Sunday, October 26, 2014

PESONA GEDUNG TONIL DARI BUMI LUMPIA...............

Semula Bernama Schouwburg



SCHOUWBURG adalah nama sebenarnya dari Gedung Marabunta. Pada masanya, bangunan yang terletak di Jl Cendrawasih Kawasan Kota Lama Semarang itu difungsikan sebagai gedung pertunjukan tonil (sandiwara) dan kafetaria bagi warga keturunan Belanda dan Eropa lainnya.
Hingga kini belum terang betul waktu pendiriannya, namun diperkirakan pada 1854. Hal itu merujuk pada sebuah sumber yang mengatakan, pada tahun tersebut sudah ada sebuah pementasan tetap yang diadakan oleh kalangan masyarakat Eropa di Semarang. Dikatakan bahwa pementasan saat itu baru berlangsung sebulan sekali.
Penyusun buku Senarai Bangunan dan Kawasan Bersejarah di Kota Semarang itu menduga, Schouwburg pada masa itu sudah digunakan oleh perkumpulan-perkumpulan untuk mementaskan karya seni drama.
Dugaan itu diperkuat oleh gaya bangunan lengkung busur dan kolom langsing yang ada di dalam auditoriumnya. Ditambah lagi, sistem dinding yang menyangga dan pasangan bata rollag di atas ambang pintu ataupun jendela. Gaya arsitektur demikian banyak digemari, setidaknya sampai akhir abad ke-19.
Schouwburg merupakan satu-satunya bangunan pertunjukan berbentuk bulat telur yang punya arti penting dalam perkembangan budaya di Semarang.
Bentuk bangunan itu berbeda dari gedung pertunjukan di tempat atau kota lain yang pada umumnya bergaya klasik. Kedudukannya dalam lingkungan Kota Lama pun tak kalah penting, sebab ia menjadi salah satu unsur pelayanan umum dan kesenangan para penghuni. Demikian penting sehingga jalan di depan Gedung Schouwburg kemudian dinamakan Komidie straat.
Semut Besar
Dalam perkembangannya, nama Marabunta lebih kerap digunakan untuk menyebut gedung tersebut lantaran adanya sebuah patung semut yang terpacak di dinding bagian depan.
Seperti kita ketahui, Marabunta adalah nama sejenis semut besar. Fungsi Schouwburg sebagai gedung pertunjukan berakhir pada masa awal kemerdekaan. Ia digunakan sebagai kantor Yayasan Empat Lima yang anggotanya antara lain mantan presiden Soeharto dan almarhum Supardjo Rustam. Yayasan itu kemudian berganti nama menjadi Yayasan Kodam.
Pada tahun 1995, sebagian Gedung Marabunta direkonstruksi, kemudian dibelah menjadi dua bagian. Oleh pemiliknya saat itu, beberapa plafon dan tiang dari ruang pertunjukan tonil yang terletak di sisi utara diboyong ke sisi selatan. Kontraktor yang melakukan rekonstruksi, Nasution, mengatakan, panggung pertunjukan semula menghadap ke utara.

''Bagian utara gedung yang atapnya runtuh itu dulu merupakan kafetaria bagi para pengunjung,'' tuturnya.
Hasil rekonstruksi Nasution kini dapat dinikmati di Marabunta baru yang berada di sebelah selatan. Kedua bangunan itu kini disekat dengan tembok baru. Demi mempertahankan keaslian bagian-bagian cagar budaya itu, Nasution mempertahankan plafon dan tiang seperti aslinya. Ia memasang satu per satu, menyatukan bagian-bagian, mirip menyatukan puzzle. Ia menambahkan, sentuhan lukisan kaca yang menceritakan artis tonil kala itu untuk mengentalkan nuasa Eropa dalam Gedung Marabunta yang baru.
Setelah 10 tahun, atap bagian utara Gedung Marabunta yang asli dibongkar. Dinas Tata Kota dan Permukiman (DTKP) mengaku belum mengeluarkan izin pembongkaran. Hal serupa pernah pula terjadi pada Gedung Kanwil DPU Jl Kol Sugiono, BCA Jl Suari, Asrama Kowal Jl Sultan Agung, rumah dokter Gan Sing Bie di Jl Gadjah Mada 59, Hotel Jansen, Permorin, dan Gedung Gula.
Ketua DPD Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Widya Wijayanti menengarai, SK Wali Kota Nomor 646/50/1992 tentang Konservasi Bangunan Kuno/ Bersejarah di Wilayah Kota Madya Daerah Tingkat II Semarang (SKWK 646) belum cukup mempan mempertahankan bangunan kuno. (Rukardi, Ninik Damiyati-60n)

Saturday, October 25, 2014

PEKOJAN OH PEKOJAN ( SIMPUL KEBERSAMAAN DALAM PERBEDAAN )

Pekojan Bukti Kebersamaan dalam Keberagaman

Tetenger: Sebuah inskripsi terpasang di depan Masjid Jami Pekojan dibuat pada akhir abad Ke-18. Inskripsi itu dipercaya sebagai tetenger makam keturunan Tiongkok yang kemudian dipindah ke daerah Candi Baru.
Tetenger: Sebuah inskripsi terpasang di depan Masjid Jami Pekojan dibuat pada akhir abad Ke-18. Inskripsi itu dipercaya sebagai tetenger makam keturunan Tiongkok yang kemudian dipindah ke daerah Candi Baru.
[Semarang elsaonline.com] Ragam etnik, budaya dan agama di Kota Semarang tak membuat hidup masyarakatnya terkotak-kotak. Dalam perbedaan itu, mereka tak saling membatasi diri dengan menyalahkan perbedaan yang ada di luar dirinya.
Keharmonisan dalam bingkai perbedaan itu tercermin di Kampung sekitar Kampung Pekojan, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah. Di Jalan Petolongan terdapat sebuah masjid bersejarah panjang dalam penyebaran Islam, yakni Madjid Pekojan.
Tak jauh dari masjid itu, ujung Jalan Pekojan, terdapat juga Gereja yang cukup besar. Dari Jalan Pekojan ke kanan, menyusuri Kali Semarang, sekira 50 meter dijumpai Klenteng Tau Kak Sie. Sementara dari dari Jalan Pekojan ke kiri dijummpai Gereja Gereja Katolik St Fransiskus Xaverus Kebondalem.
Daerah ini masuk dalam kawasan Pecinan (tempat bermukim keturunan Cina-red). Penduduk di Pecinan sangat beragam, ada etnis Koja (Gujarat), China, Melayu, Eropa dan penduduk asli Jawa. Namun mereka yang berbeda itu tak saling menyalahkan dan merasa benar sendiri.
Ketua Takmir Masjid Jami’ Pekojan Ali Baharu menyampaikan, sejak turun temurun penduduk sekitar sangat harmonis. Meskipun etnik, budaya dan agama penduduknya berbeda-beda namun tetap bersama. Antara satu dengan lainnya tak saling mengganggu.
”Sejak dulu, nenek moyang hingga kami hidup berdampingan dalam perbedaan. Kami tak merasa ada yang perlu disalahkan dari keyakinan orang lain atau agama lain,” kata Ali Baharu saat ditemui di toko buku miliknya yang ada di pertigaan Jalan Petolongan dan Jalan Pekojan, Rabu (26/3/14).
Dia menunjukan beberapa tempat ibadah yang jaraknya berdekatan dengan Masjid Pekojan. Ada mushola, gereja, dan klenteng. Masyarakat yang hampir semua berdagang itu saling berkesinambungan.
Tatkala waktu salat tiba, mereka yang Muslim dan bekerja di toko milik non-Muslim, diberikan waktu istirahat untuk menjalankan ibadah dengan waktu yang tumaninah. ”Disini antara agama satu dengan lainnya saling menghargai. Kalau waktu salat yang Muslim diberikan waktu utuk ibadah,” imbuhnya.
Seorang warga keturunan Gujarat Yunan Fahlevi menambahkan, di sekitar Kampung Pekojan dan Bubakan dulunya merupakan makam. Jalan Petolongan merupakan batas antara makam keturunan Tiongkok dan orang Jawa yang bercampur dengan Keturunan dari India.
”Hingga saat ini tetengernya masih ada. Konon dulu dari masjid Pekojan ke utara hingga kawasan Bubakan makam orang Jawa dan sebagian keturunan Gujarat. Kemudian dari Jalan Petolongan ke selatan merupakan makam keturunan orang China,” ujarnya.
Tulisan Abjad Tiongkok
Perbatasan itu diberi tanda dengan sebuah inskripsi bertuliskan abjad Tiongkok. Inskripsi itu menempel pada tembok rumah di ujung barat Jalan Petolongan Semarang. Sepertinya, inskripsi itu ditulis di batu persegi panjang dengan dipasang tegak di salah satu rumah milik keturunan Tiongkok.
Batu itu berukuran sekitar 60 sentimter x 10 sentimeter. Batu itu dicat merah khas warna Klenteng dan tulisannya berwana kuning emas. ”Tetenger itu tak akan dihilangkan karena mempunyai arti dan sejarah yang sangat bermakna. Tulisan wartawan Suara Merdeka.com Rukardi pada 18 Maret 2008 mejelaskan bahwa tetenger itu ada kaitannya dengan pemindahan makam keturunan Tionghoa dari Pekojan ke daerah Candi Baru.
Rukardi menjelaskan, tetenger itu kurang lebih bertuliskan ’’Lam boe o mie too hoet kian an’’. Dilihat dari struktur kalimatnya, tulisan itu jelas sebuah mantra Buddha yang terjemahan bebasnya kurang lebih ”Menyempurnakan arwah yang telah meninggal.”
Menurut pemerhati sejarah Semarang Jongkie Tio, inskripsi yang terpasang tepat di depan Masjid Jami Pekojan itu dibuat oleh warga Pecinan pada akhir abad Ke-18. Ia menengarai peristiwa pemindahan makam Tionghoa dari Kawasan Petolongan ke Perbukitan Candi Baru.

’’Tahun 1797, Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) membuka kawasan tersebut sebagai permukiman. Mereka ingin membuat daerah di sekitar Benteng Kota Lama yang terkesan angker dan banyak begalnya itu, menjadi ramai. Maka, kuburan di tengah hutan tersebut harus dipindahkan,’’ jelas Jongkie, seperti ditulis Rukardi. [elsa-ol/Cep-@Ceprudin]

BELAJAR TEGAR DARI FARIZAL ( PESERTA IDOL JUNIOR )

BELAJAR TEGAR DARI FARIZAL ( PESERTA INDONESIAN IDOL JUNIOR )
Oleh : Sae Panggalih 


Masih teringat didalam pikiran Saya...Tiga Minggu yang Lalu, tepatnya di hari Jum'at sore...dikala diri ini butuh hiburan dari sebuah benda berbentuk kotak canggih bernama televisi....tiba-tiba hentakan tombol remote yang saya tekan berulang kali guna mencari acara yang pas dan nggak berbau Sinetron FTV yang berbau beraneka siluman ( Ganteng-Ganteng S*****, Harimau S*****, dan acara nggak jelas lainnya ), Saya hentikan di channel MNC tv yang kebetulan pada sore itu menayangkan acara Audisi Indonesian Idol Junior yang banyak diikuti oleh para kontestan dari seluruh pelosok nusantara..berbagai macam ekspresi  muka polos anak-anak yang berisi perasaan kegirangan, bangga, marah sama mama dan malu-malu kucing banyak ditayangkan pada acara yang banyak dinanti oleh kalangan anak-anak dan segelintir remaja tanggung era sekarang....tapi Sore itu, ada penampilan bebrbeda yang bisa Saya tangkap dari sosok Farizal yang pada saat audisi membawa sebuah gitar kecil ( ala Budi Doremi ) dengan dikombinasikan dengan gaya busana yang Ia bilang " Stilan Bali " ( Style of Balinesse )


 

Sore itu disaat audisi,  Farizal ditemani oleh Bapak Asuhnya dari Sanggar Anak Jalanan Bulungan yang setia menemani anak berusia 10 tahun ini selama mengantri audisi dari pagi hingga petang menjelang, tiba di hadapan para juri Saya sempat dibuat sedikit merinding dan terharu dengan lagu yang Ia nyayikan, yang berkisah mengenai perjuangan seorang Ibu yang rela berdoa setiap hari dan berjuang sekuat tenaga untuk kebahagian hidup anak-anaknya selama di dunia maupun nanti di akhirat kelak.. Lagu dengan judul " Ibu" karya Sakha inipun disenandungkan oleh farizal dengan penuh perasaan dan terdengar setiap lirik lagu yang Ia nyanyikan terlontar dari perasaan hati yang terdalam, Otomatis hal itu yang kemudian memebuat keempat juri yang hadir ( Titi DJ, VJ Daniel, Mbak Regina Idol, dan Om Botak Keren ) menjadi terharu dengan setiap syair indah menyayat hati yang tergambar dari lagu " Ibu karya Sakha " yang dibawakan oleh Farizal....



Seusai menyanyikan lagu tersebut, Farizal sempat dilontari pertanyaan oleh VJ Daniel " Mengapa kamu memilih lagu tersebut dan apa kamu tahu arti dari lagu tersebut ? " dan yang mengejutkan Farizal menjawab pertanyaan tersebut dengan sedikit berlinang air mata " Lagu itu rizal persemabahin untuk mama, bapak, dan juri semua yang ada di sini, dan lagu itu nyeritain soal perjuangan ibu yang terus berdoa untuk kebahagian hidup anak-anaknya....sontak jawabannya itu membuat regina menjadi menangis tersedu-sedu .
Selain itu, kisah sedih lainnya juga terlontar dari cerita hidup Farizal yang ternyata adalah seorang anak yatim piatu yang sudah tidak memiliki kedua orang tua dikarenakan keduanya sudah meninggal dunia dalam sakit ( ibunya ) dan dalam tragedi kecelakaan di bulan Agustus 2014 ( Ayahnya ) , dalam pengakuannya Ia kini hanya tinggal bersama seorang adiknya di Sanggar Anak Jalanan Bulungan, Ia mengakui bahwa kini dirinya tidak lagi menegnyam bangku sekolahdan memutuskan untuk menjadi pengamen demi membiayai biaya sekolah adiknya " biarin aku nggak sekolah, yang penting dedek bisa tetep sekolah " ujarnya kepada Titi DJ. Farizal juga sempat curhat bahwa sewaktu-waktu terkadang Ia merindukan sosok ayahnya yang baru meninggal beberapa bulan yang lalu , Ia sempat bercerita bahwa dulu sebelum ayahnya meninggal Ia selalu diajak membeli mainan dan digendong-gendong untuk bermain, tetapi kini setelah ayah sudah berpulang ke hadapan  Sang Khalik, semua kenangan manis farizal itu telah terhapus dengan berjalannya waktu.....sungguh kasihan sekali 
Selain itu, kebaikan hati bocah polos ini juga terpancar dari jawabannya yang mengatakan jika menang nanti, hadiah yang Ia dapat dari acara ini akan dibawanya pulang ke Rangkas ( Banten ) guna untuk memperbaiki makam kedua orang tuanya dikampung ( Sungguh tujuan yang mulia dikala kebanyakan bocah seusianya disibukkan oleh gadget dan game online yang banyak menguras rupiah orang tua ) 
Selain kisah memilukan itu, Satu pernyataan dari Farizal yang tak pernah akan Saya lupa adalah " Jikalau Kita Diperlakukan tidak baik oleh orang, jangan membalas perbuatan orang tersebut degan perbuatan yang buruk juga, Karena sejatinya Allah Maha Melihat semua perbuatan manusia di muka bumi dan akan memberikan balasan yang setimpal " Sungguh sebuah kata yang amat bijak yang terlontar dari mulut mungil anak berusia 10 tahun ini.....
Belajar dari Farizal, mungkin itulah kata yang pantas Saya sematkan kepada ketegaran hati bocah bijak yang Insya Allah akan menjadi penghuni Surga di akhirat kelak, karena hanya kekuatan doalah yang dapat merekatkan hubungan antara penghuni dunia ( yang tergambar dari sosok Fraizal ) dan Penghuni Akhirat ( Yang tergambar dari sosok kedua orang tua Farizal yang telah kembali ke Singgasana Sang Khalik ) .............

SEKIAN DAN TETAP HORMATI KEDUA ORANG TUA KITA