Saturday, October 5, 2013

semua tentang jogja


HASIL LAPORAN STUDI LAPANGAN
 DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA



TUGAS MAHASISWA


Ditujukan dalam rangka penyelesaian tugas
untuk mata kuliah Religi dan Etika Jawa




Nama             : Sae Panggalih
NIM               : 3401411122
Prodi              : Pendidikan Sosiologi dan Antropologi
Jurusan          : Sosiologi dan Antropologi





PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
 FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013




KATA PENGANTAR

  Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi anugerah yang tak ternilai harganya berupa kesehatan dan kekuatan, Sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini tepat pada waktunya. Karya tulis ini penulis ajukan sebagai hasil kreativitas Mahasiswa dalam pembuatan karya ilmiah untuk mata kuliah Religi dan Etika Jawa berdasarkan objek yang diamati selama berada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Didalam penulisan karya tulis, penulis telah banyak mendapatkan bantuan, bimbingan dan pengarahan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Nugroho Trisnu Brata selaku Dosen Mata Kuliah Religi dan Etika Jawa .
2.      Ibu Rini Iswari selaku Dosen Mata Kuliah Religi dan Etika Jawa.
3.      Rekan-rekan mahasiswa mata kuliah Religi dan Etika Jawa yang telah memberikan dukungannya dalam penyelesaian laporan perjalanan ini
  Laporan Perjalanan ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Wilayah Kraton Yogyakarta dan tempat-tempat bersejarah di sekitarnya yang Saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber dan melihat secara langsung ke tempat tujuan.
  Akhirnya penulis berharap semoga Laporan perjalanan ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan dapat pula dimanfaatkan sebagai bahan referensi yang dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan .
      

Semarang , 28 Mei 2013



                                                                                                             Penulis




BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Perkembangan zaman lambat laun telah menggerus kebudayaan daerah yang kita miliki. Bukan hanya masyarakat yang tinggal diperkotaan saja, namun hampir semua masyarakat dari seluruh lapisan semakin lupa atau bahkan tidak mengenal akan keberadaan kebudayaan daerah mereka sendiri. Hal itu sedikit banyak disebabkan oleh pengaruh budaya asing terutama budaya barat, yang salah satunya masuk melalui perkembangan teknologi. Namun kita tidak perlu berkecil hati, karena setidaknya kita masih memiliki Kota Yogyakarta, yang mampu menjaga budaya-budaya leluhur dengan keaslian bangunannya yang kental dengan nuansa jawa.
Salah satu bangunan yang terkenal diantaranya Kraton Yogyakarta yang memiliki berbagai macam benda hasil kebudayaan yang dapat kita lihat dengan cara mengelilingi dan melihat-lihat kraton Yogyakarta beserta bangunan-bangunan peninggalan zaman dahulu, yang sampai saat ini tetap berdiri kokoh. Kraton Yogyakarta, seakan identik dengan unsur kebudayaan Jawa, bahkan bisa di bilang merupakan pusat dari kebudayaan di Jawa. Kraton Yogyakarta dengan segala kekhasan budaya Jawa nya, memiliki arti simbolik di setiap bangunannya. Kraton Yogyakarta yang telah berganti pemimpinnya mulai dari Sri Sultan Hambengkubuwono I sampai X, memiliki sejarah yang cukup panjang yang perlu kita ketahui dan pelajari. Hal ini dikarenakan tidak sedikit dari kita yang tidak atau kurang memahami dan mengetahui apa sajakah bentuk kebudayaan yang ada di kraton Yogyakarta, bahkan sebagian orang beranggapan bahwa kraton tidak lebih dari sekedar tempat tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono.
Selain memiliki bangunan kraton yang terkenal akan kekayaan tradisi budaya jawanya dan bentuk arsitekturnya yang unik hingga ke luar negeri, ternyata kawasan kraton Yogyakarta masih memiliki destinasi wisata lain yang masih berkaitan erat dengan keberadaan kraton, Beberapa diantaranya adalah Situs Cagar Budaya Panggung Krapyak dan makam para raja-raja Mataram di kawasan Imogiri, Kedua kawasan ini dikatakan memiliki kaitan erat dengan kehidupan Keluarga besar Kraton Yogyakarta Hadiningrat
Pertama , Kawasan panggung Krapyak selalu dikaitkan dengan kehidupan para Raja dikarenakan di masa lalu para Raja Mataram dan Prajuritnya selalu memanfaatkan tempat berbentuk seperti benteng pertahanan ini untuk berburu hewan dan bisa pula dimanfaatkan sebagai panggonan rerembugan atau tempat untuk bertukar pikiran antara Raja dengan rakyat yang dipimpimnya tentang pelaksanaan suatu kebijakan Kraton yang menyangkut kehidupan rakyat Yogya masa itu. Sedangkan untuk makam Imogiri sendiri, dianggap memiliki kaitan dengan kraton Yogya dikarenakan kawasan pemakaman ini merupakan tempat persemayaman terakhir bagi keluarga besar raja-raja Mataram yang telah wafat
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka laporan perjalanan ini disusun dengan harapan agar kita dapat mengetahui tentang aspek kebudayaan yang terdapat di situs-situs budaya milik kraton Yogyakarta, karena sebagai orang Jawa kita harus mampu memperdalam wawasan kebudayaan Jawa sekaligus merawatnya hingga dapat memperkaya kebudayaan daerah bahkan kebudayaan nasional. Serta dengan memahami dan mempelajari kebudayaan yang masih ada di kraton Yogyakarta, kita dapat menilai dan mengambil sisi baiknya untuk kemudian dipraktekan dalam kehidupan bermasyarakat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Objek menarik apa sajakah Penulis temui selama perjalanan dari Semarang ke Yogyakarta ?
2.      Bagaimanakah sejarah dari pendirian Kraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan makam Imogiri ?
3.      Apa sajakah objek dan informasi menarik yang dapat Penulis temui di kawasan sekitar Kraton Yogyakarta , Panggung Krapyak , dan makam Imogiri ?

C.     Tujuan Laporan
Laporan perjalanan ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum laporan ini adalah sebagai syarat untuk menyelesaikan tugas MID semester untuk mata kuliah Religi dan Etika Jawa . Sedangkan tujuan khususnya ialah :
1.       Memperdalam wawasan tentang sejarah dan kekayaan budaya tradisi yang ada di kawasan kraton Yogyakarta, Panggung Krapyak,dan Makam Imogiri .
2.      Dapat menyebutkan dan menjelaskan wujud-wujud budaya yang terdapat dalam di kawasan kraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan Makam Imogiri.
3.      Dapat mendeskripsikan tentang makna wujud budaya yang ada dalam kawasan kraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan makam Imogiri.

D.     Manfaat Penulisan Laporan

Hasil dari penulisan laporan ini diharapkan dapat memberi manfaat yang secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1.       Manfaat Teoritik
a)      Tercapainya tujuan penulisan laporan perjalanan diatas, akan dapat memberikan penjelasan tambahan kepada penulis mengenai situs-situs yang masih berkaitan dengan Kraton Yogyakarta.
b)      Secara umum, penulisan laporan perjalanan ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan wawasan kita. Sedangkan, Secara khusus diharapkan dapat menambah wawasan kita dalam bidang wujud kebudayaan Jawa yang ada di daerah Yogyakarta, selain itu diharapkan laporan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan tambahan tentang khasanah kebudayaan Jawa yang terdapat di situs-situs peninggalan milik kraton Yogyakarta, khususnya bagi pembaca.
2.      Manfaat Praktis
a)      Bagi Penulis
Penulisan makalah ini dapat dimanfaatkan oleh penulis sebagai bentuk penerapan dari mata kuliah Religi dan Etika Jawa yang telah di peroleh diperkuliahan, serta dapat pula memberikan penambahan pemahaman tentang budaya Jawa yang ada di Yogyakarta .
b)      Bagi Mahasiswa
Hasil penyusunan makalah ini semoga memberikan tambahan pemahaman dan masukan mengenai kebudayaan Jawa .
BAB II
METODOLOGI PENULISAN LAPORAN

A.     Waktu dan tempat Penelitian
Yogyakarta , 4 Mei 2013 ( Objek Penelitian yang dikunjungi adalah : kawasan Kraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan Makam Imogiri ) .

B.     Sumber Data
Laporan perjalanan ini ditulis berdasarkan sumber-sumber yang terdiri atas :
a.       Nara sumber dari Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan Makam Imogiri
b.      Benda-benda peninggalan yang ada di Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan Makam Imogiri .
c.       Selain itu penulis juga memperoleh data-data dari berbagai referensi yang berupa buku panduan pariwisata Kraton Yogya dan sumber internet yang sesuai dengan materi yang berhubungan dengan Keraton Yogyakarta, Makam Imogiri, dan Panggung Krapyak .

C.     Cara Pengumpulan Data 
a.       Wawancara
Wawancara yaitu meminta keterangan atau pendapat, keyakinan, motivasi nara sumber tentang materi atau tema yang dibutuhkan. Dalam hal ini, Saya bertanya langsung kepada nara sumber yakni pemandu atau guide yang telah disediakan oleh Pihak Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan Makam Imogiri .
b.      Observasi 
Yaitu mengumpulkan data dengan cara mengamati langsung objek yang dilaporkan. Dalam hal ini, Saya mengunjungi Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan Makam Imogiri dengan mengamati benda-benda yang terdapat di sana dan mencatat hal-hal yang penting .
c.       Tinjauan Pustaka ( informasi yang diperoleh Penulis dari Buku dan Internet )


BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
I.        Objek menarik yang dijumpai selama perjalanan Dari Semarang ke Yogyakarta
Selama memulai perjalanan studi lapangan dari Semarang ke Yogyakarta. Saya pribadi melihat banyak objek menarik yang berada di sepanjang perjalanan, terutama di kawasan Kabupaten Semarang tepatnya di Kota Ungaran dan Kawasan menuju kraton jogja yang dipenuhi dengan bangunan peninggalan Belanda yang terkenal dengan arsitektur Gaya Eropanya yang sangat menawan dan terlihat kokoh dari kejauhan jalan , dan beberapa bangunan Eropa yang Saya jumpai diantaranya :
a)      Situs bersejarah Benteng Willem II ( Benteng Oenarang )
Menurut keterangan dari tour guide yang memandu di bis Saya, Benteng Willem dua adalah sebuah benteng peninggalan Belanda yang didirikan di Ungaran pada tahun 1746 atau tepatnya pada masa kolonialisme Belanda .
Benteng yang menjadi ikon kota Serasi ini terletak di tengah-tengah jantung pemerintahan kota Ungaran, tepatnya berada di depan kantor DPRD Kota Ungaran. Menurut penuturan tour guide, Benteng ini terkenal di kota Ungaran dikarenakan di masa lalu, salah satu ruangan penjara di benteng ini sempat digunakan oleh Pihak kolonial untuk memenjarakan Pangeran Diponegoro sebelum Ia diasingkan ke Makassar.
Sedangkan menurut website resmi Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang , Benteng Oenarang didirikan untuk memperingati pertemuan bersejarah antara Pakubuwono II dengan Gubernur Jenderal Van Imhoof pada 11 Mei 1746 di Kota Ungaran pada waktu itu. Tetapi sesuai dengan perkembangan zaman, fungsi utama dari benteng ini selalu mengalami perubahan.
o       Pertama, pada tahun 1849 , kawasan benteng Oenarang yang saat itu telah dikuasai Inggris pernah juga dimanfaatkan untuk rumah istirahat untuk proses penyembuhan pasien ( bentuk dan struktur benteng tetap dipertahankan karena fungsinya hanya sebagai rumah pemulihan dan bukan sebagai Rumah Sakit Umum milik Pemerintah Inggris )
o       Kedua, pada masa kemerdekaan di era tahun 1960-an , Benteng ini juga pernah dimanfaatkan oleh pihak POLRI sebagai asrama anggota Polisi yang bertugas di waktu itu.
o       Ketiga, pada tahun 1990-an, ketika asarama polisi dipindahkan ke kawasan Kota Semarang, bekas asrama yang dihuni sempat dijadikan hunian pribadi bagi 16 keluarga pensiunan polisi maupun masyarakat umum yang memiliki ketertarikan untuk tinggal di kawasan benteng itu.
o       Keempat, pada tahun 2007, Dinas Pariwisata dan POLRI meminta kepada seluruh kelurga yang menghuni benteng Oenarang untuk pindah dari lokasi tersebut dikarenakan bangunan cagar budaya berupa benteng bersejarah ini akan direnovasi menjadi Museum Diponegoro yang pada akhirnya resmi menjadi museum POLRI atau Diponegoro pada tahun 2010 .


 

b)      Bangunan berasitektur Belanda milik SMPN 1 Ungaran
Menurut penjelasan dari website resmi SMP Negeri 1 Ungaran , Gedung SMP yang ditempati di masa kini merupakan bangunan peninggalan Belanda yang dibangun oleh pihak kolonial pada tahun 1912. Pada masa awal pemanfaatannya, Bangunan tersebut semula merupakan Kantor Polisi Kehutanan Belanda sampai dengan masa pendudukan Jepang. Tetapi Beberapa tahun setelah gedung difungsikan, gedung tersebut juga dipergunakan sebagai Sekolah Guru di jaman Belanda yang bertahan hingga tahun 1952.
Kemudian, Pada tahun 1952 sampai dengan tahun 1958, Gedung ini juga pernah difungsikan untuk Sekolah Guru Bawah (SGB) berasrama. Setelah SGB ditutup pada 1958, selanjutnya SMP Negeri 1 Ungaran didirikan dengan menempati gedung tersebut dan Pada tahun 1960, sebagian ruang atau gedung yang ada ditempati juga oleh Sekolah Farming selama 17 tahun, dan pada tahun 1977, Sekolah Farming pindah menempati lokasi baru di kawasan Suwakul Ungaran. Setelah Sekolah Farming pindah lokasi, barulah SMP Negeri 1 Ungaran dapat melakukan pengembangan sekolah secara lebih leluasa dengan menambah ruang baru atau mengoptimalkan fungsi ruang-ruang yang ada hingga masa sekarang .

Foto SMPN 1 Ungaran pada tahun 1930
( Sumber : www.sastrorejan.wordpress.com)

c)      Asrama Militer Belanda
Menurut penuturan yang diungkapkan oleh tetangga Saya yang bernama Bapak Iryanto selaku anggota TNI yang pernah bertugas di gedung bekas Asrama tersebut, mengatakan bahwa gedung asrama militer yang berada di depan SMPN 1 Ungaran tersebut dibangun pada tahun 1910 sebagai asrama militer tentara Belanda yang halaman depan bentengnya kerap dimanfaatkan untuk latihan militer dan berkuda tentara Belanda di era kolonial .
Kemudian pada tahun 1975, lokasi bekas asrama ini dimanfaatkan oleh Kodam Diponegoro sebagai kantor resmi TNI Angkatan Darat . Tetapi pada tahun 2009 hingga kini, gedung tersebut terlihat kosong dan terbengkalai dikarenakan pihak TNI Angkatan Darat telah memiliki kantor yang baru yang lebih baik kondisinya.

 
Gambar Gedung Asrama Militer Belanda
( Dokumentasi Pribadi Penulis )

d)      Benteng Willem I Ambarawa
Menurut website Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang, Benteng Willem I didirikan Pada masa kekuasaan Kolonel Hoorn di tahun 1827-1830 sebagai lokasi penyimpanan logistik militer, tetapi pada tahun 1834, dibangunlah sebuah benteng modern baru di dekat bangunan benteng logistik lama yang pembangunannya berakhir pada tahun 1845 dan dimanfaatkan untuk barak  militer pasukan KNIL yang terhubung ke Magelang atau Jogja dan Semarang via kereta api.





Gambar Benteng Williem II di era kini dan kolonial
(Sumber : www.hamidanwar.blogspot.com)

e)      Pemukiman warga berarsitektur Belanda di Yogyakarta
Setelah melihat keindahan dan keunikan dari arsitektur bergaya Belanda di wilayah Kabupaten Semarang , Penulis kembali dibuat kagum dengan keindahan arsitektur bangunan bergaya Belanda ketika bis yang membawa rombongan studi lapangan mulai memasuki kawasan Tugu Pal Putih dan Kraton. Disekitar kedua wilayah ini, berjejer pemukiman-pemukiman warga , kantor Instansi Pemerintah bahkan sampai ke bangunan sekolah yang masih mempertahankan gaya Belanda tempo dulu. Dan menurut Saya pribadi, arsitektur bangunan Indis yang berada di kedua wilayah ini dapat dibagi menjadi ke dalam tiga tipe, yaitu :  
o Tipe bangunan bergaya Art Deco

  
 
( Dokumentasi pribadi penulis )

o Tipe bangunan bergaya Belanda asli



 
( Dokumentasi pribadi penulis )

o Tipe bangunan bergaya Indisch ( Campuran Gaya Jawa dan Belanda )


  
 
( Dokumentasi pribadi penulis )

f)        Tugu Pal Putih
Menurut keterangan dari tour guide yang memandu di bis Saya, Tugu Pal Putih merupakan salah satu bangunan peninggalan dari Sultan Hamengku Buwono I yang dibangun untuk memperingati rasa kebersamaan antara Pangeran Mangkubumi dengan rakyat Jogja dalam mempertahankan tanah Mataram dari dari kekuasaan Belanda . Pada awal mula berdirinya, ketinggian tugu ini adalah 25 meter tetapi dikarenakan Tugu Yogyakarta ini pernah runtuh akibat gempa pada tanggal 10 Juni 1867 , sepertiga bangunan tugu rusak dan terpaksa perlu dilakukan perombakan oleh pihak Belanda pada tahun 1889 sehingga mengalami perubahan bentuk seperti sekarang ini dan tingginya berubah menjadi hanya 15 meter.
Hal yang unik dari perombakan tugu Pal putih adalah ketika pihak Belanda memiliki tujuan agar setelah dirombak, makna semula dari pendirian tugu Golog Gilig itu dilupakan oleh masyarakat dan tidak lagi menjadi simbol atau monumen kemenangan antara rakyat dengan raja dalam mengalahkan Belanda. Setelah peresmian tugu yang baru, pihak Belanda memiliki kepercayaan bahwa wilayah Jogja dapat kembali mereka kuasai dikarenakan simbol kemenangan rakyat Jogja dalam menaklukkan Belanda sudah runtuh yang diartikan oleh Pihak Belanda sebagai tanda penyerahan diri rakyat Yogya kepada Pemerintahan kolonial.




              Gambar yang menunjukkan bentuk tugu Pal Putih
              di era sebelum dan sesudah dirombak Belanda

II.     Sejarah Pendirian  Situs-situs bersejarah di Yogya yang dikunjungi Penulis
Setelah menyaksikan keindahan objek-objek menarik di sepanjang perjalanan dari Semarang ke Yogyakarta, Akhirnya penulis beserta rombongan tiba di Yogya dan memulai kegiatan studi lapangan yang diawali dari kunjungan ke lokasi pertama yaitu di Kraton Yogyakarta , lokasi kedua di Panggung Krapyak, dan lokasi ketiga di Makam Imogiri. Dari ketiga lokasi yang diobservasi ini, penulis bisa mendapat banyak pengetahuan baru yang bermanfaat, terutama yang berkaitan dengan sejarah pendirian ketiga situs bersejarah tersebut yang penjelasannya akan diuraikan dibawah ini dan sesuai dengan urutan kunjungannya :
A)    Kraton Yogyakarta   
Menurut penjelasan yang didapatkan penulis dari tour guide kraton dan buku panduan wisata Kraton Yogya, Pendirian Kraton Yogjakarta (Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat) yang ada sekarang tidak dapat lepas dari sejarah berdirinya Kerajaan Mataram. Menurut keterangan tour guide, Kraton Kasultanan Yogyakarta berdiri pada tanggal 13 Februari 1755 atau pada tahun Jawa 1682 ( tahun pendirian kraton dapat dilihat dari sengkalan yang tertulis di Pendopo utama Kraton) oleh Pangeran Mangkubumi Sukowati yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ing Ngayogyakarta Hadingrat Ingkang Jumeneng Kaping Sepisan.
Berdirinya Kraton Kasultanan Yogyakarta ini bertepatan dengan terlaksananya Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari, yang isi perjanjiannya adalah Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Sri Sultan Hamengku Buwana I dan mendirikan Kraton Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Raden Mas Said yang diizinkan memakai gelar Sri Susuhunan Paku Buwana
Sedangkan keterangan dari buku panduan wisata kraton menyebutkan bahwa Kasultanan Yogyakarta secara de jure telah ada sejak tahun 1755, namun keberadaan Ibu Kotanya yaitu Yogyakarta baru ada pada tanggal 7 Oktober 1756 (berdasarkan sengkalan memet Dwi Naga Rasa Tunggal) yang sekaligus menjadi hari jadi Kota Yogyakarta. Hal ini merupakan pertanda mulai ditempatinya Kraton Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang mana sebelumnya beliau memerintah dari Pesanggrahan Ambar ketawang Gamping, Sleman pada saat Kraton Yogyakarta dibangun. Pada mulanya, lokasi Kraton sekarang ini merupakan daerah rawa yang bernama Umbul Pacethokan, yang kemudian diubah fungsinya menjadi sebuah pesanggrahan Ayodya yang desain arsitekturnya dibuat sendiri oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I sewaktu masih muda
Menurut tour guide, Kraton Yogyakarta mengalami masa kejayaannya pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, hal itu disebabkan karena pada masa pemerintahan beliau, bidang ekonomi berjalan maju dan menjadi modern, di masa beliau pula, dilakukan perombakan besar-besaran pada Kraton Yogyakarta. Sedangkan pada masa pemerintahan Raja-raja yang lainnya tidak terlalu banyak melakukan perombakan.

B)     Panggung Krapyak
Dahulu kala, wilayah di sekitar kawasan Panggung Krapyak merupakan area hutan lebat yang didalamnya terdapat banyak hewan liar. Salah satu hewan liarnya yang sering dijadikan hewan buruan favorit raja adalah rusa atau kijang yang didalam bahasa Jawanya sering disebut menjangan. Lokasi ini terletak disebelah selatan Keraton Yogyakarta. Salah satu Sultan yang gemar berburu adalah Mas Jolang atau yang bergelar Prabu Hanyokrowati, raja kedua Mataram yang memanfaatkan hutan ini untuk melakukan kegemarannya berburu hingga Ia meninggal di Hutan Krapyak pada tahun 1610 yang kemudian diberi gelar Panembahan Seda Krapyak yang disemayamkan di Kota Gede.
Sultan lain yang gemar berburu di Hutan Krapyak adalah Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I), Beliau adalah orang yang mendirikan Panggung Krapyak sekitar tahun 1760 atau lebih dari 140 tahun setelah wafatnya Prabu Hanyokrowati di hutan ini. Panggung Krapyak merupakan petunjuk sejarah bahwa wilayah Krapyak pernah dijadikan sebagai area berburu oleh para Raja .
Selain digunakan untuk berburu, bangunan ini juga disinyalir pernah digunakan oleh prajurit Mataram sebagai pos pertahanan. Konon dari tempat ini gerakan musuh dari arah selatan bisa dipantau sehingga bisa memberikan peringatan kepada Keraton jika ada bahaya yang mengancam.

C)    Makam Imogiri
Menurut buku Riwayat Pasarean Imogiri Mataram, Makam Imogiri memang sejak awal telah disiapkan oleh Sultan Agung dengan penuh perjuangan dan menemui banyak rintangan. Diceritakan Sultan Agung yang sakti itu setiap Jumat sholat di Mekkah, dan akhirnya ia merasa tertarik untuk dimakamkan di Mekkah. Namun karena berbagai alasan keinginan tersebut ditolak dengan halus oleh Pejabat Agama di Mekkah, sebagai gantinya ia memperoleh segenggam pasir dari Mekkah. Sultan Agung disarankan untuk melempar pasir tersebut ke tanah Jawa, dimana pasir itu jatuh maka di tempat itulah yang akan menjadi makam Sultan Agung. Pasir tersebut jatuh di Giriloyo, tetapi di sana Pamannya, Gusti Pangeran Juminah (Sultan Cirebon) telah menunggu dan meminta untuk dimakamkan di tempat itu. Sultan Agung marah dan meminta Sultan Cirebon untuk segera meninggal, maka wafatlah ia. Selanjutnya pasir tersebut dilemparkan kembali oleh Sultan Agung dan jatuh di Pegunungan Merak yang kini menjadi makam Imogiri.
Raja-raja Mataram yang dimakamkan di tempat itu antara lain : Sultan Agung Hanyakrakusuma, Sri Ratu Batang, Amangkurat Amral, Amangkurat Mas, Paku Buwana I, Amangkurat Jawi, Paku Buwana II  sampai dengan Paku Buwana XI. Sedangkan dari Kasultanan Yogyakarta antara lain : Hamengku Buwana I sampai dengan Hamengku Buwana IX, kecuali HB II yang dimakamkan di Astana Kotagede.

III.   Objek dan Informasi Menarik yang dijumpai penulis di ketiga lokasi studi lapangan :
  • Di kawasan Kraton Yogyakarta Hadiningrat :
A)    Makna Lambang Sengkalan di Kraton Yogyakarta
Ketika berkeliling di sekitar kawasan Kraton Jogja, Penulis banyak menjumpai banyak gambar berupa lambang  yang  banyak terpampang di setiap bangunan di Kraton Jogja dan menurut keterangan yang di dapat dari tour Guide , semua lambang yang ada di seluruh bangunan kraton tersebut bernama sengkalan yang berfungsi sebagai penanda yang diwujudkan dalam kata-kata maupun gambar-gambar simbolik yang menerangkan kapan suatu bangunan didirikan.
Dalam sosiologi komunikasi, Sengkalan bisa dikatakan sebagai bentuk proses komunikasi secara primer dikarenakan dalam proses penyampaian maksud, pikiran dan perasaan dari sang pembuat sengkalan kepada para pengunjung kraton disampaikan menggunakan lambang atau simbol sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial (gesture), isyarat, gambar, warna, dan sebagainya yang  secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan. Dan dalam fenomena sengkalan Kraton, yang dipilih atau digunakan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas adalah malalui media sengkalan berbentuk gambar ( Sengkalan memet) dan sengkalan yang berbentuk bahasa yang indah ( sengkalan lamba ).
Dan berikut ini merupakan beberapa contoh sengkalan yang Saya temui di kawasan Kraton Yogyakarta :
a)      Sengkalan Lamba yang menggunakan bahasa yang indah : 
Ø      Paksa Pujangga Hangayong Jagad (1682 jawa, berdirinya Kraton Yogyakarta)
Ø      Nir Panca Pandhita Rat ( 1750 jawa Sultan HB IV wafat )
Ø      Tunggal Catur Pandhita Iku ( 1741 jawa, dinobatkannya Sultan HB IV )
b)      Sengkalan Memet yang menggunakan gambar yang bermakna :
Ø      Dwi Naga Rasa Tunggal (1682 jawa, berdirinya Kraton Yogyakarta, bisa dilihat di atas renteng kelir baturana kagungan dalem regol Kemagangan dan regol Gadhung Mlathi berupa dua ekor naga dengan ekor saling melilit).
Ø      Dwi Naga Rasa Wani (1682 jawa, berupa dua ekor naga berwarna merah yang berada di regol Kemagangan)
Ø      Esthi Sara Esthi Aji (1858 jawa, berbentuk dua ekor kepala gajah yang terdapat anak panah di belalainya, terdapat di Regol Danapratapa, merupakan penanda tahun dipugarnya Kori Danapratapa oleh Sultan HB VIII)


       

 
Gambar Bangunan kraton yang menggunakan Sengkalan Memet
( sumber : Dokumentasi pribadi penulis)

B)     Wujud Stratifikasi kelas melalui Busana adat di Kraton Yogya
Busana atau pakaian adalah ekspresi budaya Pakaian dengan berbagai lambang simboliknya mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai budaya masyarakat pemakainya. Demikian pula bagi masyarakat Jawa lebih-lebih kalangan kraton atau bangsawan. Tetapi dalam penggunaannya, ternyata terdapat semacam stratifikasi kelas dalam penggunaan busana tradisonal Jawa di era awal-awal berdirinya kraton dikarenakan muncul penggolongan status sosial antara orang yang tinggal di dalam lingkungan Kraton dan di luar tembok kraton.
Menurut Soerjono Soekanto, stratifikasi sosial adalah pembedaan posisi seseorang atau kelompok dalam kedudukan berbeda-beda secara vertikal. Biasanya stratifikasi didasarkan pada kedudukan yang diperoleh melalui serangkaian usaha perjuangan. Jika meminjam definisi dari tokoh diatas, maka stratifikasi sosial masyarakat dalam menggunakan busana sangatlah diperbolehkan di era itu dikarenakan kedudukan raja lebih tinggi dari rakyatnya dan sudah sepantasnya pula keluarga raja memperoleh busana yang lebih bagus dan berkualitas daripada yang digunakan rakyatnya dikarenakan di era itu pakaian atau busana yang dikenakan sebuah keluarga sangat menggambarkan secara jelas dari keluarga manakah mereka berasal .
Puncak dari pembedaan jenis pakaian yang dikenakan oleh keluarga kraton dan di luar kraton semakin tampak disaat terjadi kemajuan pesat dalam segi etika, estetika maupun filsafat sepanjang abad ke 18 yang diiringi pula dengan kemunduran di bidang politik akibat campur tangan Belanda terhadap berbagai urusan di kerajaan khususnya ekonomi dan militer. Secara politis kasultanan ada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda tetapi secara kultural tetap dapat mengembangkan berbagai hal yang dapat menjaga prestise dan kewibawaan. Melalui penerapan konsep kewibawaan itulah dibangun kembali dengan dihadirkannya berbagai larangan pemakaian terhadap kain dan busana tertentu beserta kelengkapannya. Artinya tidak sembarang orang boleh memakainya.
Secara keseluruhan penampilan busana yang megah dan mewah dalam suatu upacara ritual juga merupakan jaminan legitimasi power dari pemakainya Di sini terlihat bahwa penyajian busana adat kraton tidak dapat dipisahkan dari posisi dan kedudukan pemakainya. Oleh karena itu orang yang berderajat sama harus memperhitungkan cara berbusananya. Misalnya apabila seseorang berasal sama dari keluarga kraton yang berdarah biru , maka jenis dan bahan pakaian yang mereka gunakan haruslah memiliki kualitas bahan yang sama-sama berkualitas baik dan pantang hukumnya bagi keluarga dalam kraton untuk menggunakan pakaian yang biasa digunakan penduduk di luar kraton kebanyakan  Penerapannya Misalnya, beberapa corak kain batik tidak diijinkan dipergunakan oleh mereka yang tidak memiliki hubungan darah dengan raja. Bahkan ada yang khusus dirancang untuk pribadi sultan. Misal batik motif kawung dan motif huk pada masa Hamengku Buwana VII. Motif huk tergolong motif non geometris yang terdiri motif kerang (lambang dari air atau dunia bawah yang bermakna lapang hati), binatang, (gambaran watak sentosa dan pemberi kemakmuran) cakra, burung, sawat (ungkapan ketabahan hati) dan garuda. Oleh karena itu seorang pemimpin atau raja diharapkan berbudi luhur dapat memberi kemakmuran pada rakyat dan selalu tabah menjalankan roda pemerintahan. Pada masa Hamenku Buwana VIII corak parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Tiga motif batik lain yang menjadi standar istana adalah coak semen (dari kata semi yang artinya tumbuh), sawat (pemakainya diharapkan memperoleh kemakmuran, kewibawaan dan perlindungan), udan riris/udan liris (artinya hujan gerimis, pengharapan agar selamat, sejahtera, tabah dan dapat menjalankan kewajiban dengan baik).
Secara garis besar busana sebagai atribut kebangsawanan dapat dibedakan menjadi dua golongan yakni busana untuk sehari-hari atau non formal dan busana untuk kegiatan formal atau resmi. Busana resmi terbagi dua yaitu untuk upacara alit dan upacara ageng. Upacara alit misalnya tetesan (khitan untuk anak perempun), tarapan (haid pertama kali) dan tingalan dalem padintenan (peringatan penobatan raja berdasarkan perhitungan hari dan pasaran Jawa misal Selasa Kliwon). Upacara ageng misalnya supitan (khitan), perkawinan kerabat kraton, tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem, Agustusan dan sedan (pemakaman jenazah raja).
Ø      Busana sehari-hari putri sultan yang masih kecil adalah sabukwala yang terdiri tiga macam yaitu sabukwala nyamping batik untuk busana sehari-hari dan upacara alit, sabukwala nyamping praos untuk resepsi tetesan yang bersamaan supitan dan sabukwala nyamping cindhe untuk upacara garebeg dan tetesan tidak bersamaan dengan supitan. Untuk putra laki-laki mengenakan busana kencongan, baju surjan, lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok/timang dari suwasa (emas berkadar rendah).
Ø      Untuk putri sultan praremaja atau peralihan dari anak-anak ke remaja (biasanya berusia 11 sampai 14 tahun) mengenakan busana pinjungan. Busana ini dikenakan dengan cara melipat ujung kain sebelah dalam dibentuk segitiga sebagai hiasan penutup dada. Busana pinjungan dibedakan menjadi pinjung harian, pinjung bepergian, pinjung upacara alit dan pinjung untuk upacara garebeg.
Ø      Untuk remaja dan dewasa dalam keseharian mengenakan busana semekanan (dari kata semekan berupa kain panjang dengan lebar separo dari lebar kain biasa berfungsi sebagai penutup dada). Untuk remaja atau putri yang belum menikah semekan polos tanpa tengahan tanpa hiasan kain sutra di tengahnya. Bagi yang sudah menikah semekan tritik dengan tengahan.
Ø      Bagi pria remaja atau dewasa dalam kesehariannya mengenakan baju surjan, kain batik dengan wiru di tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, destar sebagai penutup kepala.
Ø      Busana untuk upacara ageng adalah busana keprabon khusus untuk putra sultan. Jenis busana keprabon untuk pria terdiri dari busana dodotan, busana kanigaran dan busana kaprajuritan.
Berbagai ragam busana adat keluarga kraton yang telah dijelaskan diatas , pantang hukumnya untuk digunakan oleh rakyat biasa dikarenakan status sosial mereka lebih rendah daripada status Sultan . Rakyat biasa di era awal berdirinya kraton biasanya hanyalah menggunakan busana berupa kemben atau kebaya biasa untuk perempuan dengan bawahan kain batik dengan kualitas bahan seadanya yang pastinya berbeda dengan kualitas dan motif batik keluarga kraton, Selain itu untuk pria, biasanya hanya menggunakan pakaian semacam rompi dari bahan beludru maupun bertelanjang dada dengan dilengkapi kain batik biasa sebagai bawahannya.

    
foto yang menjelaskan tentang status sosial seseorang
sangatlah menentukan jenis pakaian yang boleh mereka kenakan
( Sumber : Internet )

C)    Patronase Abdi Dalem dalam kehidupan Kraton
Pengertian patronase dalam budaya Jawa, adalah sebagai bentuk pengabdian seorang bawahan kepada atasannya yang telah memberikan banyak hal kepadanya. Hal ini pula yang  berlaku pada abdi dalem yang telah mengabdi secara ikhlas tanpa paksaan untuk kraton dan raja yang berkuasa dengan berpegang pada falsafah Jawa  ”sepi ing pamrih, rame ing gawe” yang berarti bahwa seorang abdi dalem haruslah mengutamakan kerja kerasnya dalam membantu pihak Kraton dan janganlah terlalu berharap pada nilai materi yang akan didapat dari berprofesi sebagai abdi dalem yang dalam kenyataannya hanyalah bergaji kecil .
Karena pada prinsipnya, apabila seorang abdi dalem sudah mengabdikan seluruh dirinya untuk kraton, maka gaji atau materi bukan merupakan hal utama yang dikejar oleh seorang abdi dalem tetapi mereka ( abdi dalem) berprinsip bahwa apabila mereka mau mengabdikan dirinya untuk raja dan Kraton, maka mereka percaya bahwa berkah dari kraton akan menyertai kehidupan para abdi dalem di bidang kehidupan, rejeki, keluarga dan hal-hal positif lainnya. Selain itu, dengan menjadi seorang abdi dalem, seseorang dapat menjalin kedekatan keluarga dengan Sultan dan kerabat di Kraton Yogyakarta.
Dengan pengabdian yang mereka lakukan, seorang abdi dalem bisa mendapatkan gelar dari Keraton dan mendapatkan pendidikan. Hal ini untuk menandakan bahwa mereka adalah benar-benar abdi dalem Keraton Yogyakarta yang memahami segala adat dan peraturan Keraton. Dalam sejarahnya, Abdi Dalem yang masih memiliki hubungan darah dengan Kraton, akan mendapatkan gelar Raden. Sedangkan abdi dalem yang tidak memiliki hubungan darah dengan Kraton akan mendapatkan gelar dengan sebutan Mas Bekel, Mas Rono, dan Mas Lurah. 
Tidak hanya mendapatkan nama, para abdi dalem juga mendapat Pawiyatan (pelajaran) tentang budi pekerti, budaya keraton, dan  agama Islam. Tujuannya agar abdi dalem mengerti sikap perilaku (unggah ungguh, sopan santun), budaya Jawa, dan pendalaman agama Islam karena bekal itu sangat ditekankan dalam adat-istiadat Keraton Yogyakarta.
Dalam masa pengabdiannya, seorang abdi dalem akan mengenakan pakaian
lurik dengan garis corak lurik tiga per empat biru, kancing di leher yang berjumlah enam, dan kancing lengan tangan yang berjumlah lima.“ Corak lurik tiga per empat biru itu menandakan keteguhan hati dan orang yang selalu bersungguh-sungguh, Kancing di leher berjumlah enam itu menadakan rukun iman, Sedangkan kancing lengan tangan yang berjumlah lima itu mendandakan
rukun Islam yang berjumlah lima”
o       Dalam buku panduan wisata yang dibeli oleh penulis, orang yang mengabdikan dirinya ke Kraton dibagi menjadi dua, yaitu :
Ø      Abdi Dalem yaitu orang yang mengabdikan dirinya kepada raja
Ø      Keparak yaitu orang yang mengabdi kepada permaisuri raja
o       Sedangkan tugas abdi dalem di keraton Yogyakarta dikelompokkan menjadi dua yaitu :
Ø      Konco Abang yang bertugas dalam bidang keuangan dan tata usaha
Ø      Konco Biru yang bertugas memperbaiki Kraton di Puro Budaya, Kesenian, Sejarah , dan purbakala .
D)    Konsep ”Gung Binthara” dalam kepemimpinan Sultan di Kraton Yogya
Dalam kepemimpinan di Kraton, Para Sultan Jogja lebih memilih untuk menerapkan konsep keagungbintaraan untuk mencapai tujuan bersama. Pemilihan konsep tersebut juga senada dengan definisi Kepemimpinan yang dinyatakan oleh Hemhill dan Coons yang menuturkan bahwa kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktifitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang hendak dicapai bersama.
Menurut konsep ini, kekuasaan raja itu agung binathara, bahu dhendha nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta (besar laskana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama).
Jadi menurut konsep kekuasaan Jawa, raja berkuasa secara absolut. Tetapi kekuasaan itu diimbangi dengan kewajiban moral yang besar juga untuk kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, dalam konsep kekuasaan Jawa dikenal juga sebagai tugas raja: njaga tata tentreming praja (menjaga supaya masyarakat teratur dan dengan demikian ketentraman-kesejahteraan terpelihara). Dengan demikian konsep kekuasaan Jawa menentukan bahwa kekuasaan yang absolut itu harus diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat yang diperintah oleh raja. Sebaliknya, supaya raja dapat melaksanakan tugasnya, rakyat mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya (ngemban dhawuh dalem). Dengan demikian antara raja dan rakyat berlaku prinsip jumbuhing atau pamoring kawula-gusti (bertemunya rakyat dan raja).
Doktrin keagungbinataraan mengajarkan bahwa raja harus selalu membangun kerajaannya, sehingga kerajaannya menjadi pusat politik yang tertinggi dan paling kuasa. Secara singkat kekuasaan raja besar menurut konsep kekuasaan Jawa ditandai oleh:
1)      Wilayah kerajaannya yang sangat luas
2)      Luas wilayah daerah atau kerajaan taklukan dan berbagai barang persembahan yang disampaikan oleh raja taklukan
3)      Kesetiaan para bupati dan punggawa lainnya dalam menunaikan tugas kerajaan dan kehadiran mereka dalam paseban yang diselenggarakan pada hari-hari tertentu
4)      Kebesaran dan kemeriahan upacara kerajaan dan banyaknya pusaka dan perlengkapan yang tampak dalam upacara
5)      Kekayaan yang dimiliki oleh raja, gelar-gelar yang disandang dan kemasyhurannya
6)      Seluruh kekuasaan menjadi satu ditangannya, tanpa ada yang menandingi.

E)     Tingkatan Hierarki kebangsawanan keluarga Kraton
Pada zaman Mataram, terdapat dua kriteria untuk menentukan kedudukan seseorang dalam stratifikasi masyarakat kerajaan Mataram tradisional. Yang pertama bahwa status atau kedudukan bangsawan seseorang ditentukan oleh  hubungan darah seseorang dengan pemegang kekuasaan yaitu raja. Yang kedua ditentukan oleh posisi atau kedudukan seseorang dalam hierarki birokrasi kerajaan. Dengan memiliki salah satu  dari kriteria itu, maka seseorang dianggap termasuk golongan elit dalam stratifikasi masyarakat tradisional kerajaan mataram. Untuk kriteria yang disebutkan pertama hanya ditempati oleh para bangsawan yaitu yang berdasarkan atas  hubungan darah.dengan pemegang atau pemilik kekuasaan yaitu raja. Sementara untuk  yang disebutkan kedua bisa berasal dari bangsawan atau non-bangsawan. Artinya bahwa seseorang, meskipun bukan bangsawan, bisa diangkat dan menduduki strata tertentu dalam birokrasi kerajaan.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa semakin dekat hubungan darah seseorang dengan raja berarti semakin tinggi pula status kebangsawanan seseorang. Sebaliknya makin jauh hubungan darah itu dari pemegang kekuasaan, maka makin kurang murnilah darah kebangsawanannya, yang berarti semakin menurun pula derajad kebangsawanannya. Pada umumnya derajad kebangswanan itu hanya menurun kepada ahli waris raja sampai derajad keempat atau paling jauh sampai derajad kelima.
Berdasarkan peraturan yang dibuat oleh raja Mataram yaitu  Amangkurat, yang kemudian dilengkapi oleh Paku Buwana X, terdapat lima tingkatan dalam hierarki kebangsawanan yaitu:
1.      Para putra raja, termasuk dalam golongan gusti.
2.      Para cucu raja, termasuk dalam golongan bendara
3.      Para cicit raja, termasuk dalam golongan abdi sentana
4.      Para canggah, termasuk golongan bendara sentana
5.      Para wareng raja, termasuk dalam golongan abdi kawula warga

F)     Konsep Ketidakadilan Gender dalam kasus ”Bojo Triman” di Kraton Yogya
Salah satu masyarakat yang dikenal dengan kebudayaannya yang patriarkis adalah Jawa. Menurut Indrawati , masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Hal ini didukung oleh Handayani dan Novianto yang menyatakan bahwa dalam budaya Jawa yang cenderung paternalistik, laki-laki memiliki kedudukan yang istimewa.
Indrawati menambahkan bahwa perempuan Jawa diharapkan dapat menjadi seorang pribadi yang selalu tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki, yang pada masa dulu terlihat dalam sistem kekuasaan kerajaan Jawa (keraton). Hal inilah yang kemudian diterapkan dalam fenomena “ Bojo Triman” yang sangat mewajibkan para perempuan yang notabene berstatus sebagai istri maupun selir Raja harus mematuhi semua kehendak raja walaupun terkadang perintahnya tidak bisa diterima akal. Dalam kasus Bojo triman, para istri maupun selir raja harus mau secara ikhlas menyerahkan atau menghibahkan diri mereka untuk diperistri oleh orang lain yang telah berjasa kepada kehidupan seorang raja. Di masa itu, pantang hukumnya bagi seorang perempuan untuk menolak perintah Bojo Triman  dikarenakan dalam kehidupan Jawa era itu masih berlaku konsep istri sebagai sigaraning nyawa (belahan Jiwa) yang seolah-olah berarti bahwa seorang Raja rela mengorbankan dan menyerahkan separuh nyawanya ( dalam hal ini istrinya) kepada orang lain yang telah berjuang dengan sepenuh tenaga untuk membantu raja dalam mewujudkan keinginannya.
Tetapi anehnya setelah menjadi Bojo Triman dari orang yang telah berjasa kepada raja, kehidupan para selir ataupun istri raja tersebut bukannya menjadi semakin baik melainkan menjadi semakin menderita dan terkesan aneh, Hal itu dikarenakan para istri maupun selir Raja tersebut justru diperlakukan seperti “Benda Suci” yang tidak boleh disentuh dan diganggu dikarenakan merupakan pemberian Raja Jogja secara langsung , sehingga kebanyakan dari istri triman tidak pernah melakukan aktivitas Pasutri (misalnya hubungan intim) dengan suaminya yang baru dikarenakan mereka ( Suami dari Bojo Triman ) pantang hukumnya untuk berbuat hal-hal yang aneh kepada Sang Bojo triman, sehingga kebanyakan Para suami Bojo Triman membuatkan ruangan khusus untuk para wanita mantan istri Raja tersebut agar mereka tidak bisa diganggu oleh siapapun dikarenakan dianggap sebagai sosok yang Suci . 

G)    Wujud akulturasi dalam arsitektur Indis ( Indo-Eropa ) di Kraton Yogya
Selama berkeliling di bagian dalam Kraton Yogyakarta, penulis banyak menemukan banyak bangunan yang bernuansa Campuran Eropa dan Jawa, dan ternyata rasa kekaguman penulis terhadap arsitektur campuran itu semakin  dipertegas melalui penjelasan dari tour guide kraton yang menuturkan bahwa dalam hal arsitektur, konsep akulturasi budaya memang ada dalam setiap bangunan di kraton, terutama akulturasi antara bentuk bangunan Eropa dan Jawa tradisional yang dibuat seimbang oleh para arsitek ternama yang kebanyakan berasal  dari negeri Belanda. Tetapi, kalaupun ada orang Jawa yang mendirikan bangunan di kraton, bentuk arsitektur yang mereka buat juga akan mengadaptasi sedikit konsep-konsep dasar pendirian bangunan Eropa yang terkenal tahan lama dikarenakan kebanyakan arsitek lokal tersebut menempuh sekolah arsitektur di negeri Belanda .
Dan dokumentasi foto berikut ini, merupakan gambaran beberapa bangunan di kawasan dalam Kraton Jogja yang menerapkan prinsip akulturasi Eropa-Jawa dalam dalam bidang arsitektur :




 
  Dokumentasi Pribadi Penulis

o       Di kawasan Panggung Krapyak
A)    Wujud Interaksi sosial antara Raja dan Rakyat di kawasan panggung Krapyak
Menurut keterangan tour guide, selain digunakan untuk tempat berburu dan benteng pertahanan prajurit Mataram, kawasan Bangunan Panggung Krapyak juga kerap digunakan Sultan untuk berinteraksi dengan rakyatnya. Dalam fenomena ini, jenis interaksi yang diterapkan adalah bentuk interaksi antara Individu dengan kelompok.
Biasanya hal yang dibahas dalam proses interaksi antara Sultan dengan rakyatnya adalah berkaitan dengan hal-hal yang berpengaruh bagi kehidupan rakyat Jogja di era itu, misalnya membahas suatu kebijakan maupun peraturan baru dari Kraton yang butuh disosialisasikan, Pengumuman atau woro-woro tentang akan adanya perhelatan atau acara besar Kraton yang boleh disaksikan oleh khalayak umum, maupun juga dapat digunakan rakyat untuk memprotes maupun mengkritik suatu kebijakan yang kurang sesuai dengan kehendak rakyat.
Dengan diadakannya proses interaksi atau rerembugan antara raja dengan rakyatnya, diharapkan semua kebijakan, peraturan, maupun pengumuman yang berasal dari Kraton di era itu , dapat dipahami dan diterapkan oleh rakyatnya sehingga rasa kebersamaan antara Raja dan Rakyat Jogja tetap terjalin baik tanpa adanya kesalahpahaman yang biasanya disebabkan oleh salah satu pihak yang merasa ingin menang sendiri ( egois ).

B)     Makna Filosofis dan Simbolis di sekitar Panggung Krapyak
Menurut keterangan tourguide, Panggung Krapyak merupakan awal dari garis sumbu imajiner yang dipercayai oleh warga Yogyakarta. Selain itu, Panggung Krapyak juga memiliki sebuah makna filofis yang menjelaskan gambaran akan ruh seseorang yang apabila kita kaitkan dengan perjalanan hidup seorang manusia, maka Panggung Krapyak merupakan gambaran tentang alam ruh sebelum seorang manusia diteteskan dalam bentuk benih. Lokasi Krapyak sendiri berdekatan dekan Kampung Mijen yang merupakan simbol dari wiji (benih) yang digambarkan sebagai jiwa yang sudah menjadi wiji karena kekuasaaan Tuhan. Yang pada proses selanjutnya nanti atas kekuasaan Tuhan benih tersebut akan menjadi manusia.
Sedangkan makna simbolis yang berada di Panggung Krapyak dapat terlihat dari pemaknaan simbolik terhadap pohon Asam dan Tanjung yang berjejer di Sepanjang jalan dari panggung Krapyak menuju ke Plengkung Gading . Pohon Asem Krapyak sendiri merupakan sebuah penggambaran tentang tempat asal roh-roh , Sedangkan Tanaman Tanjung melambangkan bahwa anak kecil itu masih perlu disanjung. Bersamaan dengan pohon Asem, maka potongan kata sem dan njung melambangkan rasa sengsem menyenangkan dan tersanjung atau disanjung. Masa kanak-kanak memang merupakan masa yang ngesemake atau menyenangkan dan perlu untuk disanjung dan didukung. Pohon Tanjung dan pohon Asem ditanam untuk mengingatkan orang akan makna simbolik tersebut. 
                       
C)    Arsitektur Panggung Krapyak
Menurut Penulis pribadi bentuk arsitektur Panggung Krapyak hampir mirip dengan bentuk Benteng Qianmen di Cina, Setiap sisi bangunan memiliki sebuah pintu dan dua buah jendela. Pintu dan jendela itu hanya berupa sebuah lubang, tanpa penutup. Bagian bawah pintu dan jendela berbentuk persegi tetapi bagian atasnya melengkung, seperti rancangan pintu dan jendela di masjid-masjid.
Bangunan panggung Krapsak terbagi menjadi dua lantai. Lantai pertama memiliki empat ruang dan lorong pendek yang menghubungkan pintu dari setiap sisi. Jika menuju salah satu ruang di bagian tenggara dan barat daya bangunan dan menatap ke atas, kita bisa melihat sebuah lubang yang cukup lebar. Dari lubang itulah raja-raja yang hendak berburu menuju ke lantai dua (berguna sebagai tempat berburu) dengan dibantu sebuah tangga kayu . Ketinggian bangunan ini menyebabkan beberapa orang menduga bahwa Panggung Krapyak juga digunakan sebagai pos pertahanan. Konon, dari tempat ini gerakan musuh dari arah selatan bisa dipantau sehingga bisa memberikan peringatan dini kepada Kraton Yogyakarta bila terjadi serangan. Para prajurit secara bergantian ditugaskan untuk berjaga di tempat ini, sekaligus berlatih berburu dan olah kanuragan (kemampuan berperang) .

o       Di kawasan Makam Imogiri
A)    Wujud Startifikasi sosial Masyarakat dalam kompleks Pemakaman Imogiri
Dalam kehidupan di muka bumi, Stratifikasi sosial memanglah bukanlah hal yang aneh. Hal itu dikarenakan setiap anggota masyarakat memiliki kelas sendiri-sendiri yang dapat menggolongkan mereka berdasarkan ke dalam karakteristik suatu kelas, misalnya penggolongan kelas berdasarkan sudut pandang ekonomi, sosial, politik, maupun menurut sudut pandang lain. Hal itu juga senada dengan yang diungkapkan oleh Max Weber yang menyatakan bahwa stratifikasi sosial didasarkan pada dimensi ekonomi, sosial dan politik. Maka dari itu masyarakat terbagi menjadi kelas (secara ekonomi), kelompok status (sosial) dan partai (politik).
Hal yang berbeda justru terlihat di kompleks pemakaman Imogiri, yang menerapkan konsep stratifikasi sosial bukan diwaktu manusia masih hidup, melainkan penerapannya justru tampak ketika seseorang sudah meninggal dunia, Hal itu dapat terlihat dari letak makam imogiri yang berada di bukit dan seolah-olah menunjukan adanya struktur sosial dalam masyarakat jawa, fenomena ini dijumpai penulis dalam penempatan makam seorang raja dan keluarganya yang disemayamkan dilokasi yang lebih tinggi daripada pemakaman masyarakat kebanyakan yang disemayamkan dilokasi pemakaman yang lebih rendah atau disekitar kaki bukit Imogiri , yang berarti status sosial keluarga Raja lebih tinggi daripada status anggota masyarakat yang lainnya.
Tetapi di dalam struktur kehidupan masyarakat yang berada sekitar makam imogiri sendiri, dalam stratifikasi masyarakatnya tidak adanya posisi yang mencolok diantara anggota masyarakatnya. Dilihat dari mata pencaharian Masyarakatnya yang kebayakan berprofesi sebagai pedagang yang membuka jasa bagi pengunjung. Hal ini terlihat dari adanya warung – warung yang menjual makanan seperti pecel dan wedang uwuh. Dan ada juga yang membuka jasa parkir, serta jasa kamar mandi dan wc umum, walaupun ada juga yang bertani hal ini terlihat dari masih adanya sawah serta kebun minyak kayu putih di Kawasan sekitar makam Imogiri.
           
B)     Akulturasi budaya Hindu-Islam dalam di dalam kompleks pemakaman Imogiri
Ketika tiba di lokasi studi Lapangan yang terakhir, yaitu kompleks pemakaman para natha ( Raja atau Pemimpin ) di Imogiri, Penulis menjumpai banyak kebudayaan akulturasi Hindu dan Islam di Lokasi ini , terutama dari bentuk arsitektur bangunan dan tradisi-tradisi lokal yang masih banyak dilakukan para peziarah maupun warga di sekitar Kompleks Pemakaman Imogiri. Dan untuk penjelasannya akan diuraikan di bawah ini :
o PENERAPAN BUDAYA HINDU
1.      Bentuk makam dari para Raja dan warga biasa di kompleks pemakaman Imogiri masih mengadaptasi budaya Hindu, hal itu terlihat jelas dari banyaknya bangunan batu yang berfungsi untuk mengabadikan nama anggota keluarga yang telah meninggal atau yang lebih familiar disebut dengan istilah ”Kijing” oleh orang Jawa.
2.      Di kompleks pemakaman Imogiri, banyak warga yang mayoritas beragama Islam masih melakukan upacara kematian yang dipengagruhi unsur kebudayaan Hindu, misalnya adanya upacara peringatan kematian seseorang yang keketiga hari ( nelung dino), ke tujuh hari ( mitung dino), ke empat puluh hari ( Patang puluh dino ), ke seratus hari ( nyatus), maupun ke seribu hari ( nyewu) yang sebenarnya merupakan wujud lain dari upacara Sraddha dalam agama Hindu.
3.      Dalam bentuk arsitektur bangunan, struktur lokasi penempatan makam dibuat berundak-undak ( sesuai kedudukannya) yang mengingatkan pada bentuk bangunan punden berundak zaman prasejarah dan bangunan candi pada Zaman Hindu.
4.      Di kompleks Imogiri, Makam raja-raja pada umumnya terletak di kompleks pemakaman luas yang dikelilingi oleh dinding tembok. Menariknya, dinding-dinding di kompleks pemakaman Imogiri masih dihiasi dengan ukiran atau pahatan bercorak Hindu. Hal itu terlihat terutama pada gapura berbentuk candi bentar atau kori agung yang menuju ke kompleks pemakaman para Natha di Imogiri .
5.      Jika dilihat dari lokasinya yang terletak di kawasan perbukitan yang tinggi, Kompleks Pemakaman ini terlihat masih menggunakan konsep kepercayaan dari Agama Hindu yang masih mempercayai bahwa semakin tinggi lokasi pemakaman, maka semakin dekatlah mereka yang telah meninggal kepada Eka Sang Hyang Widhi Wase( Tuhan yang Maha Esa).
6.      Konsep Hindu lainnya terletak pada adanya bangunan Pendhopo atau bangsal yang terletak di depan masjid Imogiri , yang mengingatkan penulis akan bentuk bangunan pendopo atau bangsal yang sering terletak di sekitar bangunan Pura .
7.      Konon menurut penuturan dari salah seorang pedagang yang Penulis wawancarai, Para peziarah dan warga sekitar makam Raja, masih sering membawakan Sesajen maupun piranti lain untuk dipersembahkan kepada Para Raja yang telah meninggal , hal ini serupa dengan konsep agama Hindu yang menganjurkan pembuatan canang Saji ketika ingin beribadah di pura .
o PENERAPAN BUDAYA ISLAM
1.      Sebagai pengganti candi pada bangunan Hindu, keluarga raja yang kala itu sudah beragama Islam mengganti bentuk bangunan candi dengan cungkup atau kubah untuk melindungi kijing dari panasnya sinar matahari. Menurut buku Sejarah SMA yang penulis baca, Pengabadian makam berwujud cungkup dalam zaman Islam tidak berbeda dengan pengabadian makam berwujud candi dalam zaman Hindu. Pada kepercayaan agama Hindu dan Islam makam dianggap tempat tinggal terakhir yang abadi, sehingga perlu dibangun selayak mungkin untuk ketentraman para penghuni makam di alam baka .
2.      Adanya bangunan Masjid Imogiri yang mengadopsi gaya bangunan pendhopo di kompleks pemakaman , semakin mempertegas unsur budaya Islam yang ada di kawasan ini.
3.      Unsur islam lainnya terlihat pada cara masyarakat atau pengunjung Islam ketika mendoakan para Raja, yaitu dengan dipimpin oleh seorang kuncen makam, warga yang berziarah berdoa dengan melafalkan ayat-ayat yang ada di kitab Suci Al-Quran .
4.      Di kompleks makam, penulis banyak melihat gentong atau Padasan, mungkin gentong-gentong yang berisi air tersebut berfungsi sebagai media untuk mensucikan diri para peziarah sebelum memasuki makam, atau yang dalam kepercayaan Islam dikenal dengan istilah berwudhu .

C)    Mitos yang berkembang di Kompleks Pemakaman Imogiri
Secara singkat, mitos adalah kisah atau ide yang dipegang oleh masyarakat karena keberadaannya mendukung, melestarikan atau memberi harapan tertentu bagi yang mempercayainya. Sedangkan menurut pendapat Penulis sendiri, mitos adalah sesuatu yang dahulunya tidak ada tetapi kemudian diada-adakan oleh Masyarakat , sehingga kini akhirnya seakan-akan menjadi ada . Dan salah satu dari banyaknya mitos yang berkembang di tanah Jawa, adalah mitos tentang Kompleks Pemakaman Imogiri, yang penjelasannya akan diuraikan di bawah ini :
o       Menurut keterangan dari salah seorang Pedagang, Kompleks pemakaman Imogiri termasuk kedalam kompleks makam kramat , Sehingga seluruh pengunjung harus mematuhi unggah-ungguh yang sudah diatur oleh kuncen makam. .Misalnya dilarang berbuat tidak sopan , berburu , memotong pohon, mengambil kayu, serta mencabut ataupun merusak tanaman yang ada di sekitar maka karena diyakini dapat membawa malapetaka bagi si pengunjung usil.
o       Mitos lain yang tak kalah fenomenal beberapa tahun yang lalu adalah tentang akan adanya isu tsunami dari Pantai Selatan seusai gempa Jogja di tahun 2006 yang akan menenggelamkan seluruh kawasan Jogja kecuali Kompleks Makam Imogiri yang dipercaya warga sekitar Imogiri sebagai tempat tertinggi di kawasan itu, Jadi di waktu itu tanpa pikir panjang, seluruh warga mengevakuasikan keluarganya ke bagian bukit Pemakaman Imogiri yang dipercayai sebagai tempat yang bisa menjamin keslametan mereka dikarenakan warga percaya bahwa Kanjeng Nyai Roro Kidul tidak akan tega untuk menghancurkan kompleks persemayaman para Natha Kraton Jogja yang semasa hidupnya diyakini punya ikatan batin dengan sosok Ibu Ratu yang berkuasa di Pantai Selatan.
o       Pada saat malam Selasa dan Jumat kliwon, warga dan pengunjung percaya bahwa barang siapa warga yang berziarah di tempat ini pada hari yang baik tersebut maka mereka akan memperoleh kelancaran dalam hal karir, jodoh, ekonomi, kesehatan maupun bisa menambah ilmu kanuragan bagi pengunjung yang menguasai ilmu tersebut.
o       Selain itu, di kompleks makam Sultan Agung, warga dan para juru kunci makam sering mencium harum bunga yang semerbak di makam beliau, hal ini kemudian diyakini warga dan kuncen bahwa sosok Sultan Agung sudah mencapai tingkatan Waliyullah ( kekasih Allah ) yang mendapat keistimewaan dari Sang Maha Pencipta.
o       Menurut sumber dari Wikipedia, anak tangga di Permakaman Imogiri berjumlah 409 anak tangga. Menurut mitos yang dipercayai oleh sebagian masyarakat, jika pengunjung berhasil menghitung jumlah anak tangga dengan benar, maka semua keinginannya akan terkabul. Sebagian anak tangga memiliki arti tertentu, yaitu:
Ø      Anak tangga dari pemukiman menuju daerah dekat masjid berjumlah 32 anak tangga. Jumlah anak tangga ini melambangkan bahwa makam Imogiri dibangun pada tahun 1632.
Ø      Anak tangga dari daerah dekat masjid menuju pekarangan masjid berjumlah 13 anak tangga. Jumlah anak tangga ini melambangkan bahwa Sultan Agung diangkat sebagai raja Mataram pada tahun 1613.
Ø      Anak tangga dari pekarangan masjid menuju tangga terpanjang berjumlah 45 anak tangga. Jumlah anak tangga ini melambangkan bahwa Sultan Agung wafat pada tahun 1645.
Ø      Anak tangga terpanjang berjumlah 346 anak tangga. Jumlah anak tangga ini melambangkan bahwa makam Imogiri dibangun selama 346 tahun.
Ø      Anak tangga di sekitar kolam berjumlah 9 anak tangga. Jumlah anak tangga ini melambangkan Walisongo.


DAFTAR PUSTAKA

Trisnu Brata , Nugroho. 2006. Antropologi 2 kelas XII . Jakarta : Esis .
Magnis Suseno, Fransz. 2001. Etika Jawa (Sebuah Analisa Falsafati tentang
 Kebijaksanaan Hidup Jawa). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Margana, S. 2004. Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Condronegoro, Mari S. 2008. Busana Adat Kraton Yogyakarta ( 1887-1937 ) .
 Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusatama
Brotodiningrat, KPH. 1978. Arti Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Museum Kraton Yogyakarta
Martohastono, R.Ng. 2005. Riwayat Pesarean Imogiri Mataram. Kotagede , Yogyakarta :               
              , 2008 . Sejarah SMPN 1 Ungaran .http://www.smpn1ungaran.sch.id ( Di akses pada 26/05/2013).
Tim Wikipedia. 2009. Pemakaman Imogiri. http://www.Wikipedia.com
 ( Di akses pada 26/05/2013).
              , 2009 .Benteng Oenarang .http:// www.semarangkab.go.id
( Di akses pada 28/05/2013).
              , 2009 .Benteng Willem Ambarawa .http:// www.semarangkab.go.id
( Di akses pada 28/05/2013).
              , 2010 . keraton yogyakarta . http // www. com / vision. net . id  (Diakses 28/05/2013)
              , 2009 . Abdi Dalem. http // www. geonation. com (Diakses26/05/2013)
Depdikbud, 2010 . Cakrawala Sejarah untuk kelas 11 SMA Program IPS.
http // www. www.bukubse.com (Diakses28/05/2013)
Utomo, Yunanto Wiji. 2007. Panggung Krapyak Riwayatmu Kini.
http://www.YogYES.com ( Diakses28/05/2013 )
Bramandita,Adolf. 2009. Sejarah Panggung Krapyak
.http:// www.panduanwisatajogja.com ( Diakses 25/05/2013 )


No comments:

Post a Comment