Tuesday, October 22, 2013

wawancara rasika dengan pakar batik semarang

INFORMASI DI BAWAH INI MERUPAKAN HASIL  WAWANCARA HARIS WB ( PENYIAR RADIO RASIKA ) BERSAMA SEORANG PENELITI BATIK SEMARANG Dr. DEWI YULIATI MA ( DOSEN JURUSAN SEJARAH FIB UNDIP )
TENTANG PERKEMBANGAN BATIK SEMARANGAN

1.   Bu saya baca penelitian anda. Petunjuk pertama yang bisa dijadikan acuan untuk menelusuri sejarah batik di semarang adalahKampung Batik. Betul ya bu?


Menurut Serat Kandhaning Ringit Purwo naskah KGB Nr. 7, pada tahun 1476 Ki Pandan Arang I telah menetap di pulau Tirang. Peristiwa itu ditandai dengan candra sengkala Awak Terus Cahya Jati. Kemudian dikisahkan juga bahwa Ki Pandan Arang membuka tempat pemukiman baru di daerah pegisikan (pantai). Menurut tradisi Semarang, tempat itu diberi nama Bubakan yang berasal dari kata bubak, yang berarti membuka sebidang tanah dan menjadikannya sebagai tempat pemukiman. Di tempat ini Ki Pandan Arang I menjabat sebagaijuru nata (pejabat kerajaan) di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Karena kawasan Bubakan menjadi tempat tinggal sang juru nata, tempat tersebut juga dikenal dengan Jurnatan.
Suatu hal yang lazim di Jawa adalah bahwa di sekitar pusat-pusat kekuasaan kuno terdapat kampung-kampung (toponim) yang diberi ama sesuai dengan profesi atau mata pencarian penduduknya. Profesi penduduk itu muncul sebagai akibat logis dari permintaan pasar dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tinggal di wilayah pusat-pusat pemerintahan itu. Beberapa toponim yang terletak di pusat pemerintahan Semarang kuno (di sekitar Bubakan) adalah: Kampung Batik (tempat perajin batik), Pedamaran (tempat perdagangan damar/bahan pewarna batik), Sayangan (tempat perajin alat-alat rumah tangga dari logam/tembaga), Petudungan (tempat perajin caping), Kulitan (tempat perajin/pengusaha kulit), Petolongan (tempat tukang-tukang talang), Gandekan (tempat perajin emas), Gendingan (tempat pembuat gamelan), dan sebagainya.
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas, dilakukan penelusuran sumber sejarah di Kampung Batik dengan metode sejarah lisan. Beberapa informan sesepuh di kampung itu membenarkan bahwa dulu Kampung Batik memang pernah menjadisentra perajin batik sampai dengan masa penjajahan Jepang (1942-1945). Menurut Jamini, sesepuh di Kampung Batik, perajin batik tidak hanya berasal dari Kampung Batik, tetapi juga dari Kampung Kulitan, Bugangan, Rejosari, dan lain-lain. Dari penuturan Ibu Tien Wahono, dapat diketahui bahwa dulu di Kampung Batik terdapat seorang juragan batik besar, bernama Ibu Darso, yang memasarkan batik-batik dari kampung Batik ke Pasar Djohar. Tien Wahono juga memberi kesaksian bahwa nenek, ibu, bude, dan bulik-nya adalah perajin batik di Kampung Batik.


Bukti lain yang menunjukkan bahwa di Semarang pernah berkembang pesat industri-industri kerajinan batik adalah laporan pemerintah kololonial Belanda tentang industri-industri di berbagai keresidenan di Jawa pada perempat pertama abad ke-20.
dokumen dari pemerintah kolonial belanda sepanjang tahun 1919 sampai 1925 menunujukkan peningkatan industri batik yg cukup signifikan. Tahun 1919 baru ada 25 industri batik tapi pada tahun 1925 sudah meningkat mewjadi 107 industri batik. Jumlah tenaga kerja juga meningkat. tahun 1919 ada sekitar 250 an tengaa kerja tahun 1925 meningkat hampir seribu tenaga kerja.
Peningkatan jumlah perajin batik di Kota Semarang pada waktu itu disebabkan oleh terutama kondisi krisis ekonomi setelah Perang Dunia pertama. Impor tekstil dari India, Belanda dan Inggris terhenti, sehingga penduduk berusaha untuk memenuhi sendiri kebutuhan akan bahan sandang dengan cara membatik, yang merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh kain dengan motif-motif yang dikehendaki. Perlu diketahui bahwa ketika itu di Indonesia belum membudaya sistem cap, apalagi sistem printing yang baru berkembang pada era 1970-an.

2.    Tapi sayang ya bu ketika jepang masuk Semarang kampung batik terbakar. Bu Dewi gimana ini ceritanya ?



Ketika tentara Jepang akan memasuki Kota Semarang pada tahun 1942 pemerintah Belanda di semarang memberikan instruksi secara diam-diam kepada penduduk untuk membumihanguskan tempat-tempat yang memiliki potensi ekonomi, seperti gudang-gudang, pelabuhan, toko-toko, sentra-sentra industri, dan lain-lain. Kampung Batik pun menjadi sasaran pembakaran, meskipun belum seluruhnya musnah. Surutnya kegiatan membatik di kampung batik diperparah oleh peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang antara pemuda Indonesia dan tentara Jepang yang berlangsung pada 15-19 Oktober 1945. Pada tanggal 15 Oktober 1945 tentara Jepang membakar rumah-rumah penduduk di kampung-kampung di Kota Semarang, meliputi: Kampung Batik, Lempongsari, Depok, Taman Serayu, Pandean Lamper, dan lain-lain. Karena peristiwa pembumihangusan itu, seluruh peralatan membatik di Kampung Batik ikut terbakar, dan kegiatan membatik di kampung itu pun terhenti. Tapi syukur Aalhamdulillah mas Haris, pembakaran Kampung Batik itu, ternyata, tidak melumpuhkan usaha di sektor batik dan tidak menghanguskan sejarah batik semarang.



Jadi setelah kampung batik di bumi hanguskan oleh peperanagan ternyata di Semarang, masih bertahan hidup perusahaan batik milik orang Cina peranakan di Kampung Bugangan. Perusahaan ini berkembang sejak awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1970-an, bernama Tan Kong Tien Batikkerij. Pemilik perusahaan bernama Tan Kong Tien, yang menikah dengan Raden Ayu Dinartiningsih, salah satu keturunan Hamengku Buwana III dari Kesultanan Jogjakarta.
Tan Kong Tien adalah salah seorang putera dari Tan Siauw Liem, seorang tuan tanah di Semarang, yang mendapat gelar mayor dari pemerintah Hindia Belanda. Kekayaan tanahnya meliputi kawasan Bugangan sampai Plewan, seluas 90 ha. Karena kekayaan itu, tidaklah mengherankan jika putera Tan Siauw Liem itu diambil sebagai menantu oleh sultan di Jogjakarta. Tan Kong Tien memperoleh keahlian membatik dari istrinya yang masih kerabat keraton Jogja itu. Keahlian dalam pengelolaan usaha batik diturunkan kepada puteri Tan Kong Tien, Raden Nganten Sri Murdijanti, yang meneruskan perusahaan Tan Kong Tien sampai dengan tahun 1970-an. Setelah kemerdekaan Indonesia, Raden Nganten Sri Murdijanti memperoleh hak monopoli batik untuk wilayah Jawa Tengah dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Pemesan batik pada masa kolonial Belanda berasal dari kalangan pejabat pemerintahan, para turis, dan pedagang. Produk-produk yang dipesan berupa jarit/nyamping, selendang, dasi, dan topi. Pada tahun 1970, perusahaan batik Tan Kong Tien surut, karena tidak ada lagi generasi penerusnya.

3.     Nah bu selanjutnya bagaimana perkembangan batik semarang sampai saat ini ?

 

Sebetulnya sekitar tahun1950-an di Semarang ada perusahaan batik ASACO yang bertempat di Jalan Senjoyo II No. 13. Tetapi, sampai saat ini jejak-jejak sejarahnya belum terungkap. Lalu tahun 1980 muncul perusahaan batik Sri Retno, bertempat di Jati Ngaleh. Motif-motif batiknya bervariasi, namun juga memproduksi batik dengan icon Kota Semarang, seperti Tugu Muda. Tahun 2000 berkembang di kawasan Tembalang, di perumahan Bukit Kencana, perusahaan batik Umizie, yang pada pertengahan tahun 2006 berganti nama Sanggar Batik Semarang 16. Selain memproduksi batik dengan motif-motif Semarang kuno (dari abad ke-19), sanggar batik ini pun menghasilkan batik dengan icon-icon Kota Semarang, seperti: Tugu Muda Kiniteran Sulur, Asem Arang, Lawang Sewu, Kawung Semawis, dan lain-lain. Untuk memperlancar produksi, Sanggar Batik Semarang 16 juga mengusahakan sistem cap agar dapat menghasilkan tekstil dengan motif batik, dalam jumlah lebih banyak dan dengan harga yang lebih murah. Tahun 2007, lahir usaha batik Batik Semarang Indah di Kampung Batik. Usaha batik ini merupakan salah satu hasil dari kegiatan pelatihan membatik di Kampung Batik, yang diselenggarakan oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kota Semarang yang bekerja sama dengan para peneliti dari Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UNDIP. Motif-motif batik yang dihasilkannya adalah terutama motif-motif Semarang, baik yang tradisional maupun kontemporer.


No comments:

Post a Comment