MASIH ADAKAH KEGEMBIRAAN MEMILIH ??
Tri Marhaeni Puji Astuti
; Guru Besar Antropologi
Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu
Sosial Unnes
|
SUARA MERDEKA,
05 Maret 2014
Pemilihan umum telah memanggil kita
seluruh rakyat menyambut gembira
hak demokrasi Pancasila
hikmah
Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya
pengemban
ampera yang setia
di bawah
Undang-Undang Dasar ’45
kita menuju ke
pemilihan umum...
SELAMA lebih dari 30
tahun yang lalu, lagu ’’Pemilihan Umum’’ itu erat melekat di benak saya. Bahkan
sampai sekarang saya masih bisa menghafal dengan baik.
Betapa romansa lagu
tersebut menghegemoni pikiran tiap orang bahwa ”pemilu adalah peristiwa
yang sangat ditunggu-tunggu dan membanggakan”. Semua orang bangga nyoblos
karena memilih wakil rakyat, yang berarti ”rakyat merasa dihargai dan bisa
duduk di pemerintahan”.
Lirik mars yang
diciptakan oleh Mochtar Embut tersebut berisi kata-kata sederhana namun
bermakna luar biasa. Pada masanya, lagu tersebut berhasil ”menyihir” seluruh
penduduk Indonesia, dari desa sampai kota, dari anak kecil sampai orang tua. Ketika
kali pertama menyanyikan lagu tersebut, usia saya masih sekitar tujuh tahun.
Rasanya ”ikut senang”
dan ”gembira” meskipun pada waktu itu tentu belum memahami makna kegembiraan
saya. Akan tetapi saya ingat betul bagaimana tetanggatetangga dengan semangat
orang desa yang penuh kegembiraan dalam bekerja sebagai petani khas dengan
segala atributnya.
Wajah berseri tiap ada
orang yang mengingatkan atau membicarakan tentang ”coblosan”. Luar biasa!
Pemilu menjadi peristiwa yang sangat ditunggu.
Aura gembira ”menunggu
coblosan” bahkan saya alami dan rasakan manakala bertemu dengan orang-orang
di desa yang mengingatkan bahwa nanti kalau ikut ke lapangan untuk nyoblos
akan memakai baju baru atau baju terbaiknya, tak ubahnya pesta merayakan Idul
Fitri.
Begitu dalam makna
Pemilu bagi rakyat, mereka membanggakan peristiwa itu sebagai momentum
penting dan sangat sakral, dengan hegemoni lagu yang tiap menjelang dan
sesudah siaran berita di RRI selalu diputar.
Lagu itu begitu hebat
menghegemoni rakyat, sampai-sampai konstruksi pikiran masyarakat terbentuk
bahwa ”memilih dalam pemilu adalah sangat penting, menggembirakan, dan
akan memilih wakil yang amanah untuk memperjuangkan nasib mereka”.
Lirik sederhana namun
penuh makna theme song Pemilu pada era 1970-an itu begitu membanggakan,
berhasil membuat masyarakat dengan sendirinya menyosialisaikan kepada
tetangga dan keluarganya, sehingga menjadi enkulturasi pada tiap orang pada
masanya. Lagu itu memuat substansi tanpa janji muluk, tanpa ambiguitas makna.
Inilah yang ternyata
mampu menumbuhkan spirit ”mencintai negeri”. Karena mencintai negeri maka
masyarakat akan dengan senang hati melakukan ”apa saja” ketika ”negerinya
punya kerja”.
Memilih dengan Gembira
Ketika kita memilih
sesuatu pasti karena pilihan itu adalah yang ”kena di hati”, dianggap baik,
berguna, berharga, diyakini kebenarannya, sehingga menimbulkan hasrat untuk
memiliki. Dalam kajian psikologi sosial, Fieshbien (1971) mengajukan teori
perilaku yang dirancangkan (planned behavior).
Fieshbien menegaskan,
perilaku itu dilandasi oleh pertimbangan tentang nilai-nilai yang diyakini,
dianut, dan motivasi untuk mewujudkan norma tersebut, keyakinan tentang mudah
atau sukarnya perilaku (baru), sikap terhadap perilaku, normanorma subjektif
kelompok, kontrol terhadap perilaku yang diterima, kemudian terbentuklah
intensitas perilaku yang menjadi rujukan dan dorongan perilaku.
Mengacu teori tersebut maka orang akan
dengan gembira memlih manakala yang dipilih itu seusai dengan keyakinan atau
pilihan hatinya. Pertanyaannya, masihkah mencoblos dalam pemilu kali ini
menimbulkan hasrat kegembiraan memilih wakil yang kita yakini baik, benar,
dan membela rakyat, sehingga menjadi pilihan hati rakyat? Tentu ini patut dipertanyakan,
ketika kita mencermati kecenderungan peningkatan angka golongan putih
(golput) dari waktu ke waktu pada tiap pemilu.
Mengapa ini terjadi? Rupanya rakyat sudah
telanjur ”
Maka dalam pemilu kali ini kekecewaan itu
menanamkan stigma dan keyakinan ”tidak ada wakil rakyat yang layak dipilih”.
Sikap dan perilaku rakyat yang kemudian berkembang adalah ”sak karepmu”.
Rakyat seolah-olah tidak peduli lagi. Mars
’’Pemilu’’ yang diciptakan pada era sekarang tak mampu menggerakkan hati
untuk berromansa seperti pada era 1970-an. Rakyat sekarang cenderung lebih ”nyekarep”
dengan mindset: ”Toh siapa pun yang terpilih tak akan mengubah
keadaan, apalagi membela dan mengubah nasib rakyat”.
Selalu didengungkan
slogan ”jadilah pemilih yang cerdas”. Ketika calon wakil yang akan
dipilih nanti adalah yang tidak diyakini mampu mengembalikan kepercayaan
rakyat, tidak kena di hati, kemudian rakyat tidak memilih, bukankah ini
justru rakyat yang cerdas? Ya, karena rakyat tahu mana yang baik dan yang
buruk.
Mana
yang benar dan yang salah. Lalu siapa berani menjamin calon wakil itu bisa ”mengobati
luka hati” rakyat? Jangan-jangan yang berkembang justru trauma — meminjam
lirik lagu Ebiet G Ade — ”kau sayat luka baru di atas luka lama, coba
bayangkan betapa sakitnya”
|
No comments:
Post a Comment