Oleh : Sae Panggalih
A. TANTANGAN KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA DI ERA KEKINIAN
Kebudayaan sebagai hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia memiliki tiga
wujud, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya, wujud yang kedua sebagai suatu kompleks
aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan wujud yang
terakhir ialah sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Di masa lalu, ketiga wujud kebudayaan diatas
sangatlah dijunjung tinggi keberadaannya di kalangan masayarakat Jawa, segala
sesuatu hal yang menyangkut kehidupan selalu saja dikaitkan dengan hal-hal yang
berbau kebudayaan lokal yang menjadi ciri khas dan merupakan jati diri dan
warisan leluhur yang terus berkembang di era tersebut . Bentuk-bentuk
kebudayaan lokal ini diantaranya berbentuk fisik maupun non fisik, seperti
bahasa Jawa, aksara Jawa, tata krama, wayang, gamelan Jawa, bermacam-macam
tarian, keris, ketoprak, dan batik..
Tapi di era
kekinian , semua wujud kebudayaan lokal yang ada seakan-akan telah terlupakan
dan luntur dimakan zaman baru yang menuntut segala sesuatunya harus berbau hal
yang berstatus ”modern” dan mengikuti
trend yang sedang berlaku secara internasional. Pola pemikiran yang telah
bergeser tersebut mengakibatkan keberadaan kebudayaan lokal masyarakat Jawa
semakin luntur dikarenakan sudah dianggap sebagai wujud kebudayaan yang kuno
dan tidak sesuai apabila diterapkan dalam kehidupan masayarakat Jawa modern, di
era kekinian masyarakat Jawa modern sudah tidak mau direpotkan lagi dengan pakem-pakem tradisi yang dianggap sangat
sulit untuk dimengerti dan diterapkan dalam kehidupan generasi Jawa sekarang .
Munculnya ketidakpedulian masyarakat Jawa modern terhadap
kebudayaannya sendiri, disinyalir muncul akibat adanya fenomena globalisasi dan
modernisasi yang selalu dijadikan acuan atau kiblat kebudayaan bagi generasi
Jawa era sekarang yang selalu menganggap kebudayaan luar negeri jauh lebih
keren dan modern dibandingkan dengan kebudayaan Jawa yang dianggap kuno dan
dipenuhi berbagai macam aturan yang berbelit-belit . Selain itu, munculnya fenomena globalisasi dan
modernisasi pada kebudayaan Jawa bukanlah menjadi hal yang mengherankan lagi
dikarenakan virusnya sudah berkembang
di hampir seluruh pelosok dunia, terutama dinegara-negara berkembang. Perkembangan
kebudayaan yang sudah dipengaruhi unsur modernisasi dan globalisasi ini terus
berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia sesuai dengan
berkembangannya pengetahuan manusia untuk menciptakan inovasi baru. Seperti
halnya peradaban manusia yang berkembang secara bertahap dari zaman prasejarah
hingga zaman sejarah. Kebudayaan juga berkembang secara bertahap mengikuti
perkembangan zaman. Globalisasi dan modernisasi dalam bidang kebudayaan dapat dilihat
dengan semakin luasnya masyarakat dunia mengenal suatu kebudayaan dari suatu
daerah. Seperti yang diungkapan oleh Anthony Giddens yang menyatakan bahwa modernitas
meruntuhkan jarak antar ruang dan waktu.
Tetapi bagi kehidupan masyarakat Jawa modern , fenomena globalisasi dan
modernisasi kebudayaan yang ada justru bukanlah dianggap sebagai suatu hal
menguntungkan bagi kelompok masyarakat ini, melainkan lebih dianggap sebagai
dua tantangan besar yang secara perlahan-lahan menggerogoti sendi-sendi kekayaan
kebudayaan Jawa yang adi luhung. Dalam pelaksanaannya, globalisasi dan
modernisasi yang terjadi pada kebudayaan Jawa justru lebih memberikan dampak
negatifnya , misalnya jika kita
berbicara mengenai attitude atau tingkah laku kaum muda Jawa sekarang ini,
pasti jauh lebih berbeda dengan tingkah laku kaum muda Jawa tempo dulu. Apalagi
dengan adanya globalisasi dan modernisasi yang begitu pesat berkembangnya
sampai saat ini. Bahasa, yang merupakan kebudayaan yang sangat krusial saja,
mulai tidak dimengerti oleh kebanyakan kaum muda, terlebih lagi bahasa lokal
yang terwujud dalam Basa Jawa .
Pendidikan yang seharusnya berperan penting dalam pelestarian budaya lokal
khususnya bahasa Jawa, malah memandang sebelah mata pelajaran muatan lokal yang
satu ini . Justru, Bahasa yang lebih sering mereka gunakan adalah bahasa asing yang
membuat mereka bangga akan hal itu . memang baik mempelajari bahasa asing itu,
tetapi Jangan sampai kita harus menyingkirkan dan mengesampingkan bahasa lokal .
Selain bahasa, tingkah laku generasi muda Jawa yang sudah jarang sekali muncul
adalah menunjukkan tata krama di dalam
hidupnya yang perlahan mulai hilang akibat munculnya fenomena modernisasi .
masyarakat Jawa sekarang ini justru lebih banyak dijejali oleh tayangan-tayangan
yang menampilkan kehidupan budaya barat yang jelas-jelas itu tidak sesuai
dengan adat dan budaya ketimuran . Tayangan kekerasan, seksualitas, irasional,
dan lain sebagainya itu membuat dan mempengaruhi kaum muda sendiri dalam
bertingkah laku atau bertata krama.
Selain menawarkan hiburan berbau kebarat-baratan, hiburan model lain
(bentuk baru) nyaris membanjiri masyarakat Jawa baik di kota maupun di
pelosok-pelosok desa. Sebagian hiburan bentuk baru tersebut disodorkan kepada
masyarakat Jawa modern melalui perangkat-perangkat elektronik yang bisa dibeli
oleh masyarakat dengan harga yang semakin murah. Orang tidak harus pergi
jauh-jauh dari rumah untuk menikmati hiburan. Menikmati pentas wayang kulit
bisa dilakukan di rumah, cukup dengan cara menyetel TV atau mengaktifkan Compact
Disc (CD). Serbuan hiburan melalui perangkat elektronik berlangsung
secara massif. Studio TV berdiri di mana-mana, bahkan studio TV lokal berdiri
di hampir setiap ibukota propinsi yang jangkauan siarannya sampai ke
pelosok-pelosok desa. Bisa jadi, kondisi semacam inilah yang pada akhirnya
mengerogoti eksistensi kesenian tradisional. Masyarakat mungkin berpikir,
sama-sama mencari kepuasan batin dengan dunia hiburan, ngapain harus jauh-jauh
menonton kesenian tradisional secara live kalau menonton
hiburan lain yang jauh lebih praktis telah tersedia. Dengan adanya TV yang
menyiarkan berbagai bentuk hiburan dari yang tradisional sampai yang modern,
masyarakat kemudian memiliki kesempatan untuk memilih dan memilah serta
membandingkan dengan bentuk kesenian tradisional yang biasanya ditonton
secara live di sekitar mereka. Bagi yang beranggapan bahwa
kesenian tradisional ternyata tidak menghibur jika dibandingkan dengan kesenian
yang disiarkan melalui TV, yang sebagian besar adalah bentuk kesenian modern,
maka mereka dengan segera akan meninggalkan kesenian tradisional. Jika kondisi
tersebut tidak diimbangi dengan kreatifitas para pelaku kesenian tradisional
dalam rangka melakukan adaptasi terhadap perkembangan zaman, maka pelan-pelan
kesenian tradisional tersebut pasti akan kehilangan pengikut atau penonton.
Padahal, kesenian tradisional tanpa penonton ibarat guru yang tidak memiliki
murid. Eksistensinya sebagai media hiburan akan hilang.
Disamping menggerus nilai budaya lokal yang ada, fenomena modernisasi dan
globalisasi juga merusak gaya berinteraksi generasi Jawa masa kini . Dijaman
modern yang menyajikan sesuatu yang serba cepat , efisien, dan instan , kaum
muda Jawa saat ini sangat dimudahkan untuk berinteraksi . Jika flashback atau
kembali ke masa lalu, apabila kita ingin bertemu dengan sesorang, maka harus
dilakukan secara langsung dikarenakan tidak adanya alat komunikasi praktis
diera itu . Tetapi sekarang, dengan
kecanggihan teknologi yang ada, hubungan telekomunikasi antar negara pun bisa
kita jangkau. Tetapi hal tersebut, justru membuat masayarakat jawa modern
menjadi cenderung disibukkan dengan jejaring sosial yang sedang tren pada saat
ini, hal demikian memungkinkan kaum muda Jawa menjadi malas untuk berinteraksi
dan berbaur dengan masyarakat sekitarnya karena mereka hanya fokus dan sibuk
dengan urusan pribadinya dan lebih mengenyampingkan urusan sosial, dan hal itu
tetunya bisa menghapus image orang
jawa yang selalu dikenal dengan sikap ramah , grapyak, dan senang
menghabiskan waktu luangnya dengan bercengkrama secara langsung dengan orang
lain .
B.
SETITIK HARAPAN BAGI KEBUDAYAAN MASYARAKAT
JAWA DI ERA KEKINIAN
|
Dibalik tantangan arus Globalisasi dan Modernisasi
yang semakin menggerus sendi-sendi kebudayaan lokal masyarakat Jawa. Ternyata masih
ada saja beberapa tokoh pelestari kebudayaan Jawa yang masih peduli terhadap
keberadaan kesenian tradisi dan bisa memberikan harapan bagi kelestarian budaya
Jawa di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang semakin menggila , Para
Seniman tersebut diantaranya adalah :
1.
Seniman pertama ialah Bondan Nusantara, seorang
sutradara dan penulis ketoprak di tahun 80′an dari Yogyakarta. Bondan sudah
menggeluti ketoprak selama lebih dari 40 tahun tepatnya selepas SMA dengan
bergabung dalam Ketoprak Tobong. Kehadirannya di dunia ketoprak memberi warna
tersendiri lewat beberapa ide baru seperti halnya ketoprak kolosal, ketoprak
sayembara, ketoprak plesetan dan ketoprak ngoko. Hingga saat ini Bondan masih
rajin menulis naskah ketoprak serta melatih anak-anak muda dan murid sekolah
dasar untuk mencintai ketoprak tradisional .
2.
Tokoh kedua yaitu, Ki Anom Suroto. Dalang kelahiran
11 Agustus 1948 ini belajar wayang sejak umur 12 tahun. Ia belajar wayang dari
ayahnya Ki Sabiyun Hardjodarsono. Tokoh yang satu ini getol membina
pedalangan dengan membina dalang-dalang muda. Secara berkala pada malam Rabu
Legi, ia menggelar sarasehan dan pentas pedalangan di rumahnya. Selain itu,
Beliau juga memprakarsai pendirian Yayasan Sesaji Dalang yang bertujuan
membantu para seniman perdalangan. Agar tidak ditinggal generasi muda, Anom
mampu menyederhanakan bahasa wayang sehingga mudah diterima publik tanpa
meninggalkan keluhuran budaya itu sendiri.
3.
Tokoh ketiga yaitu H Achmad Tobroni, yang lebih
dikenal Mbah Tobron menghidupkan seni reog saat sempat mati suri pasca
tragedi 1965. Saat itu banyak warok ditangkap karena dianggap ikut
terlibat organisasi terlarang PKI. Bersama para warok yang tergabung dalam
warok cokromenggalan, Mbah Tobron berusaha melakukan pembaharuan dalam pertunjukan
maupun organisasi kesenian. Ia juga gigih membela ketika reog diklaim sebagai
kesenian Malaysia. Selai itu, Ia juga ikut mendirikan Yayasan Reog Ponorogo
sebagai upaya melestarikan kesenian reog melalui keikutsertaan generasi muda di
dalam memainkan kesenian Reog Ponorogo .
4. Tokoh keempat yaitu Tegowati, Gadis muda asal Bojonegoro ini bisa dikatakan
sangat menjaga tradisi budaya jawa yang mulai hilang di tinggalkan oleh
generasinya. Tegowati adalah
contoh salah satu sinden atau ledek ataupun lebih dikenal dengan sebutan sindir
yang tetap berusaha mempertahankan kesenian yang sangat akrab dengan
masyarakat kalangan bawah bahkan untuk saat ini sudah merambah sampai ke
tingkat kalangan atas. Dengan kecintaannya melestarikan budaya jawa ini sampai
mengantarkan Tegowati untuk lebih kenal dengan salah satu budayawan Indonesia
dan sudah tak asing lagi namanya di telinga para seniman, nama budayawan
tersebut adalah Aswindo Atmowiroto .
Jika melihat dari sedikit profil
beberapa tokoh-tokoh pelestari budaya diatas, kita sebagai bagian dari
masyarakat Jawa modern haruslah bangga karena ternyata di tengah arus
modernitas yang semakin mendunia, masih ada saja beberapa orang Jawa modern
yang berusaha mewariskan kebudayaan lokal kepada generasi muda yang notabene
erat sekali dengan kebudayaan modern.
Dan seharusnya, harapan pelestarian
budaya lokal tidak hanya menjadi tanggung jawab perorangan para seniman saja ,
melainkan harapan pelestarian kebudayaan lokal ini juga harus mendapat
perhatian khusus dari pihak pemerintah melalui pengimplementasian kebijakan-kebijakan yang mengarah
pada upaya pelestarian kebudayaan nasional. Salah satu kebijakan pemerintah
yang pantas didukung adalah penampilan kebudayaan-kebudayaan daerah disetiap
even-even akbar nasional. Misalnya saja tarian-tarian, lagu daerah, makanana
khas daerah, dan lain sebagainya. Karena dengan semakin majunya perkembangan
teknologi dan modernisasi menyebabkan kebudayaan asli daerah itu semakin
terpinggirkan, Karena yang kita tahu selama ini, acara-acara perhelatan besar
justru mengundang atau menampilkan artis, tarian atau dance modern yang itu
jelas-jelas bukan kebudayaan asli bangsa kita yakni bangsa Indonesia.
Dengan menampilkan tarian-tarian, lagu-lagu daerah, makanan khas, dan lain
sebagainya semua itu harus dilakukan sebagai upaya pengenalan kepada generasi
muda, bahwa budaya yang ditampilkan itu adalah warisan leluhur kita yang harus
dijaga, dilestarikan dan diperkenalkan kepada dunia bahwa itu semua adalah
kebudayaan asli bangsa Indonesia dan kita harus bangga akan kebudayaan yang
kita miliki, karena kita tinggal, karena kita berbahasa, dan karena kita ini
adalah warga masyarakat Indonesia. Demikian juga upaya-upaya melalui jalur
formal yakni pendidikan. Masyarakat harus memahami dan mengetahui berbagai
kebudayaan daerah yang kita miliki. pemerintah juga dapat lebih memusatkan
perhatiannya pada pendidikan muatan lokal kebudayaan daerah .
Realisasi
Upaya-upaya diatas, baik yang dilakukan oleh para seniman secara perorangan
maupun yang dilakukan oleh pemerintah harus kita yakini sebagai suatu strategi
yang jitu untuk memberikan setitik harapan besar bagi kelestarian kebudayaan
tradisi yang ada , yang terwujud dalam pelestarian bahasa daerah, kesenian
daerah, dan kebudayaan lainnya, khususnya yang terdapat dalam kebudayaan Jawa
agar tidak ditinggalkan oleh kawula muda yang notabene akan menjadi penerima
tongkat estafet kebudayaan untuk dilestarikan. Apa salahnya bangga akan kebudayaan lokal (
khususnya Jawa ) , karena kita ini
adalah bangsa yang kaya akan kebudayaan yang sudah diwariskan sejak dahulu
kala, kita tunjukkan kepada dunia bahwa kebudayaan itu tidak ulet dan kolot,
kebudayaan itu tidak ketinggalan jaman, asal kita sebagai kaum muda mau
mengangkat pamor, melestarikan keberadaan budaya lokal, dan terlibat langsung
didalamnya untuk menjadikan kebudayaan itu sendiri tetap hidup dalam bangsa dan
hati warga masyarakat Indonesia.
C. CATATAN PENUTUP
B
|
eragam wujud warisan lokal memberi kita kesempatan untuk mempelajarinya.
Masalah kebudayaan lokal sering kali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya
dengan masa sekarang apalagi masa depan. Dampaknya banyak warisan buadaya yang
lupuk dimakan usia, terlantar, terabaikan, dan bahkan diklaim oleh negara
tetangga. Padahal banyak negara yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari
jatidirinya dari tinggalan sejarah dan warisan budaya yang sedikit jumlahnya.
Kita sendiri bangsa Indonesia yang kaya dengan warisan budaya justru
mengabaikan asset yang tak ternilai harganya. Sungguh kondisi yang
kontradiktif.
Kita sebagai bangsa dengan jejak perjalanan sejarah yang panjang sehingga
kaya akan keanekaragaman budaya lokal seharusnya mati-matian melestarikan
budaya dari warisan jaman dulu. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu
menjadi awet dan tidak punah. Melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang
sangat lama dan terus turun-temurun ke anak cucu kita. Jadi bukan pelestarian
yang hanya sesaat, berbasis proyek, donor, dan tanpa akar yang kuat didalam
masyarakat itu sendiri. Pelestarian tidak akan dapat bertahan dan berkembang
jika tidak didukung oleh masyarakat luas dan menjadi bagian nyata dari
kehidupan kita. Para pakar pelestarian kebudayaan harus turun dari menara
gadingnya dan merangkul masyarakat menjadi pecinta pelestarian kebudayaan yang
bergairah. Pelestarian kebudayaan jangan hanya tinggal dalam buku tebal
disertai para doktor, jangan hanya diperbincangkan dalam seminar para
intelektual dihotel mewah, dan lain sebagainya. Pelestarian kebudayaan harus hidup dan berkembang
dimasyarakat, atau bahkan dunia.
Intinya adalah Kebudayaan sebagai warisan dunia tak akan ternilai harganya
jika dibandingkan dengan sebuah harta. Karena kebudayaan itu diciptakan tidak
lebih dan tidak kurang berpuluh-puluh ribu tahun atau bahkan berjuta-juta tahun
yang lalu. Dan itu merupakan warisan dunia yang tersebar luas tidak hanya pada
negara Indonesia saja, tetapi hampir semua negara memiliki kebudayaannya
masing-masing dengan ciri, serta khasnya yang berbeda-beda.
No comments:
Post a Comment