INFORMASI DI BAWAH INI MERUPAKAN HASIL WAWANCARA HARIS WB ( PENYIAR RADIO RASIKA )
BERSAMA SEORANG PENELITI BATIK SEMARANG Dr. DEWI YULIATI MA ( DOSEN JURUSAN
SEJARAH FIB UNDIP )
TENTANG PERKEMBANGAN BATIK SEMARANGAN
1. Bu saya
baca penelitian anda. Petunjuk pertama yang bisa dijadikan acuan untuk
menelusuri sejarah batik di semarang adalahKampung Batik. Betul ya bu?
Menurut
Serat Kandhaning Ringit Purwo naskah KGB Nr. 7, pada tahun 1476 Ki Pandan Arang
I telah
menetap di pulau Tirang. Peristiwa itu ditandai dengan candra sengkala Awak
Terus Cahya Jati. Kemudian dikisahkan juga bahwa Ki Pandan Arang membuka tempat
pemukiman baru di daerah pegisikan (pantai). Menurut tradisi Semarang, tempat
itu diberi nama Bubakan yang berasal dari kata bubak, yang berarti membuka
sebidang tanah dan menjadikannya sebagai tempat pemukiman. Di tempat ini Ki
Pandan Arang I menjabat sebagaijuru nata (pejabat kerajaan) di bawah kekuasaan
kerajaan Demak. Karena kawasan Bubakan menjadi tempat tinggal sang juru nata,
tempat tersebut juga dikenal dengan Jurnatan.
Suatu
hal yang lazim di Jawa adalah bahwa di sekitar pusat-pusat kekuasaan kuno
terdapat kampung-kampung (toponim) yang diberi ama sesuai dengan profesi atau
mata pencarian penduduknya. Profesi penduduk itu muncul sebagai akibat logis
dari permintaan pasar dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tinggal
di wilayah pusat-pusat pemerintahan itu. Beberapa toponim yang terletak di
pusat pemerintahan Semarang kuno (di sekitar Bubakan) adalah: Kampung Batik
(tempat perajin batik), Pedamaran (tempat perdagangan damar/bahan pewarna
batik), Sayangan (tempat perajin alat-alat rumah tangga dari logam/tembaga),
Petudungan (tempat perajin caping), Kulitan (tempat perajin/pengusaha kulit),
Petolongan (tempat tukang-tukang talang), Gandekan (tempat perajin emas),
Gendingan (tempat pembuat gamelan), dan sebagainya.
Berdasarkan
fenomena yang telah diuraikan di atas, dilakukan penelusuran sumber sejarah di
Kampung Batik dengan metode sejarah lisan. Beberapa informan sesepuh di kampung
itu membenarkan bahwa dulu Kampung Batik memang pernah menjadisentra perajin
batik sampai dengan masa penjajahan Jepang (1942-1945). Menurut Jamini, sesepuh
di Kampung Batik, perajin batik tidak hanya berasal dari Kampung Batik, tetapi
juga dari Kampung Kulitan, Bugangan, Rejosari, dan lain-lain. Dari penuturan
Ibu Tien Wahono, dapat diketahui bahwa dulu di Kampung Batik terdapat seorang
juragan batik besar, bernama Ibu Darso, yang memasarkan batik-batik dari
kampung Batik ke Pasar Djohar. Tien Wahono juga memberi kesaksian bahwa nenek,
ibu, bude, dan bulik-nya adalah perajin batik di Kampung Batik.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa di
Semarang pernah berkembang pesat industri-industri kerajinan batik adalah
laporan pemerintah kololonial Belanda tentang industri-industri di berbagai
keresidenan di Jawa pada perempat pertama abad ke-20.
dokumen dari pemerintah kolonial
belanda sepanjang tahun 1919 sampai 1925 menunujukkan peningkatan industri
batik yg cukup signifikan. Tahun 1919 baru ada
25 industri batik tapi pada tahun 1925 sudah meningkat mewjadi 107 industri
batik. Jumlah tenaga kerja juga meningkat. tahun 1919 ada sekitar 250 an tengaa
kerja tahun 1925 meningkat hampir seribu tenaga kerja.
Peningkatan jumlah perajin batik
di Kota Semarang pada waktu itu disebabkan oleh terutama kondisi krisis ekonomi
setelah Perang Dunia pertama. Impor tekstil dari India , Belanda dan Inggris
terhenti, sehingga penduduk berusaha untuk memenuhi sendiri kebutuhan akan
bahan sandang dengan cara membatik, yang merupakan satu-satunya cara untuk
memperoleh kain dengan motif-motif yang dikehendaki. Perlu diketahui bahwa
ketika itu di Indonesia belum membudaya
sistem cap, apalagi sistem printing yang baru berkembang pada era 1970-an.
2. Tapi sayang ya bu ketika jepang
masuk Semarang kampung batik terbakar. Bu Dewi gimana ini ceritanya ?
Ketika tentara Jepang akan memasuki Kota Semarang pada tahun 1942
pemerintah Belanda di semarang memberikan instruksi secara diam-diam kepada
penduduk untuk membumihanguskan tempat-tempat yang memiliki potensi ekonomi, seperti gudang-gudang,
pelabuhan, toko-toko, sentra-sentra industri, dan lain-lain. Kampung Batik pun
menjadi sasaran pembakaran, meskipun belum seluruhnya musnah. Surutnya kegiatan
membatik di kampung batik diperparah oleh peristiwa Pertempuran Lima Hari di
Semarang antara pemuda Indonesia dan tentara Jepang
yang berlangsung pada 15-19 Oktober 1945. Pada tanggal 15 Oktober 1945 tentara
Jepang membakar rumah-rumah penduduk di kampung-kampung di Kota Semarang, meliputi:
Kampung Batik, Lempongsari, Depok, Taman Serayu, Pandean Lamper, dan lain-lain. Karena peristiwa
pembumihangusan itu, seluruh peralatan membatik di Kampung Batik ikut terbakar,
dan kegiatan membatik di kampung itu pun terhenti. Tapi syukur Aalhamdulillah
mas Haris, pembakaran Kampung Batik itu, ternyata, tidak melumpuhkan usaha di
sektor batik dan tidak menghanguskan sejarah batik semarang.
Jadi setelah kampung batik di bumi hanguskan oleh peperanagan ternyata
di Semarang , masih bertahan
hidup perusahaan batik milik orang Cina peranakan di Kampung Bugangan.
Perusahaan ini berkembang sejak awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1970-an,
bernama Tan Kong Tien Batikkerij. Pemilik perusahaan bernama Tan Kong Tien,
yang menikah dengan Raden Ayu Dinartiningsih, salah satu keturunan Hamengku
Buwana III dari Kesultanan Jogjakarta.
Tan Kong Tien adalah salah seorang putera dari Tan Siauw Liem, seorang
tuan tanah di Semarang , yang mendapat gelar
mayor dari pemerintah Hindia Belanda. Kekayaan tanahnya meliputi kawasan
Bugangan sampai Plewan, seluas 90 ha. Karena kekayaan itu,
tidaklah mengherankan jika putera Tan Siauw Liem itu diambil sebagai menantu
oleh sultan di Jogjakarta . Tan Kong Tien
memperoleh keahlian membatik dari istrinya yang masih kerabat keraton Jogja
itu. Keahlian dalam pengelolaan usaha batik diturunkan kepada puteri Tan Kong
Tien, Raden Nganten Sri Murdijanti, yang meneruskan perusahaan Tan Kong Tien
sampai dengan tahun 1970-an. Setelah kemerdekaan Indonesia, Raden Nganten Sri
Murdijanti memperoleh hak monopoli batik untuk wilayah Jawa Tengah dari
Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Pemesan batik pada
masa kolonial Belanda berasal dari kalangan pejabat pemerintahan, para turis,
dan pedagang. Produk-produk yang dipesan berupa jarit/nyamping, selendang, dasi, dan
topi. Pada tahun 1970, perusahaan batik Tan Kong Tien surut, karena tidak ada
lagi generasi penerusnya.
3. Nah bu selanjutnya bagaimana
perkembangan batik semarang sampai saat ini ?
Sebetulnya sekitar tahun1950-an di Semarang ada perusahaan batik ASACO
yang bertempat di Jalan Senjoyo II No. 13. Tetapi, sampai saat ini jejak-jejak
sejarahnya belum terungkap. Lalu tahun 1980 muncul perusahaan batik Sri Retno,
bertempat di Jati Ngaleh. Motif-motif batiknya bervariasi, namun juga
memproduksi batik dengan icon Kota Semarang, seperti Tugu Muda. Tahun 2000
berkembang di kawasan Tembalang, di perumahan Bukit Kencana, perusahaan batik
Umizie, yang pada pertengahan tahun 2006 berganti nama Sanggar Batik Semarang
16. Selain memproduksi batik dengan motif-motif Semarang kuno (dari abad
ke-19), sanggar batik ini pun menghasilkan batik dengan icon-icon Kota
Semarang, seperti: Tugu Muda Kiniteran Sulur, Asem Arang, Lawang Sewu, Kawung
Semawis, dan lain-lain. Untuk memperlancar produksi, Sanggar Batik Semarang 16
juga mengusahakan sistem cap agar dapat menghasilkan tekstil dengan motif
batik, dalam jumlah lebih banyak dan dengan harga yang lebih murah. Tahun 2007,
lahir usaha batik Batik Semarang Indah di Kampung Batik. Usaha batik ini
merupakan salah satu hasil dari kegiatan pelatihan membatik di Kampung Batik,
yang diselenggarakan oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kota Semarang yang
bekerja sama dengan para peneliti dari Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
UNDIP. Motif-motif batik yang dihasilkannya adalah terutama motif-motif Semarang , baik yang
tradisional maupun kontemporer.
No comments:
Post a Comment