Tuesday, October 22, 2013

GILO-GILO ( POKOKMEN RASANE CIAMIK TUENAN )

Gilo-gilo, Dulu Pakai Pikulan

( MENIKMATI SAJIAN JAJANAN LEZAT ASLI KOTA SEMARANG ) 

SUMBER : KORAN SUARA MERDEKA EDISI SABTU 21 AGUSTUS 2004 


Gerobak Gilo-gilo yang fenomenal di Bumi Lumpia
ANDA ingin menikmati aneka penganan hanya dengan Rp 5.000? Kalau di Semarang, jawabannya mudah. Cari saja penjual gilo-gilo yang biasa mangkal di ujung gang, perempatan, atau pusat-pusat keramaian. Pilih jenis penganan yang Anda suka. Gorengan, tahu bacem, intip, kerupuk mi, sate usus, saren goreng, atau buah-buahan, seperti semangka, pepaya, melon, nanas, dan bengkoang.
Lalu nikmati saja, bisa sembari duduk di bangku yang disediakan sang penjual, atau cukup dengan berdiri di samping gerobak tempat aneka penganan itu disajikan. Ya, hanya dengan Rp 5.000 selera jajan Anda terpuaskan.
Gilo-gilo adalah jenis asongan khas yang hanya dijumpai di Semarang. Para pedagangnya menggunakan peranti sebuah gerobak, untuk menyajikan beragam jenis penganan yang mereka jajakan. Bentuk gerobaknya sangat khas, berukuran sekitar 1 x 1,5 meter, dengan penutup yang biasanya terbuat dari plastik atau kaca. Meski jenis penganan yang disajikan beragam, harganya seragam.
Lantas bagaimana awal mula jenis asongan penganan itu terdapat di Semarang? Mengapa disebut gilo-gilo? Jawaban dari pertanyaan itu dapat digali dari penuturan Wijo Soewarno (55), penjual gilo-gilo yang biasa mangkal di sisi timur gedung Shopping Centre Johar (bekas Matahari).
Wijo, demikian lelaki bertubuh subur itu akrab dipanggil, mengaku berdagang gilo-gilo sejak tahun 1963, saat kali pertama datang ke Semarang. Dia mengikuti jejak kakeknya Hardjo Ireng dan kakak kandungnya Hardjo Soewito yang lebih dulu berjualan gilo-gilo. Mengenai awal mula keberadaan penjual gilo-gilo, Wijo menduga sudah ada sejak zaman Belanda.
Luar Semarang
Sebagian besar penjual gilo-gilo saat itu berasal dari luar Semarang, seperti Pedan, Klaten, Sukoharjo, dan Boyolali. Mungkin mereka mengembangkan model jualan penganan gaya Solo yang dikenal sebagai ''hik''.
Saat itu penjual gilo-gilo masih menggunakan pikulan. Itu disesuaikan kondisi jalan di Kota Semarang yang belum banyak beraspal. Pikulan terbuat dari bambu. Penganan ditempatkan dalam kotak papan, sedangkan talinya dari rotan. Jenis penganan yang dijajakan saat itu, tak beda jauh dengan yang dijual sekarang. Kalau ada yang hilang, paling-paling hanya beberapa jenis, seperti rambak kambing goreng atau oyol-oyol (sejenis jenang yang terbuat dari jagung giling). Selebihnya itu sama. Saat itu, ada dua tempat yang dia jadikan sebagai pangkalan, yakni Pengapon dan alun-alun. Dia berjualan menjelang tengah hari hingga menjelang magrib. Pada1970-an, padagang gilo-gilo beralih menggunakan gerobak. (Rukardi-64b)

No comments:

Post a Comment