Uniknya Pengamen Semarang
Sumber : Kompasiana
Jathilan adalah kesenian
tradisional masyarakat Jawa yang saya kenal pada masa kanak-kanak. Waktu itu
saya amat sering menyaksikannya di lapangan kampung atau acara khusus. Saya
kira, budaya ini sudah mati. Saya salah besar. Justru jathilan telah menjadi sebuah
sumber rejeki beberapa orang. Kelompok jathilan
jalanan ini mulai marak terlihat di sana-sini. Tak terkecuali Semarang
(Semarang atas dan bawah). Apakah ini mengganggu lalu lintas jalan raya atau
justru menyegarkan hati karena budaya negeri yang adi luhung tak pernah
mati ?
***
Usai
mengirim paket di kantor pos Bangkong dan mampir di soto Bangkong, saya
berjalan menuju SMP negeri 2 Semarang. Saya ini hendak menyebarkan leaflet
pameran kartu pos yang saya selenggarakan menggaet almamater, IKIP PGRI
Semarang.
Di lampu
merah, saya menunggu aba-aba boleh berjalan melewati zebra cross. Mata saya
tertuju pada sekelompok anak muda yang berpakaian warna-warna, paling kentara
adalah warna ungu, kata orang warna janda. Asesoris dari ujung rambut ke ujung
kaki, menarik hati.
Begitu lampu
merah, beberapa dari mereka segera meraih keranjang plastik dan
menuju zebra cross.
Oh oh …
mereka ini menari-nari di atas zebra cross. Saya ikut tersipu, karena saya juga
ikut diperhatikan oleh para pengendara, tak hanya mbak dan mas yang jathilan
itu.
Beberapa
menit kemudian, mereka segera mendatangi para pengendara roda dua dan empat …
jatuhan uang membuat mereka semakin sumringah.
Arghhhh …
saya tak jadi menyeberang. Termangu, melihat apa yang mereka lakukan.
Saya dekati mereka. Motor dan mobil
melaju kencang. Hoiiiii … 50 km per jam, pleaseeee ! Ora sopan!
Ya-ya-ya, sebuah tim yang baik dan
mantab. Satu orang memegang icik-icik, satu di kendang dan satunya lagi pukul
gong. Empat orang (satu pria dan tiga wanita), bagian menari.
Saya, penggembira dan dokumentasi.
Lalu, saya tanya sedang apa mereka. Ngamen?
Salah satu pemuda berlensa biru itu menanyakan apakah saya wartawan lantaran
beberapa hari yang lalu ada stasiun televisi yang mewawancarai. Tentu saja
tidak. Mana ada tampang kuli tinta pada saya? Hahaha. Kalau kuli batu atau kayu
(di Jerman) malah betul lantaran pernah dan masih saya jalani (setidaknya di
rumah sendiri). Ya. Di Semarang, saya ini hanya turis nyasar sajalah, begitu
cerocos saya. Bagian lain-lain, titip.
Duduk di bug, batu yang membatasi selokan pinggir jalan yang airnya
butek alias hitam dan kotor oleh sampah itu, senyum saya
mengembang. Guliran pertanyaan seakan merekatkan kami. Mereka bilang,
markasnya ada di belakang Polda. Kemampuan menari dan merias dari Jogja. Tak terasa,
sudah 4 tahun mereka mengadu nasib di Semarang. Tidak, tidak ada kata malu dan
ragu untuk menjalaninya. Tampil PD dengan seragam tradisional dan memperagakan
kesenian ? Tidak sembarang orang mau dan mampu. Saya pernah menjadi penari
sejak TK, tahu sekali rasanya harus mengikuti irama dan menggerakkan seluruh
anggota badan di depan banyak orang, bahkan yang tidak dikenal sekalipun.
Lembaran
kertas tertarik dari dompet warna merah bentuk hati, untuk meloncat ke empat
keranjang disana. „Dibagi-bagi,
ya? Tetap semangat dan semoga rejekinya banyak.“
Meninggalkan mereka, saya menyeringai.
Siapa bilang seni tradisional itu mati? Justru ini menghidupi beberapa orang
seperti mereka. Belum pernah tersiar kabar, ini memicu kecelakaan lalin. So?
Bukankah ini luar biasa? Ayayay, A-C-I ! (G76).
Semarang, 28 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment