Friday, March 7, 2014

MASIH ADAKAH KEGEMBIRAAN MEMILIH ?


MASIH ADAKAH KEGEMBIRAAN MEMILIH ??


                                     Tri Marhaeni Puji Astuti  ;   Guru Besar Antropologi

                         Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes

SUARA MERDEKA,  05 Maret 2014
                                                                                               
                                                                
                                                      

Pemilihan umum telah memanggil kita
seluruh rakyat menyambut gembira
hak demokrasi Pancasila
hikmah Indonesia merdeka

Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya
pengemban ampera yang setia
di bawah Undang-Undang Dasar ’45
kita menuju ke pemilihan umum...




SELAMA lebih dari 30 tahun yang lalu, lagu ’’Pemilihan Umum’’ itu erat melekat di benak saya. Bahkan sampai sekarang saya masih bisa menghafal dengan baik.

Betapa romansa lagu tersebut menghegemoni pikiran tiap orang bahwa ”pemilu adalah peristiwa yang sangat ditunggu-tunggu dan membanggakan”. Semua orang bangga nyoblos karena memilih wakil rakyat, yang berarti ”rakyat merasa dihargai dan bisa duduk di pemerintahan”.

Lirik mars yang diciptakan oleh Mochtar Embut tersebut berisi kata-kata sederhana namun bermakna luar biasa. Pada masanya, lagu tersebut berhasil ”menyihir” seluruh penduduk Indonesia, dari desa sampai kota, dari anak kecil sampai orang tua. Ketika kali pertama menyanyikan lagu tersebut, usia saya masih sekitar tujuh tahun.

Rasanya ”ikut senang” dan ”gembira” meskipun pada waktu itu tentu belum memahami makna kegembiraan saya. Akan tetapi saya ingat betul bagaimana tetanggatetangga dengan semangat orang desa yang penuh kegembiraan dalam bekerja sebagai petani khas dengan segala atributnya.

Wajah berseri tiap ada orang yang mengingatkan atau membicarakan tentang ”coblosan”. Luar biasa! Pemilu menjadi peristiwa yang sangat ditunggu.

Aura gembira ”menunggu coblosan” bahkan saya alami dan rasakan manakala bertemu dengan orang-orang di desa yang mengingatkan bahwa nanti kalau ikut ke lapangan untuk nyoblos akan memakai baju baru atau baju terbaiknya, tak ubahnya pesta merayakan Idul Fitri.

 


Begitu dalam makna Pemilu bagi rakyat, mereka membanggakan peristiwa itu sebagai momentum penting dan sangat sakral, dengan hegemoni lagu yang tiap menjelang dan sesudah siaran berita di RRI selalu diputar.

Lagu itu begitu hebat menghegemoni rakyat, sampai-sampai konstruksi pikiran masyarakat terbentuk bahwa ”memilih dalam pemilu adalah sangat penting, menggembirakan, dan akan memilih wakil yang amanah untuk memperjuangkan nasib mereka”.

Lirik sederhana namun penuh makna theme song Pemilu pada era 1970-an itu begitu membanggakan, berhasil membuat masyarakat dengan sendirinya menyosialisaikan kepada tetangga dan keluarganya, sehingga menjadi enkulturasi pada tiap orang pada masanya. Lagu itu memuat substansi tanpa janji muluk, tanpa ambiguitas makna.

Inilah yang ternyata mampu menumbuhkan spirit ”mencintai negeri”. Karena mencintai negeri maka masyarakat akan dengan senang hati melakukan ”apa saja” ketika ”negerinya punya kerja”.

Memilih dengan Gembira

Ketika kita memilih sesuatu pasti karena pilihan itu adalah yang ”kena di hati”, dianggap baik, berguna, berharga, diyakini kebenarannya, sehingga menimbulkan hasrat untuk memiliki. Dalam kajian psikologi sosial, Fieshbien (1971) mengajukan teori perilaku yang dirancangkan (planned behavior).

Fieshbien menegaskan, perilaku itu dilandasi oleh pertimbangan tentang nilai-nilai yang diyakini, dianut, dan motivasi untuk mewujudkan norma tersebut, keyakinan tentang mudah atau sukarnya perilaku (baru), sikap terhadap perilaku, normanorma subjektif kelompok, kontrol terhadap perilaku yang diterima, kemudian terbentuklah intensitas perilaku yang menjadi rujukan dan dorongan perilaku.

Mengacu teori tersebut maka orang akan dengan gembira memlih manakala yang dipilih itu seusai dengan keyakinan atau pilihan hatinya. Pertanyaannya, masihkah mencoblos dalam pemilu kali ini menimbulkan hasrat kegembiraan memilih wakil yang kita yakini baik, benar, dan membela rakyat, sehingga menjadi pilihan hati rakyat? Tentu ini patut dipertanyakan, ketika kita mencermati kecenderungan peningkatan angka golongan putih (golput) dari waktu ke waktu pada tiap pemilu.

Mengapa ini terjadi? Rupanya rakyat sudah telanjur ”gela” ketika pilihannya pada pemilu sebelumnya ternyata tidak hanya mengecewakan, tetapi juga menghancurkannya.

Maka dalam pemilu kali ini kekecewaan itu menanamkan stigma dan keyakinan ”tidak ada wakil rakyat yang layak dipilih”. Sikap dan perilaku rakyat yang kemudian berkembang adalah ”sak karepmu”.

Rakyat seolah-olah tidak peduli lagi. Mars ’’Pemilu’’ yang diciptakan pada era sekarang tak mampu menggerakkan hati untuk berromansa seperti pada era 1970-an. Rakyat sekarang cenderung lebih ”nyekarep” dengan mindset: ”Toh siapa pun yang terpilih tak akan mengubah keadaan, apalagi membela dan mengubah nasib rakyat”.

Selalu didengungkan slogan ”jadilah pemilih yang cerdas”. Ketika calon wakil yang akan dipilih nanti adalah yang tidak diyakini mampu mengembalikan kepercayaan rakyat, tidak kena di hati, kemudian rakyat tidak memilih, bukankah ini justru rakyat yang cerdas? Ya, karena rakyat tahu mana yang baik dan yang buruk.

Mana yang benar dan yang salah. Lalu siapa berani menjamin calon wakil itu bisa ”mengobati luka hati” rakyat? Jangan-jangan yang berkembang justru trauma — meminjam lirik lagu Ebiet G Ade — ”kau sayat luka baru di atas luka lama, coba bayangkan betapa sakitnya” 

No comments: