Senjakala Bong Pay Gambiran
Oleh Rukardi
GAMBIRAN pada masa lalu, tak cuma sentra perdagangan gambir. Salah satu ruas jalan di kawasan Pecinan itu juga dikenal sebagai pusat kerajinan bong pay. Kini, di saat pedagang gambir telah lenyap dari tempat itu, perajin bong pay justru masih bertahan.
Mereka menempati bangunan lama di dekat persimpangan dengan Gang Cilik. Pahatan batu berupa nisan, bong ping, patung kim tong dan giok lie, dan say (singa) yang berjajar di pinggir jalan menjadi tengara sentra kerajinan bong pay itu.
Salah seorang perajin adalah So Geng Swie (71). Ia generasi ketiga yang meneruskan usaha pembuatan bong pay dari engkongnya So Tjay, dan papanya So Ing Hwee. Lelaki sepuh itu menggeluti dunia pahat batu semenjak kecil.
Menurut So Geng Swie, perajin bong pay di Gambiran seluruhnya bermoyang dari daerah Hwie An, Hokkian. Di daratan China, Hwie An merupakan salah satu sentra kerajinan bong pay. Wilayahnya yang berbukit batu menyediakan bahan baku melimpah.
So Tjay datang ke Tanah Jawa pada masa Hindia Belanda. Di Semarang, ia bersama para perantau asal Hwie An mula-mula hidup dari berdagang. Baru setelah melihat adanya peluang dari bisnis bong pay, mereka mulai menetapkan pilihan. So Tjay dan kawan-kawan lalu menetap di Gang Gambiran.
''Waktu itu, hampir seluruh bong pay dan patung didatangkan dari Tiongkok. Tentu saja harganya mahal. Nah, bong pay Gambiran relatif lebih murah,'' papar So Geng Swie.
Enam Perajin
Dulu, terdapat enam perajin di kawasan Gambiran, Jagalan, dan Sebandaran. Selain So Tjay, ada So Bie Sing, So Ken Ing, Tan Geng Git, So Eng Tjong, dan Tjen Han Swie. Namun kini, tinggal dia dan Tan Hai Ping- anak dari Tan Geng Git- yang melestarikan usaha itu.
Pada masanya, bong pay made in Gambiran pernah menguasai pasar Jawa. Ia dikirim ke kota-kota lain, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dibanding produk impor dari China, kualitas bong pay Gambiran memang masih satu tingkat di bawahnya. Namun, karena berharga lebih murah, banyak orang mencarinya.
''Bong pay dari Tiongkok batunya tidak mudah berlumut. Pahatannya juga lebih luwes dan halus. Tapi karena menggunakan bahan baku lokal, kami bisa menekan harga. Batu bersemu hijau didatangkan dari Purwakarta, batu bersemu putih dari Godean, Yogyakarta.''(41)
SM Cetak - Semarang Metro
07 Maret 2014
Seni Bong Pay Bertahan Lima Generasi Tak Patok Harga, Lestarikan Budaya
BESI yang beradu dengan batu menimbulkan suara nyaring dari sudut Gang Gambiran, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, di kawasan Pecinan Semarang, kemarin.
Beberapa orang sibuk memahat batu nisan berbahan granit yang oleh warga Tionghoa, biasa disebut dengan Bong Pay. Beberapa Bong Pay yang telah jadi tampak indah dan ditumpuk rapi di sudut ruangan berukuran empat kali lima mater itu. Seni ukir Bong Pay, sampai hari ini, masih terus bertahan.
Keuletan dan kreatifitas perajin Bong Paylah yang membuat usaha ini terus bertahan. Seperti dilakukan oleh Pianto Sutanto (52), perajin batu pahat dan pemilik Bong Pay dan Prasasti Hok Tjon Hoo.
Bersama empat karyawan, lelaki yang akrab disapa Tan Hay Ping itu merupakan generasi kelima yang bertahan menjalankan usaha kerajinan Bong Pay dari leluhurnya.
”Saya harus siap setiap saat melayani pelanggan dan masyarakat yang membutuhkan Bong Pay. Tentu saya ingin usaha ini terus dilanjutkan oleh generasi saya dan jangan sampai punah. Karena ini bukan bisnis semata, tetapi juga dalam upaya melestarikan tradisi dan budaya” tuturnya.
Sambil memahat, Tan menceritakan bagaimana usaha turuntemurun itu berjalan. Menurut dia, nenek moyang dulu melihat penggunaan Bong Pay pada saat itu sangat dibutuhkan. Adapun dari bentuk dan goresan di dalam batu itu begitu mempunyai seni.
Sejak itulah nenek moyangnya menggeluti kerajinan itu hingga diteruskan olehnya. ”Awalnya Bong Pay menggunakan batu, namun saat ini mayoritas menggunakan granit,” ujarnya.
Penggunaan granit pada pembuatan nisan lebih praktis. Granit yang bertekstur lebih lembut dari batu mudah dibentuk sesuai keinginan pemesan.
”Granit lebih mudah dibentuk ketimbang batu. Namun secara kualitas, batu jenis Tjuan Tjiu Pei dari China lebih awet dan kuat,” tandasnya. Tan juga menambahkan, untuk satu batu nisan dari granit, dirinya butuh waktu sepekan untuk menyelesaikannya.
”Kalau nisan dari batu paling tidak butuh waktu satu bulan,” ujarnya. Pelanggan Tan berasal dari dari kalangan kelas menengah kebawah hingga pengusaha dan pejabat. Mereka juga datang bukan hanya dari Semarang dan sekitarnya. Namun juga dari luar kota maupun pulau. ”Pemesan dari Kalimantan, Papua, Sumatera Barat juga ada,” jelasnya. Untuk satu nisan Tan tidak mematok harga khusus.
Apalagi bagi warga yang kurang mampu. Biasanya untuk warga yang kurang mampu Tan memberikan harga khusus atau diskon. ”Karena tidak dilandasi bisnis semata, jadi harga tidak dipatok yang penting budaya leluhur tetap berjalan dan bisa menolong sesama,” katanya.
Dia mengaku kesenian dan sekaligus penopang hidup dia dan keluarganya akan tetap dijalankan hingga kapan pun. Sebab, menurut dia, kesenian Bong Pay mulai ditinggalkan di Kota Semarang ini. ”Kalau bisa anak cucu saya nanti juga meneruskan usaha ini,” ujarnya. (Erry Budi Prasetyo-39)
No comments:
Post a Comment