Saturday, October 25, 2014

SAKSI SEJARAH PEMINDAHAN MAKAM CINA DI SEMARANG

Inskripsi Petolongan

''Saksi'' Sejarah Pemindahan Makam



MENEMPEL pada tembok rumah di ujung barat Jalan Petolongan, sebuah inskripsi (kata-kata yang diukir pada batu monumen) berabjad Tiongkok tak terlihat jelas. Bentuk batunya persegi panjang tegak dengan ukuran sekitar 100 cm x 20 cm. Torehan cat warna merah bata di inskripsi tersebut tetap tak menyita pandangan orang. Maka tak heran kalau keberadaannya cenderung diabaikan dan tak dipedulikan.
''Lam boe o mie too hoet kian an'', demikian bunyi tulisan yang terpahat di inskripsi berbahan batu kali tersebut.
Dilihat dari struktur kalimatnya, jelas sebuah mantra Buddha yang terjemahan bebasnya kurang lebih: Menyempurnakan arwah yang telah meninggal.
Lantas bagaimana awalnya batu bersurat itu ada di lokasi tersebut dan apa fungsinya?
Menurut pemerhati sejarah Semarang Jongkie Tio, inskripsi yang terpasang tepat di depan Masjid Jami Pekojan tersebut dibuat oleh warga Pecinan pada akhir abad ke-18. Itu sekaligus untuk menengarai peristiwa pemindahan makam Tionghoa dari Kawasan Petolongan ke Perbukitan Candi Baru.
''Pada tahun 1797, VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) membuka kawasan tersebut sebagai permukiman. Mereka ingin membuat daerah di sekitar Benteng de Vifhoek yang terkesan angker dan banyak begalnya itu menjadi ramai. Maka kuburan yang ada di tengah hutan tersebut harus dipindahkan,'' jelas Jongkie.
Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, pemindahan makam tidak bisa dilakukan secara sembarangan karena akan membawa dampak tertentu, baik bagi arwah maupun orang yang memindahkannya. Nah, inskripsi tersebut dipasang untuk tujuan keselamatan.
''Bersamaan dengan pemasangan batu, dilakukan juga sembahyangan dan selamatan secara besar-besaran,'' imbuhnya.
Tentu saja saat kali pertama dibuat, batu bertulis mantra itu tidak melekat pada dinding bangunan beratap pelana sebagaimana terlihat sekarang. Benda itu mungkin dipasang serupa tugu peringatan. Namun berubahnya kawasan Petolongan menjadi permukiman padat membuat inskripsi tersebut dipasang demikian.
Inskripsi Gombel
Inkripsi bertulisan serupa terdapat di tanjakan Gombel, tepatnya pada jalur penyelamat. Meski demikian dilihat dari ukuran dan maksud pendiriannya, inskripsi Gombel punya perbedaan.
Bentuk inskripsi Gombel lebih persegi dengan ukuran sekitar 30 cm x 40 cm. Menurut Liem Gak Tjay, inskripsi tersebut didirikan untuk menenangkan arwah korban kecelakaan massal yang terjadi pada tahun 1960-an.
''Saat itu ada rombongan manten asal Semarang yang baru pulang dari Solo. Sampai di Gombel, bus yang mereka tumpangi ngglempang. Kecelakaan itu merenggut nyawa hampir semua penumpangnya,'' kisah Liem.
Khawatir arwah para korban gentayangan, keluarga yang ditinggalkan membuat inskripsi yang ditempel pada sebuah to the kong. Karena disangka benda purbakala, akhir tahun 1990-an inskripsi Gombel itu dicuri orang. Namun tak lama berselang, Liem menggantinya dengan yang baru.
Sampai sekarang, banyak warga etnis Tionghoa yang mendatangi inskripsi Gombel untuk melakukan sembahyangan. Itu utamanya dilakukan pada bulan ketujuh Imlek (Jit Gwee), bulan di saat warga Tionghoa mendoakan arwah leluhur mereka. (Rukardi-54m)
Sumber : http://www.suaramerdeka.com/

No comments: