NGURI-NGURI TRADISI SURONAN DI DESA MUNENG DAN DESA SUSUKAN (
KECAMATAN UNGARAN TIMUR ) KABUPATEN SEMARANG
Kecamatan Ungaran Timur bisa
dikatakan sebagai salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Semarang yang sudah
di masuki unsur-unsur modernitas dalam kehidupan warganya. Namun
walaupun begitu, pelestarian akar kebudayaan lokal yang telah menjadi warisan
adiluhung dari para leluhur, masih dipertahankan dan diuri-uri oleh mayoritas
warga di kecamatan ini, Dan salah satu wujud cinta warga terhadap kebudayaan
lokal tersebut dapat terwujud dalam pelaksanaan beberapa prosesi tradisi budaya
lokal di dalam menyambut tahun baru Islam 1435 Hijriah .
Dari berbagai macam prosesi yang ada pada setiap desa di kecamatan
Ungaran Timur , kali ini penulis akan
memfokuskan pada acara penyambutan tahun baru Islam yang bebarengan dengan
perayaan tahun baru Jawa ( suro) di Desa Susukan dan Desa Muneng yang masih
terletak pada satu kecamatan yang sama ( Ungaran Timur) , dan prosesi tradisi
budaya lokal tersebut diantaranya :
o
Tradisi
Lempar Ketupat ( Ritual Suronan Khas Desa Muneng )
Di Desa
Muneng yang terletak di Kelurahan Sidomulyo Kecamatan Ungaran Timur mempunyai
suatu tradisi lokal yang unik berupa “
tradisi lempar ketupat” di dalam menyambut tahun baru Jawa 1 Suro yang berbarengan pula dengan perayaan tahun
baru 1 Muharram dalam kalender penanggalan Islam.
Acara tersebut diawali ketika bunyi suara
tiang listrik di seluruh penjuru desa Muneng dipukul secara bertalu-talu pada
jam 18.00 , hal itu menandakan bahwa saatnya bagi ratusan warga desa, dari usia
muda hingga orang tua, laki-laki dan perempuan untuk turun ke perempatan jalan
Dusun Muneng dengan membawa kelengkapan acara berupa ketupat lengkap dan sayur-
mayurnya masing-masing .
Warga desa Muneng mulai
berkumpul di perempatan jalan desa setelah bunyi suara tiang listrik usai
diperdengarkan
Sebelum acara saling lempar ketupat dimulai, acara akan diawali
dengan melantunkan azan secara bersama-sama yang dilakukan oleh 4 orang berbeda
dengan menghadap ke empat penjuru arah mata angin yaitu utara, selatan, barat
dan timur . Menurut Mbah Mahsun ( Muadzin di Kelurahan Sidomulyo ) mengatakan
bahwa prosesi azan menghadap empat arah dan saling melempar ketupat itu
merupakan suatu simbol agar segela hal yang membuat sial masyarakat tidak
mendatangi desa tersebut selama setahun kedepan .
Warga desa Muneng menyantap
hidangan yang telah mereka bawa dari rumah secara bersama-sama dengan suasana
yang kekeluargaan
Lalu, Setelah diawali dengan azan papat dan membacakan
doa-doa untuk memohon keselamatan bagi seluruh penduduk Desa Muneng , semua
warga diperbolehkan untuk menyantap hidangan ketupat dan sayur yang telah
mereka bawa dari rumah secara bersama-sama dengan warga yang lain ( dalam prosesi santap malam ini, warga desa
diperbolehkan untuk menukar atau membagikan makananannya kepada warga lain
sebagai tanda ucapan syukur atas rejeki yang telah dilimpahkan kepada warga
desa di tahun ini ). Menurut mbah Mahsun selaku modin ( muadzin) di Desa Muneng, acara
santap malam diatas merupakan acara yang baru-baru saja digelar pada tahun 2010
kemarin, karena sebelum tahun 2010 , setelah warga berdoa , seluruh warga langsung melempar ketupat dengan sayur-mayur
yang mereka bawa dari rumah ke warga lain tanpa menyatapnya terlebih dahulu ,
Tetapi, hal itu kini dianggap sebagai aktivitas yang menyia-nyiakan makanan dan
terkesan mubazir, sehingga mulai tahun 2010, warga desa diwajibkan untuk
menyatap makanan yang telah dibawanya secara bersama-sama terlebih dahulu agar
yang dilempar pada prosesi “ perang ketupat” nanti hanyalah berupa makanan sisa
yang tidak disantap warga di acara makan bersama .
Warga Saling melempar Ketupat
dan sayur mayur bawaannya sebagai tanda membuang sial dan dijauhkan dari
bencana selama setahun kedepan
Setelah acara santap malam usai , puncak acara yang telah ditunggu-tunggu
wargapun tiba, yaitu berupa acara perang ketupat yang disinyalir akan berlangsung
seru di setiap tahunnya. Dalam prosesi ini , Semua warga desa diperbolehkan untuk saling melempar
ketupat dan sisa makanan yang masih ada
ke warga lain yang ada di lokasi perhelatan, sebagai tanda membuang sial dan
menjauhkan bencana untuk seluruh warga Desa Muneng . Sebaliknya, apabila di
suatu hari nanti tradisi perang ketupat ini tidak digelar, maka warga percaya
akan terjadi bencana besar yang menimpa Desa Muneng .
Ketika puncak acara saling serang ketupat usai, warga pun saling bermaaf-maafan
dan dilanjutkan dengan acara lek-lekan
( kumpul bersama dalam suasana guyub rukun) sampai pagi menjelang. Hal
itu menandakan tidak ada rasa permusuhan di antara mereka. dan Sebaliknya, hal
itu justru menandakan kebersamaan seluruh warga untuk menghadapi segala masalah
di tahun-tahun kedepan .
o
Tradisi Sadran Mandung ( Ritual Suronan Khas
Desa Susukan )
Kata sadran menurut kamus bahasa Jawa, Baoesastra Djawa adalah krama ngoko dari kata ruwah, dan ruwah menjadi satu
nama bulan menurut kalender Jawa yakni bulan sebelum bulan puasa (Ramadlan).
Dalam kalender Islam bulan Ruwah disebut Sa’ban. Dari kata sadran itulah muncul
kata nyadran atau nyadranan, dan nyadran dalam budaya jawa selalu dikaitkan
dengan ritual slametan atau pemberian sesaji untuk para leluhur yang telah
dikuburan atau disemayamkan di suatu tempat atau juga bisa dilaksanakan di
tempat keramat guna membersihkan tempat keramat tersebut dari hawa negatif yang
biasa dilakukan pada bulan Ruwah. Pengertian tersebut memberikan
pemahaman kenapa sedekah laut maupun sedekah bumi disebut pula sebagai
upacara nyadran, karena pada upacara sedekah bumi maupun sedekah laut intinya
sesaji diberikan untuk tujuan tertentu dan ditempat-tempat yang dianggap
keramat.
Warga Susukan membawa rantang makanan untuk dibawa ke
makam Ki Mandung
Gerbang Menuju ke Makam Ki Mandung yang terletak diatas
bukit Gunung Kalong
Kebersamaan warga Susukan di area makam Ki Mandung setelah ritual makan bersama
Meski demikian nyadran tidak selalu dilaksanakan pada
bulan Ruwah. Salah satu contoh yang ingin dipaparkan penulis disini adalah
upacara nyadran yang dilaksanakan di makam gunung Kalong, desa Susukan
kabupaten Semarang. Di desa ini, upacara dilakukan untuk berziarah ke makam Ki
Mandung dan para murid-muridnya yang dianggap sebagai cikal bakal pendiri desa
Susukan. Upacara ini digelar pada tanggal 1 Suro dan 21 Suro ( bertepatan dengan
hari Jum’at Wage atau Jum’at Kliwon ) . Pada kedua malam Suro itu di makam
Ki Mandung di gunung Kalong dilakukan tahlilan dan diteruskan dengan acara
lek-lekan. Sementara itu untuk keperluan santap makan para peziarah esok hari,
dilakukan penyembelihan beberapa ekor kambing. Keesokan harinya para peziarah
dari penduduk desa Susukan, laki-laki maupun perempuan berduyun-duyun datang ke
makam Ki Mandung ( termasuk warga Susukan
yang tinggal di luar kota dan Provinsi yang juga turut menghadiri acara ini
dikarenakan sudah dianggap menjadi suatu kewajiban untuk pulang kampung ketika
bulan Suro tiba ). Mereka datang sambil membawa beraneka macam makanan,
terkecuali tempe. Menurut
cerita tempe merupakan makanan yang paling tidak disukai oleh salah satu murid
Ki Mandung , konon salah seorang murid Ki Mandung yang bernama Syeh Hasan Husen
suatu hari berjalan menyusuri sungai sampai pada suatu tempat melihat
perempuan-perempuan yang sedang menginjak-injak kedele yang akan disiapkan
untuk dibuat tempe. Dia tidak suka dengan cara membuat makanan seperti itu dan
karenanya dia tidak mau mengkonsumsi tempe.
Adapun upacara sadran Mandung akan diawali dengan
serangkaian acara di bawah ini :
1.
pembacaan
ayat-ayat suci al-Qur’an
2.
Pembacaan
pengumuman tentang pendapatan shodaqah yang berhasil dikumpulkan dari peziarah
makam Ki Mandung
3.
penyampaian
kata sambutan dari penyelenggara dan pihak-pihak terkait
4.
pembacaan
do’a tahlil.
5.
Selesai
tahlilan dilanjutkan dengan acara makan bersama. Di samping menyantap daging
kambing-kambing yang telah disiapkan oleh penyelenggara, para peziarah makan
bersama dengan saling tukar menukar makanan yang mereka bawa dari rumah.
6.
Melakukan prosesi mengarak tiga tumpeng , dengan formasi barisan rombongan
kirab sebagai berikut :
Prosesi kirab arak-arakan Gunungan dari Balai Desa Kelurahan
Ki Mandung ( Susukan) menuju ke Makam Ki
Mandung
o Di barisan pertama sejumlah
warga berpakaian adat Jawa, disusul pemuda yang membawa dua gagar mayang besar.
o Lalu di barisan berikutnya,
empat orang mengusung tumpeng agung yang berisi nasi kuluban, lauk-pauk, serta
ingkung ayam. Tumpeng agung tersebut diapit tumpeng lanang wadon yang terdiri atas sayur-mayur dan
buah-buahan hasil bumi penduduk.
7.
Setelah
prosesi ziarah usai, sebelum warga pulang kembali ke rumah masing-masing , Di
area makam Ki Mandung, para warga saling berebut untuk mengais bunga tabur dan Kembang
Manggar yang telah menumpuk di makam Ki Mandung, Kedua benda tersebut dipercaya
akan membawa berkah bagi setiap warga Susukan yang mau mengambilnya .
Berdasarkan
hasil pengamatan yang sudah dilakukan di Desa Susukan dan Desa Muneng , Penulis
dapat menyimpulkan bahwa tradisi Suronan yang ada di kedua desa tersebut masih
diyakini mayoritas warga desa sebagai suatu ritual besar dan sakral yang wajib
dilakukan setiap tahunnya karena bisa membawa keberkahan tersendiri bagi warga
Desa , serta keselamatan dalam menjalani hidup yang akan datang.
Tetapi dibalik makna kesakralan tersebut, terdapat banyak mitos lokal yang
masih dipercaya banyak warga di kedua desa , misalnya : Mitos tentang bunga
tabur makam Ki Mandung yang dipercaya dapat membawa berkah apabila dibawa
pulang, Mitos terntang ritual lempar ketupat yang dianggap dapat membuang sial
warga desa Muneng, dan mitos-mitos lain yang memiliki daya tarik tersendiri
bagi warga di kedua belah desa .
No comments:
Post a Comment