Monday, December 28, 2015

EDISI SPESIAL NATAL DAN TAHUN BARU 2016 :Yuk Belajar Makna Toleransi....

BELAJAR DAN MENGHAYATI MAKNA TOLERANSI SECARA NYATA DARI KEHIDUPAN MASYARAKAT KRISTEN BETAWI KAMPUNG SAWAH 

Prosesi Kebaktian Jemaat menggunakan pakaian demang khas Jakarta  

Selama ini yang selalu terlintas didalam benak Saya ketika berbicara mengenai masyarakat betawi adalah selalu identik dengan tiga hal utama yaitu kewajiban atau tradisi masyarakatnya yang selalu giat mengaji, belajar silat teknik  betsi, dan kebiasaan berpantun ria ala tradisi palang pintu dalam penerimaan keluarga besan penganten Betawi, seperti halnya yang tertulis kocak didalam lirik lagu soundtrack sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang eksis di tahun 90-an yang memang menggambarkan bahwa etnis asli Jakarta ini memang selalu identik dengan sosok yang religius dan pandai bela diri  (Aduh sialan, ini si Doel  anak Betawi asli..kerjannya sembahyang mengaji..tapi jangan bikin dia sakit ati...loe diberi sekali orang bisa mati...). Tapi setelah menyaksikan acara "Nusantara kini" edisi spesial natal di Jawa Pos TV pada tanggal 27 Desember 2015, membuat pemikiran Saya pribadi menjadi bergeser sedikit mengenai keterkaitan abadi antara eksistensi kaum Betawi sebagai komunitas Islam yang murni, hal itu dikarenakan di beberapa wilayah Jakarta ternyata ditemukan pula komunitas Betawi asli yang beragama Kristen Protestan. Sebagian besar dari mereka tinggal di kawasan Kampung Sawah Besar yang terletak tak jauh dari pusat pemerintahan nasional negara ini

Bentuk Fisik bangunan gereja Sawah Besar kini 

Ornamen betawi pada bagian atap Gereja Pasundan Sawah Besar
 
Di era kolonial Belanda, keberadaan kampung sawah besar tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kependudukan bangsa Belanda asli yang diikuti pula oleh eksistensi kaum misionaris gereja yang memiliki peranan untuk menyebarkan agama kristen Protestan di tanah Batavia era itu. Pada abad ke 18 atau dipertengahan tahun 1860an, mayoritas dari kaum kulit putih memutuskan untuk mulai tinggal dikawasan pinggiran jakarta, hal itu dikarenakan pada waktu itu kawasan Sawah Besar masih tergolong sebagai kawasan hunian idaman yang asri dan jauh dari hiruk pikuk kesibukan aktivitas pemerintahan kolonial yang mengurangi unsur ketenangan dalam hidup. Oleh karena itu kawasan sawah besar yang banyka dikelilingi bukit-bukit kecil dan hamparan sawah dan ladang yang menghijau menjadi alasan banyak oarang Belanda tinggal disana.
Ketika melakukan perpindahan ke kawasan hunian baru, tentunya unsur-unsur kehidupan lama si Meneer dan Sinyo tidak bisa ditinggalkan begitu saja, termasuk dalam hal berbau keagamaan yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan religius mayoritas orang Belanda kala itu, oleh karenanya disekitar hunian kompeni Belanda yang berjejer rapi di kawasan Sawah Besar pada pertengahan abad ke 18, dibangun pula fasilitas penunjang peribadatan warga kolonial berupa sebuah gereja Besar yang diberi nama "Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah Besar" yang diresmikan pada tahun 1870-an oleh para misionaris Belanda kala itu yang bertujuan untuk memperkenalkan agama kristen kepada masyarakat luas .  Al hasil, setelah diperkenalkan ke masyarakat, hingga akhir abad ke 20, tercatat dalam data hasil sensus penduduk Indonesia bahwa hampir 60% warga kampung Sawah besar yang beretnis Betawi asli beragama mayoritas Kristen Protestan, maka tak aneh jika masyarakat pinggiran jakarta kerap menyebut wilayah Sawah Besar sebagai Kampung Betawi Kristen

                 Tradisi Palang Pintu disaat hari raya natal berguna menyambut kedatangan jemaat 

Dalam melaksanakan peribadatan yang sesuai iman kristen yang dianut hingga kini, warga Sawah Besar memiliki ritual peribadatan yang sedikit berbeda dengan gereja kristen lainnya, hal itu tampak dari penggunaan unsur-unsur kebudayaan Betawi yang kental didalam pelaksanaan ritual-ritual keagamaan, semisal penggunaan musik Gambang Kromong untuk mengiringi paduan suara gereja, penggunaaan bahasa betawi dalam ceramah para pendeta, hingga tradisi bertukar dodol betawi disaat perayaan natal sebagai simbol persahabatan dan kemakmuran sesama umat Kristen Sawah Besar.
Di era kejayaannya di tahun 50an hingga 90an, tradisi bertukar dodol merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan oeh umat gereja kala itu, bahkan seorang pembuat dodol betawi asli Sawah Besar menuturkan bahwa dirinya pernah mendapat order atau pesanan dodol hingga 55 liter atau jika sudah dikemas menjadi 200 baskom plastik sedang dodol di H-2 Natal yang membuatnya kewalahan, tapi memasuki era 2000-an, tradisi tukar dodol mulai ditinggalkan dan digantikan oleh tradisi bertukar parsel modern yang berisi perabot rumah tangga dan kue-kue kering yang terlihat lebih menarik dan praktis.

Masjid Sawah Besar yang berdiri dekat gereja

Itulah tadi sekelumit kisah mengenai eksistensi komunitas kristen sawah Besar Jakarta , Walaupun warga Kristen Betawi Sawah Besar memiliki agama yang berlainan dengan kelompok Betawi Mayoritas yang beragama Islam dan tersebar diseantero Kota Jakarta, warga sawah Besar bisa Saya katakan sangat jempolan didalam membina hubungan antar umat beragama, hal itu terbukti dari munculnya radio komunitas dan Koran Komunitas bertagline" Ngelestariin Pesodaraan" yang dikelola secara bersama-sama oleh kelompok pemuda Betawi Islam dan Kristen Sawah Besar .  Al hasil, selama ini hubungan antara kedua agama ini menjadi rukun-rukun Saja, walaupun letak dari gereja Pasundan sawah besar tak jauh dari lokasi Masjid YASPI Al-Jauhari .
Semoga bangsa kita semakin bijak didalam menyikapi perbedaan yang ada dan semakin menerima pluralitas sebagai bagian dari khasanah nilai-nilai keindonesiaan yang hakiki dan abadi tanpa mempermasalhkan "Siapa kamu" dan "Siapa Saya"

TERIMA KASIH DAN SELAMAT NATAL 2015 SERTA TAHUN BARU 2016

  

Friday, December 25, 2015

SELAMAT NATAL 2015


SELAMAT HARI RAYA NATAL TAHUN 2015, SEMOGA DAMAI NATAL DAPAT MENYERTAI KEHIDUPAN SOBAT KRISTIANI SEMUANYA DAN DI TAHUN YANG BARU AKAN MENJADI PRIBADI YANG LEBIH BAIK DARI KEMARIN

Sunday, December 20, 2015

SELAMAT PAK HENDI DAN BU ITA ......



MAS BLOGGER GOJEG SEMARANGAN TURUT BERBAHAGIA DAN MENGUCAPKAN SELAMAT ATAS KEMENANGAN BAPAK HENDRAR PRIHADI DAN IBU ITA DALAM PILWALKOT KOTA SEMARANG 2015, SEMOGA MENJADI PEMIMPIN YANG AMANAH DAN DAPAT MENJADIKAN SEMARANG SEMAKIN SETARA DAN MEWUJUDKAN SEMARANG HEBAT......

KEJAYAAN WAYANG BETAWI DI ERA MODERNISASI IBUKOTA NEGERI

WAYANG BETAWI : DULU DISAYANG DAN KINI ENGKAU MULAI TERLUPAKAN 



Memang tragis melihat perkembangan kesenian tradisi di tanah nusantara tercinta, perlahan-lahan satu persatu budaya asli bangsa ini mulai tergerus dan tercerabut dari tanah perkembangannya sendiri akibat virus modernisasi luar negeri yang mewabah tanpa pandang bulu dan suku...tidak terkecuali dengan tanah Jakarta yang di era dulu kerap kita kenal sebagai daerah percampuran budaya akulturasi yang apik dan unik..seperti halnya kemunculan ikon budaya hiburan rakyat lenong betawi yang legendaris, gambang kromong yang mengalun merdu di setiap kampung, dan seni tanjidor yang berkumandang di acara hajatan khas betawi mulai menghilang dari peradaban kota metropolitan ini...Ternyata selain ketiga ikon budaya asli betawi di atas, Jakarta juga memiliki kesenian rakyat berupa wayang kulit dan golek Betawi, cukup janggal dan aneh rasanya..karena selama ini, Saya pribadi hanya mengenal bahwa perkembangan wayang di Indonesia itu hanya dapat kita temukan di tataran tanah Parahyangan (Sunda), Jawa, dan Bali..Tapi fakta berkata lain guys, ternyata perkembangan wayang di tanah Betawi sudah ada sejak jaman kolonial lho, hal itu Saya ketahui dari acara khasanah budaya negeri di Nusantara TV yang membahas secara terperinci mengenai eksistensi wayang betawi di ibukota negara kita tercinta ini...Menurut keterangan dari Bapak Surya Bonang (Maestro Dalang Wayang Kulit Betawi) dalam wawancara dengan tim dari Nusantara TV, mengatakan bahwa kehadiran wayang kulit Betawi tidak bisa dilepaskan dari kehadiran orang-orang perantau dari tanah Jawa di era kejayaan Batavia dulu.  Di awal kehadirannya, Wayang kulit yang ada di Batavia memang banyak dipengaruhi unsur kejawa-jawaan..Tetapi seiring dengan perkembangannya, wayang kulit Jawa yang berkembang di Jakarta ela kumpeni Belanda lama-kelamaan bertransformasi menjadi ikon baru berjuluk wayang kulit Betawi yang menggunakan bahasa Betawi sebagai bahasa pengantar cerita wayangnya, hal itu memang perlu dimaklumi, karena pada masa Batavia dulu, mayoritas penonton hiburan wayang Betawi memang kebanyakan berasal dari orang Betawi asli itu sendiri yang tidak paham dengan bahasa Jawa Krama dan lebih sering bercakap-cakap dengan bahasa Betawi atau Melayu Pasar...Sedangkan kalau dari segi ceritanya, wayang kulit Betawi selalu berkisah mengenai kehidupan masyarakat jakarta era itu (misalnya dahulu kala, pernah dipentaskan mengenai keberhasilan Si Pitung didalam mengusir Kumpeni dari tanah Jakarta), yang tentunya lebih cocok diceritakan kepada masyarakat pendukung kebudayaan Betawi, ketimbang harus bercerita mengenai kisah klasik wayang Jawa mengenai epos Mahabarata dan Ramayana yang belum tentu bisa dipahami dan diterima oleh masyarakat Jakarta dikarenakan alurnya yang terlalu berbelit-belit dan ragam tokoh pewayangannya yang terkesan asing di mata orang luar Jawa ... Oleh karenanya, ketika sampai di Betawi, Wayang Kulit Jawa bertransformasi menjadi Wayang kulit betawi yang bertutur mengenai kisah Betawi asli dengan diiringi musik Gambang Kromong khas Jakarta yang apik dan membawa kesan Betawi yang kental....
Menurut keterangan dari Bapak Surya Bonang, eksistensi wayang betawi mulai meredup kejayaannya seiring dengan berkembangnya teknologi televisi di era tahun 1990an yang memberikan hiburan alternatif baru kepada masyarakat era itu, kehadiran kisah telenovela hingga drama India bersambung mulai menggeser kehadiran wayang Betawi di kalangan masyarakat....Jika dahulu pada saat era kejayaan Wayang Betawi di tahun 70 hingga 80an, Di setiap bulannya, Bapak Surya dan tim selalu kebanjiran job pentas tiada henti , bahkan pernah dalam waktu 3 bulan , Beliau hanya diberi waktu istirahat 5 hari saja oleh si pemilik hajat guna melepas rindu dan bertemu dengan anak istri dirumah....Tetapi kini, nasib berkata lain, munculnya beragam alternatif hiburan khas perkotaan yang terkesan terbarukan dan bernuansa kekinian, perlahan mulai menggerus kejayaan wayang Betawi yang dulunya sangat disayang oleh masyarakat tetapi kini tinggal menjadi kenangan masa yang terlupakan...     



Selain kisah Bapak Surya sang maestro wayang kulit Betawi, Mas Blogger juga ingin berbagi kisah mengenai maestro Wayang golek Betawi yang nasibnya kini tak jauh berbeda dengan nasib Bapak Surya Bonang...Di Jakarta sendiri, selain diramaikan oleh khasanah perkembangan wayang kulit Betawi, ternyata kota ini juga memiliki kesenian wayang model lain berjuluk wayang golek Betawi yang tentunya cukup berbeda dengan eksistensi wayang golek dari tanah Sunda, Maestro wayang golek betawi ini bernama bapak Tizar Purbaya yang merupakan warga asli Betawi. menurut beliau, perkembangan wayang golek Betawi tidak bisa beliau lepaskan dari fenomena kerusuhan 1998, saat itu dirinya memang berprofesi sebagai spesialis pembuat wayang golek karakter modern, sebelum fenomena kerusuhan meletus, dirinya sempat mendapat banyak pesanan wayang karakter oleh wisatawan Inggris dan belanda untuk souvenir di negara mreka, Tetapi setelah semuanya jadi, Peristiwa kerusuhan menjadi heboh dan membuat seluruh pemesannya tadi menjadi pulang cepat-cepat ke negara asalnya, alhasil wayang pesanan mereka tak jadi dibeli dan diambil oleh para turis asing tersebut dikarenakan mereka semua telah hengkang dari tanah Jakarta...Melihat kondisi ini, Pak Tizar menjadi bingung dan gundah gulana.."mau diapakan wayang golek berwajah orang bule-bule asing ini, dijual ke orang lain paling juga tidak ada yang membeli dikarenakan bukan figur wayang golek dari tokoh terkenal dunia melainkan hanya wajah orang bule biasa yang memintanya secara khusus dibuatkan wayang diri mereka oleh Pak Tizar"....
  
 
Tetapi suatu hari, terlintas di pikiran beliau untuk memanfaatkan wayang-wayang golek berwajah bule ini untuk pementasan wayang golek dengan cerita khas Jakarta yang memang banyak memerlukan wayang berkarakter wajah bule seperti yang kini telah dibuatnya sebagai tokoh kompeni belanda dan anak-anak buahnya ...Maka terciptalah pementasan perdana wayang golek Betawi pada tahun tahun 2001 yang mengangkat kisah Si Manis Jembatan Ancol yang kebetulan disaksikan pula oleh Bapak Sutiyoso sebagai Gubernur Jakarta era itu..Al hasil kreasi wayang khas betawi ini semakin diminati oleh masyarakat dan ceritanya semakin beragam dan berkembang sesuai kemajuan jaman ( seperti halnya kisah Si Jampang, Pitung, Nyai Dasimah, Si Mandor Juki, Kolor Ijo, Samson Betawi dan lain-lainnya)....Dalam setiap pementasannya , wayang golek ini selalu diiringi musik gambang kromong pula dan tak lupa sang dalang mengenakan baju demang khas Kota jakarta.....Tetapi seiring kemajuan jaman, wayang golek betawi ini juga mulai dilupakan dan ditinggalkan peminatnya yang sudah berpindah ke hiburan alternatif lain (seperti musik barat, konser band luar negeri, dan budaya K-Pop) yang melegenda dan digandrungi di era modern , bahkan di tahun 2015 kemarin, disaat orang betawi lagi punya hajat HUT Jakarta dan Lebaran Betawi , Bapak Tizar tak menerima panggilan pentas satupun dari pihak pemkot maupun orang biasa..memang sungguh kejam kemajuan jaman ini..seni tradisi perlahan mulai menghilang seiring masuknya budaya asing ke tanah Nusantara....

SEKIAN DAN TERIMA KASIH.....
TETAP LESTARIKAN BUDAYA BANGSA 


Thursday, December 17, 2015

KAMPUNG DOLANAN : BERTAHAN DI TENGAH GEMPURAN MODERNISASI MAINAN ANAK

  

Hari ini di acara Ala Indonesia TV One, Saya menyaksikan tayangan yang cukup menarik untuk dibagikan kisahnya kepada kenang dan denok semua..mengapa Saya bilang menarik ? karena pada kesempatan kali ini, Saya ingin berbicara mengenai eksistensi kampung dolanan tradisional di Desa Pandes Yogyakarta, yang masih bisa bertahan di tengah arus modernisasi model mainan era kekinian yang bernuansa "kegadget-gadgetan" .
Kampung Dolanan Pandes berdiri pasca peristiwa gempa Yogya pada tahun 2006 lalu, pendirian kampung dolanan ini pada awalnya bertujuan sebagai program "trauma healing" atau penyembuhan trauma psikologis bagi anak-anakkorban gempa yang masih berusia dini . Di Kampung ini, Para pengunjung sekan-akan diajak kembali ke dekade 50-an atau di era dimana mainan tradisional bernuansa kejawa-jawaan masih terlihat ngehits di kota yang berjuluk Kota Pelajar ini...Bagaimana tidak terkenang masa lalu? ketika masuk ke desa ini, para pengunjung akan disuguhkan dengan akitivitas sebagian penduduk desanya yang berprofesi sebagai pembuat mainan tradisonal, Seperti halnya Mbah Atemo Wiyono dan Mbah Suradi yang tetap setia membuat beraneka macam mainan tradisional yang terkesan unik, antik, dan ngangeni bagi para penikmatnya...mulai dari mainan yang bernama wayang obrong yang terbuat dari kertas kalender bekas, kithiran kayu, hingga othok-othok beraneka warna selalu mereka buat dengan ikhlas hati tanpa mempedulikan kemajuan teknologi mainan terbarukan di era kekinian....pokoknya bagi mereka berdua, eksistensi mainan tradisonal memang harus tetap diuri-uri atau dilestarikan agar tidak pubah tergempur kemajuan mainan modern zaman sekarang

Mbah Atemo sedang membuat kithiran kayunya yan fenomenal...

Mbah Suradi dan hasil karya Wayang obrong-nya yang terkenal

Oh ya..di kampung dolanan Pandes, pengunjung juga dapat mengetahui cara pembuatan mainan secara langsung di rumah para pembuatnya, bahkan kalau sedang beruntung kita dapat belajar langsung mebuat mainan tradisional tersebut dari para maestro pembuat mainan tradisonal...seperti halnya kemahiran bapak Suradi yang sangat pandai dan sangat berpengalaman didalam pembuatan wayang obrong dari kertas kalender. Selama pengerjaannya, beliau tidak membutuhkan sketsa wayang yang digambar pada kertas terlebih dahulu, melainkan beliau langsung mengunting secara langsung dari kertas kalender dikarenakan ia sudah hafal diluar kepala bentuk pola tubuh dari para wayang khas Jawa..wah sungguh hebat bukan????


Lain halnya dengan kisah Mbah Atemo yang pandai membuat kithiran kayu dari limbah bambu yang ia peroleh dari teangganya. menurut keterangan beliau , dalam waktu 15 menit ...dirinya mampu menyelesaikan satu buah kitiran dengan bentuk yang sesempurna mungkin dan dapat berfungsi dengan baik, mungkin bakatnya tersebut sudah bawaan dari kecil ya...Kini Mbah Atemo sudah tidak bisa lagi menjajakan mainannya dengan berkeliling ke pasar-pasar tradisonal di sekitaran Yogya dikarenakan usianya yang semakin renta, melainkan metode membuka warung dolanan di depan rumahnya-lah yang kini dapat menjadi solusi bagi dirinya untuk bertahan hidup. 
Semoga sedikit kisah dari kampung dolanan diatas, dapat mensadarkan kita bahwa sesungguhnya eksistensi mainan tradisonal perlu diperthankan di tengah gempuran mainan gadget canggih yang membabi buta dan terkesan merenggut hak anak untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya......... 

Anak-anak desa Pandes riang gembira bermain mainan tradisonal....