UJIAN NASIONAL : MOMOK BAGI SISWA YANG TAK KUNJUNG MUSNAH
Oleh : Sae Panggalih
Mahasiswa Jurusan Sosiologi dan
Antropologi UNNES
A.
Problematika Pelaksanaan Ujian Nasional di
Tanah Garuda
Berbicara
mengenai pelaksanaan ujian nasional di tingkat sekolah dasar hingga menengah,
mungkin merupakan suatu hal yang membuat perasaan siswa menjadi was-was dan
khawatir dikarenakan di dalam Ujian nasional siswa hanya diberikan dua pilihan
untuk LULUS atau TIDAK LULUS , Pilihan tersebutlah yang pada akhirnya membuat kebanyakan
siswa di Indonesia mengalami depresi berat hingga terkadang berujung pada
tindakan bunuh diri, Fenomena miris ini terjadi dikarenakan, mayoritas siswa di
Indonesia masih berpikir bahwa Ujian nasional merupakan salah satu kunci
kesuksesan yang harus di pegang guna menentukan nasib mereka di masa depan
kelak, Jikalau salah satu kunci terpenting berupa kelulusan ini tak berhasil
digapai, niscahya masa depan merekapun akan sulit diprediksi dikarenakan di
tahap awal saja mereka sudah mengalami kegagalan berupa pernyataan tidak lulus
di dalam menempuh ujian nasional .
Dalam
pelaksanaan Ujian Nasional, ternyata beban psikologis yang dirasakan bukan
hanya dipikul oleh siswa seorang , melainkan pihak lain seperti orang tua para
siswa-pun ikut andil bagian didalam menanggung pikulan perasaan malu di masyarakat jikalau suatu hari nanti
anaknya dinyatakan tidak lulus didalam menempuh ujian nasional . Kondisi ini, semakin
diperparah dengan kekhawatiran dari pihak sekolah yang mencemaskan apabila
suatu saat nanti, nama baik almamater sekolah yang selalu dijaga kebaikannya bisa hancur lebur dalam waktu sesaat, dikarenakan pada saat pengumuman
kelulusan UN , banyak siswanya yang dinyatakan tidak lulus menempuh Ujian
Nasional . Hal inilah, yang pada akhirnya memancing beberapa bentuk tindakan
nakal dari segelintir oknum guru yang menurut Saya tidak terdidik, untuk melakukan tindak kecurangan berupa aksi
pembocoran soal dan pemberian kunci jawaban kepada para siswanya disaat pelaksanaan
agenda akbar ujian nasional. Menurut Saya pribadi, Ujian Nasional dalam sistem
pendidikan Indonesia tak ubahnya seperti monster tangguh yang dilawan dengan
konspirasi siswa-guru . Alangkah gawatnya negeri ini, apabila generasi mudanya
di pupuk dengan nilai-nilai korup berupa tindakan mencari kunci jawaban soal
yang dalam prakteknya dapat menghancurkan budaya jujur dan sportivitas
yang selama ini selalu digaungkan disetiap kali pelaksanaan UN. Jika melihat
fakta tersebut, pada akhirnya Ujian Nasional justru lebih terlihat sebagai
ajang penghalalan segala bentuk
tindak kecurangan “yang mahal” dari
tingkat elit hingga tingkat bawah ketimbang ajang untuk unjuk kejujuran dalam
pelaksanaan UN .
Dalam buku ” Buku Hitam Ujian
Nasional ” karya HB Arifin , tertulis sebuah pernyataan jelas yang mengungkapkan
bahwa dengan sistem Ujian Nasional , sebenarnya
pemerintah hanya menerapkan pemahaman yang sempit terhadap asseessment ( Penilaian terhadap siswa ) . Selama ini, pemerintah masih beranggapan bahwa perolehan Asseessment hanya dapat diperoleh melalui
pelaksanaan ujian belaka . Bahkan seakan-akan negara kita lupa dengan wasiat Ki
Hajar Dewantara: “Anak-anak dan
pemuda-pemuda kita sukar dapat belajar dengan tenteram, karena dikejar-kejar
oleh ujian yang sangat keras dalam tuntutannya. Pernyataan tersebut berarti
bahwa para siswa belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaannya, tetapi sebaliknya
mereka belajar hanya untuk mendapatkan nilai-nilai yang tinggi dalam raport
sekolah atau untuk mendapatkan predikat lulus didalam ijazahnya . Jika memang
tujuan yang dikejar dalam pelaksanaan UN hanyalah perolehan nilai-nilai belaka
yang tertulis dalam selembar kertas batik berlambang garuda pancasila, maka
bersiap-siaplah menyongsong kebobrokan moral bangsa Indonesia , dikarenakan
mayoritas generasi muda yang dicetak dan dipersiapkan untuk masa depan
Indonesia di masa mendatang sudah terserang penyakit examen cultus dan diploma
jacht (mengkultuskan ijasah dan diploma )” di dalam hidupnya .
Dengan adanya sistem UN , Negara kita tidaklah
semakin maju tingkat pendidikannya. Justru Pendidikan kita malah semakin ketinggalan jauh dengan negara lain. Berbeda jauh
dengan sistem pendidikan di Indonesia pada beberapa dekade sebelumnya yang
tanpa UN justru bisa memasuki jajaran kategori sepuluh besar negara yang baik
didalam memberikan pelayanan pendidikan yang baik untuk warga negaranya , dan pada
saat itu, banyak negara lain yang belajar ke Indonesia tentang pelaksanaan
sistem pendidikan yang ramah terhadap siswa tersebut. Tetapi kini semua
kenangan tentang kejayaan sitem pendidikan Indonesia yang ramah terhadap siswa
tersebut telah berlalu bersamaan dengan keputusan diselenggarakannya Ujian
nasional sebagai penentu kelulusan siswa sejak tahun 2004 oleh Bapak Jusuf
Kalla selaku Wakil Presiden Republik Indonesia waktu itu . Dengan pelaksanaan UN,
Sebenarnya yang menjadi titik berat penilaian hanyalah berupa pengukuran nilai
akademik ( kuantitatif ) semata dari
tiap siswa , tanpa mempertimbangkan dan mengetahui bobot nilai sosial dan nilai
karakter anak didik , Sedangkan guru selaku pihak yang mengetahui nilai
akademik, nilai karakter dan sosial anak terkesan diabaikan dan tidak diberi
kepercayaan oleh negara untuk memberikan penilaian terhadap siswa yang
diajarnya setiap hari . Jadi artinya, perolehan nilai UN yang baik tidak bisa
menjamin negara ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Karena baiknya
suatu negara dapat dinilai dari baiknya karakter dan kepribadian generasi muda
selaku penerus tongkat estafet pembangunan bangsa .
B.
Dampak UN : Nihilisasi Budaya Belajar Siswa
Dalam Antropologi pendidikan ,
pola budaya belajar masyarakat ( pedesaan dan perkotaan) yang dapat menciptakan
perubahan sosial menjadi salah satu topik kajian terpenting yang selalu dibahas
dalam spesialisasai ilmu antropologi yang satu ini . Demikian juga mengenai
perwujudan kebudayaan para pengambil kebijakan pendidikan yang berorientasi
pada perubahan sosial budaya masyarakat . Tetapi dengan diadakannya sistem
ujian nasional, pola budaya belajar yang sesuai dengan kharakteristik
masyarakat di tiap daerah seakan-akan menjadi disamaratakan tanpa memandang
perbedaan infrastruktur pendidikan yang ada di setiap provinsi. Akibatnya, fenomena bingung tahunan didalam
menghadapi UN terulang lagi, akhirnya kebingungan itu menemukan solusinya
melalui bisnis bimbingan belajar menjamur dari Sabang sampai Merauke dengan
menjual jaminan lulus kepada para Siswa , Tidak sedikit sekolah
menyambut dengan tangan terbuka bagi penjual jasa bimbingan belajar. Demi lulus
UN, peran bimbingan belajar menjadi dibutuhkan oleh sekolah, siswa, dan guru.
Alhasil,
gaya belajar yang sama berupa metode drill soal dan try out berjangkit dan
dianggap cocok dalam menghadapi UN. Diyakini, hanya dengan cara itulah
siswa-siswi kelas IX (SMP) dan XII (SMA) yang tersebar di seluruh penjuru negeri
akan terlatih menjawab soal UN secara cepat dan tepat.
Kisah di atas menunjukkan bahwa ada kesenjangan yang
tegas antara UN yang diidealkan oleh pembuat kebijakan pendidikan dan UN yang
ada pada tingkat pelaksanaannya di lapangan atau sekolah-sekolah. Apa yang
diharapakan dari kebijakan UN (das
sollen) berbeda dengan realitas yang terjadi (das sein).
UN sebagai kebijakan pendidikan barangkali diharapkan
oleh pemerintah, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla , bisa mendongkrak kinerja
dan mutu pendidikan di sekolah-sekolah di Indonesia. Tetapi ternyata, didalam penerapannya, mutu yang ingin
dicapai dari pelaksanaan UN justru sulit untuk dicapai , dikarenakan merebaknya
masalah ketidakmerataan keadilan pemberian fasilitas pendidikan antar sekolah
di seluruh Indonesia . Dalam pelaksanaan UN , Pemerintah seolah buta atau
bersikap seolah tidak tahu terkait banyaknya sekolah di negeri ini yang belum
layak dalam berbagai hal. Sekolah-sekolah yang berada di perkotaan dengan
fasilitas lengkap dan memadai, pasti tak bisa disamakan dengan sekolah-sekolah
di pelosok negeri yang serba kekurangan; guru dan fasilitas pendukung untuk
mengajar belajar. Sekolah-sekolah di wilayah perkotaan dengan gedung beton,
minimal dari bahan yang bagus, pasti berbeda dengan bangunan sekolah di pelosok
yang beralas tanah, beratap daun, berdinding bahan bangunan apkir. Kemudian
ditambah dengan guru-guru pengajar yang terbatas, lalu buku-buku pelajaran yang
juga sama terbatasnya; dalam hal penerapan UN antara sekolah mentereng dengan
fasilitas serba lengkap dipersamakan dengan sekolah yang sedikit lebih bagus
dari kandang sapi atau kambing; adalah bukan suatu keadilan. Tetapi fenomena
ketidakadilan pendidikan diatas , justru dijawab pemerintah dengan solusi
konyol berupa pelaksanaan UN yang memiliki keseragaman tipe soal yang sama dan
tak pandang bulu ( Pokoknya...Mau Anda
tinggal di kawasan Hutan terpencil maupun di kawasan Hutan beton , semuanya
harus mengerjakan soal UN dengan bobot kesulitan yang sama...untuk masalah
lulus dan tidak lulus itu semua ada ditangan Anda... ) . Kita pasti ingat dan hapal dengan
bunyi Sila Kelima dari Pancasila; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kalau pendidikan dimasukkan kedalam berkeadilan sosial, maka negeri
ini sudah tak berlaku adil terhadap pendidikan anak bangsa ini. Maka UN
selayaknya dihapus untuk digantikan dengan ujian yang diterapkan oleh
masing-masing daerah.
Dari
topik pembahasan diatas, Saya dapat menyimpulkan bahwa ternyata pelaksanaan UN
tak memacu budaya belajar, tetapi justru memicu tindak kecurangan dan cara
belajar ala bimbingan belajar. Kecurangan dan cara belajar ala bimbingan
belajar seolah menegaskan lagi pendapat (alm) Koentjaraningrat tentang
mentalitas menerabas dan budaya instan bangsa ini. Kecurangan dalam UN terasa
sekali menunjukkan mentalitas menerabas, sikap menghalalkan segala cara demi
tujuan lulus dan sukses UN. Adapun cara belajar dengan drill soal, try out,
menghafal soal, dan trik-trik mengerjakan soal obyektif menunjukkan sikap
instan dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Cara belajar ini tidak menuntut
eksplorasi cipta, rasa, dan karsa anak didik terhadap substansi kompetensi ilmu
pengetahuan. Implikasinya, kompetensi dan kecerdasan dalam menguasai ilmu
pengetahuan hanya diukur dari kemampuan memilih jawaban secara cepat dan tepat
untuk mendapatkan skor tertinggi. UN alih-alih sebagai kebijakan untuk
peningkatan mutu pendidikan justru telah menihilisasi budaya belajar.
Sebenarnya,
Budaya belajar akan menjadi pilar pengembangan kebudayaan yang kuat dan
beradab. Sayang sekali, hadirnya
UN belum mampu menjadikan budaya itu sebagai budaya dominan di kalangan pelajar
Indonesia. Budaya belajar dikalahkan oleh nihilisasi budaya belajar: menerabas
dan instan. Nihilisasi budaya belajar itu akhirnya memunculkan kekhawatiran ”
akan kuatkah kebudayaan Indonesia bersanding dengan budaya global di masa depan
? ” Sebab, menurut Naisbitt, hanya suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang
kuat dan luwes yang bisa bertahan di tengah konstelasi global.
C.
Solusi terhadap carut-marutnya
pelaksanaan UN
Berbeda dengan Pemerintah
Indonesia yang lebih menekankan assesment pada ujian, Negara Finlandia justru
menekankan assessment melalui metode proyek terhadap siswanya. Proyek bisa
berupa karya siswa, baik penelitian, merancang sebuah desain, dan sebagainya,
yang bisa dikerjakan bersama-sama dalam satu tim dan lintas bidang studi. Untuk
menjalankan proyek-proyek tersebut, siswa harus mampu mengaplikasikan semua
yang dipelajarinya di sekolah di dalam sebuah karya nyata. Ada begitu banyak
variasi bentuk assessment termasuk
tugas harian di sekolah, karya siswa, penelitian ilmiah, tulisan, proyek,
laporan, dan sebagainya. Semuanya bisa digunakan untuk menilai siswa.
Assessment terhadap siswa sudah seharusnya tidak didominasi
oleh ujian, apalagi untuk menentukan kelulusan. Maka, bisa dikatakan, banyak
yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pertama, harus ada
evaluasi sistem pendidikan Indonesia secara keseluruhan. Pemetaan pendidikan
nasional harus segera dilakukan dan hasilnya harus dipublikasikan di depan
publik sehaingga berbagai pihak bisa membantu menganalisanya. Hasil analisa ini
bisa digunakan sebagai dasar untuk merancang berbagai program peningkatan
kualitas pendidikan. Sistemlah yang perlu dievaluasi terlebih dahulu, sebelum
mengevaluasi siswa. Kedua, assessment terhadap siswa harus digunakan
sedemikian rupa untuk memberikan dukungan siswa dalam belajar, membantu siswa
yang mengalami kesulitan belajar. Sistem pendidikan bukan untuk melabeli mereka
dengan kata lulus atau tidak lulus. Ketiga, kita memang harus mulai
meninggalkan paradigma belajar yang menekankan pada ujian. Seperti yang
diungkapkan oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara pada topik
sebelumnya, yang mengatakan kepada kita sebagai generasi penerus saat ini dan
nanti, bahwa, "Anak-anak dan
pemuda-pemuda kita sukar dapat belajar dengan tenteram, karena dikejar-kejar
oleh ujian yang sangat keras dalam tuntutannya. Mereka belajar tidak untuk
perkembangan hidup kejiwaannya, sebaliknya mereka belajar untuk dapat
nilai-nilai yang tinggi dalam raport sekolah atau untuk dapat ijazah. Jikalau
memang itu yang terjadi, maka memang sudah selayaknya Momok Ujian Nasional
memang harus musnah dari negeri ini dan digantikan oleh sistem penentuan
kelulusan model lain yang tentunya harus ramah terhadap seluruh warga belajar .
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, HB. 2012. Buku Hitam Ujian Nasional . Yogyakarta
: Resis Book dan CBE Publishing .
Ali
, Marzukie . Ujian Nasional dan Permasalahan
Pendidikan Kita. www.marzukialie.com ( Diakses pada : 28
April 2014 )
Chatif,
Munif. 2009. Sekolahnya Manusia . Bandung : PT Mizan Pustaka .
Martono, Nanang. 2010. Pendidikan Bukan Tanpa Masalah : “ Mengungkap Problematika Pendidikan
dari Perspektif Sosiologi “ . Yogyakarta : Gava Media .
Mutiarasari,
Dian. Makalah Antropologi Pendidikan.
www.dian-mutiarasari.blogspot.com ( Diakses pada : 28 April 2014 )
Nasution. 1995. Sosiologi
Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
Partaonan, Shaleh. Mengapa Ujian
Nasional Harus Dihapus ? . www.republika.co.id . ( Diakses pada : 28 April 2014 )
Tjandra,
Tri. UN : Dilema dan Tantangan
. website SMAN 1 Ksatrian Semarang ( Diakses pada : 28 April 2014 )
No comments:
Post a Comment