Friday, January 31, 2014

SAUJANA POTEHI BUMI LUMPIA

Saujana Potehi di Pecinan Semarang

Lazim bagi sementara orang ketika berbicara tentang budaya Tionghoa di Indonesia, baik yang sifatnya campuran maupun murni, justru yang terbayang biasanya akan tertuju pada ihwal itu-itu saja, seperti perayaan Imlek (tahun baru Cina), kelenteng, atau tari Barongsai. Padahal, dalam tradisi Tionghoa di Nusantara masih banyak hal lain yang tak kalah menariknya untuk diungkap dan dipelajari.
Permisal saja, dalam aspek kesenian orang-orang Tionghoa memiliki seni lukis dengan tinta bak seperti Tan Eng Tiong di Semarang, kain batik kaligrafi dan pesisiran, seni dan teknologi makanan, seni musik seperti gambang kromong dengan senandung Kong Jilok dan Gutaypan-nya di tanah Betawi, wayang Potehi dan wayang Thithi (yang nyaris punah), keramik-keramik Tiongkok dan ornamen ukir-ukiran pada kayu, kerajinan lampion dan ‘rumah kertas’, dan sebagainya. Yang bila ditelisik lebih dalam kita bisa mengerti kayanya ragam kebudayaan Tionghoa yang tersebar di Nusantara.
Namun, dari deretan seni-budaya Tionghoa itu, tidak semuanya dapat lestari, dan beberapa dari mereka bahkan terancam punah karena tidak banyak yang dapat meneruskan eksistensi mereka –jika tidak mau dibilang tidak peduli. Nah, persoalan regenerasi menjadi penting dalam konteks ini. Tetapi, ini adalah hal lain yang akan diulas pada lain kesempatan.
Memang banyak hal yang membuat sebagian dari kesenian tradisi Tionghoa ini kurang dapat bernafas lebih panjang, dan inilah satu dari sekian keprihatinan kami. Satu hal yang kentara adalah soal minimnya pengetahuan kita tentang seni-tradisi orang-orang Tionghoa di Indonesia. Sebab itu, sekarang dan tanpa tenggat waktu, kami merasa perlu menelusuri, mengetahui, menanyakan-kembali, dan menyajikan hal-hal yang belum banyak disinggung dan terkuak (atau memang dilupakan) dari kebudayaan Tionghoa. Tak ketinggalan juga, di sini kami berupaya menampilkan dan mengenali tokoh-tokohnya (para pelaku).
Meskipun dengan segala keterbatasan kami dalam praktik dan pendanaan, kami tetap meyakini bahwa paling tidak, lewat “catatan jalan-jalan” rutin ini kami akan bisa menyajikan berbagai tulisan ringan tentang hal di atas. Sehingga, harapan tentang diseminasi informasi dan wacana mengenai ketionghoaan akan lebih terbaca luas. Kali ini, kita mencoba ‘memotret’ kembali wayang Potehi di Pecinan Semarang setelah dilarangnya hal-ihwal yang berbau Cina di Indonesia oleh Inpres No.14 Tahun 1967. Alasan lain, di mata kami masih sangat sedikit dari kita yang paham seluk-beluk wayang Potehi, begitu pula dengan diri kami sendiri.
Wayang Boneka Kain
Mengenai ihwal Potehi ini, selain hasil obrolan dengan kedua dalang Potehi sebagai narasumber, merupakan hasil pensarian kami dari beberapa bacaan yang didapat. Potehi, seperti dikatakan oleh sang dalang Thio Tiong Gie (yang akan diulas nanti), berasal dari Poo Tay Hie yang berarti wayang kain kantong. ‘Poo’ berarti kain, ‘tay’ adalah kantong, dan ‘hie’ merupakan wayang (Dwirahmi, 2010b; Mastuti, 2004; Nurhasim, 2009a). Wayang di sini bisa juga bermakna boneka, jika ‘wayang’ kita terjemahkan dari kata dalam bahasa Inggris,puppet.

Wayang Potehi
Wayang Potehi, menurut catatan Mastuti (2004) dan Nurhasim (2009a), merupakan satu jenis wayang asli Tiongkok yang masih ada di Indonesia –kalau bukan satu-satunya– yang berbeda dengan wayang Thithi. Wayang Thithi lebih dianggap merupakan hasil dari proses pembauran dua kebudayaan, yakni paduan Jawa dan Cina, yang lahir dan (pernah) berkembang di Yogyakarta (lihat Lestari, 2005).
Karena itu, wayang Thithi juga dikenal sebagai wayang kulit Cina-Jawa. Namun, ada persamaan pada keduanya, yaitu fungsinya sebagai media hiburan, edukasi, kritik sosial, serta salah satu syarat ritual tertentu dalam masyarakat Tionghoa sebagai persembahan pada leluhur atau para dewa di kelenteng (Lestari, 2005; Mastuti, 2004).
Selain itu, pementasan wayang Potehi juga berlaku sebagai kaul, sebuah perayaan atau selamatan bagi kerabat yang telah sembuh dari sakit. Dari sini kita mengerti, bahwa budaya Tionghoa juga mengenal tradisi membayar janji ketika permohonan kita terkabul, mirip konsep ‘nazar’ dalam ajaran Islam.
Konon, dalam sejarahnya dan juga menurut penuturan dalang wayang kain kantung ini, Potehi diciptakan dari lima orang narapidana terhukum mati pada zaman dinasti Sang Tiau (Tsang Tian) masa pemerintahan raja Tioe Ong pada sekitar 3000 tahun silam. Kala itu, kondisi psikologis mereka pada titik nadir. Tanpa harapan. Mereka di penjara di kota Chuan Cu, provinsi Hokkian, Tiongkok (lihat Dwirahmi, 2010b; Mastuti, 2004; Nurhasim, 2009a).
Menjelang eksekusi, seorang dari mereka berupaya menghibur diri dengan cara memanfaatkan barang-barang yang ada di balik sel mereka. Ajakan ini direspon baik oleh empat yang lain. Dari balik bui itulah, mereka merancang satu pertunjukkan dan menyiapkan segala perlengkapannya, termasuk ‘alat musik’ seadanya. Yaitu, tangkai sapu bambu bekas (alat untuk mengatur aba-aba musik), pecahan kaca, tutup panci bekas (sebagai kecrek), baskom (sebagai gembreng/alat musik pukul), serta sapu tangan bekas / perca dan sobekan kain (untuk baju tokoh wayangnya) (Mastuti, 2004; Nurhasim, 2009a).
Akhirnya, mereka menggelar pementasan kecil-kecilan yang ternyata hal ini sampai ke telinga sang raja. Kemudian, mereka ditantang untuk pentas di hadapan raja dan akan mendapat imbalan terbebas dari hukuman bila sang raja merasa senang. Mendengar kesempatan ini, mereka merasa kudu memanfaatkan dengan baik. Lantas, mereka memutuskan untuk mengangkat lakon tentang raja Tioe Ong itu sendiri, dengan cara meriwayatkan kebaikan dan citra positif pada diri sang raja. Karena hal ini, maka mereka pun akhirnya terbebas dari hukuman.
Bagaimana dengan proses Potehi? Tata-laksana pementasan wayang Potehi biasanya dilakukan pada sore dan malam, masing-masing dua jam yakni pukul 15.00—17.00 dan 19.00—21.00. Dan, di tiap sesi pertunjukan menyajikan lakon yang berbeda. Misalnya, pada siang digelar lakon Sie Bing Kwie (Kuda Wasiat), dan malamnya mengangkat lakon Ngoho Peng See (Lima Harimau Sakti). Sementara, lakon lain yang juga sering dipentaskan adalah Poei Sie GiokLoo Thong Sauw PakHong Kiam Cun Ciu, dan lain sebagainya (Mastuti, 2004; Nurhasim, 2009a).
Pementasan Wayang Potehi
Dalam catatan sejarahnya di Indonesia, Potehi mulai dibawakan dalam bahasa Melayu (atau Indonesia) sejak awal abad ke-20 (Nurhasim, 2009a), artinya kira-kira dimulai sejak masa guru sang dalang Thio Tiong Gie itu (Dwirahmi, 2010b; Nurhasim, 2009a). Meski disajikan dalam bahasa Melayu, namun suluknya tetap dipertahankan dalam bahasa Cina Hokkian hingga kini. Menurut KBBI, Suluk merupakan nyanyian (tembang) dari sang dalang yang dilakukan saat memulai suatu adegan (babak) dalam sebuah pertunjukan wayang.
Meski sama-sama memiliki suluk, wayang Potehi tidak menampilkan goro-goro seperti dalam wayang purwa yang menghadirkan punakawan: semar, gareng, petruk, dan bagong. Yang ada dalam Potehi adalah munculnya tokoh mata-mata atau pembantu rumah tangga untuk mengundang gelak tawa penonton (Nurhasim, 2009a).
Kelompok wayang Potehi hanya terdiri dari beberapa orang saja, tidak seperti wayang purwa di Jawa yang sampai belasan orang. Paling tidak, dalam satu tim terdapat satu dalang, dan seorang asisten. Sementara, para pengiring musiknya hanya berjumlah tiga orang. Ketiga orang ini bertanggungjawab atas tujuh alat musik pengiring pertunjukan, yaitu gembreng besar (Toa Loo), gembreng kecil (Siauw Loo), rebab (Hian Na), kayu (Piak Ko), suling (Bien Siauw), gendang (Tong Ko), slompret (Thua Jwee).
Sebab itu, rata-rata setiap orang memainkan dua sampai tiga alat musik. Wayang ini dipentaskan dalam sebuah panggung, semacam box boneka yang tidak begitu besar. Sang dalang dan asisten berada di balik (dalam) panggung / kotak layar boneka tadi. Mereka tampil apa adanya, tanpa riasan dan kostum khusus. Beberapa pementasan lakon, kata Thio Tiong Gie, tidak akan bermakna jika tanpa penonton.

Potehi dan Sang Dalang
Penelusuran kami mengenai Potehi sebenarnya berangkat dari temuan beberapa judul artikel di media massa dan makalah seminar yang pernah mengulas tentang wayang ini di Pecinan Semarang. Juga sebagian dari ceritera teman-teman di sekitar kami.
Dari situ, kami lantas merasa perlu untuk melihatnya secara langsung, dan berbincang dengan mereka. Beberapa fakta yang kami dapati di lapangan adalah (1) dalang Potehi tidak banyak, sejauh ini kami hanya menemukan dua orang yang aktif di Pecinan Semarang, yaitu Bambang Sutrisno dan Thio Tiong Gie. (2) Usia mereka sudah tidak lagi muda, alias uzur. (3) Sulitnya mencari pengganti yang setara dengan dalang-dalang senior Potehi.
Ulasan di majalah Arti menjelaskan mengapa para dalang ini kesulitan mencari penggantinya, sehingga bisa dibilang Potehi mengalami krisis regenerasi (lihat Nurhasim, 2009a dan 2009b). Tentu saja bukan sembarang orang yang dapat menjadi penerus pedalangan Potehi secara baik, karena memang tidak gampang menjadi dalang Potehi yang harus hafal betul dan menghayati riwayat-riwayat lakon Tiongkok dalam wayang Potehi.
Serta, (4) apresiasi masyarakat terhadap Potehi tidak sebesar apresiasi kita pada kesenian tradisi yang lain, seperti wayang purwa dan ketoprak yang telah digubah sedemikian rupa, sehingga dapat masuk ke dalam tayangan komersial televisi swasta. Kondisi demikian, menurut kami tidak selalu pantas mendapat pemakluman-pemakluman, melainkan harus memutar otak supaya seni-tradisi ini tidak lenyap.
Terkadang, kami merasa berat berjalan menjelajahi Pecinan, lantaran cuaca kota Semarang yang relatif panas menyengat. Namun, hal itu nyatanya telah membawa kami tiga kali ke Pecinan untuk membidik informasi tentang wayang Potehi. Kendati baru sekali kami menyaksikan pertunjukkan wayang Potehi di pelataran Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, 22 Juni 2010 lalu, kami sudah tiga kali bertandang ke rumah masing-masing dalang Potehi. Nah, berikut ini ialah hasil kunjungan dan perbincangan kami dengan kedua dalang tersebut.

Bambang Sutrisno
Kami menemui Bambang Sutrisno (60 tahun) di kediamannya Jumat siang (02/07/2010) lalu. Ia merupakan salah satu sang dalang Wayang Potehi. Menuju ke rumahnya, kita hanya perlu menyusuri Gang Lombok. Di situ akan melewati Yayasan Kuncup Melati. Nampak juga di sepanjang jalan itu, seorang tukang kusen pintu.
Bambang Sutrisno
Sampai di depan rumah Bambang Sutrisno, kami terhenyak sejenak dan bertanya,”Apa benar ini rumahnya?” Ya, di rumah kontrakan dua lantai berukuran sekitar 1,5 x 3 meter itulah satu legenda dalang Potehi tinggal. Beliau mengatakan kepada kami, bahwa ia tidur di ruang tamu tempat di mana kami di jamu. Bagian rumah ini sekaligus menjadi ruang keluarga, ruang makan, tempat menyimpan barang-barang berharganya, dan lain sebagainya.
Sementara, lantai dua difungsikan untuk menyimpan baju dan barang-barang lain yang tidak dapat ditaruh di lantai satu. Dua lantai rumahnya ini dihubungkan dengan tangga kayu yang nampak sudah rapuh. Sempit dan berjejalnya tempat berteduh Bambang Sutrisno dan keluarganya tidak memadamkan semangat melestarikan wayang yang sempat terkubur tiga dekade di bumi pertiwi ini.

Ruang tamu di rumah Bambang Sutrisno
Setelah berbasa-basi, lantas kami mengutarakan niat kedatangan kami. Beliau merespon dengan senang hati, dan segera menarik ‘brankas’ dokumen-dokumen penting beliau dari balik pintu rumah untuk ditunjukkan. Jangan dibayangkan brankas ini berbentuk lemari besi. Tidak. Brankas milik Bambang Sutrisno hanya berupa kardus mie instan.
Dalam kardus ini ternyata tersimpan koleksi buku-buku ceritera wayang milik Bambang Sutrisno. Dan, menariknya adalah, dari sebagian ceritera-ceritera dalam buku itu merupakan tulisan tangannya sendiri. Ia mengisahkan dari mana asal kumpulan ceritera yang ia tulisan dengan sangat rapi itu. ”Riwayat-riwayat dalam pewayangan ini saya peroleh dari Siauw Thian Hoo (gurunya),” begitu ia menjelaskan.
Koleksi buku-buku ceritera Bambang Sutrisno
Di dalam kardus itu juga tampak beberapa komik jaman dahulu, seperti Kera Sakti, 5 Harimau Sakti, dan cerita pendekar Rajawali. Namun, kisah-kisah yang telah diubah ke dalam ceritera komik bagi Bambang Sutrisno tidak lagi dapat dijadikan acuan mementaskan Potehi (Dwirahmi, 2010a).
Karenanya, ia lebih mantap jika berpedoman dengan kisah-kisah dalam catatan-catatan bukunya sendiri. Selain itu, yang menarik dari isi kardus itu adalah sehelai baju wayang berwarna merah dengan motif bunga keemasan, berkerah hijau. Baju boneka usang dan mripili(hampir rontok) itu merupakan kenang-kenangan pemberian gurunya.
Ada pula kumpulan Surat Jalan miliknya beserta sang isteri (yang telah mendahului Bambang Sutrisno sekitar empat tahun silam) yang digunakan untuk bepergian ke luar kota saat ia dan rombongan kelompok keseniannya hendak mementaskan Potehi di masa pemerintahan Orde Baru (Dwirahmi, 2010a). Surat Jalan ini dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penanda bahwa si pembawa surat tidak terlibat dalam partai terlarang dan tragedi kudeta militer pada 30 September 1965, yang kita kenal sebagai G-30-S.
Surat Jalan yang pernah menyertai Bambang Sutrisno selama Orde Baru
Pelbagai kenangan di masa lalu, dan kesendiriannya kini membuat Bambang Sutrisno tidak lagi merasa perlu menyimpan buku-buku kisah pewayangan Tiongkok dalam kardus itu. Lantas, sembari memasukkan buku-buku itu ke dalam kardus, ia pun berujar, “nanti setelah saya salin akan saya bakar saja.” Perasaan iba kami muncul mendengar pernyataan itu dari sang dalang.
Namun, kami berupaya mencegahnya. Akhirnya, niat Bambang urung karena kami meyakinkannya untuk menyerahkan kepada kami saja agar dirawat sebaik mungkin. Dan, ia menjanjikan menyerahkannya setelah pementasan Sam Poo besar pada 7 – 8 Agustus 2010 di Semarang.

Thio Tiong Gie
Di suatu siang (06/07/2010), setelah menyeruput semangkuk wedang tahu hangat (berbahan air jahe yang dipadu dengan saripati kedelai) dari penjaja wedang panggulan, kami bergegas menuju Gang Pinggir untuk menjumpai dalang Potehi yang cukup legendaris dan sering muncul di media massa, Thio Tiong Gie atau Teguh Chandra Irawan.
Thio Tiong Gie
Nama ini sesungguhnya merupakan pilihan terakhir dalam daftar penelusuran kami tentang budaya peranakan Semarang, lantaran prioritas kami ialah mengungkap hal-hal di Pecinan Semarang yang masih jarang terdengar orang banyak. Namun, nasib kami siang itu berkata lain, yang membuat keputusan kami justru menuju ke rumah dalang Thio Tiong Gie. Kediaman Thio Tiong Gie berada di Kampung Pesantren, Kelurahan Purwodinatan.
Thio Tiong Gie (73 tahun) merupakan pria kelahiran Demak pada 1933. Dilahirkan dari keluarga pedagang kain pemilik toko kain sederhana, Tiong Gie muda saat itu membantu usaha sang ayah, Thio Thian Soe. Ketika Perang Dunia II pecah dan Jepang menguasai Indonesia pada 1942, rumah beserta usaha keluarganya sebagai penopang hidup dirampok dan Thio Thian Soe sempat dipenjara entah karena alasan apa. Kemudian, ia dan keluarganya hijrah ke Semarang, sebab dianggap sebagai salah satu kota yang aman.
Hidup di kota besar seperti Semarang ternyata tidak mudah bagi keluarga Thio Thian Soe. Saat itu, Thio Tiong Gie masih berusia belasan tahun. Ayah Thio Tiong Gie membuka usaha baru, yaitu menjual makanan kecil (kue basah). Untuk mengemas kue basahnya tersebut, ayah Thio menggunakan koran bekas yang belinya secara kiloan.
Buku She Jin Kwee Cing Tse (Dadang Pribadi, 2010)
Suatu kali, dalam satu ikat koran yang beliau beli, terselip buku cerita Tiongkok berjudul She Jin Kwee Cing Tse yang bukunya masih terjaga dengan baik hingga sekarang (Dwirahmi, 2010b). Sumber lain mengatakan judul buku itu Cu Hun Thay Cu Cao Kok (Putera Mahkota Cu Hun Melarikan Diri) (Nurhasim, 2009a).
Thio muda membawa buku itu ke mana-mana dan membacanya hingga khatam. Lama-lama dia jatuh cinta pada cerita itu. KisahShe Jin Kwee Cing Tse ini sudah diterbitkan versi Jawanya dan ditampilkan oleh banyak kelompok ketoprak di Yogyakarta yang dikenal dengan kisah Joko Sudiro.
Thio muda sangat suka menyambangi pagelaran wayang Potehi, sampai-sampai ia jatuh hati pada wayang kain kantung ini, yang saat itu masih disampaikan dalam bahasa Hokkian campur Melayu. Karena seringnya menonton, Thio muda lantas disarankan untuk belajar mendalang oleh sang pemilik wayang Potehi, Oei Sing Twie.
Hanya dengan memerhatikan dalang Potehi kala pentas selama bertahun-tahun ia dapat mencerap bagaimana cara mendalang, hingga akhirnya dalang muda pengagum Soekarno dan R.A. Kartini ini mendapat kesempatan pada usia 27 tahun (1960) untuk manggung di Cianjur. Ajakan sang guru membuka jalan baru bagi hidup Thio. Lakon pertama yang dibawakan ialah cerita She Jin Kwee Cing Tsedalam bukunya tadi. Inilah cikal-bakal Thio menjadi dalang Potehi.
Thio saat menunjukkan kebolehannya mendalang Potehi dengan sapu tangan (Dadang Pribadi, 2010)
Saat kami menjumpainya, kami menjadi lebih banyak tahu dari apa yang telah kami baca dan dengar tentang sosok Thio. Bahwa, penguasaan Thio Tiong Gie terhadap wayang tidak hanya sebatas pada Potehi, namun juga wayang purwa (kulit) Jawa. Ia mengatraksikan kebolehannya dalam hal perbedaan suluk wayang Jawa dan wayang Cina.
Suluk dilantunkannya dengan suara yang ngebas dan lantang. Secara bergantian, setelah suluk wayang Jawa, lalu suluk wayang Cina. Menakjubkan, karena pria berdarah Tionghoa ini sangat fasih dalam suluk wayang Jawa, sekilas persis seperti dalang wayang kulit kawakan.
Banyak kisah yang keluar dari mulut dalang Thio ini, gaya berceriteranya penuh semangat, enerjik, dan mungkin karena ini semua kisah menjadi lebih menarik. Pun, kisah-kisah pribadinya. Dalang berwajah sangar namun sungguh ramah dan santun ketika menerima tamu ini, kini masih membuka usaha bengkel las “Bintara” yang ia buka tatkala pemerintah Orde Baru mengebiri segala aktivitas barbau budaya Tionghoa sekitar 30 tahun silam. Sikap dalang Thio yang seperti ini meruntuhkan stereotipe orang awam yang bilang bahwa orang-orang Tionghoa itu tertutup dan kurang ramah (Dwirahmi, 2010b).
Gaya Thio Tiong Gie berceritera (Dadang Pribadi, 2010)
Kini, di usianya yang senja, selain kemampuannya mempertunjukkan berbagai ceritera asli Tiongkok dalam pentas wayang Potehi, Thio Tiong Gie masih memiliki daya ingat yang luar biasa, sehingga sosoknya yang karismatik di mata banyak orang ini pantas menjadi narasumber bagi kita yang ingin tahu tentang budaya Tionghoa. Sebab itu, tak salah bila predikat penjaga tradisi, pendeta, budayawan, seniman, hingga sejarawan disematkan padanya. Saat kami bertamu, ia mengatakan,”selagi saya masih hidup, biar saya ceritakan sejarah raja-raja Nusantara dan juga Soekarno.”
Gambar Sukarno di dinding rumah (kiri).Tempat mengubur gambar Soekarno (kanan)
Sukarno? Ya, dalam benak Thio hanya ada dua pemimpin dunia yang tak tergantikan, yakni salah satunya Soekarno. Kekagumannya akan Soekarno nampak di ruang tamu tempat kami berbincang, ada gambar Soekarno yang cukup besar tertempel di salah satu sudut dinding rumahnya. Ada kisah menarik di balik gambar Soekarno itu.
Gambar itu pernah dibungkus kertas, kerdus, sabut kelapa dan sebagainya, lantas dikubur di bawah pohon jeruk (yang kini telah berganti menjadi pohon belimbing) di halaman rumah oleh Thio selama 32 tahun! Ini ia lakukan lantaran perasaan ketakutan pada rezim Soeharto dan kecintaannya pada Soekarno bercampur-baur saat itu. “Siapa yang berani masang foto Bung Karno pada saat itu? Tidak ada!” katanya berapi-api kepada kami.
Apa yang terurai di atas sesungguhnya masih berupa pembacaan awal, yang akan terus didalami. Salam Pecinan. 
*Anastasia Dwirahmi adalah Direktur Divisi Riset BYAR C.I., sementara Khidir Marsanto P. merupakan peneliti sosial-budaya Parikesit Institut, alumnus Antropologi UGM, yang juga Editor pada Divisi Riset BYAR C.I.
Referensi
Dwirahmi, A. 2010a. Bukan Sekedar Potehi. Catatan perjalanan diunduh dari:http://anastasiadwirahmi.wordpress.com/2010/07/03/bambang-sutrisno-babak-pertama/.
__________. 2010b. Bambang Sutrisno. Catatan perjalanan diunduh dari: http://anastasiadwirahmi.wordpress.com/2010/07/07/bukan-sekedar-potehi/.
Lestari, N. 2005. Dari Wayang Potehi ke Wayang Thithi: suatu kajian historis seni pertunjukan wayang Potehi di Semarang dan Perkembangannya. Makalah seminar “600 tahun Kedatangan Laksamana Cheng Ho”, 2 Agustus di Semarang.
Mastuti, D.W.R. 2004. Wayang Cina di Jawa Sebagai Wujud Akulturasi Budaya dan Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Makalah seminar naskah kuno Nusantara “Naskah Kuno Sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia” di PNRI, Jakarta 12 Oktober.
Nurhasim, A. 2009a. “Warisan Wayang Tiongkok,” Majalah arti, edisi 021, November. hlm. 83-87.
__________. 2009b. “Setelah Diskriminasi, Kini Krisis Datang,” Majalah arti, edisi 021, November. hlm. 92-93.
Suara Merdeka. 2010a. “Para Penjaga Budaya Tionghoa (1): Lestarikan Tradisi lewat Inovasi Batik Kaligrafi.” 12 Februari.
Suara Merdeka. 2010b. “Para Penjaga Budaya Tionghoa (2): Tjan ID dan Thio Tiong Gie berpayah-payah siapkan pengganti”. 13 Februari.
Sumber Foto: Anastasia Dwirahmi, Dadang Pribadi, dan Tim Riset Byar C.I.

menengok imlek di bumi lumpia

MENCOBA MERABA PERAYAAN IMLEK DI SEMARANG 
Sumber : www.bangyeka.wordpress.com
Beberapa waktu yang lalu saya dan beberapa kawan sempat mampir di Gang Lombok Semarang. Gang yang terletak di Jl. Pekojan Semarang (kalo gak Salah) ini adalah salah satu komplek gang di Semarang yang sebagian besar penghuninya adalah warga tionghoa. Biasa kita menyebutnya dengan kawasan pecinan. Di gang yang terletak di pinggir kali Semarang ini saya sempat berkunjung di dua yayasan sosial milik warga tionghoa di Semarang. Tji Lam Tjay dan Kong Kow Hoo, dua yayasan ini yang kami kunjungi. Namun saya tidak akan berbicara tentang dua yayasan ini. Pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi kepada anda tentang perayaan Imlek di Semarang. Kunjungan saya di Gang Lombok inilah yang menggerakkan jari-jari ini untuk mengetik tuts keyboard di latpop Asus saya mengenai Imlek di Semarang.
Pasar Semawis Semarang
Perayaan imlek sendiri adalah perayaan tahun baru cina yang dimulai di hari pertama bulan pertama (bahasa Tionghoa: zhÄ“ng yuè) di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru imlek dikenal sebagai ChúxÄ« yang berarti “malam pergantian tahun” (wikipedia.com). Menurut sejarahnya tahun baru imlek merupakan  sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Cina yang juga berkaitan dengan pesta para petani untuk menyambut musim semi. Perayaan ini secara resmi dilakukan pada masa Dinasti Shang di abad 14 SM. Secara Mitos perayaan Imlek berasal dari seekor naga bernama Nian yang sering menyerang penduduk kampung setiap akhir tahun cina. Pada suatu ketika ada sekelompok anak kecil yang bermain-main petasan di akhir tahun. Nian pun muncul dari peraduannya. Namun siapa nyana, Sang Naga Nian tak berani mendekati anak-anak yang memakai baju merah. Bahkan Sang Naga Nian pergi meninggalkan kampung karena ada bunyi petasan. Inilah mengapa baju merah dan petasan identik pada perayaan Imlek.
Di Kota Semarang sendiri perayaan imlek yang paling meriah biasanya dilakukan di salah satu tempat bernama Pasar Semawis Semarang. Jika anda ke Kota Semarang temuilah tukang becak, penjaga warung, pak polisi atau tukang ojek tanyailah mereka dimana letak pasar Semawis pasti 9 dari 10 orang akan menjawab TAHU !!. Semawis sendiri artinya Semarang Pariwisata. Di Pasar Semawis ini lidah anda akan dimanjakan dengan berbagai makanan khas daerah termasuk makanan khas Semarang Lunpia. Lunpia adalah makanan yang memiliki citarasa Jawa-China dan anda hanya mendapatkan citarasa itu di Semarang. Namun, jika anda muslim yang memperhatikan ke halalan makanan maka kehati-hatian dalam mengkonsumsi makanan di tempat ini adalah salah satu sikap yang perlu anda perhatikan. Kadang anda akan menjumpai sate baby atau sop bakut disini. Tapi jangan kuatir, masyarakt Tiong Hoa Semarang adalah masyarakat yang toleran. Anda dapat pula memilih kios mana yang menyediakan makanan yang halal. Lagipula tidak semua penjual adalah orang Tiong Hoa. Orang asli Semarang yang biasa memanggil anda dengan sebutan Nda… !! tetap akan anda jumpai.
Setelah puas menikmati makanan anda dapat pula menikmati hiburan yang stand by untuk para pengunjung. Belum puas rasanya bila sudah sampai di pasar Semawis anda tidak menikmati pertunjukkan ala tiong hoa seperti  barongsai, wayang potehi, cengge, dan operet china. Selain hiburan tradisional biasanya Pasar Semawis juga menyediakan hiburan modern seperti live music, dance, ataupun karaoke.
Tentunya kemeriahan Imlek semacam ini tidak datang dengan tiba-tiba. Warga Kota Semarang tentunya perlu berterima kasih kepada dua pihak yang telah berjasa menjadikan pasar Semawis menjadi salah satu tempat mengakses khasanah budaya Semarang. Pertama barangkali kita perlu berterima kasih kepada almarhum Gus Dur. Pada masa kepemimpinannya Gusdur mengijinkan warga Tiong Hoa untuk merayakan Imlek secara terbuka yang sebelumnya imlek dilarang di rayakan secara terbuka dan beramai – ramai. Hal ini tidak lain dikarenakan pemikirian Gus Dur yang terbuka dan toleran sehingga meresmikan kepercayaan Kong Hu Chu sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia.
Kedua, kita perlu berterima kasih kepada Komunitas Pecinan Untuk Semarang Pariwisata atau disingkat KOPI SEMAWIS. Dari sebuah komunitas inilah Pasar Semawis tercetuskan dan menjadi seperti yang sekarang ini. Saya tidak terlalu paham bagaimana dan seperti apa sejarah KOPI Semawis terbentuk. Namun yang perlu kita garis bawahi bahwa peristiwa atau rutinitas yang mengesankan yang kita lakukan pada hari ini biasanya berasal dari kepeloporan oknum dimasa lalu, maka berterima kasihlah kepada mereka.
Jika anda penasaran dengan ramainya pasar Semawis datangi saja tempat ini ketika Imlek tiba sampai hari ke tujuh.

VIDEO SERBA-SERBI IMLEK CAH.....







SELAMAT TAHUN BARU IMLEK 2014

BLOGGER GOJEG SEMARANGAN MENGUCAPKAN SELAMAT TAHUN BARU IMLEK UNTUK SEMUA SAHABAT ETNIS TIONGHOA SE-KOTA SEMARANG 
DAN SE-INDONESIA 


SEMOGA TAHUN KUDA KAYU 2014 INI BISA MEMBERIKAN KEKUATAN BAGI KITA SEMUA DI DALAM MENGHARGAI KEBERAGAMAN DAN MEMPERKUAT PERSATUAN BERBANGSA BERNEGARA .......


SAMBUT IMLEK ALA SEMARANG


INI DIA , CARA ETNIS TIONGHOA SEMARANG DALAM MENYAMBUT IMLEK 
Sumber : www.republika.co.id 



REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Semangat keterbukaan dan kesadaran sesama masyarakat Tionghoa untuk saling ‘merangkul’ terus membuka kesempatan muslim Tionghoa di Kota Semarang untuk ikut mewarnai perayaan tahun baru Imlek dengan beragam kegiatan.

Pada Imlek kali ini, masyarakat muslim Tionghoa di Kota Semarang ikut menyemarakkan perayaan dengan mengelar sejumlah kegiatan, baik untuk internal maupun di luar komunitasnya. “Hanya saja, ragam kegiatan kali ini tetap tidak meninggalkan suasana keprihatinan akibat bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Jawa Tengah,” ungkap Ketua DPD Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Semarang, H Maksum Pinarto, di Semarang, Rabu (29/1).

Sebagai bentuk kepedulian, jelasnya, muslim Tionghoa memberikan santunan kepada orang tua kurang mampu dan membantu korban bencana alam. Momentum tahun baru juga diisi dengan kegiatan religius untuk melakukan interospeksi (muhasabah) dan memohon agar tahun yang akan berjalan senantiasa diberikan kemudahan. “Baik dalam rezeki, kehidupan, termasuk bencana alam,” katanya.   

Sebenarnya, tambah Maksum, pada perayaan Imlek kali ini telah berencana menggelar kegiatan kebersamaaan dengan sesama komunitas PITI di Kota Semarang dan sekitarnya. Ada pemikiran untuk menggelar semacam kegiatan halal bihalal dan silaturahim.

Namun pihaknya menyadari, sebagian dari masyarakat muslim Tionghoa ini tengah menghadapi bencana alam, seperti banjir di Kudus, Pati, dan di Kota Semarang. Namun, lanjutnya, sebagai ungkapan rasa syukur atas datangnya tahun baru ini pihaknya juga mengelar silaturahim dengan tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa di Semarang.

Terkait dengan kegiatan-kegiatan adat di kalangan masyarakat muslim Tionghoa di Semarang, jelasnya, tetap ada tradisi saling mengunjungi sebagai wujud untuk terus menyambung tali silaturahim. “Tak beda dengan hari raya Lebaran, kami juga menyiapkan kado atau angpao sebagai hadiah bagi anak-anak dan saudara dalam perayaan Imlek,” tambahnya.