Semula Bernama Schouwburg
SCHOUWBURG adalah nama sebenarnya dari Gedung Marabunta. Pada masanya, bangunan yang terletak di Jl Cendrawasih Kawasan Kota Lama Semarang itu difungsikan sebagai gedung pertunjukan tonil (sandiwara) dan kafetaria bagi warga keturunan Belanda dan Eropa lainnya.
Hingga kini belum terang betul waktu pendiriannya, namun diperkirakan pada 1854. Hal itu merujuk pada sebuah sumber yang mengatakan, pada tahun tersebut sudah ada sebuah pementasan tetap yang diadakan oleh kalangan masyarakat Eropa di Semarang. Dikatakan bahwa pementasan saat itu baru berlangsung sebulan sekali.
Penyusun buku Senarai Bangunan dan Kawasan Bersejarah di Kota Semarang itu menduga, Schouwburg pada masa itu sudah digunakan oleh perkumpulan-perkumpulan untuk mementaskan karya seni drama.
Dugaan itu diperkuat oleh gaya bangunan lengkung busur dan kolom langsing yang ada di dalam auditoriumnya. Ditambah lagi, sistem dinding yang menyangga dan pasangan bata rollag di atas ambang pintu ataupun jendela. Gaya arsitektur demikian banyak digemari, setidaknya sampai akhir abad ke-19.
Schouwburg merupakan satu-satunya bangunan pertunjukan berbentuk bulat telur yang punya arti penting dalam perkembangan budaya di Semarang.
Bentuk bangunan itu berbeda dari gedung pertunjukan di tempat atau kota lain yang pada umumnya bergaya klasik. Kedudukannya dalam lingkungan Kota Lama pun tak kalah penting, sebab ia menjadi salah satu unsur pelayanan umum dan kesenangan para penghuni. Demikian penting sehingga jalan di depan Gedung Schouwburg kemudian dinamakan Komidie straat.
Semut Besar
Dalam perkembangannya, nama Marabunta lebih kerap digunakan untuk menyebut gedung tersebut lantaran adanya sebuah patung semut yang terpacak di dinding bagian depan.
Seperti kita ketahui, Marabunta adalah nama sejenis semut besar. Fungsi Schouwburg sebagai gedung pertunjukan berakhir pada masa awal kemerdekaan. Ia digunakan sebagai kantor Yayasan Empat Lima yang anggotanya antara lain mantan presiden Soeharto dan almarhum Supardjo Rustam. Yayasan itu kemudian berganti nama menjadi Yayasan Kodam.
Pada tahun 1995, sebagian Gedung Marabunta direkonstruksi, kemudian dibelah menjadi dua bagian. Oleh pemiliknya saat itu, beberapa plafon dan tiang dari ruang pertunjukan tonil yang terletak di sisi utara diboyong ke sisi selatan. Kontraktor yang melakukan rekonstruksi, Nasution, mengatakan, panggung pertunjukan semula menghadap ke utara.
''Bagian utara gedung yang atapnya runtuh itu dulu merupakan kafetaria bagi para pengunjung,'' tuturnya.
Hasil rekonstruksi Nasution kini dapat dinikmati di Marabunta baru yang berada di sebelah selatan. Kedua bangunan itu kini disekat dengan tembok baru. Demi mempertahankan keaslian bagian-bagian cagar budaya itu, Nasution mempertahankan plafon dan tiang seperti aslinya. Ia memasang satu per satu, menyatukan bagian-bagian, mirip menyatukan puzzle. Ia menambahkan, sentuhan lukisan kaca yang menceritakan artis tonil kala itu untuk mengentalkan nuasa Eropa dalam Gedung Marabunta yang baru.
Setelah 10 tahun, atap bagian utara Gedung Marabunta yang asli dibongkar. Dinas Tata Kota dan Permukiman (DTKP) mengaku belum mengeluarkan izin pembongkaran. Hal serupa pernah pula terjadi pada Gedung Kanwil DPU Jl Kol Sugiono, BCA Jl Suari, Asrama Kowal Jl Sultan Agung, rumah dokter Gan Sing Bie di Jl Gadjah Mada 59, Hotel Jansen, Permorin, dan Gedung Gula.
Ketua DPD Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Widya Wijayanti menengarai, SK Wali Kota Nomor 646/50/1992 tentang Konservasi Bangunan Kuno/ Bersejarah di Wilayah Kota Madya Daerah Tingkat II Semarang (SKWK 646) belum cukup mempan mempertahankan bangunan kuno. (Rukardi, Ninik Damiyati-60n)
No comments:
Post a Comment