Tuesday, March 25, 2014

SEDHILUK MANEH CAH...SEMARANG YO BAKAL NDUWE PASAR SENI KOYOK MALIOBORO...


Pasar Bulu Semarang Jadi Obyek Wisata Belanja  


Sejumlah pekerja merobohkan bangunan Pasar Bulu, Semarang, Senin (7/5). Revitalisasi bangunan pasar yang dibangun tahun 1930an tersebut masih menjadi polemik untuk mempertahankan pilar-pilar utama. TEMPO/Budi Purwanto



TEMPO.COSemarang - Pemerintah Kota Semarang merancang Pasar Bulu sebagai lokasi wisata belanja bagi pelancong yang telah mengunjungi sejumlah tujuan wisata di kota itu. Gagasan itu muncul untuk menunjang potensi sejumlah daerah wisata yang lokasinya tak jauh dari Pasar Bulu.

"Pasar Bulu dirancang sebagai pusat kuliner dan belanja. Ini untuk keseimbangan karena Pasar Bulu dekat dengan Lawang Sewu yang selama ini jadi tujuan wisata dan ikon Kota Semarang," kata Kepala Dinas Pasar Kota Semarang Trijoko Sardjoko dalam diskusi ihwal revitalisasi pasar, Senin, 24 Maret 2014.

Menurut Trijoko, Pasar Bulu yang berada di kawasan Tugu Muda akan menarik perhatian pelancong untuk membeli kerajinan khas ataupun berwisata kuliner. Selain dekat dengan Lawang Sewu, pasar yang telah ada sejak zaman kolonial itu juga tak jauh dari Museum Mandala Bhakti sehingga memudahkan para pelancong untuk menikmati liburan di Kota Semarang.

Pasar yang dirancang oleh arsitek kenamaan Herman Thomas Karsten itu mulai direvitalisasi pada 2012. Namun proyek molor dari perkiraan, yang seharusnya selesai pada 2013. Pemerintah Kota Semarang telah mengalokasikan dana pembangunan Rp 4,7 miliar dan bantuan provinsi hingga Rp 9,5 miliar untuk membuat pasar lebih bersih dan tak menimbulkan kemacetan di sekitar Tugu Muda. "Saya takin tahun ini (2014) bisa digunakan, dan ini akan bermanfaat bagi orang banyak," katanya.

Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana, Eko Suseno, menyarankan pengunaan Pasar Bulu untuk wisata belanja harus dilengkapi dengan perencanaan secara khusus. "Yang penting adalah berbasis manajemen pola partisipasi publik," kata Eko Suseno.

EDI FAISOL

SELAMAT HARI RAYA NYEPI 2014....



BLOGGER GOJEG SEMARANGAN MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA NYEPI TAHUN 2014.....SEMOGA BERKAH IDA SANG HYANG WIDHI WASE SELALU MENYERTAI KEHIDUPAN SELURUH UMAT-NYA DI MUKA BUMI...........


MBOK DAN B'LI....SELAMAT HARI RAYA NYEPI NGGIH......




MENYIBAK FENOMENA MENEMUI AJAL .............

MEREVIEW BUKU MENEMUI AJAL “ Etnografi Jawa Tentang Kematian”
KARYA Y. TRI SUBAGYA
Oleh : Sae Panggalih
NIM : 3401411122
( Mahasiswa Jurusan Sosiologi dan Antropologi UNNES )


PENDAHULUAN

S
ejatinya, dalam kehidupan manusia, fenomena tentang kematian pasti akan dihadapi oleh semua insan penghuni dunia, tetapi di balik semua fenomena tersebut, ternyata muncul berbagai macam hal menarik yang layak untuk di bahas setelah Saya pribadi membaca buku ini, tentunya dalam kesempatan kali ini, Saya tidak akan melakukan pembahasan secara mendalam tentang fenomena ” kehidupan si jenazah atau jasad yang telah meninggal di alam akhirat ” yang rasanya sangat tidak mungkin untuk diulas secara lebih mendalam dikarenakan ” ibarat mendirikan benang yang basah” ( melakukan suatu hal yang tak mungkin bisa dilakukan ), Melainkan yang akan menjadi topik-topik pembahasan menarik di dalam review buku yang sangat fenomenal ini adalah akan lebih berkutat kepada fenomena-fenomena sosial dan budaya yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat Komunitas perkampungan Jawa di dalam menyikapi peristiwa kematian yang dialami oleh anggota masyarakatnya. Pembahasan tentang fenomena ini, Saya rasa memang perlu untuk dilakukan dikarenakan selama ini, sebagian besar masyarakat kita ( terutama yang tinggal di kawasan pedesaan Jawa ) masih menyikapi secara tabu dan ora’ elok ( enggan ) untuk memperbincangkan hal-hal yang berbau kematian di dalam kehidupannya , karena bagi mereka nalika wis bedho donya, urusanne para manungsa wis dhewe-dhewe, sing isih urip ngurusi amale masing-masing sakdurunge ngadhep sing kuwasa, lan sing wis sedha utawa mati kudhu siyap siyaga ditagih amal perbuatane karo Sing Kuwasa ”  artinya Ketika sudah berbeda alam atau dunia, urusan setiap insan manusia sudahlah sendiri-sendiri ( berbeda ) , bagi yang masih hidup diwajibkan untuk memperbanyak amal perbuatannya sebelum tiba saatnya bagi si manusia untuk menghadap Sang Khalik, dan bagi yang sudah meninggal harus bersiap ditagih seluruh amal perbuatannya selama hidup di alam dunia oleh Tuhan sang pencipta kehidupan setiap insan ”, dari penggalan kalimat petuah jawa diatas kita bisa mengetahui bahwa seakan-akan masyarakat Jawa tradisional masih memberikan sekat yang begitu rapat antara urusan manusia yang masih hidup dan manusia yang sudah tiada, jadi pantang hukummnya bagi mereka untuk memperbincangkan hal-hal berbau kematian secara berlebih-lebihan dan terbuka di hadapan publik. Padahal dalam realitanya, kita dapat mengetahui sendiri bahwa setiap ada fenomena kematian di masyarakatnya , justru penduduk dari kawasan desalah yang lebih peka dan peduli di dalam memperlakukan jasad si Jenazah yang telah tiada secara istimewa dan terkesan berlebih-lebihan , berbagai macam acara di dalam memperingati fenomena kematian seseorang, mereka gelar secara besar-besaran hingga melibatkan partisipasi seluruh warga desa ” mulai dari tradisi peringatan sadranan, ganti kidjing, bukak luwur ( untuk beberapa makam tertentu ) , mitung dina hingga perhelatan nyewu dina si Jenazah , bukankah dari tradisi-tradisi ini lebih dapat menunjukkan bahwa sejatinya masyarakat dari wilayah desalah yang sebenarnya lebih siap dan peka di dalam menyambut fenomena menemui ajal ?..

A.     REFLEKSI SOSIAL ATAS KEMATIAN

S
elama ini, apabila berbicara mengenai fenomena kematian seseorang , yang terbesit pertama kalinya di pikiran manusia Indonesia kebanyakan adalah sebuah rangkaian peristiwa atau fase paling menyedihkan yang terjadi pada diri seseorang, baik itu dari pihak orang yang telah meninggal ( dikarenakan itu merupakan hari dimana Ia sudah tidak bisa lagi berinteraksi untuk selamanya dengan anggota keluarganya dan komunitas kesehariannya karena telah menjemput ajal ) dan dari pihak keluarga yang telah ditinggalkan oleh Si Jenazah ( dikarenakan itu merupakan hari terakhir dimana seluruh anggota keluarga yang masih hidup bisa bersua dan menatap wajah si calon penghuni kubur sebelum Ia akan tidur di pembaringan abadinya untuk selama-lamanya ) .
Padahal dalam realita yang ada , tidaklah semua fenomena kematian selalu berakhir dengan acara menangis semalam suntuk yang terkesan penuh kedukaan dan tradisi pingsan berjamaah dikarenakan tidak kuat menanggung rasa kehilangan salah seorang anggota keluarga untuk selamanya. Fenomena kematian tanpa rasa duka yang berlebihan dapat kita jumpai hampir diseluruh komunitas masyarakat Jawa yang tinggal di lingkungan pedesaan Jawa, seperti yang dilukiskan oleh Clifford Geertz dalam deskripsinya yang justru mengatakan bahwa ” kematian di Jawa lebih sebagai salah satu siklus dalam slametan yang menjadi inti ritual dari kehidupan orang Jawa . Dia terkesan dengan suasana kematian di Jawa yang begitu datar , tenang, tanpa ada jerit tangis histeris, tidak demonstratif dan lesu konon karena sikap ikhlas yang diusahakan bersama oleh komunitas ” , dari ungkapan Clifford Geertz diatas, kita sebagai masyarakat awampun dapat memahami bahwa sesungguhnya bagi orang Jawa , fenomena kematian itu sudah pasti akan menjadi bagian dari siklus kehidupan , karena alur dalam kehidupan setiap manusia akan diawali dengan fenomena kelahiran dan akan diakhiri pula dengan fenomena kematian , jadi cepat atau lambat fase terakhir dalam ” rangkaian daur kehidupan ” tersebut akan dialami dan tidak dapat dielakkan dari setiap insan manusia . Menurut Saya pribadi, Sikap nrimo lan pasrah marang Gusti Pangeran , merupakan salah satu senjata paling ampuh yang dimiliki orang Jawa di dalam meredam dan mengeliminir rasa kedukaan mereka yang akan timbul sewaktu-waktu akibat ditinggalkan oleh salah seorang anggota keluarga untuk selama-lamanya . Sifat orang Jawa yang sedemikian itu di dalam menghadapi fenomena kematian tidaklah bisa untuk kita permasalahkan dikarenakan  tradisi menyikapi kematian di setiap wilayah memanglah berbeda-beda dan disesuaikan dengan kebudayaan yang berkembang di wilayah tersebut, ada budaya yang menyikapi datangnya fenomena kematian dengan perhelatan pesta besar-besaran selama berhari-hari bahkan ada pula budaya yang menyikapi fenomena datangnya kematian dengan penuh kesederhanaan dan kesedihan selama berhari-hari .
Seusai melewati serangkaian ritual kedukaan pra jenazah diberangkatkan ke makam , Saya meyakini bahwa pasca prosesi tersebut akan dilanjutkan dengan serangkaian acara ritual tradisi yang sesuai dengan budaya masyarakat di masing-masing wilayah. Di kalangan masyarakat Jawa sendiri, kegiatan pasca pemakaman biasanya akan diikuti pula dengan tradisi-tradisi penyambutan kematian berbau kehinduan yang saya rasa masih dilakukan oleh masyarakat Jawa di hampir seluruh penjuru negeri, rangkaian acara yang dihelat biasanya akan diawali dengan acara mitung dina, matang puluh, nyatus, dan diakhiri dengan acara nyewu dina serta diselingi pula dengan acara nyadran dan ganti kidjing pada waktu-waktu tertentu yang mau atau tidak harus mereka lakukan dikarenakan bagi masyarakat desa di Jawa , rangkaian ritual tersebut memang harus dilaksanakan guna mengenang dan menghormati mendiang Almarhum/Almarhumah selama hidup dialam dunia . Biasanya bagi anggota keluarga yang menghiraukan tradisi tersebut akan menerima cibiran atau cemoohan dari masyarakat di sekitar tempat tinggalnya , karena dalam daur hidup masyarakat Jawa, unsur-unsur tradisi sangatlah sulit untuk dilepaskan dari masyarakatnya, seperti yang diungkapkan oleh Henri Chambert-Loir yang menguraikan tentang fenomena penghormatan orang suci dan leluhur di Jawa yang diapropriasikan dalam tradisi ziarah makam leluhur ( yang dalam prakteknya, menurut Saya pribadi merupakan salah satu bentuk kepatuhan seseorang terhadap aturan tradisi ) . Jadi sekali saja ada hal yang berbau pelanggaran terhadap tradisi, seluruh warga pedesaan di Jawa biasanya akan memberikan hukuman kepada pihak pelanggar berupa hinaan, cemooh , cacian, bahkan hingga aksi pengusiran warga kampung dari wilayah tempat tinggalnya dikarenakan sudah berani melanggar ketentuan budaya lokal yang sudah diwariskan secara turun-temurun .
Dari bagian review di bab ini, Saya dapat menyimpulkan bahwa fenomena kematian tidak hanya disikapi oleh orang Jawa sebagai suatu peristiwa terlepasnya ruh seorang individu dari jasadnya untuk menuju ke alam keabadian di akhirat sana , melainkan dalam prakteknya di lingkungan masyarakat Jawa pedesaan, peristiwa kematian juga dianggap sebagai suatu fenomena dimana seluruh anggota keluarga dari pihak Almarhum/Almarhumah harus peduli dan tunduk kepada rangkaian tradisi di wilayah desanya masing-masing supaya tidak memperoleh sanksi sosial dari masyarakat .

B.      KAMPUNG SEBAGAI ARENA REPRODUKSI JAWA

B
erbicara mengenai fenomena kematian di wilayah kampung , tentunya akan sangat berbeda sekali jika kita bandingkan dengan topik perbincangan fenomena kematian di wilayah perkotaan yang terkesan lebih praktis dan tidak dipenuhi dengan rentetan acara pasca penguburan yang memerlukan waktu yang begitu panjang dan memakan banyak biaya . Bagi warga kampung, terutama yang terletak di wilayah pedesaan Jawa, justru menyikapi fenomena kematian sebagai ajang pertemuan terakhir antara mereka ( warga pelayat ) dan si Jenazah yang akan dikuburkan, atau dalam studinya Robert R.Jay di Mojokutho kerap menyebut kematian seseorang sebagai peristiwa yang mewujudkan hubungan ketetanggaan yang paling hidup, jadi ketika mendengar kabar ada salah seorang tetangganya yang meninggal dunia melalui pengeras suara ( TOA ) masjid atau musholla, secara berbondong-bondong tanpa dikomando oleh pimpinan desa , para warga secara otomatis langsung menuju ke rumah duka si jenazah, biasanya bagi warga pria akan membantu keluarga yang berduka di dalam penataan kursi, penggalian makam, peminjaman keranda di Taman Pemakaman Umum , pendirian bilik pemandian jenazah, pembelian atribut keperluan jenazah ( kain mori, peti, pathok kuburan, air mawar, kapas, dan lainnya ) dan pendirian tratag atau tenda peneduh bagi para pelayat yang dalam prakteknya membutuhkan banyak tenaga dan bantuan dari kalangan pria, sedangkan untuk warga perempuan biasanya akan membantu di dalam mengurusi urusan domestik yang sederhana di dalam rumah duka secara bersama-sama, semisal membuatkan minuman dan menyajikan makanan ringan untuk para pelayat, meronce bunga untuk hiasan keranda, dan membersihkan rumah duka agar terlihat rapi saat para pelayat mulai berdatangan .  
Dalam prakteknya , masyarakat Jawa di pedesaan masih mempercayai bahwa bantuan yang mereka berikan kepada keluarga yang berduka akan memperoleh balasan serupa ketika mereka telah meninggal kelak ( dalam istilah jawanya dikenal dengan istilah bak-buk atau impas ) , selain memperoleh balasan pahala dari Tuhan, warga desa juga mempercayai balasan sosial dari perilaku mereka semasa hidup, bagi warga yang peduli dan peka terhadap lingkungannya ( semisal suka menolong warga lain yang kesusahan) , niscahya ketika mereka meninggal , bantuan dari warga desa akan datang bertubi-tubi tanpa perlu dikomando oleh pimpinan desa dan tak perlu susah payah untuk menyewa jasa pengurusan pemakaman dari rumah duka swasta yang memerlukan banyak biaya , Tetapi hal yang sebaliknya justru akan terjadi terhadap warga kampung yang acuh dan tidak peka sosial ( istilah jawa : ora srawung tangga ) , ketika mereka meninggal niscahya para warga kampung enggan untuk membantu prosesi pemakamannya, sekalipun mau membantu itupun paling hanya membantu untuk menguburkannya saja dikarenakan alasan kemanusiaan semata , tapi untuk selebihnya, semisal untuk acara tahlilan dan rangkaian acara lainnya mereka terkesan tak sudi untuk melakukannya dikarenakan mereka pernah menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari si Jenazah . Dari fenomena nyata diatas kita dapat mengetahui bahwa perilaku sosial seseorang di dalam komunitasnya sangatlah menentukan perlakuan orang lain terhadap dirinya ketika Ia meninggal kelak .
Dalam bab ini, Saya bisa menarik kesimpulan bahwa bagi masyarakat kampung di wilayah pedesaan Jawa , fenomena kematian dapat dijadikan sebagai arena untuk membalas jasa-jasa si Almarhum/Almarhumah semasa hidup, hukum sebab-akibat saya rasa sangat berperan disini, apabila si warga kampung kerap berbuat baik terhadap warga lainnya semasa hidupnya, maka akibat yang akan Ia peroleh adalah  perlakuan baik di waktu prosesi kematiannya, Tetapi apabila ada warga yang ora srawung tangga atau tidak peduli terhadap lingkungan tempat tinggalnya, maka perlakuan kurang baik terhadap jenazahnya akan diperoleh dari warga kampung tempatnya tinggal .  Hal ini sangatlah senada dengan pernyataan Dr. P.M. Laksono yang menyatakan bahwa ” rasa solidaritas bersama dan berbagai aktivitas warga yang mengarah pada integrasi masyarakat hampir selalu ditemukan dalam komunitas Jawa ” , Dari pernyataan ini Saya dapat menarik pesan tersurat yang berbunyi ” maka apabila ada orang Jawa yang tidak pernah menanamkan rasa solidaritas kelompok di dalam kehidupan sosialnya, Jangan heran jika suatu hari nanti dirinya akan dikucilkan atau tersingkir dari kelompok masyarakatnya yang dalam prakteknya sangat menjunjung tinggi rasa integrasi kelompok masyarakat Jawa yang kuat .

C.     KEMATIAN DALAM KONSTELASI BUDAYA JAWA

D
alam daur kehidupan masyarakat Jawa, fenomena kematian selalu saja dilekatkan dengan unsur-unsur kebudayaan lokal di dalam menyikapinya , rentetan aturan budaya lokal di dalam memperlakukan jasad si jenazah digelar dengan begitu runtutnya sesuai dengan pakem tradisi jawa yang adiluhung , mulai dari acara pemandian jenazah, pengkafanan, hingga acara penguburan-pun, semuanya memiliki arti-arti simbolik tertentu yang menggambarkan kebudayaan Jawa klasik yang sarat akan unsur-unsur penyimbolan suatu prosesi adat yang mengandung makna tersirat dibaliknya . Saya ambilkan contoh riil, seperti didalam prosesi pemandian jenazah yang dilakukan oleh komunitas masyarakat Jawa kejawen yang masih memiliki unsur-unsur penyimbolan tersirat di dalam memperlakukan jenazah anggota komunitasnya , semisal dalam upacara pemandian jenazahnya , tempat air yang disediakan untuk memandikan jenazah haruslah berjumlah ganjil, jumlah ganjil tersebut dipercaya menyimbolkan kematian seseorang dan menggambarkan kedukaan keluarga yang ditinggalkan , sedangkan gladhak debok ( batang pisang dibelah dua ) yang difungsikan sebagai alas jenazah menyimbolkan pepadhang, serta piranti siwur bathok ( gayung tempurung kelapa ) juga harus berjumlah ganjil yang ternyata melambangkan kematian pula. Dari fenomena diatas , kita dapat memahami bahwa pakem tradisi Jawa sangatlah mengikat dan dijunjung tinggi keluhurannya oleh para warga , sehingga sangatlah kecil kemungkinan untuk melanggar pakem tradisi yang sudah berlaku ratusan tahun didalam kehidupan masyarakat Jawa .  
Selain dipengaruhi oleh unsur-unsur penyimbolan di dalam rentetan ritualnya , ternyata terdapat fenomena lain yang Saya kira cukup menarik untuk dibahas seputar kematian, yaitu pembahasan tentang fenomena berkembangnya budaya lisan berupa cerita-cerita mistis dibalik kematian orang Jawa , semisal : munculnya cerita mistis tentang congculi ( tali pocong njaluk diuculi ) , kuntilanak nggolek bayen ( kuntilanak mencari mangsa berupa bayi ) , gundul pecengis dan bayi bajang yang dipercaya sebagai arwah para bayi yang meninggal secara tidak wajar , penampakan arwah orang yang meninggal di sekitar rumah duka, hingga fenomena mati Suri yang menggambarkan cerita pengalaman kematian sesaat . Menurut Saya kepercayaan masyarakat Jawa tentang cerita-cerita mistis yang muncul dipermukaan bukanlah merupakan suatu fenomena yang aneh dan layak untuk diperdebatkan, hal itu dikarenakan dalam menjalani hidupnya, orang Jawa Tulen sangatlah memiliki ikatan yang erat dengan alam, disinyalir faktor inilah yang menyebabkan mereka sangat memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda bagi kejadian-kejadian lain. Sebenarnya hal itu bermula dari ilmu “titen”, yaitu ilmu mendeteksi suatu kejadian yang konstan, terjadi terus-menerus dan berkaitan dengan kejadian lain yang juga konstan berlangsung dalam kondisi yang sama atau serupa. Generasi akhir yang tidak memahami filosofi ilmu titen ini, mereka menganggap cerita-cerita mistis yang muncul hanyalah sebagai mitos yang pada satu sisi kerap dianggap sebagai kejadian magis dan diyakini sepenuhnya, tetapi ada juga sebagian masyarakat tak memperdulikannya dikarenakan takut dihukum ganjaran musyrik oleh ajaran agama kekinian .
Dalam masyarakat Jawa kekinian, berkembangnya mitos-mitos tentang peristiwa kematian lebih ditanggapi hanya sebagai fenomena takhayul belaka, mulai dari cerita mistis datangnya arwah di malam-malam tertentu dan cerita-cerita mistis lainnya hanya dijadikan bahan gurauan untuk menakuti anak-anak kecil saja, apalagi setelah berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan dunia medis dan kesehatan yang secara perlahan-lahan mulai menghapus ritual-ritual budaya lokal didalam melihat fenomena kematian, dimasa lalu misalnya, orang Jawa pedesaan sangatlah enggan dan pantang hukumnya untuk menguburkan jenazah di malam hari  dikarenakan alasan takut terkena sawan dari sang jenazah, tetapi setelah pengetahuan tentang dunia kesehatan semakin berkembang hingga ke pelosok desa, kepercayaan itu kini mulai pudar dikarenakan adanya anjuran dari dunia kesehatan agar menyegerakan menguburkan jenazah , dikhawatirkan bila dibiarkan begitu lama didalam rumah tanpa adanya unsur bahan pengawet jenazah sejenis formalin, kuman dan bakteri berbahaya yang terdapat di dalam tubuh mayat yang dipastikan segera mengalami masa pembusukan dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi para pelayat, apalagi anjuran untuk menguburkan jenazah sesegera mungkin juga dibenarkan oleh beberapa ulama di dalam agama Islam, seperti yang saya kutip dari majalah Furqon edisi September 2010 berikut : ” mengubur jenazah di malam hari juga diamalkan oleh para shahabat, di mana Abu Bakar dan Fathimah dikuburkan di malam hari. [Lihat Fathul Allam oleh Shiddiq Hasan Khan 2/261]. Pembolehan ini berdasarkan pada keumumam hadits di atas yaitu bersegera dalam mengurus jenazah termasuk di antaranya dalam hal penguburan. Dalil yang lain, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah memasukkan seseorang ke dalam kuburan pada malam hari, dengan cara menerangi kuburannya di malam hari. [Hasan Lighairihi. HR. at-Tirmidzi 1063. Dan dihasankan oleh al-Albani] ”.
Dalam bab ini Saya dapat menarik kesimpulan bahwa di dalam kebudayaan Jawa, unsur-unsur ritual yang berbau tradisi masih saja menyelimuti fenomena kematian, mulai dari syarat penyiapan piranti-piranti pemandian jenazah yang harus sesuai pakem tradisi, pemilihan motif batik yang akan digunakan untuk menutup tubuh si mayat, memilih lokasi makam , perintah untuk memberikan sesajen dan kemenyan di bekas kamar orang yang telah meninggal, hingga anjuran-anjuran klenik lainnya yang mungkin dianggap aneh oleh masyarakat modern . Tetapi dibalik fenomena itu semua, kita harus dapat menyadari bahwa sesungguhnya kematian dalam wacana orang Jawa dianggap terletak di dalam kodrat atau suratan takdir yang tak seorangpun mengetahui kapan tiba masanya Ia akan menghadap Sang Illahi pencipta semesta raya .

D.     RITUS KEMATIAN DAN PERKABUNGAN

D
alam fenomena kedukaan berupa kematian, wajar rasanya apabila kita mendengar suara jeritan histeris dan isak tangis anggota keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal menyeruak ke seluruh penjuru rumah duka, Hal ini juga senada dengan yang diungkapkan oleh Rossenbalt yang mengatakan bahwa menangis merupakan reaksi yang universal dalam situasi kematian. Tetapi ternyata di dalam pandangan masyarakat Jawa, kebiasaan menangis di hadapan jenazah sangat tidak baik hukumnya untuk dilakukan, hal tersebut dilandaskan pada petuah para leluhur yang menyatakan bahwa linangan air mata yang menggambarkan keharuan penuh rasa duka cita dapat menghalangi perjalanan orang yang sudah meninggal menuju ke alam kelanggengan dikarenakan Ia ( Sang Jenazah ) masih merasa ragu untuk meninggalkan keluarganya yang belum bisa menerima kepergiannya secara ikhlas ( istilah Jawa : nrimo kahanan )  . Jadi , apabila ada salah seorang anggota keluarga yang tidak kuat menahan linangan air mata, janganlah sekali-sekali diajak untuk menemui jenazah dikarenakan dapat menganggu kekhusyukan acara layatan dan membawa dampak yang kurang baik pula bagi jenazah .
Dalam ajaran para leluhur Jawa, kesedihan yang terlalu berlebihan tidak akan membawa kebaikan di dalam hidup, melainkan justru akan membawa kesengsaraan di dalam menapaki masa depan, melalui petuah itu kita dapat memahami bahwa kesedihan yang terlalu berlebihan akibat ditinggal oleh orang yang kita sayangi untuk selamanya tidak akan pernah membawa keberkahan dan kebaikan didalam menjalani kehidupan, karena percuma saja menangis berlama-lama mengenang Sang ahli kubur, karena linangan air mata yang kita cucurkan nyatanya tidak dapat menghadirkan kembali denyut kehidupan si Almarhum/Almarhumah di hadapan kita , Sikap menerima takdir sang Ilahi ( nrimo kodrat ) saya kira dapat dijadikan senjata yang paling ampuh di dalam menyikapi fenomena kematian, karena tak ada satu manusiapun yang sejatinya dapat mengetahui kapan waktu bagi dirinya untuk bersua dengan Sang Khalik .
Beberapa hari sesudah kematian seseorang, biasanya dalam tradisi masyarakat Jawa akan digelar rangkaian acara peringatan kematian ( Slametan ) yang bertujuan untuk menghantarkan arwah orang yang telah meninggal menuju ke alam kelanggengan, beberapa ahli berpendapat bahwa penyelenggaran ritus ini dapat mengeliminir rasa duka cita dari para anggota keluarga yang ditinggalkan dikarenakan mereka dapat melupakan rasa dukanya dengan berinteraksi dengan para tamu yang hadir dalam acara Slametan . Dalam prakteknya di masyarakat, acara Slametan tersebut nantinya akan dibagi-bagi lagi menjadi beberapa sesi acara yang akan diawali dengan acara peringatan nelung dina ( tiga harian ) , mitung dino ( tujuh harian ) , matang puluh ( empat puluh harian ) , nyatus ( seratus harian ) , setaun ( satu tahun ) , rong taun ( dua tahun ) , nganti nyewu dina ( seribu hari ) , Pada prosesi seribu hari ini biasanya akan diikuti pula dengan acara Slametan Surtanah ( yang bertujuan mengantar arwah Almarhum ke alam lain ) dan prosesi pendirian nisan atau tanda kubur diatas makam .
Selain mempercayai bahwa rentetan prosesi Slametan dapat menghantarkan si Almarhum ke alam kelanggengan dengan tenang, ternyata ada sebuah kepercayaan lain di seputar fenomena kematian orang Jawa, yang Saya rasa sangat menarik untuk diulas, yaitu tentang fenomenan kepercayaan masyarakat terhadap ” nglamat” dan ” firasat ” yang disinyalir dapat menguak tanda-tanda menjelang kematian seseorang . Dalam nglamat misalnya, orang yang akan meninggal biasanya akan melakukan suatu aktivitas di luar kebiasannya dan kerap merasa dibuntuti oleh seseorang misterius yang dipercaya oleh kebanyakan orang sebagai pengggambaran dari malaikat pencabut nyawa. Sedangkan dalam fenomena firasat, tanda-tanda akan meninggalnya seseorang justru tidak dialami oleh individu yang akan meninggal, melainkan anggota keluarga atau kerabat terdekatlah yang justru akan merasakan tanda-tanda kematian yang kebanyakan tergambar lewat mimpi mereka yang aneh-aneh, semisal : mimpi gigi serinya tanggal, mimpi menebas jantung pohon pisang, dan mimpi-mimpi lainnya yang kerap dideskripsikan sebagai mimpi pertanda kematian seseorang .
Dalam bab ini Saya dapat menarik kesimpulan, bahwa sejatinya dalam menyikapi fenomena kematian, komunitas masyarakat Jawa bukanlah tergolong ke dalam tipe masyarakat yang cengeng dan suka menyesali fenomena kehilangan anggota keluarganya secara berlebihan , melainkan rasa nrimo lan ikhlas lebih mereka tonjolkan dikarenakan alasan kesedihan yang mereka tampakkan justru akan membawa kesengsaraan bagi arwah Almarhum di alam kelanggengan . Daripada menangisi kepergian , lebih baik mereka berdoa kepada Tuhan melalui perantara acara Slametan yang mereka gelar bersama warga lainnya, agar Almarhum bisa memperoleh surga terindah dan kehidupan yang kekal abadi di akhirat sana .

E.     KISAH-KISAH DAN PETUALANGAN PARA LELUHUR DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
M
endengar kisah-kisah misteri setelah datangnya fenomena kematian seseorang, Saya rasa bukanlah merupakan hal yang asing bagi telinga orang Jawa, secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, cerita-cerita mistis itu disampaikan dengan begitu runtutnya seiring dengan menjamurnya budaya lisan di bumi Nusantara . Mulai dari kisah legenda hantu Sundel bolong hingga kisah kemunculan hantu api ganas pati dan aneka dedemit maneka rupa lainnya dituturkan dengan begitu gamblangnya tanpa sensor . Akibatnya, masyarakat Jawa selalu mengaitkan bahwa kematian identik dengan fenomena munculnya hantu-hantu gentayangan di sekitar mereka .  Padahal dalam dunia kekinian, fenomena munculnya roh gentayangan sangatlah sulit untuk dibuktikan dan hanya dianggap sebagai cerita bualan orang jadul dan takhyul belaka dikarenakan ” roh tidak terlihat dalam keadaan normal, Oleh karena itu , pandangan mengenai roh atau nasibnya setelah kematian berada dalam aras gagasan yang hanya bisa diyakini dengan iman dan kepercayaan ” ( dikutip dari buku menemui Ajal hal.145 ).
Fenomena kemunculan roh halus selama ini kerap sekali dikaitkan dengan fenomena kematian seseorang yang tidak wajar, entah itu karena tabrakan, diperkosa, disantet, maupun dikelilingi oleh fenomena-fenomena kematian tragis lainnya. Dalam kepercayaan Jawa, kehadiran mereka dipercayai sangat berhubungan dengan niat si roh halus untuk membalaskan dendamnya ( mbales genten )  kepada orang-orang yang tega membunuhnya , semisal dalam kisah hantu bayi bajang di wilayah Jawa Tengah yang dikisahkan bergentayangan untuk mencari-cari sosok kedua orang tuanya untuk dibunuh , dikarenakan si bayi merasa telah diperlakukan secara tidak adil melalui tindakan aborsi yang dilakukan . Tetapi selain mendatangkan cerita-cerita yang menyeramkan, ternyata fenomena kehadiran para lelembut juga kerap dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk meminta rejeki lewat jalan pesugihan yang mayoritas dilakukan oleh orang yang sudah tidak bisa lagi menemukan jalan rasional guna memecahkan masalah perekonomian keluarganya, jenis lelembut yang biasanya digunakan untuk menghasilkan pundi-pundi kekayaan dunia semacam ini biasanya didominasi oleh makhluk-makhluk halus sejenis : tuyul , babi ngepet, bulus jimbung, kalong ireng, dan makhluk-makluk jagading lelembut lainnya yang sangat irrasional dalam pandangan masyarakat modern kekinian .
Selain fenomena kenampakan roh makhluk halus dari jagading lelembut , pada bab ini juga mengulas tentang fenomena ziarah yang dilakukan di berbagai macam tempat, mulai dari menziarahi makam keluarga, Para wali dan raja-raja Jawa , hingga berkunjung ke petilasan-petilasan Kramat, bagi orang-orang yang masih hidup misalnya, kegiatan ziarah semacam ini terkadang juga dimanfaatkan sebagai arena untuk memohon keberkahan duniawi dari sang ahli kubur melalui perantara doa yang mereka haturkan, mulai dari meminta jodoh, kesuksesan, panjang umur, lulus ujian pegawai negeri, hingga permintaan-permintaan lainnya yang mereka panjatkan kepada Tuhan melalui perantara Almarhumah, dalam kepercayaan Jawa klasik, orang jawa tempo dulu percaya bahwa apabila memanjatkan doa dan harapan kepada si penghuni kubur, segala keinginan dari si peziarah akan cepat dijabah atau dikabul Gusti Pangeran, dikarenakan sosok penghuni kubur yang tinggal di akhirat dianggap lebih dekat posisinya dengan Tuhan yang Maha Esa ketimbang manusia yang masih hidup di bumi . Jadi pada bulan-bulan tertentu, lokasi ziarah keluarga maupun kramat akan sangat ramai untuk dikunjungi dikarenakan ada keinginan setiap individu untuk meminta berkah lan keslametan dari sang ahli kubur yang dianggap telah mencapai titik kelanggengan hidup yang kekal disamping pangkuan Gusti Allah sang pencipta jagad buwana .
Dari bab terakhir ini, Saya dapat menarik kesimpulan bahwa jagading lelembut memang ada di tengah-tengah kehidupan kita, bahkan didalam kitab Suci  Al-Quran-pun sudah tertera jelas bahwa sesungguh-Nya Allah SWT memang menciptakan manusia dan makhluk gaib di alam bumi guna hidup secara berdampingan dan seraya menyembah hanya kepada-Nya . Jadi , jika selama ini kita sebagai umat beragama masih mempercayai fenomena pesugihan dan ritual berbau klenik yang lebih berkonotasi terhadap penyembahan kepada makhluk gaib , maka sesungguhnya perilaku kita tersebut sudah mengarah kearah tindakan keblinger dan menentang ketentuan Tuhan yang hanya mewajibkan umat-Nya untuk menyembah hanya kepada-Nya Sang penentu nasib seseorang .

TERIMA KASIH
MATUR NUWUN


Friday, March 14, 2014

selamat kepada pak jokowi..

 Blogger gojeg semarangan mengucapkan selamat atas pencalonan bapak joko widodo sebagai capres 2014 dari partai PDIP...semoga bila menjadi pemenang pilpres 2014 bisa membawa perubahan yang baik untuk indonesia baru..HIDUPPP JOKOWI... 


Tuesday, March 11, 2014

SOK ATU....PADA MAMPIR KA BADUY




WILUJENG SUMPING KA BADUY  

Sebenarnya episode jalan-jalan kali ini adalah pengalaman jalan-jalan yang saya lakukan 2 tahun yang lalu bersama dengan teman-teman dari jurusan sosiologi dan antropologi UNNES ...yaitu berkunjung ke wilayah tempat tinggal suku Baduy yang letaknya berada di wilayah administrasi provinsi Banten...dari alun-alun kota Serang menuju ke wilayah Baduy...jaraknya sangat jauuuuuh sekali...mungkin membutuhkan waktu 1,5 jam apabila ditempuh dengan menggunakan alat transportasi berupa truk bak terbuka yang berjalan bak roller coaster yang melaju di jalanan yang naik turun tanpa henti...bak rintangan dalam kehidupan.....


Di dalam kawasan pemukiman masyarakat Baduy ...kita akan banyak menemui banyak bangunan yang berbentuk seperti gardu  beratapkan jerami-jerami kering, yang ternyata bernama leuit dan berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan padi hasil panen yang nantinya akan dimanfaatkan sebagai bahan baku konsumsi pribadi maupun dijual ke kota..................


Menjemur cengkeh di depan rumah......


pemandangan alam baduy yang hijau terbentang bak permadani dari surga.....tanpa polusi dan tanpa kehidupan yang penuh frustasi...............


Jembatan bambu menuju ke kawasan Baduy Dalam.......








Monday, March 10, 2014

NISAN BONGPAY ALA SEMARANG

Senjakala Bong Pay Gambiran

Oleh Rukardi

GAMBIRAN pada masa lalu, tak cuma sentra perdagangan gambir. Salah satu ruas jalan di kawasan Pecinan itu juga dikenal sebagai pusat kerajinan bong pay. Kini, di saat pedagang gambir telah lenyap dari tempat itu, perajin bong pay justru masih bertahan.
Mereka menempati bangunan lama di dekat persimpangan dengan Gang Cilik. Pahatan batu berupa nisan, bong ping, patung kim tong dan giok lie, dan say (singa) yang berjajar di pinggir jalan menjadi tengara sentra kerajinan bong pay itu.
Salah seorang perajin adalah So Geng Swie (71). Ia generasi ketiga yang meneruskan usaha pembuatan bong pay dari engkongnya So Tjay, dan papanya So Ing Hwee. Lelaki sepuh itu menggeluti dunia pahat batu semenjak kecil.
Menurut So Geng Swie, perajin bong pay di Gambiran seluruhnya bermoyang dari daerah Hwie An, Hokkian. Di daratan China, Hwie An merupakan salah satu sentra kerajinan bong pay. Wilayahnya yang berbukit batu menyediakan bahan baku melimpah.

So Tjay datang ke Tanah Jawa pada masa Hindia Belanda. Di Semarang, ia bersama para perantau asal Hwie An mula-mula hidup dari berdagang. Baru setelah melihat adanya peluang dari bisnis bong pay, mereka mulai menetapkan pilihan. So Tjay dan kawan-kawan lalu menetap di Gang Gambiran.
''Waktu itu, hampir seluruh bong pay dan patung didatangkan dari Tiongkok. Tentu saja harganya mahal. Nah, bong pay Gambiran relatif lebih murah,'' papar So Geng Swie.
Enam Perajin
Dulu, terdapat enam perajin di kawasan Gambiran, Jagalan, dan Sebandaran. Selain So Tjay, ada So Bie Sing, So Ken Ing, Tan Geng Git, So Eng Tjong, dan Tjen Han Swie. Namun kini, tinggal dia dan Tan Hai Ping- anak dari Tan Geng Git- yang melestarikan usaha itu.
Pada masanya, bong pay made in Gambiran pernah menguasai pasar Jawa. Ia dikirim ke kota-kota lain, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dibanding produk impor dari China, kualitas bong pay Gambiran memang masih satu tingkat di bawahnya. Namun, karena berharga lebih murah, banyak orang mencarinya.
''Bong pay dari Tiongkok batunya tidak mudah berlumut. Pahatannya juga lebih luwes dan halus. Tapi karena menggunakan bahan baku lokal, kami bisa menekan harga. Batu bersemu hijau didatangkan dari Purwakarta, batu bersemu putih dari Godean, Yogyakarta.''(41)

SM Cetak - Semarang Metro
07 Maret 2014
Seni Bong Pay Bertahan Lima Generasi 

Tak Patok Harga, Lestarikan Budaya


BESI yang beradu dengan batu menimbulkan suara nyaring dari sudut Gang Gambiran, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, di kawasan Pecinan Semarang, kemarin.
Beberapa orang sibuk memahat batu nisan berbahan granit yang oleh warga Tionghoa, biasa disebut dengan Bong Pay. Beberapa Bong Pay yang telah jadi tampak indah dan ditumpuk rapi di sudut ruangan berukuran empat kali lima mater itu. Seni ukir Bong Pay, sampai hari ini, masih terus bertahan.
Keuletan dan kreatifitas perajin Bong Paylah yang membuat usaha ini terus bertahan. Seperti dilakukan oleh Pianto Sutanto (52), perajin batu pahat dan pemilik Bong Pay dan Prasasti Hok Tjon Hoo.
Bersama empat karyawan, lelaki yang akrab disapa Tan Hay Ping itu merupakan generasi kelima yang bertahan menjalankan usaha kerajinan Bong Pay dari leluhurnya.
”Saya harus siap setiap saat melayani pelanggan dan masyarakat yang membutuhkan Bong Pay. Tentu saya ingin usaha ini terus dilanjutkan oleh generasi saya dan jangan sampai punah. Karena ini bukan bisnis semata, tetapi juga dalam upaya melestarikan tradisi dan budaya” tuturnya.
Sambil memahat, Tan menceritakan bagaimana usaha turuntemurun itu berjalan. Menurut dia, nenek moyang dulu melihat penggunaan Bong Pay pada saat itu sangat dibutuhkan. Adapun dari bentuk dan goresan di dalam batu itu begitu mempunyai seni.
Sejak itulah nenek moyangnya menggeluti kerajinan itu hingga diteruskan olehnya. ”Awalnya Bong Pay menggunakan batu, namun saat ini mayoritas menggunakan granit,” ujarnya.
Penggunaan granit pada pembuatan nisan lebih praktis. Granit yang bertekstur lebih lembut dari batu mudah dibentuk sesuai keinginan pemesan.
”Granit lebih mudah dibentuk ketimbang batu. Namun secara kualitas, batu jenis Tjuan Tjiu Pei dari China lebih awet dan kuat,” tandasnya. Tan juga menambahkan, untuk satu batu nisan dari granit, dirinya butuh waktu sepekan untuk menyelesaikannya.
”Kalau nisan dari batu paling tidak butuh waktu satu bulan,” ujarnya. Pelanggan Tan berasal dari dari kalangan kelas menengah kebawah hingga pengusaha dan pejabat. Mereka juga datang bukan hanya dari Semarang dan sekitarnya. Namun juga dari luar kota maupun pulau. ”Pemesan dari Kalimantan, Papua, Sumatera Barat juga ada,” jelasnya. Untuk satu nisan Tan tidak mematok harga khusus.
Apalagi bagi warga yang kurang mampu. Biasanya untuk warga yang kurang mampu Tan memberikan harga khusus atau diskon. ”Karena tidak dilandasi bisnis semata, jadi harga tidak dipatok yang penting budaya leluhur tetap berjalan dan bisa menolong sesama,” katanya.
Dia mengaku kesenian dan sekaligus penopang hidup dia dan keluarganya akan tetap dijalankan hingga kapan pun. Sebab, menurut dia, kesenian Bong Pay mulai ditinggalkan di Kota Semarang ini. ”Kalau bisa anak cucu saya nanti juga meneruskan usaha ini,” ujarnya. (Erry Budi Prasetyo-39)

MLAKU-MLAKU NING PANGGUNG KRAPYAK JOGJA


Kali ini...kita akan jalan-jalan ke Jogjakarta....menelusuri indahnya kotanya para priyayi Jawa ini....dan jangan salah , pada episode jalan-jalan kali ini kita tidak akan berkunjung ke Kraton, Taman Sari, maupun Malioboro ( udah biasa kali dan nggak asing lagi kita denger ......).tapi kali ini kita akan menjelajahi sisi lain kota Jogja dengan mengunjungi destinasi wisata yang tersembunyi dari hiruk-pikuknya para turis berambut pirang dan hitam...ha..ha..ha...kira-kira kemana ya ???


Ya ...kali ini kita akan berkunjung ke panggung Krapyak...udah pada tahu belom??? itu loh tempatnya para raja raja Jogja mas lalu berburu kijang dan hewan-hewan buruan lainnya...dengan gagahnya para raja berkumpul di Panggung Krapyak ( yang kebetulan berbentuk seperti benteng pertahanan ) dengan membawa atribut memanah lengkap dengan prajurit-prajuritnya.......


Di bagian Panggung Krapyak bagian bawah, menurut keterangan tour guide , di era dahulu dimanfaatkan sebagai kandang raksasa yang digunakan untuk mengurung dan menjadi lokasi transit para hewan buruan, entah itu kijang, macan , maupun hewan-hewan lainnya, Dan apabila kamu punya indera keenam dan kekuatan gaib ala mbah xxx , maka kamu akan  merasakan bau anyir darah hewan buruan para raja hingga sekarang , dan terkadang kalo beruntung bisa melihat roh-roh  para kijang berkeliaran di sekitar panggung krapyak..hiii sereem....


Tangga menuju ke lantai 2 kawasan Panggung Krapyak...yuk naik yuk.....


Satu demi persatu tangga kayu ini ku naiki....dan ketika sampai diatas.....


Panasnya bukan main...lumayan ni kalo ada turis bule ke sini...bisa berjemur biar kulitnya eksotis ala pribumi asia......dahulu dari lantai dua panggung krapyak, kita bisa melihat luasnya rindangnya pepohonan hutan krapyak milik kraton, tetapi kini pemandangannya telah berubah dan berganti dengan pemandangan pemukiman padat penduduk warga di wilayah Krapyak...Jogjakarta....kenangan si hutan hijaupun berlalu ditelan gegap gempitanya perkembangan jaman.....sayang disayang....... 


Di atas sini, dulunya para raja dengangagahnya memfokuskan arah anak panahnya ke hewan buruan yang dibidiknya..........satu..dua..tiga...jleppp.....seekor anak kijang dan induknya tewas tertancap si anak panah...kasihan....


Demikianlah hasil jalan-jalan ke panggung krapyak jogja kita lanjut lagi di destinasi wisata lainnya yang lebih menarik tetntunya,.............good bye..... and sampai bertemu lagi di cerita jalan-jalan lainnya.............






Saturday, March 8, 2014

JANGAN DICONTOH !!!! CALEG-CALEG YANG TAK PEDULI LINGKUNGAN .......






Liputan6.com, Jawa Tengah Kampanye penghijauan dan penyelamatan lingkungan sedang digaungkan. Namun, para caleg yang berebut kursi dewan justru melukai pepohonan dengan menempelinya alat peraga kampanye.
Seperti yang ditayangkan Liputan 6 Siang SCTV, Sabtu (8/3/2014), para seniman di Semarang, Jawa Tengah pun menumpahkan kejengkelan dan kemarahannya dalam aksi teaterikal.
Hal itu dilakukan mereka merasa para caleg tak peduli lagi dengan lingkungan demi meraih kekuasaan. Padahal, bisa jadi setelah dilukai, pepohonan itu mati. Sehingga mengurangi pasokan oksigen bagi masyarakat.
Kegiatan itu juga untuk mengedukasi masyarakat. Para calon wakil rakyat telah melanggar Peraturan KPU No.15 Tahun 2013 yang jelas-jelas melarang menempel alat peraga kampanye di pepohonan jalan dan ruang publik. (Elin Yunita Kristanti)