REFLEKSI MASYARAKAT JAWA MASA KINI
( Nalika Wong Jowo Ilang Jawane )
Oleh : Sae Panggalih
Orang
Jawa hilang Jawanya bisa diartikan sebagai orang Jawa yang hilang sifat-sifat
orang Jawanya atau hilang tata cara kebudayaan Jawanya, atau orang Jawa tidak
mampu lagi menterjemahkan simbol-simbol yang tersembunyi dalam tata cara budaya
Jawa. Kebudayaan itu sendiri merupakan kata
yang jangkauannya sangat luas, bukan sekedar hanya Kesenian (pada umumnya
masyarakat mengartikan Kebudayaan dalam ruang dipersempit hanya sebatas
Kesenian). Kebudayaan meliputi cipta, rasa, karsa. Kesenian berfokus hanya pada
rasa, kebudayaan adalah totalitas manusia dalam cara menghadapi kehidupan ini
dengan segenap cipta, rasa dan karsanya.
Seperti apa orang Jawa pada masa
yang lalu secara totalitas menghadapi kehidupan ini? Menurut pengertian saya,
totalitas orang Jawa menghadapi kehidupan ini bersumber pada keseimbangan atau
harmoni. Keseimbangan antara “jagad gede” dan “jagad cilik”
atau “dunia besar” dan “dunia kecil”. “Jagad gede” diartikan suatu kesimbangan
hubungan antara manusia dengan dunia diluar dirinya: manusia lainnya, bumi,
maupun alam semesta, dan Tuhannya. Sedangkan “jagat cilik” adalah
keseimbangan dengan sesuatu yang bergolak dalam diri manusia itu sendiri:
antara baik dan buruk, antara roh dan jasmani, antara alam bathin dan alam
lahir, antara yang gaib dan yang nyata.
Konsep keseimbangan dan harmoni ini
dengan cipta, rasa dan karsa dituangkan dalam bentuk kebudayaan yang sepenuhnya
mengatur agar keseimbangan dan harmoni ini tetap terjaga dalam masyarakat Jawa.
Umumnya dalam bentuk simbol-simbol dalam berbagai peristiwa budaya. Pada
realitasnya, kebudayaan Jawa penuh dengan simbol-simbol yang didalamnya
terkandung etika (pilihan baik dan buruk) didalamnya. Untuk bisa mengerti etika
Jawa, memerlukan suatu keahlian mengartikan simbol-simbol tertentu dalam budaya
Jawa. Tapi tujuan akhir dari etika Jawa adalah sangat jelas tercermin dalam
kata-kata “mamayu hayuning bawana” atau melestarikan kesejahteraan dunia (alam
semesta).
Jadi “wong Jawa ilang Jawane”
juga bisa diartikan kehilangan kemampuan orang Jawa menterjemahkan
simbol-simbol dalam tata cara budaya Jawa. Jadi masyarakat hanya melihat segala
sesuatunya dari sisi luarnya atau sisi lahirnya saja, kurang mampu mengasah
bahasa bathinnya, jadi tidak mampu menterjemahkan simbol-simbol yang muncul
kepermukaan sebagai terjemahan dari bahasa etika agar bisa terjadi suatu
keseimbangan dan harmoni baik dalam masyarakat maupun dengan alam sekitarnya.
Oleh karena apa yang dilakukan justru sebaliknya, malahan menghancurkan/merusak
keseimbangan atau harmoni hubungan manusia dan manusia lainnya maupun hubungan
manusia dengan alam sekitarnya, bahkan merusak hubungan manusia dengan
Tuhannya.
Sebagai contoh: budaya wayang kulit
yang telah diakui oleh Unesco sebagai "Karya Agung Budaya Dunia" pada
tahun 2003, didalamnya terdapat simbol-simbol etika Jawa. Kalau kita melihat
wayang kulit hanya sekedar boneka terbuat dari cerma (kulit dan tulang) yang dimain-mainkan
oleh sang dalang, meaningless,
alias tidak punya arti apa-apa.
Menyelami budaya wayang kulit
sampai kita mengerti makna simbol-simbol yang terkandung didalamnya adalah
suatu “challenge” atau suatu tantangan. Seberapa banyak orang Jawa (Indonesia) saat ini mau menerima tantangan untuk mengerti budaya
wayang kulit dengan mempelajari kemudian menterjemahkan menjadi suatu ajaran
etika yang adhi luhung? Dalam Serat Centini Jilid 10 dikatakan bahwa: Nonton
wayang harus mengerti cerma (kulit dan tulang) dan cermin. Bukan hanya cerma (kulit dan tulang) yang dilihat tapi cermin dari sari cerita Ki Dalang.
Selain kurang memahami kesenian lokal
dan filosofi yang ada di baliknya ( seperti yang dideskripsikan dalam wayang
kulit diatas ) , masyarakat Jawa masa kini juga bisa dikatakan mulai melupakan
kebiasaaan untuk menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari.yang
sebenarnya di dalamnya terdapat tatanan yang mulia sebagai pembentuk etika
seseorang dalam bertata krama (bersopan santun) terhadap sesama.
Namun yang terjadi sekarang, kebanyakan
orang tua di Jawa yang notabene mereka adalah orang Jawa asli malu untuk mengajari
anak-anak mereka dengan bahasanya sendiri. Kuno,,ndeso,,mungkin kata itu
sekarang yang mereka tempatkan untuk bahasanya itu,,mereka lebih suka mengajari
anak mereka dengan “bahasa nasional” kita dan mungkin sampai ke bahas inggris .
Saya pribadi tidak melarang bahasa nasional untuk diajarkan kepada
anak-anak,,tetapi saya perlu tekankan bahwa banyak terjadi penyimpangan dalam
bahasa nasional kita sendiri,,banyak penggunaan dari bahasa nasional yang di
serap dengan cara bertutur budaya asing yang sangat lemah kesopanannya.
Bergesernya nilai budaya inilah yang
menjadikan etika anak-anak jawa menjadi terdegradasi. Mereka sudah kehilangan
tentang tatanan dalam ber”unggah-ungguh” terhadap yang lebih tua, sbaya, dan
yang lebih muda. Semua mereka sama ratakan dalam bertingkah laku. Wajar saja
sekarang banyak anak yang berani membangkang bahkan melawan orang tuanya
sendiri itu karena tidak adanya tatanan dalam bertingkah laku. Mereka menganggap
sama dengan usia sebaya mereka. Hal ini dikarenakan pengaruh bahasa yang mereka
pelajari dari kecil yang saya anggap bahasa nasional ala sekarang
sangat-sangatlah rusak. Tidak beretika. Karena budaya bisa di terapkan pada
setiap individu sejak kecil melalui apa yang mereka lihat,,dengar dan ucapkan.
Dan pada akhirnya saya mempunyai opini
tentang perlunya pendidikan bahasa khususnya bahasa jawa di kalangan
orang jawa. Karena dengan itulah budaya akan tetap terjaga dan bangsa ini tidak
hilang karasteristiknya dalam berbudaya,,saya kira tak perlu mengajari anak
dengan bahasa nasional sejak kecil dengan alasan supaya mereka mencintai
bangsanya. Itu alasan yang sama sekali tidak logis,,di karenakan pada waktu
mereka bersekolah pun 100% akan menggunakan bahasa nasional kita yaitu bahasa
Indonesia. Meniadakan pendidikan bahasa jawa bagi anak sama dengan
menghilangkan jati diri anak dari keragaman budaya bangsa ini yang
mengakibatkan akan tersesatnya mereka dalam timangan budaya moderintas yang
sungguh mendegradasikan etika anak bangsa.
Apakah
perlu para anggota Badan Kehormatan DPR belajar etika ke Yunani? Mau belajar Etika Barat yang telah menghasilkan Eropa
berabad-abad lamanya menjadi negara-negara penjajah? Menghasilkan
masyarakat Amerika Serikat yang pragmatis, cenderung ke atheis? Kenapa tidak
belajar etika saja ke Yogyakarta, belajar dengan Ki Manteb Sudarsana,
menterjemahkan cerita wayang kulit menjadi suatu ajaran etika yang adhi luhung,
asli budaya Jawa, asli budaya Indonesia. Ini yang namanya “wong Jawa ilang
Jawane” atau mungkin bisa diperluas menjadi “orang Indonesia, hilang Indonesia-nya”.
No comments:
Post a Comment