Dinamika Kawasan
Permukiman Etnis di Semarang
Titiek Suliyati
I.
Pendahuluan
Semarang merupakan salah satu kota yang cukup tua
usianya yaitu telah mencapai 464 tahun. Kota
Semarang sebagai kota yang telah mengalami masa-masa perkembangan dari mulai
munculnya sebagai kota tradisional, kota kolonial dan kota modern menunjukkan
ciri spesifik terutama pada perkembangan permukiman kota atau kampung kota.
Melihat perkembangan sejarah kota
Semarang, tercatat bahwa Semarang memiliki banyak kampung-kampung kuno, yang merupakan embrio perkembangan kota. Nama kampung-kampung
kuno ini disesuaikan dengan kelompok
etnis, pekerjaan atau kondisi dan situasi yang pernah terjadi di kampung tersebut,
seperti kampung Pecinan, kampung Melayu, kampung Kauman, kampung Batik, kampung
Kulitan , kampung Geni dan lain sebagainya.
Tulisan ini akan membahas tentang kawasan
permukiman atau kampung kuno yang spesifik yaitu kampung yang dibentuk berdasarkan kelompok
etnis. Kampung-kampung etnis seperti Kauman, Pecinan, kampung Melayu sebagai
kampung tradisonal yang terbentuk pada awal pemerintahan kota mengalami dinamika
dan perubahan yang pesat sampai saat ini. Walaupun telah mengalami perubahan,
tetapi bayak hal yang masih dapat ditandai sebagai identitas dari
kampung-kampung tersebut. Hal lain yang terkait dengan perubahan kampung kuno
tersebut, tidak hanya dilihat dari aspek fisik saja tetapi juga terkait dengan
dinamika masyarakatnya. Di kampung-kampung kuno tersebut, saat ini tidak hanya
bermukim kelompok-kelompok etnis tertentu saja, melainkan etnis-etnis lain juga
telah bermukim cukup lama, berbaur dan berinteraksi dengan harmonis.
Kehidupan yang harmonis antar-etnis di kota Semarang
merupakan suatu aset yang tak ternilai. Keharmonisan ini telah membentuk budaya
yang sangat unik dan beraneka ragam, yang memberi sumbangan pada kebudayaan
nasional kita.
II.
Terbentuknya Kota Semarang dan Kampung-Kampung Etnis
Perkembangan
Semarang sebagai kota besar dan kota pelabuhan yang cukup penting di Indonesia disebabkan
oleh letak geografis yang strategis dan
unik. Letak geografis yang unik ini diperlihatkan oleh bukit-bukit yang ada di
salah satu bagian wilayah kota seperti
bukit Gajah Mungkur, Candi, Mrican, Mugas, Gunung Sawo, Simongan dan lain
sebagainya serta dataran-dataran rendah pada bagian wilayah kota yang lain.
Pendapat Van Bemmelen yang dikutip oleh Jongkie Tio, bahwa pada abad ke-15 Kaligarang
merupakan pelabuhan alam yang cukup ramai dan potensial untuk melakukan
kegiatan perdagangan. Di sekitar Kaligarang terdapat bukit Bergota dan bukit
Mugas yang terletak pada suatu pulau/jasirah yang dikenal sebagai pulau Tirang.
Pada perkembangannya kemudian, pulau Tirang menyatu dengan daratan di
sekitar Kaligarang sebagai akibat dari terjadinya endapan lumpur (Tio, TT: 7).
Kota Semarang sampai
menjadi bentuk seperti sekarang ini bermula ketika awal tahun 1476 M ( 1398 Çaka
) Pandan Arang datang dan bermukim di bukit Bergota di pulau Tirang untuk
berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Pada perkembangannya kemudian banyak
pengikut Pandan Arang dan pendatang dari luar kota yang juga bermukim di sana. Semakin lama pemukiman
ini semakin ramai dan membentuk kota,
yang kemudian disebut sebagai kota Semarang (Budiman ,1978: 4).
Semarang waktu
itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak.
Diperkirakan setelah
tahun 1513 pusat kekuasaan bergeser ke Pajang. Ketika pusat kekuasaan di Pajang
dapat dikuasai oleh kerajaan Mataram, Semarang kemudian berada di bawah
kekuasaan Mataram. Sultan Mataram kemudian menobatkan Ki Ageng Pandan
Arang sebagai bupati Semarang pertama pada
tahun 1547. Sebagai pusat pemerintahannya adalah daerah Bubakan, di sebelah barat sungai
Semarang. Jumlah pendatang yang bermukim di pusat kota semakin banyak,
sehingga menyebabkan daerah pusat kota
semakin padat dan kemudian meluas sampai ke daerah Jurnatan, yaitu daerah
sekitar Jl. Haji Agus Salim sampai ke daerah sekitar Kanjengan. Dibandingkan
dengan daerah Tirang dan bukit Bergota yang merupakan daerah perbukitan dan
jauh dari pelabuhan, daerah Bubakan dan Jurnatan merupakan daerah yang datar
dan dilintasi sungai Semarang yang pada waktu
itu dapat dilayari perahu sebagai sarana transportasi dan perekonomian
sampai ke pusat kota.
Pusat
pemerintahan Semarang diketahui beberapa kali pindah. Pada masa pemerintahan Ki
Ageng Pandan Arang pusat pemerintahah terletak di daerah Bubakan. Pada sekitar
tahun 1659, pada masa pemerintahan Bupati Mas Tumenggung Wongsorejo, pusat
pemerintahan dipindahkan ke daerah Gabahan. Ketika masa pemerintahan bupati Mas
Tumenggung Prawiroproyo (1666) pusat pemerintahan Semarang dipindahkan lagi ke
daerah Sekayu. Pada tahun 1670 yaitu pada masa pemerintahan Tumenggung Alap-alap
pusat pemerintahan Semarang dipindahkan lagi
ke daerah Kanjengan sampai tahun 1942. (Tio, TT: 12).
Ketika raja
Amangkurat I berkuasa yaitu sekitar tahun 1678 terjadi pemberontakan Trunojoyo.
Untuk memadamkan pemberontakan ini Amangkurat I meminta bantuan kepada Belanda
dengan imbalan kekuasaan atas Semarang dan daerah-daerah sekitarnya.
Untuk menegaskan
kekuasaannya atas hak untuk memerintah Semarang, Belanda membangun benteng
besar yang mengelilingi pos-pos militernya. Pada 9 Juni 1702 Semarang dijadikan
ibukota pantai utara Jawa Tengah. Untuk mengatur pemerintahan, tidak berselang
lama Kotapraja Semarang dibentuk (Liem Thian Yoe, 1933 :18-20).
Di Semarang
Belanda menerapkan sistim pemerintahan berdasarkan kelompok etnis, yaitu etnis
Pribumi di bawah pemerintahan dan pengawasan bupati Semarang, etnis Belanda di
bawah pengawasan dan administrasi kotapraja dan etnis Cina di bawah pengawasan
dan administrasi Kongkoan (Pratiwo, 2010 : 32).
Perkembangan
Semarang sebagai kota pelabuhan terkait erat dengan perkembangan perdagangan di
pantai utara Jawa. Seiring dengan perkembangan Semarang sebagai kota pelabuhan,
pada tanggal 5 Oktober 1705 disusun suatu perjanjian antara Susuhunan Paku
Buwono I dengan VOC (Verenigde Oost
Indische Compagnie) di Kartasura yang menentukan status hukum kota Semarang
dalam pemerintahan VOC adalah sebagai kota kedua setelah Batavia. Perjanjian
ini membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi yaitu di daerah sekitar Semarang kemudian banyak didirikan onderneming-onderneming,
pabrik-pabrik gula dan perdagangan lainnya. Pertumbuhan ekonomi ini menarik
minat pendatang dari berbagai etnis dan
daerah untuk mencari penghidupan di Semarang (Tio,TT : 16). Dengan demikian kita dapat melihat pertumbuhan penduduk yang sangat
pesat di Semarang, baik penduduk setempat, penduduk dari luar Jawa seperti dari
Bugis, Sumatra, Kalimantan dan lain sebagainya, maupun penduduk asing seperti Cina, Arab, India, Eropa dan lain sebagainya.
Penduduk Semarang dari berbagai etnis ini menetap sementara atau selamanya pada
perkampungan-perkampungan berdasarkan etnis karena mereka lebih merasa nyaman
dan aman tinggal dengan orang sedaerah atau sesuku.
III.
Terbentuknya Kampung Kauman
Secara umum kota-kota tradisional Jawa memiliki pola yang hampir sama, yaitu pada
pusat kota terdapat komplek pemerintahan yamg mengelilingi alun-alun. Di
sekitar alun-alun juga terdapat masjid agung yang disekitarnya terdapat
kampung. Kampung di sekitar masjid dikenal sebagai kampung Kauman.
Secara umum kota-kota besar yang terbentuk
sebagai kota Islam di Jawa selalu memiliki kampung Kauman, yang memiliki
ciri-ciri tersendiri, tidak terkecuali kota Semarang.
Kampung Kauman Semarang sebagai kampung
tradisional yang didiami oleh penduduk pribumi yang terbentuk pada masa
pemerintahan Ki Ageng Padan Arang. Kampung kauman memiliki sejarah yang unik,
yaitu dikaitkan dengan keberadaan masjid Kauman. Masjid Kauman walaupun merupakan
masjid tertua tetapi masjid Kauman bukan merupakan masjid pertama yang dibangun
oleh Ki Ageng Pandan Arang di kota Semarang. Pada awalnya Ki Ageng Pandan Arang
bermukim di bukit Bergota dan kemudian pindah ke wilayah Semarang ”bawah”,
yaitu wilayah yang sekarang dikenal
sebagai Pedamaran. Di daerah ini beliau membangun masjid dan permukiman untuk
para santrinya, yaitu daerah yang dikenal sebagai ”Kemesjidan”. Ketika beliau
diangkat sebagai bupati Semarang, beliau membangun pusat pemerintahan di daerah
Kanjengan. Ketika terjadi pemberontakan masyarakat Cina pada tahun 1740, pemukiman Cina yang terletak
di daerah ”Pekojan”, masjid dan pemukiman santri di Pedamaran musnah terbakar.
Keadaan ini menyebabkan muncul pemukiman masyarakat Cina yang baru yang terletak
di daerah Pecinan sekarang ini. Selain itu pada tahun 1741 Bupati Suromengolo
membangun dan memindahkan lokasi masjid
Pedamaran ke lokasi pengganti di daerah sekitar Kanjengan. Masjid tersebut
dikenal sebagai Masjid Kauman. Lokasi di sekitar mesjid yang menjadi pemukiman
para santri dikenal sebagai Kampung Kauman. Kampung Kauman saat ini berkembang
sejalan dengan dinamika masyarakat penghuninya. Walaupun demikian Kampung
Kauman masih menyisakan bekas-bekas keindahan budaya yang tampak pada arsitektur
beberapa bangunan rumah tinggal, masjid serta tradisi Islam yang unik yaitu ”dugder” (Wijanarka, 2007 : 9)
Ada beberapa penafsiran yang berbeda
terkait dengan nama “kauman”.Ada yang berpendapat ”kauman” berasal dari kata : nggone wong kaum (tempat para kaum), pakauman (tempat tinggal para Kaum), kaum sing aman (golongan/kaum yang aman)
atau ada juga yang menafsirkan qo’um
muddin ( pemuka agama Islam). Dari tafsiran-tafsiran tersebut di atas, maka
”kauman” mengandung arti tempat tinggal para ulama.
Kampung Kauman terdiri dari
kampung-kampung kecil seperti Bangunharjo, Patehan, Kepatihan, Book, Jonegaran,
Getekan, Mustaram, Glondong, Butulan, Pompo, Krendo, Masjid, Kemplongan,
Pungkuran, Suromenggalan dan Kadipaten. Nama-nama kampung ini menunjukkan
keadaan setempat, sifat dari kampung tersebut dan jenis aktivitas masyrakatnya.
Nama kampung Patehan dikenal sebagai kampung yang beberapa warganya memproduksi
teh. Kampung Kepatihan dikenal sebagai kampung tempat tinggal patih. Book
(berarti tembok), yaitu kampung yang terdapat tembok. Sebutan kampung Getekan
(getek atau rakit) disebabkan kampung tersebut selalu kebanjiran bila hujan,
sehingga masyarakatnya selalu menggunakan getek. Kampung Mustaram dinamai
demikian karena di kampung tersebut bermukim pejabat pemerintahan yang bernama
Mustaram. Nama kampung Glondong berasal dari kondisi kampung yang dipakai
sebagai tempat penampungan kayu-kayu glondong. Kampung Butulan berasal dari
kata butul (tembus), karena jalan di
kampung itu merupakan jalan buntu. Kampung Pompo berasal dari kata pompo yaitu pompa
air untuk memadamkan air kalau terjadi kebakaran. Nama kampung Krendo berasal
dari kata krendo (keranda), yang menunjukkan bahwa kampung tersebut sebagai
tempat penyimpanan keranda. Kampung Kemplongan memiliki makna bahwa di kampung
tersebut banyak masyarakat yang melakukan pekerjaan ngemplong (salah satu proses pengelupasan lilin dengan cara
dipukul-pukul dengan menggunakan kayu)
Dinamika kampung Kauman dapat dilihat dari
perubahan fungsi bangunan dan lahan serta aktivitas masyarakatnya. Pada awal
pembentukannya kampung Kauman sebagaian besar dihuni oleh penduduk pribumi.
Pada perkembangannya kemudian penghuni kampung Kauman terdiri bari berbagai
etnis, seperti Jawa, Cina, Arab, Melayu dan lain sebagainya. Aktivitas penduduknya
tidak hanya untuk keagamaan saja, melainkan juga bisnis.
Beberapa bangunan yang telah hilang dari
lingkungan Kauman adalah Pendopo Kanjengan, alun-alun yang telah berganti
menjadi pasar dan komplek pertokoan, hotel dan lain sebagainya. Selain itu aktivitas
budaya yang selalu dinanti setiap menjelang bulan Ramadhan yaitu dugder mulai menghilang dari area
kampung Kauman berpindah lokasi di sekitar Masjid Agung Semarang yang dibangun
pada 2007.
IV. Terbentuknya Kampung Melayu
Ada berbagai penafsiran terhadap nama kampung
Melayu, yaitu untuk menandai bahwa kampung tersebut didiami orang-orang yang
berasal dari luar Semarang seperti orang
Aceh, Banjar, Sumatra (Melayu), Bugis, Gersik, Samudera Pasai dan orang
asing seperti Cina, Arab dan India/Gujarat. Selain itu nama kampung Melayu
digunakan untuk membedakannya dengan kampung pribumi, karena diperkirakan
kampung tersebut dibangun oleh pedagang-pedagang dari Melayu, Arab dan India
(Budiman, 1978 : 40). Ciri yang menegaskan sebutan kampung Melayu adalah bahwa
saat itu masyarakat yang berdiam di sana menggunakan bahasa Melayu dalam
berkomunikasi dan berinteraksi.
Diperkirakan dasar dari pembentukan kampung Melayu sudah
ada sejak sekitar tahun 1400, yaitu ketika Pandan Arang mulai membuka daerah
Semarang. Wilayah sekitar muara sungai Semarang yang yang saat itu menjadi sarana lalu lintas
pelayaran perahu-perahu kecil mulai ramai disinggahi pedagang yang berasal dari
luar Semarang (Budiman, 1978 : 48).
Ketika Belanda memi ndahkan pelabuhan dari Mangkang ke Boom Lama (Boom artinya dermaga) pada tahun 1743, aktivitas
perdagangan yang melalui sungai Semarang
semakin ramai karena lokasi Boom Lama dekat dengan pasar Pedamaran yang menjadi
pusat perdagangan saat itu. Kawasan sekitar Boom Lama ini kemudian berkembang
menjadi dusun atau desa, karena para pedagang banyak yang tinggal menetap di
wilayah tersebut. Dusun tersebut sampai saat ini dikenal sebagai Kampung Darat
(Ndarat). Tidak jauh dari kampung darat berkembang pula permukiman yang dikenal
sebagai kampung Ngilir. Pada akhirnya kedua kampung ini menyatu menjadi kampung
yang padat dan luas. Gabungan dari dua kampung tersebut di atas disebut Kampung
Besar, yang peduduknya dari beragam etnis
Kegiatan
perdagangan yang semakin ramai, memerlukan sarana dan prasarana yang memadai.
Untuk menunjang keperluan tersebut pemerintah kolonial membangun dermaga yang
lebih baik. Langkah awal dalam pembangunan dermaga yang baru adalah menyusun
perencanaan pembangunan kanal baru pada tahun 1854. Pelaksanaan pembangunannya
pada tahun 1873 dan selesai pada tahun 1875. Tujuan dari pembangunan Kanal baru
sepanjang 1180 meter dan lebar 23 meter tersebut adalah untuk memotong aliran
sungai Semarang yang terlalu panjang (Liem
Thian Joe,1933 :178).
Penduduk
kampung Melayu pada pertengahan abad ke-18 semakin berkembang dalam hal jumlah
dan etnisitasnya. Nama-nama kampung yang berada dilingkungan kampung Melayu
menunjukkan keadaan lingkungan, situasi maupun berdasarkan etnis penghuninya,
seperti berikut :
a. Kampung
Darat atau ‘ndarat’. Nama ini dipakai karena tempat tersebut Kampung
merupakan tempat mendarat perahu-perahu yang datang dari luar kawasan.
b. Kampung
Ngilir atau ‘ngeli. Kata ”ngilir“ atau ”ngeli“ memiliki arti
mengalir atau hanyut, karena letak dusun tersebut berada
ditepi kali Semarang, yang sekarang jadi mulut kampung Melayu Semarang
c. Kampung
Kali Cilik. Dinamakan kampung Kali Cilik karena di kampung
tersebut terdapat sungai kecil (‘kali ciIik’). Kali cilik ini merupakan anak
sungai dari kali Semarang, yang dahulu dapat dilayari oleh perahu-perahu kecil.
d. Kampung
Pencikan. Dinamakan ‘pencikan’ karena
penduduknya kebanyakan orang Melayu, yang dalam pergaulan sehari-hari
menggunakan panggilan ‘encik’.
e. Kampung Geni Besar. Latar belakang penamaan kampung Geni Besar adalah karena dahulu pernah terjadi kebakaran
besar di kampung ini. Dalam bahasa Jawa “geni” berarti ‘api’.
f.
Kampung Cerbonan. Kampung ini dinamakan kampung Cerbonan, karena di
kampung ini dulu ada seorang tokoh yang berasal dari Cirebon yang cukup
berpengaruh dan dihormati oleh masyarakat. Selain itu penduduk kampung ini
sebagian besar berasal dari Cirebon.
g. Kampung
Banjar. Dinamakan kampung Banjar,
karena mayoritas penduduk kampung Banjar pada awalnya adalah etnik Banjar.
h. Kampung
Peranakan. Dinamakan kampung Peranakan,
karena sebagian besar penduduk kampung tersebut adalah masyarakat keturunan
Arab dari Hadramaut.
i.
Kampung Baru. Kampung Baru merupakan kampung yang terbentuk pada masa
yang relatif baru dibandingkan dengan kampung-kampung yang lain. Hal yang
menarik di kampung Baru ini adalah masyarakat yang sangat heterogen yaitu
masyarakat etnik Banjar dan etnik Arab Hadramaut, yang hidup berdampingan
secara harmonis. Hubungan yang erat dalam lingkungan masyarakat ini ditandai
dengan bentuk rumah yang memiliki lorong penghubung antar-tetangga.
j.
Kampung Pulo Petekan. Kampung ini dinamakan kampung Pulo Petekan karena
bentuk blok kampung yang menyerupai pulau serta dikarenakan letak kampung ini tepat berada di mulut jalan Petek.
Toponimik nama jalan maupun nama-nama kampung dikampung Melayu ini
merupakan satu bentuk ”identitas lingkungan”, yang mencerminkan kondisi dan
ekspresi dari aktivitas dan peristiwa yang terjadi di lingkungan tersebut. Hal-hal semacam ini harus diupayakan lestari dan dibina dalam perencanaan dan perancangan wilayah kota
sehingga sense of place dan jejak sejarah dari satu tempat tetap terjaga
dengan baik. Seringkali karena faktor politis, nama jalan, area/kawasan dirubah
sehingga kehilangan makna dan aspek historisnya.
Kerja paksa yang
dipelopori oleh Deandels berhasil mewujudkan jalan raya pos (de Groote Postweg).
Jalur ini merupakan jalur perhubungan darat dari wilayah timur ke barat.
Pembangunan jalan raya pos ini telah merubah pola tata kota di Semarang pada
umumnya. Kampung-kampung yang berdekatan
dengan sungai mengalami perubahan pola
orientasi pada tempat tinggal mereka, yaitu berorientasi ke sumgai atau ke
jalan raya. Setelah jalan pos dioperasikan, maka tingkat urbansasi semakin tinggi sehingga permukiman semakin
padat. Untuk penyediaan tempat tinggal, saat itu mulai berkembang usaha
penyewaan rumah atau tanah, yaitu melalui sistem sewa tanah atau bangunan di Kampung
Melayu. Pelaku bisnis perumahan ini adalah warga keturunan Arab dan Cina
(Budiman, 1978 : 63)
Sampai abad ke-18
Kampung Melayu merupakan kampung yang
dapat disebut multi etnis. Walaupun demikian masing masing warganya dapat
menjalankan kepentingan sosial, keagamaan dan budayanya secara harmonis. Bukti
bahwa masing-masing kelompok etnis saling menghargai adalah di kampung Melayu ini terdapat
bangunan masjid kuno yaitu mesjid Menara Layur dan kelenteng Kampung Melayu. Selain itu kita dapat melihat
walaupun masing-masing etnis tinggal mengelompok di satu kampung tetapi
kerukunan antar-warga tetap terjaga. Kampung Baru hanya
dihuni oleh etnik Banjar dan arab Hadramaut. Kampung Banjar dulu hanya dihuni
oleh mayoritas etnik Banjar saja. Koridor jalan Kakap mayoritas dihuni oleh
etnis Jawa.
Akulturasi budaya masyarakat kampung Melayu juga tampak dalam arsitektur
rumah tinggal dan rumah ibadah. Rumah tinggal yang awalnya berarsitektur
tradisional Banjar telah banyak mengalami perubahan, baik perubahan total
maupun hanya tambahan. Saat ini di kampung Melayu hanya tersisa bebebrapa
bangunan asli dalam arsitektur Banjar. Selebihnya rumah tinggal berarsitektur
”gado-gado” yaitu rumah lama yang diperbaharui atau rumah lama yang telah
dirombak sama sekali benjadi bentuk yang baru, yang dipengaruhi oleh
unsur-unsur indis.
V.Terbentuknya Kawasan Pecinan
Terbentuknya kawasan Pecinan tidak
terlepas dari sejarah kedatangan orang-orang Cina di Semarang. Tidak diketahui
secara pasti kapan orang-orang Cina datang ke Semarang. Walaupun demikian
beberapa ahli sejarah seperti Lombard
(1996) dan Reid (1999) menyebutkan bahwa
sekitar tahun 1416 sudah terjalin hubungan dagang dan kemaritiman yang cukup
aktif antara Cina dan Jawa, yang dalam hal ini adalah kerajaan Majapahit.
Menurut Yoe (1933) pada sekitar tahun
1412 sudah ada komunitas Cina yang
bermukim di daerah Gedong Batu atau Simongan dan di tepi sungai Semarang.
Daerah Gedong Batu menjadi pilihan sebagai tempat bermukin komunitas Cina
karena daerah tersebut merupakan daerah yang paling baik dan sangat strategis.
Daerah Simongan ini berupa teluk yang
terletak di antara muara kali Semarang dan Bandar Semarang. Letaknya yang
strategis ini menjadi kunci utama dari bandar Semarang. Berdasarkan konsep
kosmologi yang menjadi dasar pengaturan tata ruang untuk permukiman masyarakat
yang disebut feng shui atau hong shui, Simongan sangat ideal sebagai
permukiman karena dilatarbelakangi oleh gunung atau bukit dan menghadap kearah
sungai atau laut (Skinner, 1982 : 22). Daerah
yang terletak di tengah kota Semarang waktu itu belum memadai untuk
tempat hunian karena masih berupa rawa dan tegalan yang tidak sehat untuk
dihuni (Budiman. 1978: 11)
Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia
pada abad ke-16 telah merubah kehidupan orang-orang Cina yang telah membentuk
komunitas di Gedung Batu. Pada
tahun 1740 di Batavia telah terjadi pemberontakan orang Cina melawan Belanda. Pemberontakan ini dipimpin oleh Souw Pan Jiang atau sering disebut Souw Panjang.
Pada pemberontakan ini banyak orang Cina terbunuh dan yang sebagian lagi
melarikan diri ke arah timur melalui pantai utara Jawa sambil terus melakukan
perlawanan terhadap pererintah Belanda. Setelah tiba di Semarang Souw Pan Jiang
menghimpun orang-orang Cina untuk
melakukan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Karena terdesak, pemerintah
Belanda meminta bantuan pasukan dari Batavia untuk menumpas pemberontakan tersebut.
Setelah pemberontakan padam, orang-orang Cina banyak yang melarikan diri ke Kartasura untuk bergabung dengan pasukan
Trunojoyo melawan Belanda. Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah Belanda
membuat kebijakan untuk memindahkan permukiman
komunitas Cina dari Gedongbatu ke arah utara yang berdekatan dengan pos militer
Belanda, di sisi timur sungai Semarang. Pemindahan pemukiman komunitas Cina ini
dengan maksud untuk memudahkan pemerintah Belanda melakukan pengawasan
terhadap komunitas Cina di Semarang. Walaupun Belanda telah melakukan pengawasan ketat terhadap Pecinan,
namun masih ada kecurigaan terhadap kemungkinan orang-orang Cina akan
memberontak lagi. Agar peristiwa pemberontakan masyarakat Cina pada tahun 1740
tidak terulang lagi, Belanda kemudian membakar Pecinan dan menangkap beberapa
orang pemimpin masyarakat Cina yang dicuriagai akan memberontak. Belanda
kemudian merubah aliran sungai Semarang 200 meter ke timur dan memindahkan permukiman Cina ke tanah kosong
yang terletak di sebelah barat sungai Semarang (Pratiwo, 2010 :33). Permukiman
terakhir inilah yang kita kenal sebagai Pecinan saat ini.
Untuk
mengurus kepentingan masyarakat Cina terutama yang terkait dengan
kepentingan ekonomi atau perdagangan
dengan pemerintah Belanda, diangkatlah seorang kapiten/ kapten. Selain jabatan
kapten ada jabatan lain yaitu mayor (lebih tinggi dari kapten) dan letnan
(lebih rendah dari kapten). Kapten pertama yang diangkat dari lingkungan
mayarakat Cina adalah Kwee Kiauw yang diangkat pada tahun 1672. Jabatan-jabatan
ini merupakan prestise bagi masyarakat Cina karena mereka sangat dihormati dan
dihargai. Oleh karena itu
pada masa-masa kemudian jabatan ini sering diwariskan kepada generasi-generasi
berikutnya.
Pada awal pembentukannya kawasan Pecinan
merupakan suatu bagian wilayah kota yang terletak di tengah kota Semarang.
Bagian kawasan Pecinan sebelah utara,
timur dan selatan dilingkari kali
Semarang. Bagian kawasan sebelah barat merupakan tanah kosong. Hunian sederhana
yang terbuat dari kayu dan bambu, yang pada waktu itu belum banyak jumlahnya
terdapat pada batas-batas kawasan saja, yaitu di Pecinan Lor (Utara), Pecinan
Kidul (selatan) dan Pecinan Kulon (barat). Dengan demikian maka pada
kawasan Pecinan bagian tengah terdapat
tanah kosong yang cukup luas (Widodo, 1988 :1)
Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama,
kawasan Pecinan sudah memperlihatkan perannya dalam bidang ekonomi. Hal ini
ditandai dengan perkembangan kawasan yang sangat cepat, seperti Pecinan Lor
tumbuh paling awal sebagai
daerah ekonomi yang ramai. Hal
ini disebabkan daerah Pecinan Lor merupakan daerah penghubung antara
bagian kawasan Pecinan lainnya dengan
pasar Padamaran dan bagian wilayah kota lainnya. Pecinan Lor yang oleh
masyarakat Cina juga disebut A-long-kee,
kemudian namanya lebih dikenal masyarakat sekitarnya sebagai Gang Warung, sebab
di sekitarnya banyak terdapat warung.
Daerah Pecinan Kidul lebih dikenal sebagai Sebandaran, karena dahulu di sekitar
tempat tersebut merupakan bandar (pelabuhan). Ada pula yang menafsirkan kata
”bandar” sebagai bandar judi. Daerah Pecinan Wetan yang juga sering disebut Tang-kee
sekarang lebih dikenal dengan Gang Pinggir, karena letaknya di pinggir kawasan.
Pecinan Kulon yang juga dikenal sebagai Sin-kee
telah berubah menjadi Gang Baru karena merupakan perkampungan baru. Pecinan
Tengah , yang dulu pernah disebut Kak-pan-kee
sekarang lebih populer disebut Gang
Tengah, karena letaknya di tengah kawasan Pecinan. Daerah di belakang Pecinan
Tengah sekarang juga dikenal
sebagai Gang Besen, karena di sana banyak usaha besi. Nama jalan dan nama tempat waktu itu memakai nama
Cina. Hal ini merupakan salah satu identitas kawasan komunitas Cina. Nama-nama
ini kemudian berubah dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang terus
berkembang dan berinteraksi dengan
suku-suku bangsa lain. Daerah Tjap
Kauw King merupakan salah satu daerah yang
menjadi identitas awal, yang
sangat melekat pada kawasan Pecinan. Nama jalan tersebut
berdasarkan jumlah rumah yang ada, yaitu
19 rumah (cap adalah sepuluh, dan kauw adalah sembilan).
Sekarang jalan ini dikenal sebagai
Jl.Wotgandul. Daerah Pecinan Kulon dikenal sebagai Beteng karena di sana
terdapat benteng. Benteng ini dibangun setelah terjadi pemberontakan masyarakat
Cina di Semarang atas prakarsa kapten Cina Kwee An Say dengan tujuan untuk
melindungi masyarakat Cina dari serangan pemerintah Hindia Belanda . Gang
Mangkok sebelumnya bernama Oa-kee (Oa
artinya mangkok). Say-kee berubah
menjadi Gang Belakang karena letaknya di belakang kawasan Pecinan. Hoay-kee
sekarang berubah menjadi Gang Cilik karena struktur ukuran jalannya
paling kecil dibandingkan jalan-jalan yang ada di kawasan Pecinan. Kang-kee sekarang lebih dikenal dengan Gang Lombok
karena dulu di daerah ini banyak tanaman
lombok. Pada akhir abad ke-17 rumah-rumah bagus berarsitektur Cina, yang
terbuat dari tembok mulai dibangun di Gang Warung dan Gang Pinggir. Selanjutnya
untuk menunjang aktivitas masyarakat Cina
dalam kegiatan religi dan ritual
telah dibangun klenteng-kelenteng yang sangat indah, yang menjadi ciri dan
identitas serta citra kawasan Pecinan.
Sebagai salah satu kota besar
di pantai utara Jawa, sejak tahun 1695 jumlah penduduk Cina di Semarang merupakan jumlah terbesar di Jawa (Lombard,
1996 : 244-245). Sebagai salah satu kota dengan penduduk Cina terbanyak di
Jawa, tidak mengherankan bila kawasan Pecinan Semarang sebagai komplek permukiman
masyarakat Cina memiliki 8 kelenteng.
Kelenteng-kelenteng yang ada di Pecinan terdiri bari kelenteng besar dan kecil,
yang kesemuanya terletak pada lokasi “tusuk sate”
Dinamika
kawasan Pecinan dewasa ini terlihat pada aktivitas bisnis yang sangat kuat
serta aktivitas religi yang mulai menggeliat setelah dicabutnya Instruksi
Presian No. 26/1967 melalui Keputusan Presiden No.6/ 2000. Budaya
Cina mulai bangkit dan menunjukkan jatidirinya kembali. Hal ini memberi warna
baru pada kawasan Pecinan, yang cukup lama tidak menampilkan upacara tradisi
dan perayaan-perayaan yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
VI. Kesimpulan
Semarang sebagai kota multi etnis memiliki sejarah
panjang. Sebelum kedatangan pemerintah kolonial Belanda etnis-etnis dari
berbagai wilayah telah hadir di Semarang dan dapat berbaur serta menyatu secara
harmonis dengan masyarakat setempat. Kelompok-kelompok etnis membentuk permukiman-permukiman
yang unik, yang kesemuanya memiliki peran dalam dinamika perkotaan.
Kampung
Kauman sebagai kampung tradisional yang bercorak Islam masih terlihat sisa-sisa
“kecantikannya” melalui struktur kawasan dan beberapa bangunan asli berupa
rumah kayu dan bangunan masjid Kauman yang legendaris. Perubahaan yang mendasar
terjadi pada pengalihan kegiatan “dugder” ke lokasi sekitar Masjid Agung
Semarang.
Kampung
Melayu yang merupakan salah satu kampung tua di Semarang masih memperlihatkan
sisa-sisa kejayaannya sebagai kampung yang sangat beragam penduduknya. Kampung Melayu dengan
kekayaan potensi kulturalnya, keragaman etnisitas serta aritektural
artefak-artefak merupakan bagian yang sangat berperan penting dalam
perkembangan kota Semarang.
Kawasan Pecinan yang
memiliki sejarah panjang merupakan salah satu kawasan yang dapat menjadi identitas kota Semarang.
Aktivitas budaya, ekonomi, sosial dan kepercayaan dapat menjadi aset bagi
pemerintah kota.
Dalam upaya melestarikan potensi warisan budaya serta
kearifan lokal di kampung Kauman, kampung Melayu dan Pecinan perlu diperhatikan
aspek-aspek yang mengacu pada kesinambungan antara masa lalu, masa sekarang dan
masa depan. Peninggalan-peninggalan sejarah berupa arsitektur bangunan,
landmark ataupun rumah tradisional di kampung kampung tersebut dengan keunikan
dan ciri khusus merupakan kekayaan dalam variasi khasanah arsitektur
tradisional di Indonesia, yang dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Selain itu memberikan peluang terhadap disiplin ilmu
lain untuk kajian lebih lanjut sehingga berguna bagi kepentingan konservasi.
Seyogyanya, konsep pelestarian kampung Kauman, kampung Melayu dan Pecinan hendaknya tidak didasarkan atas nilai keindahan
dan keagungan semata,akan tetapi perlu dipertimbangkan nilai guna dan ekonomisnya.
Potensi dari keragaman budaya dari
masing-masing etnis dan peninggalan-peninggalan sejarah berupa arsitektur
bangunan dapat dikembangkan sebagai potensi wisata. Peran serta masyarakat merupakan
hal terpenting dalam upaya pelestarian nilai kearifan lokal kampung Kauman,kampung
Melayu dan Pecinan. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan partisipasi
aktif, menumbuhkan kesadaran dan melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat
setempat, serta melibatkan peran serta baik pemerintah maupun swasta untuk ikut
berpartisipasi dalam usaha mempertahankan,melestarikan dan mengembangkan
segenap potensi kultural di kampung Kauman, kampung Melayu dan Pecinan Semarang.
Daftar Pustaka
Budiman,Amen. 1978. Semarang Riwajatmoe Doeloe. Semarang : Penerbit
Tanjung Sari.
______________ 1979. Semarang Juwita : Semarang Tempoe Doeloe.
Semarang : Penerbit Tanjung Sari.
______________
Budiman,Amen. 1978. Semarang Riwajatmoe Doeloe.
Semarang : Penerbit Tanjung Sari
Brommer,
B. dkk. 1995. Semarang Beeld van een stad. Nederland
: Asia Maior.
Dawson, Raymond. 1992. Kong Hu Cu. Penata Budaya Karajaan Langit
. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Dian, 1996. Logika
Feng Shui. Seni Mencapai Hidup Harmonis & Bahagia Dalam Keberuntungan Bumi
(Buku Satu). Jakarta : Penerbit PT
Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
_____, 1996. Logika
Feng Shui . Konsep Dan Metode Untuk Rumah Tinggal Yang
Membawa Keberuntungan
Hidup (Buku Kedua).
Jakarta : Penerbit PT Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia.
Gan Kok Hwie Dan Kwa Tong
Hai (Penyusun).2005. 600 Tahun Pelayaran MuhibahZheng He
(262 Tahun Tay Kak Sie). Semarang : Yayasan Tay Kak Sie
Gondomono. 1996. Membanting Tulang Menyembah Arwah :
Kehidupan kekotaan Masyarakat Cina. Jakarta
(Depok) : Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Hartono, Chris. 1974. Ke-Tionghoaan dan Kekristenan. Jakarta :
Penerbit BPK Gunung Mulia
Hidayat, Z.M.1993. Masyarakat dan Kebudayaan
Cina di Indonesia.
Bandung : Penerbit Tarsito
Koentjaraningrat, 2002. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta
: Penerbit : Djambatan
Kong Yuanzhi, 2000. Muslim
Tionghoa Cheng Ho. Misteri Perjalanan Muhibab di Nusantara. Penyunting : Hembing Wijayakusuma.Jakarta
: Pusaka Populer Obor.
Liem Thian Joe. 1933. Riwayat Semarang. Semarang-Batavia.
Semarang : Penerbit Ho Kim Yoe
_____________. Tanpa Tahun. Riwajat Semarang ( Dari Djamannja Sam
Poo Sampe Terhapoesnja Kongkoan ) . Semarang- Batavia : Boekhandel Ho Kim
Yoe.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa : Silang Budaya. Kajian
Sejaarah Terpadu. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama
Lynch, Kevin. 1975. The Image of
The City. Cambridge : MIT Press
Naveront, Jhon K.1997. Jaringan
Masyarakat Cina. Jakarta : PT
Golden terayon Press.
Nio Joe Lan. 1961. Peradaban
Tionghoa Selajang Pandang. Djakarta : Penerbit Kong Po
.__________. 1977. Program Penentuan Hari Jadi Kota Semarang.
Semarang : Badan Perencanaan Pembangunan Kotamadya Dati II Semarang.
__________. 1979. Rencana
Kota Semarang. Rencana Dan Program Buku 3. Semarang : Badan Perencanaan
Pembangunan Kotamadya Dati II Semarang.
Pratiwo.2010.Arsitektur
Tradicional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Skinner, Stephen.. 2003. Feng
Shui. Ilmu Tata letak Tanah Dan Kehidupan Cina Kuno. Semarang
: Dahara Prize.
Tan, Mely G.1981. Golongan
Etnis Tionghoa di Indonesia. Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa . Jakarta
: PT Gramedia.
Tio, Jongkie. Tanpa Tahun. Kota Semarang Dalam Kenangan. Tanpa
Penerbit.
Tjahjono, Gunawan
(Penyusun).Terjemahan Damiano Q.
Roosmin. 2002. Indonesian Haritage : Arsitektur .
Jakarta : Buku Antar Bangsa
Tu Wei-Ming. 2005.Etika Konfusianisme. Terjemahan Zubair. Jakarta : Penerbit Teraju PT Mizan
Publika.
Van den Berg , H.J. et.al
.1952. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah
Dunia I. Djakarta : Groningen
Widodo, Johannes. 1988. Chinese
Settlement in Changing City. Thesis
Master of Architectural Engineering. Belgium
: Katholieke Universiteit Leuven .
Wijanarka,200.Semarang Tempo
Dulu:Teori Desain Kawasan Bersejarah. Yogyakarta :
Penerbit Ombak
Willmott, Donald Earl. 1960. The Chinese of Semarang : A Changing Minority of
Community in Indonesia . New York : Cornell
Univesity Press Ithaca .
Zein, Abdul Baqir.2000. Etnis Cina Dalam Potret Pembauran di
Indonesia. Jakarta : Prestasi Insan Indonesia
No comments:
Post a Comment