Sunday, February 2, 2014

potret pendidikan multikultur di bumi lumpia

Saatnya Kuncup Melati Itu Mekar...

Oleh Antony Lee
Sebelum memasang jargon sekolah gratis, seharusnya pemerintah menengok sejenak ke tepian Kali Semarang di Gang Lombok, Pecinan Semarang, Jawa Tengah. Di sudut perpotongan kemiskinan dan pusat perputaran uang itu terletak sekolah gratis dalam arti sesungguhnya.
Sekolah dasar dan taman kanak-kanak bernama Kuncup Melati itu sudah 60 tahun melayani pendidikan gratis. Begitu riuh suara entakan kaki dan tawa anak-anak di ruang pertemuan Kong Tik Soe di Gang Lombok, Jumat (29/1/2010) siang.
Suara dari lantai dua itu terdengar kencang hingga ke lantai dasar. Puluhan siswa SD Kuncup Melati tengah berlatih tarian Nusantara yang akan dipertunjukkan pada pembukaan perayaan 60 tahun Khong Kauw Hwee, yayasan yang menaungi sekolah gratis TK dan SD Kuncup Melati. Sekolah itu hanya berjarak sepelemparan batu dari lokasi mereka berlatih, terdiri atas gedung sederhana berlantai tiga yang digunakan untuk dua kelas TK dan enam kelas SD.
Tahun ajaran ini ada 247 siswa SD dan TK yang menuntut ilmu di Kuncup Melati. Tidak ada satu siswa pun di sekolah ini mengeluarkan uang untuk membayar pungutan pendidikan. Tak hanya itu, mereka juga mendapat seragam sekolah, alat tulis, tas, sepatu, kaus kaki, topi sekolah, ikat pinggang, buku pelajaran, hingga pendidikan ekstrakurikuler. Bandingkan dengan sekolah yang mengaku memberi pendidikan gratis, tetapi masih memungut biaya dengan berbagai alasan.
Para siswa sekolah ini mendapat mata pelajaran sesuai kurikulum nasional. Bahkan, mereka mendapat tambahan pendidikan bahasa Mandarin. Walau tak bisa dikatakan sangat bagus, sekolah ini juga bukan sekolah papan bawah di Kota Semarang meskipun semua siswa berasal dari keluarga tidak mampu dengan latar belakang etnis yang beragam. Siswa yang diterima harus mengantongi surat pernyataan tidak mampu dari kantor kelurahan.
"Dua anak saya bersekolah di sini. Benar-benar meringankan keuangan. Kalau di sekolah lain bisa mengeluarkan uang sampai Rp 50.000 per bulan," tutur Evi (39), orangtua murid SD Kuncup Melati.
Baginya, uang itu sangat berarti. Suaminya bekerja sebagai sopir truk antardaerah dengan pendapatan sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Sementara dia tak bekerja dan harus menghidupi tiga anaknya yang masih kecil. Untuk menghemat pengeluaran transportasi, saat menuju sekolah, kedua anaknya berboncengan mengayuh sepeda sejauh 2 kilometer dari rumah mereka di Citarum, Kecamatan Semarang Timur.
Bantuan
Bantuan semacam ini sudah dirasakan oleh ribuan anak sejak sekolah ini dibangun. Ada yang berhasil menjadi pengusaha atau bahkan bintang sinetron dan model. Upaya untuk mengumpulkan pasir yang terserak itu, pada 6-7 Februari 2010 akan diselenggarakan temu alumni dan perayaan 60 tahun Khong Kauw Hwee, sekaligus sebagai bagian dari membangun jejaring agar keuangan sekolah ini bisa terus menopang hadirnya pendidikan gratis sungguhan.
"Setidaknya dalam satu bulan kami harus menyediakan dana sekitar Rp 20 juta untuk operasional sekolah dan perlengkapan siswa," tutur Eko Wardojo, Sekretaris Yayasan Khong Kauw Hwee.
Menurut dia, dana itu seluruhnya didapatkan dari para donatur. Bantuan donatur multietnis dan latar belakang itu tak melulu uang, tetapi juga barang, bahkan sumbangan tenaga sebagai pengajar. Hal ini cukup membantu penghematan.
Baru mulai tahun 2009, SD Kuncup Melati menerima bantuan operasional sekolah dari pemerintah senilai Rp 79 juta. Para guru tetap yang jumlahnya mencapai 12 orang itu menyadari betul sekolah ini bukan mencari keuntungan sehingga pengelola sekolah tak bisa membayar mereka dengan gaji tinggi.
"Ya, bagi saya cukuplah. Yang pasti sudah di atas upah minimum kota. Bagi saya ada kebanggaan mengajar di sini karena betul-betul membantu siswa," tutur Purwaningsih (31), guru Bahasa Jawa, IPS, dan Menggambar di SD Kuncup Melati.
Ia mengajar di sekolah itu sejak lima tahun lalu. Pengabdian menjadi salah satu kunci sekolah ini bisa bertahan selama 60 tahun. Cikal bakal sekolah ini muncul dari kegalauan Lie Ping Lien yang menyaksikan anak tunaaksara hanya berkeliaran dan bermain.
Pada 1 Januari 1950, ia bersama sejumlah koleganya mendirikan Sau Tjuk Wen Mang Siek Siao (Kursus Pemberantasan Buta Huruf) di Gedung Yayasan Kong Tik Soe. Materi pelajaran masih terbatas bahasa Indonesia dan Mandarin, serta budi pekerti. Pada tahun 1952, kursus ditingkatkan menjadi Sekolah Taman Pendidikan Anak-anak Khong Kauw Hwee yang merujuk pada kurikulum sekolah rakyat.
Dua tahun kemudian, materi ditingkatkan dengan penambahan keterampilan pertukangan, kerajinan rotan, atau membuat mainan untuk siswa laki-laki. Sementara siswa perempuan mendapat pelatihan menyulam, menjahit, memasak, dan membuat roti.
Status tempat pendidikan ini ditingkatkan menjadi sekolah dasar pada 1980. Selama tahun 1987-1992 dibangun gedung sekolah Khong Kauw Hwee atas kerja sama empat yayasan, yakni Khong Kauw Hwee, Kong Tik Soe, Tjie Lam Tjay, dan Kelenteng Tay Kak Sie. Semua yayasan itu berada satu kawasan di Gang Lombok.
Eko Wardojo menuturkan, perkembangan sekolah gratis ini dibagi dalam empat fase, yakni pembentukan pada masa awal, mempertahankan saat sempat terjadi kegoyahan akibat sempat sepi donatur pascaperistiwa 1965, tahap melanjutkan dengan kondisi mulai stabil, dan kini tiba saatnya untuk mengembangkan sekolah.
"Dengan sudah menerima dana bantuan operasional sekolah dan donatur juga terus ada, kami ingin sekolah ini mutunya meningkat, bukan hanya sekadar gratis, serta menambah fasilitas bagi anak. Kami ingin mengembalikan materi keterampilan seperti dahulu agar anak mendapat bekal memadai," harapnya.
Dan tentunya sekolah kuncup itu akhirnya akan mekar. Menebarkan indahnya nilai solidaritas, pengabdian, dan kisah kemajemukan....

sumber : Kompas

No comments:

Post a Comment