CATATAN LAPANGAN ( FIELD NOTE ) :
TERINGAT KAMPUNG DI RITUAL
SADRAN MANDUNG
( Sebuah catatan etnografi
mengenai ritual sadranan yang sangat fenomenal di Desa Susukan Kabupaten
Semarang )
Oleh : Sae Panggalih
·
Kamis, 21 November 2013
Desa
Susukan adalah sebuah desa tersohor di Kabupaten Semarang yang terkenal akan
ritual sadran Mandung-nya yang
fenomenal dan dapat menarik animo ribuan peziarah dari berbagai macam wilayah di
seluruh penjuru Kabupaten Semarang hingga peziarah dari luar Kota untuk
berkunjung ke Desa ini pada waktu
penanggalan 21 Suro yang bertepatan dengan hari Jum’at Wage atau Jum’at Kliwon di
setiap tahunnya , pengunjung yang hadir hampir berasal dari kelas profesi yang
beragam, mulai dari warga yang berasal dari kelas profesi terpandang ( sekelas Bupati , Anggota DPRD, Camat , Lurah, Guru, Kyai, Dokter,
Wirausahawan Sukses, TKI sukses dan Kepala perusahaan bonafide ) hingga
kelas profesi biasa atau sederhana (
sekelas Petani, pedagang pasar, Tukang parkir, Satpam, buruh pabrik, hingga
pekerja serabutan lainnya ) yang berkumpul “ mangempal manunggal “ di area Makam Ki Mandung dan Nyi Mandung
yang terletak di Bukit Gunung Kalong Kabupaten Semarang . Sebetulnya sadranan
sendiri berasal dari kata sadran yang
menurut kamus bahasa Jawa, Baoesastra
Djawa merupakan krama ngoko
dari kata ruwah, dan
ruwah menjadi satu nama bulan menurut kalender Jawa yakni bulan sebelum bulan
puasa (Ramadlan). Dalam kalender Islam bulan Ruwah disebut Sa’ban. Dari kata Sa’ban
itulah muncul kata Sadran atau nyadranan yang dapat diartikan sebagai perhelatan
acara slametan atau kirim doa untuk para leluhur di petilasan maupun kuburannya
. Sedangkan, Menurut keterangan dari Mas Kelana selaku salah seorang mantan
anggota Karang Taruna Desa Susukan yang kini sudah menjadi perantau sukses di
Kalimantan, menuturkan bahwa ritual sadran Mandung yang diadakan di desanya
bukan semata-mata menjadi acara seremonial ziarah kubur biasa , melainkan dalam
upacara ini juga dijadikan sebagai ajang
temu kangen warga desa Susukan dengan anggota keluarganya yang bekerja di
luar kota maupun provinsi , Selain itu Ia juga menuturkan bahwa ada juga sebagian
warga perantauan dari desanya yang justru memanfaatkan upacara sadranan ini
sebagai ajang pamer kesuksesan dan harta kekayaan yang Ia dapat dari tempat
kerjanya di perantauan , biasanya para “
tukang pamer “ ini nantinya akan menggunakan busana mentereng lengkap dengan aksesorisnya yang wah dan tentunya berbeda dengan gaya berbusana warga kampung
lainnya yang lebih terkesan ndeso dan
sederhana.
Pada hari ini pula, selain mendengarkan
penuturan mendetail dari mas Kelana tentang perhelatan acara Sadran Mandung
yang terkenal di desanya , Saya juga sempat diajak olehnya untuk berkunjung ke
rumahnya selepas sholat Isya berjamaah di Masjid kampungnya, di dalam rumahnya
saya dapat menyaksikan begitu ribetnya persiapan
yang harus dilakukan oleh anggota keluarga ini sebelum mengikuti acara sadran
Mandung di keesokan harinya , satu ingkung ayam kampung yang diracik dengan
bumbu pedas tersaji dengan begitu nikmatnya beserta dengan lalapan komplitnya
diatas tampah besar anyaman bambu
beralaskan taplak baru bermotifkan batik cap yang nantinya akan diikatkan pada
tampah supaya mudah dijunjung atau digendong . menurut Ibu Suratmi , selaku
orang tua dari Mas Kelana mengungkapkan bahwa semua hidangan lezat tersebut
tidak akan mereka santap pada hari ini, dikarenakan di hari biasa seperti hari
ini, mereka cenderung lebih suka menyatap hidangan sederhana seperti halnya sisa
sayur oseng-oseng kangkung dan ikan pindang goreng yang saya lihat tersaji di
dekat sajian ingkung ayam goreng pedas yang sangat menggoda nafsu makan saya . “
Kalau di hari biasa kayak gini ya nggak mungkin to mas kita bisa memasak
sekumplit hari ini, iso bangkrut lan bobol aku ( diselingi gelak tawanya yang
membahana ), semuanya ini biasanya bakal tak masak nalika nyedak’i wayah bodho
lan sadran mandung tok…..” tutur bu Suratmi . Dari penuturan bu
Suratmi diatas, Saya dapat memahami
bahwa sesungguhnya perhelatan Sadran Mandung memang memiliki nilai kesakralan
tersendiri yang nilainya hampir sama dengan hari raya idul fitri ( bodho ) , buktinya keluarga ini rela
mempersiapkan hidangan yang bergitu spesialnya guna menyambut perhelatan acara
Sadran Mandung yang hanya datang sekali dalam setahun tersebut .
Seusai berkunjung dari rumah Mas Kelana ,
Saya berpamitan dengan keluarga besarnya dan segera mengarahkan arah motor
Honda matic Saya menuju ke arah bukit
Gunung Kalong yang katanya Mas Kelana
sedang rame dikarenakan persiapan
menyambut acara Sadran Mandung untuk esok hari , dan benar saja pada hari itu ,
tampak suasana yang berbeda dari hari-hari biasanya, puluhan warga desa dan
beberapa anggota aktif karang taruna desa Susukan berkumpul di area bukit
Gunung Kalong guna mempersiapkan perhelatan acara Sadran Mandung , beberapa
orang saya lihat sangat sibuk dengan tugasnya masing-masing, seperti kesibukan mendirikan
tratag atau panggung perhelatan acara
wayangan , pemasangan bendera umbul-umbul
warna-warni di beberapa titik jalan masuk desa , pemasangan penjor dari janur kuning di depan gapura
raksasa menuju Makam Ki Mandung , dan pemasangan spanduk raksasa di tiang
listrik dekat area pemakaman Gunung Kalong yang bertuliskan “ selamat datang di lokasi perhelatan ritual sadran mandung dan
sedekah bumi Desa Susukan tahun 2013 “. Sedangkan di area lain, tepatnya di halaman Mts Miftaful
Ulum ( MU ) yang terletak tidak jauh dari makam Ki Mandung, Saya melihat
puluhan murid SMP sedang melakukan gladi
resik terbangan ( rebana ) yang rencananya akan dimanfaatkan sebagai musik
pengiring prosesi arak-arakan kirab
Gunungan warga Desa menuju ke lokasi Makam Ki Mandung esok . Menurut
penuturan Pak Zamzuri , Selaku salah seorang warga asli Desa Susukan yang
kebetulan sekali menjadi guru pengelola ekskul terbangan di Mts ini ,
mengatakan bahwa persiapan penyambutan acara sadran Mandung ini, sudah dilakukan
jauh-jauh hari sebelumnya, sehingga Ia berharap bahwa di keesokan harinya, para
peziarah dari berbagai macam wilayah dapat menyaksikan kirab akbar acara
sadranan yang berkesan meriah dikarenakan rantak musik rebana atau terbangan hasil siswa didikannya yang
terdengar apik dan serasi di telinga para pengunjung . “ Ya maklum saja to mas..acara ini hanya ada setahun sekali dan sudah
menjadi tradisi tahunan di Desa Susukan, jadi wajar saja kalau Saya dan murid-murid
eksul terbangan yang tak kelola ini, mencoba untuk memberikan penampilan
terbaik agar para peziarah yang datang dari seluruh wilayah Kabupaten Semarang
dan luar kota senang sekaligus terhibur dengan acara sadran Mandung besok“ tutur
Bapak Zamzuri . Selain itu, Pak
Zamzuri juga mengatakan bahwa dalam acara kirab besok , juga akan dimeriahkan
dengan hiburan barongsai dan Liong ( tari Naga ) yang merupakan sumbangan
hiburan dari Wihara Avalokitesvara yang berlokasi satu komplek dengan area
makam Ki Mandung , “ Kalau diacara sadran
Mandung , orang Cina sama Jawa itu nantinya saling tulung-tinulung dan nggak
saling membeda-bedakan diri, semuanya mbaur dalam kemeriahan acara Sadran
Mandung “ tutur Pak Zamzuri .
·
Jum’at , 22 November
2013
Pagi ini, tepat pukul 06.30 pagi, Saya arahkan langkah
kaki menuju kearah rumah Mas Kelana, hal itu dikarenakan semalam Saya sempat janjian
untuk bergabung bersama keluarga besarnya di dalam perhelatan acara Sadran
Mandung hari ini ( Maklum Saya bukan
orang asli desa ini, jadi keputusan untuk bergabung dengan anggota keluarga Mas
Kelana yang merupakan warga asli Desa Susukan adalah sebuah keputusan yang
tepat agar Saya bisa membaur dengan warga desa yang lain ) . Dengan
menggunakan busana batik motif parang rusak sarimbitan
warna coklat tua ( yang Saya rasa
terlihat masih baru ) , Mas Kelana dan keluarga besarnya ( yang terdiri
dari Ayah, Ibu, dua adiknya , dan neneknya ) berjalan bersamaan menuju kearah
SDN Susukan 01 yang ternyata telah disepakati oleh warga Kampung untuk menjadi
tempat Start pemberangkatan acara
arak-arakan kirab Gunungan sedekah bumi
menuju ke lokasi utama perhelatan akbar acara Sadranan yang diadakan di area
Pemakaman yang terletak di bukit “ Gunung Kalong “ . Selama perjalanan menuju
ke SD Susukan, Saya disuguhi pemandangan yang begitu menakjubkan dan Saya rasa
hanya ada sekali dalam setahun, ratusan warga berjalan secara bersamaan menuju
ke arah SD Susukan dengan mengenakan baju tradisional ( berupa kebaya atau baju
batik ) dan membawa berbagai macam hidangan
lezat berporsi besar yang diwadahi
dengan menggunakan bakul , tampah ,
keranjang plastik atau tenggok yang digendong menyamping dengan menggunakan
Selendang batik , Mas Kelana menuturkan bahwa makanan yang dibawa oleh para
warga tersebut nantinya akan dimakan
bersamaan di depan makam leluhur masing-masing warga desa, hal itu dilakukan
sebagai simbol bahwa anggota keluarga yang masih hidup masih peduli terhadap
keberadaan para leluhurnya yang telah meninggal , dan rasa kepedulian tersebut
diwujudkan dengan tradisi “ makan bersama
“ yang diyakini juga dihadiri oleh arwah para leluhur yang khusus datang
pada hari itu dan ikut membaur dalam acara makan
besar tersebut . Hal itulah, yang disinyalir menyebabkan banyak warga yang
berasal dari luar kota dan provinsi, memutuskan dan mengusahakan diri untuk
pulang kampung di waktu hari Sadran Mandung agar mereka bisa bersua dan mendoakan para leluhurnya
agar dapat hidup tenang dialam akhirat, Selain itu Mas Kelana juga
mengungkapkan bahwa kewajiban menghormati jasa para leluhur sudah menjadi suatu
tradisi yang telah mendarahdaging di dalam hati masyarakat desa Susukan dan
tertuang pula di dalam pandangan hidup lokal yang berbunyi “ Jasane leluhur kuwi kayata
godhong sulur , bakal dieling-eling sakdawane umur para panerus leluhur “
yang berarti Jasa Pengorbanan yang telah dilalukan oleh para leluhur
diibaratkan seperti daun sulur , akan selalu dingat oleh para generasi penerus
di sepanjang usianya . Hal itu mengisyaratkan bahwa di dalam perjalanan
hidupnya, pantang hukumnya bagi warga desa Susukan untuk melupakan jasa dan
pengorbanan yang telah dilakukan oleh para leluhur yang telah mengawali
asal-mula berdirinya Desa Susukan. Dan menurut sepengetahuan Saya sendiri,
nilai pandangan hidup lokal tersebut memang benar adanya, buktinya di hari
Sadran seperti hari ini, ratusan warga desa Susukan ( baik yang masih tinggal
di Desa maupun sudah hijrah ke luar kota ) masih sering menyempatkan dirinya
untuk mengenang dan menghormatri jasa-jasa para leluhur desa yang telah mendahuluinya
dengan cara berkunjung ke makam leluhur mereka .
Sesampainya di SDN Susukan 01 , Saya dan
rombongan keluarga besar Mas Kelana dikejutkan dengan rantak musik terbangan
yang bertalu-talu diselingi dengan tabuhan genderang musik barongsai khas Tionghoa
yang menyeruak ke seluruh penjuru Desa Susukan yang seolah-olah menjadi tanda
pengingat bagi para warga agar se-segera mungkin hadir di SD Susukan guna
mengikuti perhelatan acara sadran Mandung di pagi hari ini . Riuh suara warga
Susukan yang gembira menyambut perhelatan ini terdengar hampir di setiap sudut
SD Susukan , sembari menunggu pemberangkatan, Saya dan Mas Kelana sempat
berkeliling mengamati aktivitas warga yang hadir, di beberapa sudut tempat
duduk panjang ( buk ) di depan
ruang-ruang kelas , Saya sempat menjumpai beberapa kalangan ibu-ibu yang sedang
sibuk berbincang-bincang membicarakan soal keluarganya , tetangganya, dan topik
hidangan apa yang mereka bawa dalam acara sadran kali ini disertai dengan
cerita pembuatan masakannya . Sedangkan di sudut lain, tepatnya di area
lapangan upacara SD Susukan , Saya menjumpai berbagai macam aktivitas pengisi
acara kirab yang terlihat sibuk mempersiapkan dirinya masing-masing didalam
menyesuaikan formasi urutan barisan kelompoknya sebelum acara tersebut resmi
diberangkatkan oleh Lurah Desa Susukan , dari formasi barisan peserta kirab ,
Saya dapat melihat berbagai macam pengisi acara kirab , yang diawali dari
rombongan barisan wanita berjumlah 6 orang dan pria berjumlah 6 orang berbusana
jawa jangkep ( beskap dan kebaya )
yang terlihat membawa hantaran berupa jajan pasar yang diwadahi di dalam tampah bambu , rombongan barisan
murid-murid perwakilan dari SD Susukan yang terdiri dari 4 orang siswa yang
bertugas membawa kembang Manggar (
Replika kembang kelapa yang terbuat dari kertas paper crap warna-warni ) , Rombongan barisan grup rebana pimpinan
Bapak Zamzuri yang terdiri dari 15 siswa, Rombongan barisan siswa Mts pembawa
gunungan hasil bumi yang terdiri dari gunungan yang berisi lauk pauk,
buah-buahan , dan sayur- mayur , Rombongan barisan grup kesenian Barongsai
lengkap dengan musik pengiringnya sumbangan dari Wihara Avalokitesvara,
Rombongan barisan karang taruna dan warga biasa yang membawa tenggok ataupun
keranjang yang digendong menyamping menggunakan kain batik , dan diakhiri
dengan rombongan barisan sebuah mobil pick-up yang berisi grup terbangan warga
sumbangan swadaya dari Masjid Al-Hidayah Desa Susukan .
Tepat jam 07.00 pagi , Semua barisan
rombongan kirab yang terdiri dari rombongan warga dan pengisi acara tersebut resmi
diberangkatkan oleh Bapak Lurah Desa Susukan , Bendera start bermotif
kotak-kotak hitam putih khas papan catur dikibar-kibarkan dengan begitu bersemangatnya
oleh Pak Lurah , hal itu tentunya diikuti pula dengan langkah kecil para warga
desa Susukan yang berjalan secara bersamaan dari SD Susukan menuju ke Lokasi
perhelatan acara di kompleks pemakaman Ki Mandung dan Nyi Mandung yang berjarak
kira-kira 3 km dari lokasi start , Kemeriahan acara kirab semakin meriah ketika
suara hentakan musik rebana dan ritme pukulan genderang musik barongsai berpadu
dengan begitu apiknya selama proses
perjalanan kirab yang diselingi dengan lagu-lagu sholawat yang dinyanyikan
dengan menggunakan bahasa Jawa dan Arab oleh para warga . Selama prosesi kirab,
Saya melihat banyak warga desa dan wartawan televisi serta surat kabar lokal yang rela
berdesak-desakan di pinggiran jalan hanya untuk mengabadikan momen bersejarah
ritual Sadran Mandung yang hanya terjadi sekali dalam setahun ini . Dari
antusiasme warga yang menyaksikan di pinggiran jalan, Saya dapat memahami bahwa
ternyata acara kirab yang diadakan sangat berarti bagi warga desa dan dapat
menjadi simbol “ nyuwun berkah “ dari
prosesi kirab ini, buktinya selama perjalanan, Saya disuguhi oleh pemandangan
warga desa yang rela berebutan patahan kembang Manggar yang jatuh ke tanah
selama prosesi kirab berlangsung, Menurut Mas Kelana, warga desanya masih
mempercayai bahwa “ segala macam benda
yang jatuh ke tanah dan jalanan selama prosesi kirab berlangsung merupakan
simbol dari keberkahan, hal itu dikarenakan sebelum diberangkatkan, semua
benda-benda yang dikirab telah didoakan oleh seluruh warga kampung dan sesepuh
desa agar bisa migunani bagi semua “, jadi tidak ada salahnya, apabila ada
benda kirab yang jatuh, warga langsung berebutan untuk mengambilnya dan
membawanya pulang agar bisa memberi keberkahan untuk seluruh anggota
keluarganya di rumah .
Tepat pukul 08. 05 pagi, seluruh warga
desa peserta kirab tiba di kompleks pemakaman Gunung Kalong yang merupakan
tempat dimana para leluhur warga dan sesepuh desa ( Ki Mandung dan Nyi Mandung ) dimakamkan , secara bersama- sama para
warga desa Susukan ( termasuk Saya dan keluarga besar Mas Kelana )
berduyun-duyun menaiki anak tangga yang mungkin jumlahnya ratusan buah, menuju
ke makam leluhur warga yang terlertak di atas bukit Gunung Kalong. Di atas
bukit ini , Saya dapat mendengar merdunya lantunan ayat suci Al-Quran yang
dibacakan melaui pengeras suara oleh salah seorang warga dan melihat hamparan
pohon kamboja putih dan deretan batu nisan berbagai macam model di area bukit
yang cukup luas ini . Tetapi disalah satu sudut lahannya , Saya melihat ada
suatu bangunan yang terlihat cukup berbeda dari makam warga kebanyakan , sebuah
pendhopo besar berukirkan ukiran khas Jepara yang sangat artistik dan berkesan
gagah tersaji di depan mata Saya dan diselimuti oleh kain berwarna putih di
setiap pojok ruangannya , Setelah Saya tanyakan ke Mas Kelana tentang apa
fungsi bangunan itu, Saya baru mengetahui bahwa ternyata pendhopo tersebut
adalah makam dari sesepuh Desa Susukan yang legendaris dan sangat dihormati (
Ki Mandung dan Nyi Mandung ) yang menurut sejarahnya merupakan pendiri awal ( sing bahurekso ) Desa Susukan .
Setelah tiba di atas kompleks pemakaman para leluhur warga , Saya mengikuti
langkah keluarga Mas Kelana menuju ke salah satu pathok atau nisan dari
salah satu leluhurnya, yang ternyata adalah makam dari Mbah kakung atau kakeknya sendiri ( bernama Mbah Toekiman ) yang
telah berpulang ke Rahmatullah pada tahun 2004 lalu, di area makam kakeknya
yang letaknya tidak jauh dari Makam Ki Mandung dan Nyi Mandung , Mas Kelana
sekeluarga menggelar tikar yang telah
mereka bawa dari rumah di sekitar area makam kakeknya tersebut, setelah tikar
sudah terpasang ditempatnya, Kami semua duduk sejenak diatas tikar tersebut dan
menunggu sesi doa bersama yang dipimpin oleh salah seorang sesepuh Desa Susukan
. Setelah 10 menit berlalu , akhirnya sesi doa yang kami tunggu-tunggupun
dimulai, Seluruh warga berdoa secara khusyuk di depan makam leluhurnya
masing-masing, tak lupa taburan bunga segar aneka warna mereka taburkan diatas
makam leluhurnya seraya menyiraminya dengan sebotol air mawar yang telah mereka
persiapkan . Setelah prosesi berdoa massal
selama kurang lebih 10 menit di atas pusara para leluhur usai , acara
dilanjutkan dengan agenda makan bersama yang dilakukan disekitaran pathok makam
leluhur masing-masing warga yang ditemani dengan semerbak harum kembang tabur
yang menyeruak tajam hingga ke dalam hidung , di prosesi makan besar ini, warga
secara bersamaan mengeluarkan seluruh hidangan yang telah mereka masak
semalaman suntuk, di acara ini pula, seluruh warga diperkenankan memakan
masakan buatan keluarganya sendiri atau boleh juga ditukar dengan masakan dari
warga lain, penukaran makanan yang dibawa disinyalir dapat semakin merekatkan
rasa kebersamaan antar warga yang mau saling peduli terhadap warga lain yang
tinggal satu desa . Untuk keluarga Mas Kelana sendiri , memilih untuk
menukarkan hidangan satu ingkung ayam goreng pedas manis yang mereka bawa
dengan hidangan makanan Opor Ayam dan sambel goreng ati lengkap dengan
lontongnya dari keluarga Pak Suhud ( yang
kebetulan masih tetangga satu RT dengan Mas Kelana ) . Setelah proses tukar-menukar hidangan usai , Saya dan
mas Kelana sekeluarga menyantap hidangan opor ayam dan sambal goreng ati buatan
Bu Suhud yang ternyata rasanya sangat lezat dan tidak jauh berbeda dari
nikmatnya ayam Goreng pedas manis buatan Bu Suratmi ( Ibunya Mas Kelana ) yang
dimasaknya semalam . Sembari menyantap hidangan lezat yang disuguhkan, Mas
Kelana menceritakan kepada Saya tentang mitos larangan membawa makanan berbahan
dasar tempe diacara ini, Ia mengatakan bahwa di masa lalu , konon ada salah
seorang murid Ki Mandung yang bernama Syeh Hasan Husen , suatu hari berjalan
menyusuri sungai sampai pada suatu tempat Ia melihat segerombolan
perempuan-perempuan yang sedang menginjak-injak kedele yang akan disiapkan
untuk dibuat tempe. Setelah melihat kejadian itu, dia tidak mau lagi
mengkonsumsi tempe dikarenakan tidak suka
dengan cara pembuatan makanannya yang dinjak-injak dengan menggunakan kedua
telapak kaki yang belum tentu bersih dari kotoran.
Setelah usai menyantap makanan yang dibawa
, Saya dan Mas Kelana menyempatkan diri untuk berkeliling di sekitaran area
kompleks pemakaman Gunung Kalong ini , dan dari hasil jalan-jalan singkat kami
ini, Saya bisa menyaksikan begitu padatnya kawasan pemakaman dihari ini, tidak
ada satupun pathok yang lengang dan sepi dari aktivitas berziarah , Semua warga
bisa dikatakan tumplek blek (
berkerumun menjadi satu ) di lokasi pemakaman yang sama , mulai dari anak kecil
usia balita hingga kakek nenek tua renta semuanya membaur menjadi satu di acara
berskala tahunan ini. Di beberapa sudut lahan pemakaman, Saya dapat menemukan fenomena “ Si Tukang Pamer dari Perantauan “ yang
diceritakan oleh mas Kelana semalam, hal itu dapat terlihat dari model pakaian
beserta aksesoris yang mereka kenakan dan seperangkat alat komunikasi canggih (
gadget ) yang mereka bawa ke area ziarah , mulai dari telepon seluler model
terbaru buatan Korea hingga I-pad terbaru keluaran China . Selain diajak
menikmati pemandangan unik ala sadran Mandung , Saya juga sempat diajak Mas
Kelana untuk bertemu dengan teman lamanya yang bernama Mas Panji yang kebetulan
pernah bersekolah di satu SMK dengannya dan kini telah bekerja menjadi karyawan
di salah satu pabrik konveksi ternama di Bandung , di sela-sela sesi temu
kangen mereka berdua, Saya sempat menanyakan kepada Mas Pandji tentang alasan
apa yang menyebabkan beliau dan para perantau yang lain memutuskan untuk pulang
ke Desa Susukan disaat perhelatan acara Sadran Mandung , Dengan raut wajah
bahagia diapun menjawab bahwa “ Acara ini sudah menjadi bagian kehidupan dari
warga desa Susukan dan menjadi agenda wajib disetiap tahunnya “ Jadi ,
dimanapun kita berada sekarang, wajib hukumnya untuk pulang kampung dikala ada
penyelengaraan ritual semacam ini dikarenakan berziarah ke makam leluhur selain
bertujuan untuk kirim doa dan melestarikan tradisi, juga dapat diumanfaatkan
untuk meningkatkan rasa eling
terhadap asal-usul kita ( dari mana kita berasal dan dibesarkan hingga menjadi
orang sukses seperti sekarang ini ) , jangan sampai pepatah Jawa yang berbunyi “ Kacang lali Lanjarane “ yang berarti
seseorang yang lupa akan asal-usul dimana Ia berasal dan dibesarkan berlaku
untuk setiap warga Susukan . Jadi alasan tersebutlah yang pada akhirnya membuat
seluruh perantau memutuskan untuk pulang kampung dikala perayaan acara Sadran
Mandung .
Di sela-sela perbincangan kami bertiga
mengenai makna pulang kampung disaat ritual Sadran Mandung , tepat pukul 10.30
pagi terdengar pengumuman melalui pengeras suara dari Juru Kunci Makam Ki
Mandung dan Nyi Mandung yang mengatakan bahwa sesi puncak acara sadran Mandung
berupa acara Grebeg tumpeng hasil bumi akan segera dimulai , tanpa pikir
panjang ( Saya, Mas Kelana, dan Mas Panji ) segera mendekat ke sumber suara,
dan benar saja area di depan pendhopo Makam Ki Mandung dan Nyi Mandung telah dikerubuti oleh para peziarah dari
segala penjuru negeri yang tengah bersiap untuk memperebutkan hasil bumi dari
gunungan yang telah diarak pagi tadi. Selesai sesi berdoa secara singkat
didepan makam Ki Mandung dan Nyi Mandung , Juru kunci makam segera memberikan
aba-aba pertanda prosesi grebeg tumpeng akan segera dimulai, tanpa menunggu
lama-lama dan tanpa menghiraukan aba-aba yang dinstruksikan , ratusan warga
yang telah berkumpul di depan gunungan segera menggrebeg dan saling bersaing untuk memperebutkan isi gunungan ,
mulai dari sayur-sayuran, buah-buahan, hingga lauk pauk khas sedekah bumi ,
alhasil keriuhan suara ratusan warga yang saling berteriak memperebutkan isi
gunungan-pun terjadi dan bahkan ada yang berakhir pula dengan tragedi konflik
kecil-kecilan antar warga akibat tidak kebagian isi gunungan yang untungnya
berhasil diredam oleh bapak-bapak hansip yang siap sedia untuk menjaga keamanan
selama acara ini berlangsung .
Tepat pukul 11.00 siang menjelang Sholat
Jum’at , acara Grebeg Sedekah Bumi dan ritual Sadran Mandung tahun 2013
dinyatakan berakhir oleh Sesepuh Desa dan Juru Kunci Makam dikarenakan sudah
mendekati waktu sholat Jum’at , setelah mendengar pernyataan tersebut, ratusan
warga memutuskan diri untuk pulang ke rumahnya masing-masing dengan membawa
hasil grebegan yang telah didapatkannya
dengan penuh pengorbanan , Menurut Mbah Giran ( salah seorang warga desa Susukan yang Saya ajak berbincang ketika
sedang menuruni anak tangga makam ) mengatakan bahwa hasil bumi yang Ia
dapatkan ini ( berupa dua buah apem dan
satu ikat kacang panjang ) tidak
akan dimakan oleh keluarganya, melainkan hasil grebeg berupa dua buah apem akan Ia taburkan disepetak lahan sawah
sederhana milik keluarganya dan satu ikat kacang panjang yang Ia dapatkan akan
ditanam di belakang gubuk tempat tinggalnya, Ia mempercayai bahwa nantinya,
hasil grebeg tersebut akan membawa
berkah bagi kehidupannya , terutama berkah didalam kehidupan ekonominya melalui
perolehan hasil panen padi yang melimpah dan panen tanaman kacang panjang yang
Ia tanam .
Tepat pukul 11.30 siang , Saya memutuskan
untuk memisahkan diri dari rombongan Mas Kelana dan Keluarga besarnya
dikarenakan Saya harus pulang kerumah terlebih dahulu untuk mempersiapkan diri
sebelum bergabung dalam ibadah Sholat Jum’at di hari itu , Tetapi sebelum
berpisah , Mas Kelana sempat mengatakan kepada Saya bahwa besok Malam akan
digelar acara pertunjukan wayang kulit dan ketoprak humor semalam suntuk di
plataran komplek makam Gunung Kalong yang akan dihadiri seluruh warga desa baik
yang berasal dari tempat perantauan maupun warga asli Desa Susukan , Mendengar
informasinya tersebut, Saya menjadi tertarik untuk menghadiri acara tersebut
dikarenakan Saya berharap dapat menyaksikan secara langsung interaksi sosial
yang terjalin antara warga kampung asli yang masih tinggal di Desa Susukan dan
Warga kampung asli yang telah tinggal lama di perantauan .
· Sabtu , 23 November 2013
Malam ini, tepat pukul 20.00 , cuaca malam
tampak begitu cerah diterangi oleh sinar bulan yang bersinar di seluruh desa , Saya
arahkan laju motor matic Honda andalanku menuju kearah rumah Mas Kelana guna
menepati janjiku supaya bisa menikmati pertunjukan wayang kulit dan dagelan ketoprak humor selama semalaman
suntuk bersama keluarga besarnya, setibanya dirumah Mas Kelana , ternyata tidak
semua anggota keluarganya berminat untuk ikut ke lokasi perhelatan acara
kesenian tersebut dikarenakan alasan waktu pelaksanaan yang begitu larut malam,
Ibunya ( Bu Suratmi ) , adiknya yang masih balita ( dek Putri ) , dan neneknya
( Mbah Sumini ) memutuskan untuk menetap
dirumah saja sembari menikmati acara hiburan di televisi nasional yang
dianggapnya tak kalah menarik dengan acara live
wayangan dan dagelan ketoprak humor yang dipentaskan di plataran Pemakaman
Ki Mandung . Sedangkan yang memutuskan untuk berangkat menikmati pertunjukan
kesenian bersama Saya malam itu , hanyalah Mas Kelana, adiknya yang sudah duduk
di bangku kelas satu SMK ( Dek Bintang ) , dan Bapaknya ( Suparman ) .
Perjalanan menuju ke lokasi perhelatan
acara kami tempuh dalam waktu kurang lebih 10 menit dengan menggunakan dua
kendaraan bermotor ( Motor Saya dibonceng
oleh Pak Suparman dan Motor Kelana dibonceng oleh Dek Bintang )
.Sesampainya kami dilokasi perhelatan , kedatangan kami disambut oleh merdunya
alunan musik klonengan gamelan Jawa
yang terdengar hampir di seluruh sudut plataran Pemakaman Gunung Kalong ,
selain itu dari lokasi yang sama juga terdengar suara riuh para penjual makanan
yang sedang berusaha menjual produknya masing-masing ( mulai dari pedagang ronde, kacang rebus, keripik, arum manis, jagung
bakar, dan hidangan malam hari lainnya yang berkumpul disekitaran gerbang
menuju lokasi panggung utama perhelatan acara wayangan dan kethoprak ) .Tepat
pukul 21.00, acara wayangan dan dagelan ketoprak dimulai , seluruh warga
membaur menjadi satu di lokasi perhelatan acara ( ada warga yang memilih untuk
duduk di kursi yang telah disediakan panitia dan ada pula warga yang memilih
untuk duduk lesehan di depan panggung utama dengan beralaskan tikar dan Koran
yang dibawa dari rumah masing-masing ), Menurut keterangan Mas Kelana,
mayoritas warga yang hadir pada malam itu justru lebih didominasi oleh warga
asli Susukan yang menjadi perantauan di luar kota bahkan hingga luar negeri ,
buktinya Ia hanya dapat melihat sedikit sekali jumlah tetangga asli kampungnya
yang menghadiri acara malam itu “
barangkali mereka semua kangen dengan hiburan tradisi kayak gini , soale di
daerah perantauannya mungkin mereka jarang sekali dapat menikmati hiburan ala
Jawa selengkap sekarang ini “ tutur Mas Kelana kepada Saya .
Selama acara kesenian berlangsung, kami
disuguhi dengan berbagai macam adegan khas pertunjukan wayang purwa dan
ketoprak tradisional yang sangat klasik serta menghibur dan sarat akan
nilai-nilai kehidupan hingga pukul 02.00 dinihari . Seusai acara pagi itu ,
Saya dan ketiga anggota keluarga Mas Kelana yang terdiri dari Ayah dan seorang adiknya
memutuskan untuk mampir sejenak ke sebuah kedai nasi kucing untuk membeli wedhang ronde hangat pereda rasa dingin
di pagi buta itu , di balik terpal warung
kucingan , kami berempat berbaur dengan dua orang warga lainnya yang sedang
sama-sama pula menikmati aneka minuman hangat khas warung kucingan, Di
sela-sela waktu menikmati minuman hangat yang kami beli, Saya dan Mas Kelana
sempat terlibat perbincangan ringan dengan dua orang pembeli lain yang sedang
duduk bersebelahan dengan rombongan kami, ternyata setelah ngobrol ngalor-ngidul , Saya bisa mengetahui bahwa kedua orang
tersebut bernama Pak Sudirman dan Pak Tohirin yang merupakan warga asli Desa
Susukan yang memutuskan untuk pulang ke desa untuk pertama kalinya setelah menjadi
perantau ke Pulau Sumatera sejak tahun 1997 . Dari keterangan yang Saya peroleh
dari keduanya , Saya dapat menyimpulkan bahwa tradisi pulang kampung disaat
perayaan Sadran Mandung memang sudah
menjadi hal yang diagendakan bagi warga Desa Susukan yang bekerja di perantauan
, Jadi jika suatu waktu ada perantau yang memutuskan tidak pulang kampung di
waktu bulan Suro , maka anggota keluarganya yang tinggal di Desa akan bersedih
dan kecewa dikarenakan si Perantau tidak dapat hadir dalam acara Sadran Mandung yang sarat akan
nilai-nilai penghormatan terhadap jasa para leluhur yang hanya diadakan sekali
dalam setahun .
· Minggu , 24 November 2013
Hari ini merupakan hari terakhir Saya bisa
berbincang dengan Mas Kelana, hal itu dikarenakan keesokan harinya Ia harus
sudah kembali bekerja di tempat mengais
rejekinya di Kalimantan , Dari perjumpaan kami di beberapa hari belakangan
ini, Saya dapat menyimpulkan bahwa bagi para perantau asli Desa Susukan , pulang
ke Kampung Halaman memang sudah menjadi ritual wajib yang harus dilakukan di
waktu hari Raya Idul Fitri dan Sadran Mandung , karena dengan kehadiran mereka
di sisi keluarga di kampungnya dapat menyimbolkan rasa penghormatan para
perantau terhadap jasa para leluhur asli Desa Susukan. Sehingga predikat “ kacang lupa kulitnya “ atau dalam
bahasa Jawanya kerap disebut “ kacang
lali lanjarane “ tidak dapat dengan mudah disematkan kepada setiap individu
para perantau yang dalam kenyatannya masih teringat dengan kampung halamannya
di Desa Susukan berkat perantara ritual Sadran Mandung yang seakan-akan
mengisyaratkan kepada para warga desa agar tidak dengan begitu mudahnya
melupakan jasa dan perjuangan para leluhur di dalam membangun Desa yang kini
mereka tempati bersama .