Friday, January 24, 2014

TINGKAHE WONG JOWO JAMAN SAIKI


REFLEKSI MASYARAKAT JAWA MASA KINI
( Nalika Wong Jowo Ilang Jawane ) 

Oleh : Sae Panggalih  


Orang Jawa hilang Jawanya bisa diartikan sebagai orang Jawa yang hilang sifat-sifat orang Jawanya atau hilang tata cara kebudayaan Jawanya, atau orang Jawa tidak mampu lagi menterjemahkan simbol-simbol yang tersembunyi dalam tata cara budaya Jawa. Kebudayaan itu sendiri merupakan kata yang jangkauannya sangat luas, bukan sekedar hanya Kesenian (pada umumnya masyarakat mengartikan Kebudayaan dalam ruang dipersempit hanya sebatas Kesenian). Kebudayaan meliputi cipta, rasa, karsa. Kesenian berfokus hanya pada rasa, kebudayaan adalah totalitas manusia dalam cara menghadapi kehidupan ini dengan segenap cipta, rasa dan karsanya.

Seperti apa orang Jawa pada masa yang lalu secara totalitas menghadapi kehidupan ini? Menurut pengertian saya, totalitas orang Jawa menghadapi kehidupan ini bersumber pada keseimbangan atau harmoni. Keseimbangan antara “jagad gede” dan “jagad cilik” atau “dunia besar” dan “dunia kecil”. “Jagad gede” diartikan suatu kesimbangan hubungan antara manusia dengan dunia diluar dirinya: manusia lainnya, bumi, maupun alam semesta, dan Tuhannya. Sedangkan “jagat cilik” adalah keseimbangan dengan sesuatu yang bergolak dalam diri manusia itu sendiri: antara baik dan buruk, antara roh dan jasmani, antara alam bathin dan alam lahir, antara yang gaib dan yang nyata.

Konsep keseimbangan dan harmoni ini dengan cipta, rasa dan karsa dituangkan dalam bentuk kebudayaan yang sepenuhnya mengatur agar keseimbangan dan harmoni ini tetap terjaga dalam masyarakat Jawa. Umumnya dalam bentuk simbol-simbol dalam berbagai peristiwa budaya. Pada realitasnya, kebudayaan Jawa penuh dengan simbol-simbol yang didalamnya terkandung etika (pilihan baik dan buruk) didalamnya. Untuk bisa mengerti etika Jawa, memerlukan suatu keahlian mengartikan simbol-simbol tertentu dalam budaya Jawa. Tapi tujuan akhir dari etika Jawa adalah sangat jelas tercermin dalam kata-kata “mamayu hayuning bawana” atau melestarikan kesejahteraan dunia (alam semesta).


Jadi “wong Jawa ilang Jawane” juga bisa diartikan kehilangan kemampuan orang Jawa menterjemahkan simbol-simbol dalam tata cara budaya Jawa. Jadi masyarakat hanya melihat segala sesuatunya dari sisi luarnya atau sisi lahirnya saja, kurang mampu mengasah bahasa bathinnya, jadi tidak mampu menterjemahkan simbol-simbol yang muncul kepermukaan sebagai terjemahan dari bahasa etika agar bisa terjadi suatu keseimbangan dan harmoni baik dalam masyarakat maupun dengan alam sekitarnya. Oleh karena apa yang dilakukan justru sebaliknya, malahan menghancurkan/merusak keseimbangan atau harmoni hubungan manusia dan manusia lainnya maupun hubungan manusia dengan alam sekitarnya, bahkan merusak hubungan manusia dengan Tuhannya.


Sebagai contoh: budaya wayang kulit yang telah diakui oleh Unesco sebagai "Karya Agung Budaya Dunia" pada tahun 2003, didalamnya terdapat simbol-simbol etika Jawa. Kalau kita melihat wayang kulit hanya sekedar boneka terbuat dari cerma (kulit dan tulang) yang dimain-mainkan oleh sang dalang, meaningless, alias tidak punya arti apa-apa.

Menyelami budaya wayang kulit sampai kita mengerti makna simbol-simbol yang terkandung didalamnya adalah suatu “challenge” atau suatu tantangan. Seberapa banyak orang Jawa (Indonesia) saat ini mau menerima tantangan untuk mengerti budaya wayang kulit dengan mempelajari kemudian menterjemahkan menjadi suatu ajaran etika yang adhi luhung? Dalam Serat Centini Jilid 10 dikatakan bahwa: Nonton wayang harus mengerti cerma (kulit dan tulang) dan cermin. Bukan hanya cerma (kulit dan tulang) yang dilihat tapi cermin dari sari cerita Ki Dalang.

 
 
Selain kurang memahami kesenian lokal dan filosofi yang ada di baliknya ( seperti yang dideskripsikan dalam wayang kulit diatas ) , masyarakat Jawa masa kini juga bisa dikatakan mulai melupakan kebiasaaan untuk menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari.yang sebenarnya di dalamnya terdapat tatanan yang mulia sebagai pembentuk etika seseorang dalam bertata krama (bersopan santun) terhadap sesama.
Namun yang terjadi sekarang, kebanyakan orang tua di Jawa yang notabene mereka adalah orang Jawa asli malu untuk mengajari anak-anak mereka dengan bahasanya sendiri. Kuno,,ndeso,,mungkin kata itu sekarang yang mereka tempatkan untuk bahasanya itu,,mereka lebih suka mengajari anak mereka dengan “bahasa nasional” kita dan mungkin sampai ke bahas inggris . Saya pribadi tidak melarang bahasa nasional untuk diajarkan kepada anak-anak,,tetapi saya perlu tekankan bahwa banyak terjadi penyimpangan dalam bahasa nasional kita sendiri,,banyak penggunaan dari bahasa nasional yang di serap dengan cara bertutur budaya asing yang sangat lemah kesopanannya.
Bergesernya nilai budaya inilah yang menjadikan etika anak-anak jawa menjadi terdegradasi. Mereka sudah kehilangan tentang tatanan dalam ber”unggah-ungguh” terhadap yang lebih tua, sbaya, dan yang lebih muda. Semua mereka sama ratakan dalam bertingkah laku. Wajar saja sekarang banyak anak yang berani membangkang bahkan melawan orang tuanya sendiri itu karena tidak adanya tatanan dalam bertingkah laku. Mereka menganggap sama dengan usia sebaya mereka. Hal ini dikarenakan pengaruh bahasa yang mereka pelajari dari kecil yang saya anggap bahasa nasional ala sekarang sangat-sangatlah rusak. Tidak beretika. Karena budaya bisa di terapkan pada setiap individu sejak kecil melalui apa yang mereka lihat,,dengar dan ucapkan.
Dan pada akhirnya saya mempunyai opini tentang perlunya pendidikan bahasa khususnya bahasa jawa  di kalangan orang jawa. Karena dengan itulah budaya akan tetap terjaga dan bangsa ini tidak hilang karasteristiknya dalam berbudaya,,saya kira tak perlu mengajari anak dengan bahasa nasional sejak kecil dengan alasan supaya mereka mencintai bangsanya. Itu alasan yang sama sekali tidak logis,,di karenakan pada waktu mereka bersekolah pun 100% akan menggunakan bahasa nasional kita yaitu bahasa Indonesia.  Meniadakan pendidikan bahasa jawa bagi anak sama dengan menghilangkan jati diri anak dari keragaman budaya bangsa ini yang mengakibatkan akan tersesatnya mereka dalam timangan budaya moderintas yang sungguh mendegradasikan etika anak bangsa.


Apakah perlu para anggota Badan Kehormatan DPR belajar etika ke Yunani? Mau belajar Etika Barat yang telah menghasilkan Eropa berabad-abad lamanya menjadi negara-negara  penjajah? Menghasilkan masyarakat Amerika Serikat yang pragmatis, cenderung ke atheis? Kenapa tidak belajar etika saja ke Yogyakarta, belajar dengan Ki Manteb Sudarsana, menterjemahkan cerita wayang kulit menjadi suatu ajaran etika yang adhi luhung, asli budaya Jawa, asli budaya Indonesia. Ini yang namanya “wong Jawa ilang Jawane” atau mungkin bisa diperluas menjadi “orang Indonesia, hilang Indonesia-nya”.

No comments:

Post a Comment