lumayan berat bagi para wisatawan, tetapi keadaan jalan yang menantang
itulah yang coba dimanfaatkan oleh para investor di bidang pariwisata untuk
menarik minat para wisatawan agar mau berkunjung ke Kampung adat Ciptagelar.
Di masa kini, Desa
Ciptagelar sangatlah terbuka untuk para wisatawan domestik maupun asing. Tetapi
setiap wisatawan atau tamu yang berkunjung ke Desa Ciptagelar diwajibkan untuk
meminta ijin terlebih dahulu kepada Abah Ugi, karena segala sesuatu di
Ciptagelar memang harus se ijin Abah Ugi. Abah Ugi sendiri tinggal di Imah Gede
yang juga merupakan tempat pemerintahan, di tempat ini Abah Ugi sering menjamu
para tamunya.
Di masa lalu, menerima
kunjungan dari orang luar adat merupakan suatu hal yang dipantangkan oleh
pemimpin adat di Ciptagelar. Tetapi kini, hal yang sebaliknya justru terjadi,
setelah mengetahui tentang keuntungan finansial yang bisa didapatkan, Para
penghuni kampung saling berlomba-lomba untuk menghidupkan dunia wisata di
kampong Cipta Gelar, misalnya saja dengan mendirikan sanggar kesenian adat
untuk dinikmati oleh para wisatawan, membuka warung-warung makan di sekitar
kampung wisata dan mengembangkan berbagagi macam aktivitas perekonomian lainnya
yang tentunya diharapkan bisa menghasilkan uang yang cukup untuk pemenuhan
kebutuhan hidup seluruh warga kampung adat.
2. Kampung adat Baduy
Kampung adat Baduy terletak di provinsi
Banten, tepatnya berada di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak,
Banten . Kawasan adatnya mulai dikembangkan oleh para investor sebagai desa
wisata sejak tahun 1997. Dengan ditetapkannya kawasan Baduy sebagai desa
wisata, maka sejak saat itu pulalah gaya hidup tradisional baduy mulai dirasuki
oleh gaya hidup kapitalis ala orang modern, misalnya saja : sistem perekonomian
barter pada tahun 80an, kini telah terkoyak akibat adanya dampak modernisasi
desa adat, suku baduy masa kini secara pasti telah menjadikan sistem uang
sebagai penunjang aktivitas perekonomiannya . Selain itu , di masa modern kini,
orang Baduy tidak lagi menggunakan sistem ekonomi tertutup sebagai penunjang
kehidupan keluarga, tetapi justru berpindah ke sistem perekonomian terbuka
dikarenakan dianggap lebih menguntungkan dan menghasilkan keuntungan finansial
yang cukup banyak untuk memenuhi kesejahteraan hidup keluarga ( misalnya :
Dahulu, produksi hutan hanya diperuntukan untuk konsumsi keluarga, namun kini
meski dengan sistem tebang pilih. Banyak produksi hutan yang berupa komoditi
kayu mulai diperjual belikan ke
luar tanah adat guna mendapat keuntungan yang lebih besar daripada harus
dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi )
Dari hal diatas, kita dapat mengetahui bahwa Interaksi yang sangat insentif
antara wisatawan dan penduduk lokal secara kognitif mampu merubah pola pikir
penduduk lokal yang polos dan masih tradisional. Berdasarkan data yang
diperoleh penulis, tiap minggunya ratusan wisatawan datang untuk mengunjungi
tanah Baduy untuk berwisata. Meski
tanpa listrik dan harus berjalan kaki sejauh 12 km untuk sampai ke Baduy Dalam.
Kebanyakan wisatawan tetap tertarik untuk menyaksikan bagaimana green living Suku Baduy yang terealisasikan dalam kehidupan
nyata penduduk desanya.
3. Kampung adat Naga
Kampung Naga terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Kawalu, Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Wilayah kampungnya, semakin dilirik oleh para investor
untuk dikembangkan menjadi kampung wisata semenjak ditemukannya situs candi
Cangkuang di dekat pemukiman warga Kampung Naga , Ketika telah diputuskan untuk
menjadi kampung wisata, Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Barat dibantu dengan
para investor mulai membangun fasilitas-fasilitas umum penunjang kegiatan kepariwisataan
di Kampung Naga. Setelah proses perbaikan sarana dan prasarana wisata sudah
dianggap mencukupi, para wisatawan mulai berbondong-bondong untuk berkunjung ke
Kampung Naga guna melihat situs budaya Candi Cangkuang dan situs pemukiman
warga Kampung Naga yang terkenal unik dan artistik. Dengan kunjungan para
wisatawan, secara otomatis pihak investor bisa mendapatkan keuntungan yang
sebanyak-banyaknya dari pengembangan iklim kepariwisataan di kampung Naga.
Kemunculan dunia wisata di kampung adat, membuat para warga di kampung Naga
mulai memanfaatkan peluang tersebut sebagai peluang bisnis yang bisa
medatangkan keuntungan berlebih bagi mereka. Jika di masa dulu , mayoritas
warga Kampung Naga berprofesi sebagai petani sawah dan peladang, di masa kini profesi mereka justru beragam, ada yang
menjadi tukang foto di lokasi wisata Kampung Naga, ada yang menjadi tour guide
( pemandu wisata) , bahkan ada pula yang berpindah profesi menjadi pengrajin
cendramata khas kampung Naga yang tentunya dapat menghasilkan nilai rupiah yang
lebih besar dibandingkan harus bekerja sebagai petani dan peladang yang hanya
menghasilkan uang seadanya. Kemunculan gaya hidup materialistis di
Kampung Naga akibat munculnya semangat kapitalisme yang dibawa oleh para
investor wisata, pada akhirnya bisa mengancam kelestarian tradisi adat Kampung
Naga dikarenakan sistem untung-rugi sudah mendarah daging dalam sendi-sendi
kehidupan masyarakat adat Kampung Naga .
Dengan Munculnya Gaya hidup kapitalis yang berlandaskan prinsip untung-rugi
di beberapa kampung adat diatas, Sangatlah menimbulkan kekhawatiran yang cukup
serius untuk perkembangan Kampung adat di Indonesia. Hal itu dikarenakan, Apabila kearifan kampung
adat sudah berani digadaikan di dalam industri pariwisata, maka sangat dimungkinkan
di masa mendatang, nilai-nilai kehidupan tradisional yang adiluhung dari suatu
kampung adat tidak dapat kita temukan lagi dikarenakan masyarakat adatpun sudah
terkontaminasi dengan gaya hidup kapitalis yang condong berpikir secara
materialistik .
Wabah
Kapitalistik : Membuat Desa Adat Terserang Virus Ambigu
K
|
uatnya cengkraman ekonomi pariwisata yang
kapitalistik serta proses reproduksi yang dilakukan oleh berbagai agency-nya
menimbulkan sejumlah keraguan, bahwa fenomena Ubud, Sanur, Kuta dan Candidasa,
merupakan contoh dari desa adat yang kuat. Keraguan itu berawal dari sejumlah ambiguitas
yang justru dimiliki oleh sejumlah desa adat di kawasan pariwisata tersebut.
Ambiguitas itu ditunjukan oleh beberapa fenomena :
o
Pertama, desa adat sangat berkuasa berhadapan dengan PKL, pelacuran dan
pemulung. Namun, lain
halnya dalam berhadapan dengan investor besar. Awal mula sikap ambigu ini
terjadi ketika desa adat yang dibentuk untuk menjamin terjaganya public good
(baik public interest maupun public properties) menjadi "goyah"
akibat desakan sejumlah "kebutuhan" ekonomi desa adat. Mulai dari
perbaikan pura, upacara, pengisian kas desa dan sebagainya. Akibatnya, ada
sebagian krama dan prajuru justru mendukung proses konversi tanah karang desa
untuk kepentingan investor.
o
Ambiguitas yang kedua, desa adat di kawasan pariwisata terkesan kuat justru
pada the looser dan lemah terhadap the winner dari aktor-aktor yang
berkompetisi dalam ekonomi pariwisata. Hal ini terlihat jelas dari munculnya
kecenderungan ngamis kacenik (menyalahkan dan menekan yang di bawah), di mana
standar yang digunakan oleh desa adat dalam menentukan pepesuan lebih berpihak
pada kalangan ekonomi menengah ke atas (nak
sugih) yang merupakan the winner bukan ke the looser.
o
Ambiguitas yang ketiga, di tengah wacana desa adat yang kuat ternyata desa
adat lemah menghadapi konflik antardesa adat. Hal ini nampak dari meluasnya
konflik antardesa adat di daerah kawasan pariwisata dalam memperebutkan
aset-aset ekonomi strategis. Dalam ekspansi modal yang makin meningkat terutama
di daerah-daerah pariwisata terjadi persengketaan antardesa adat dalam
menentukan batas-batas desa, pengelolaan objek wisata ataupun reklaim terhadap
kepemilikan tanah duwe desa. Hal ini nampak jelas terjadi dalam kasus kekerasan
kolektif yang muncul di sekitar kawasan wisata Candidasa antara Desa Pasedahan
dan Nyuh Tebel.
o
Ambiguitas yang keempat, walaupun dijumpai kecenderungan makin meluasnya
ketegangan yang terjadi antara negara, pemilik modal di satu pihak berhadapan
dengan desa adat, yang mana masyarakat lokal menggunakan adat sebagai instrumen
untuk memperkuat posisi tawar mereka. Namun, desa adat terkesan lemah dalam
memformulasikan dan mengontrol tuntutan kolektifnya. Sehingga, penggunaan desa
adat untuk kepentingan yang sangat instrumentalis menyisakan persoalan baru,
karena desa adat juga bisa muncul sebagai pemburu rente baru (new rent
sekeers).
Dalam konteks ini, adat menjadi sangat
"semena-mena" digunakan untuk merumuskan tuntutan yang bisa jadi
representasi dari kepentingan pribadi warganya. Mulai dari mendapatkan
pekerjaan di hotel, mencegah munculnya kompetitor baru dari kalangan pendatang
atau bahkan menolak sepenuhnya kehadiran investor. Akhirnya, meluasnya
penggunaan adat sebagai instrumen tawar-menawar tanpa diikuti dengan kesadaran
tentang perangkap reproduksi ekonomi kapitalistik dan perumusan aturan main
yang jelas, bisa menjadikan desa adat sebagai desa adat yang ambigu.
Negeri Gingseng
dan siasat kapitalisasi Budayanya ke Indonesia
T
|
ernyata di masa
kekinian, Budaya kapitalis tidak hanya menyerang ke kawasan pemukiman adat yang
terpencil saja, melainkan juga telah menyebar ke wilayah perkotaan besar yang
dipenuhi dengan hiruk-pikuk kehidupan ekonomi warganya yang seakan-akan tidak
pernah tidur , Salah satu diantaranya dapat dibuktikan dengan perkembangan
Korean Wave yang merupakan hasil karya dari para Industri berkesenian para
kapitalis di Indonesia. Begitu banyak produk-produk industri budaya Korea Selatan yang masuk ke
Indonesia dan mengambil tempat tersendiri di hati bangsa Indonesia. Baik dari
dunia fashion, musik, film, kuliner, barang elektronik, dan gaya hidup lainnya.
Korean wave sendiri adalah gelombang penyebaran budaya pop Korea ke seluruh
dunia. Pada mulanya, gelombang ini hanya menyerbu wilayah Asia Timur dan Asia
Tenggara bagian utara, seperti Vietnam. Namun, gelombang budaya pop korea
menyebar ke seluruh wilayah Asia, bahkan hingga benua Eropa dan Amerika.
Indonesia pun menjadi salah satu negara yang tidak bisa mencegah besarnya animo
gelombang korean pop.
Dari tahun 2002-2005 drama-drama Korea yang populer di Asia termasuk
Indonesia antara lain Endless Love, Winter
Sonata, Love Story from Harvard, Glass
Shoes, Stairway to Heaven, All
In, Hotelier, Memories in Bali, dan Sorry I
Love You yang
merupakan serial drama melankolis. Drama komedi romantis
muncul berikutnya, antara lain Full House, Sassy Girl Chun Hyang, Lovers
in Paris, Princess Hours, My name is Kim Sam-soon, My Girl, Hello Miss!,
dan Coffee Prince. Genre drama berlatar belakang
sejarah ikut mencetak rating tinggi, antara lain drama Dae
Jang Geum, Queen Seon Deok, Hwang Jini, hingga Jumong.
Tahun 2008-2009, drama Korea yang banyak mendapatkan perhatian adalah Boys
Before Flowers (BBF).
Seiring dengan drama Korea yang semakin diterima publik Indonesia , muncul pula kegemaran akan grup boyband seperti grup musik dari
SM Entertainment, seperti TVXQ dan Super Junior. Rupanya wabah dari korean wave
ini kemudian berdampak pada pariwisata. Lokasi syuting drama korea yang terkenal menjadi obyek pariwisata yang digemari para turis
untuk dikunjungi. Tentu dengan semakin banyak turis yang mendatangi korea selain berimplikasi terhadap bertambahnya devisa negara juga
dapat sekaligus lebih mendekatkan secara emosional antara korea dengan turis. Akan lebih banyak orang yang merasa dekat dengan
negara korea dan pelan-pelan akan memunculkan rasa sense
of belonging.
Adanya wabah Korean Wave ini yang
paling diuntungkan adalah para pelaku bisnis, khususnya industri hiburan. Para pengusaha industri hiburan
nampaknya sangat memahami bahwa masyarakat Indonesia , terutama kaum remaja, mulai terkena demam korea . Oleh karena itu, mereka mulai menciptakan semacam imitasi
dari budaya pop korea ke dalam budaya pop Indonesia , seperti menciptakan boy/girlband ala Korea . Para pengusaha itu tentunya tahu betapa kaum remaja sangat
mengidolakan K-Pop dan Korean Wave. Jadi dengan menciptakan imitasinya akan
lebih mudah untuk menarik minat pasar. Lalu, keuntungan-lah yang mereka
dapatkan.
Industri hiburan ini merupakan
bagian dari industri kapitalis yang didesain untuk mendulang keuntungan. Sementara remaja kita, hanya sebagai konsumen
semata. Mereka sama sekali tidak mendapatkan keuntungan secara ekonomis.
Justru rakyat jadi buntung karena dipaksa konsumtif oleh industri hiburan yang
relatif merogoh kocek ini .
Simpulan
Jika dipandang dari segi seni dan budaya, kecenderungan berpikir kapitalis
justru lebih banyak menimbulkan kerugian daripada keuntungan, hal itu
dibuktikan dengan banyakanya masalah yang timbul akibat munculnya gaya hidup
kapitalis dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, misalnya saja: terjadi
pergeseran pemaknaan kebudayaan, perampasan hak adat oleh para monster
kapitalis, penindasan budaya adat akibat munculnya siasat monster kapitalis,
hingga munculnya gaya hidup materialistik dan konsumtif pada masyarakat kita
akibat adanya kecenderungan hidup ala kapitalis.
Bercermin dari dampak yang ditimbulkan, maka kita sebagai masyarakat awam
harus bisa mewaspadai hasutan para monster kapitalis yang sewaktu-waktu bisa
mengggerogoti indahnya kehidupan berbudaya dan berkesenian di wilayah kita
masing-masing . Jangan sampai di masa depan, negara kita tidak memiliki warisan
kekayaan seni dan budaya akibat sudah ”dijual
” kepada para monster kapitalis yang
bisa dengan sesuka hati merombak dan mengubah pakem budaya tradisonal guna
untuk memperoleh keuntungan finansial yang seabreg-abreg
bagi para monster.
itu pakai referensi buku apa ya kak?
ReplyDelete