Thursday, May 15, 2014

CURHATAN SANG CALON GURU UNTUK BULAN PENDIDIKAN NASIONAL

UJIAN NASIONAL : MOMOK BAGI SISWA YANG TAK KUNJUNG MUSNAH
Oleh : Sae Panggalih
Mahasiswa Jurusan Sosiologi dan Antropologi UNNES

A.     Problematika Pelaksanaan Ujian Nasional di Tanah Garuda


Berbicara mengenai pelaksanaan ujian nasional di tingkat sekolah dasar hingga menengah, mungkin merupakan suatu hal yang membuat perasaan siswa menjadi was-was dan khawatir dikarenakan di dalam Ujian nasional siswa hanya diberikan dua pilihan untuk LULUS atau TIDAK LULUS , Pilihan tersebutlah yang pada akhirnya membuat kebanyakan siswa di Indonesia mengalami depresi berat hingga terkadang berujung pada tindakan bunuh diri, Fenomena miris ini terjadi dikarenakan, mayoritas siswa di Indonesia masih berpikir bahwa Ujian nasional merupakan salah satu kunci kesuksesan yang harus di pegang guna menentukan nasib mereka di masa depan kelak, Jikalau salah satu kunci terpenting berupa kelulusan ini tak berhasil digapai, niscahya masa depan merekapun akan sulit diprediksi dikarenakan di tahap awal saja mereka sudah mengalami kegagalan berupa pernyataan tidak lulus di dalam menempuh ujian nasional .
Dalam pelaksanaan Ujian Nasional, ternyata beban psikologis yang dirasakan bukan hanya dipikul oleh siswa seorang , melainkan pihak lain seperti orang tua para siswa-pun ikut andil bagian didalam menanggung pikulan perasaan malu di masyarakat jikalau suatu hari nanti anaknya dinyatakan tidak lulus didalam menempuh ujian nasional . Kondisi ini, semakin diperparah dengan kekhawatiran dari pihak sekolah yang mencemaskan apabila suatu saat nanti, nama baik almamater sekolah yang selalu dijaga kebaikannya bisa hancur lebur dalam waktu sesaat, dikarenakan pada saat pengumuman kelulusan UN , banyak siswanya yang dinyatakan tidak lulus menempuh Ujian Nasional . Hal inilah, yang pada akhirnya memancing beberapa bentuk tindakan nakal dari segelintir oknum guru yang menurut Saya tidak terdidik, untuk melakukan tindak kecurangan berupa aksi pembocoran soal dan pemberian kunci jawaban kepada para siswanya disaat pelaksanaan agenda akbar ujian nasional. Menurut Saya pribadi, Ujian Nasional dalam sistem pendidikan Indonesia tak ubahnya seperti monster tangguh yang dilawan dengan konspirasi siswa-guru . Alangkah gawatnya negeri ini, apabila generasi mudanya di pupuk dengan nilai-nilai korup berupa tindakan mencari kunci jawaban soal yang dalam prakteknya dapat menghancurkan budaya jujur dan  sportivitas yang selama ini selalu digaungkan disetiap kali pelaksanaan UN. Jika melihat fakta tersebut, pada akhirnya Ujian Nasional justru lebih terlihat sebagai ajang penghalalan segala bentuk tindak kecurangan  “yang mahal” dari tingkat elit hingga tingkat bawah ketimbang ajang untuk unjuk kejujuran dalam pelaksanaan UN .
Dalam buku ” Buku Hitam Ujian Nasional ” karya HB Arifin , tertulis sebuah pernyataan jelas yang mengungkapkan bahwa dengan sistem Ujian Nasional , sebenarnya pemerintah hanya menerapkan pemahaman yang sempit terhadap asseessment ( Penilaian terhadap siswa ) . Selama ini, pemerintah masih beranggapan bahwa perolehan Asseessment hanya dapat diperoleh melalui pelaksanaan ujian belaka . Bahkan seakan-akan negara kita lupa dengan wasiat Ki Hajar Dewantara: “Anak-anak dan pemuda-pemuda kita sukar dapat belajar dengan tenteram, karena dikejar-kejar oleh ujian yang sangat keras dalam tuntutannya. Pernyataan tersebut berarti bahwa para siswa belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaannya, tetapi sebaliknya mereka belajar hanya untuk mendapatkan nilai-nilai yang tinggi dalam raport sekolah atau untuk mendapatkan predikat lulus didalam ijazahnya . Jika memang tujuan yang dikejar dalam pelaksanaan UN hanyalah perolehan nilai-nilai belaka yang tertulis dalam selembar kertas batik berlambang garuda pancasila, maka bersiap-siaplah menyongsong kebobrokan moral bangsa Indonesia , dikarenakan mayoritas generasi muda yang dicetak dan dipersiapkan untuk masa depan Indonesia di masa mendatang sudah terserang penyakit examen cultus dan diploma jacht (mengkultuskan ijasah dan diploma )” di dalam hidupnya .
  Dengan adanya sistem UN , Negara kita tidaklah semakin maju tingkat pendidikannya. Justru Pendidikan kita malah semakin ketinggalan jauh dengan negara lain. Berbeda jauh dengan sistem pendidikan di Indonesia pada beberapa dekade sebelumnya yang tanpa UN justru bisa memasuki jajaran kategori sepuluh besar negara yang baik didalam memberikan pelayanan pendidikan yang baik untuk warga negaranya , dan pada saat itu, banyak negara lain yang belajar ke Indonesia tentang pelaksanaan sistem pendidikan yang ramah terhadap siswa tersebut. Tetapi kini semua kenangan tentang kejayaan sitem pendidikan Indonesia yang ramah terhadap siswa tersebut telah berlalu bersamaan dengan keputusan diselenggarakannya Ujian nasional sebagai penentu kelulusan siswa sejak tahun 2004 oleh Bapak Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden Republik Indonesia waktu itu . Dengan pelaksanaan UN, Sebenarnya yang menjadi titik berat penilaian hanyalah berupa pengukuran nilai akademik ( kuantitatif ) semata dari tiap siswa , tanpa mempertimbangkan dan mengetahui bobot nilai sosial dan nilai karakter anak didik , Sedangkan guru selaku pihak yang mengetahui nilai akademik, nilai karakter dan sosial anak terkesan diabaikan dan tidak diberi kepercayaan oleh negara untuk memberikan penilaian terhadap siswa yang diajarnya setiap hari . Jadi artinya, perolehan nilai UN yang baik tidak bisa menjamin negara ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Karena baiknya suatu negara dapat dinilai dari baiknya karakter dan kepribadian generasi muda selaku penerus tongkat estafet pembangunan bangsa .

B.     Dampak UN : Nihilisasi Budaya Belajar Siswa 


Dalam Antropologi pendidikan , pola budaya belajar masyarakat ( pedesaan dan perkotaan) yang dapat menciptakan perubahan sosial menjadi salah satu topik kajian terpenting yang selalu dibahas dalam spesialisasai ilmu antropologi yang satu ini . Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para pengambil kebijakan pendidikan yang berorientasi pada perubahan sosial budaya masyarakat . Tetapi dengan diadakannya sistem ujian nasional, pola budaya belajar yang sesuai dengan kharakteristik masyarakat di tiap daerah seakan-akan menjadi disamaratakan tanpa memandang perbedaan infrastruktur pendidikan yang ada di setiap provinsi. Akibatnya, fenomena bingung tahunan didalam menghadapi UN terulang lagi, akhirnya kebingungan itu menemukan solusinya melalui bisnis bimbingan belajar menjamur dari Sabang sampai Merauke dengan menjual jaminan lulus kepada para Siswa , Tidak sedikit sekolah menyambut dengan tangan terbuka bagi penjual jasa bimbingan belajar. Demi lulus UN, peran bimbingan belajar menjadi dibutuhkan oleh sekolah, siswa, dan guru.
Alhasil, gaya belajar yang sama berupa metode drill soal dan try out berjangkit dan dianggap cocok dalam menghadapi UN. Diyakini, hanya dengan cara itulah siswa-siswi kelas IX (SMP) dan XII (SMA) yang tersebar di seluruh penjuru negeri akan terlatih menjawab soal UN secara cepat dan tepat.
Kisah di atas menunjukkan bahwa ada kesenjangan yang tegas antara UN yang diidealkan oleh pembuat kebijakan pendidikan dan UN yang ada pada tingkat pelaksanaannya di lapangan atau sekolah-sekolah. Apa yang diharapakan dari kebijakan UN (das sollen) berbeda dengan realitas yang terjadi (das sein).


UN sebagai kebijakan pendidikan barangkali diharapkan oleh pemerintah, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla , bisa mendongkrak kinerja dan mutu pendidikan di sekolah-sekolah di Indonesia. Tetapi ternyata, didalam penerapannya, mutu yang ingin dicapai dari pelaksanaan UN justru sulit untuk dicapai , dikarenakan merebaknya masalah ketidakmerataan keadilan pemberian fasilitas pendidikan antar sekolah di seluruh Indonesia . Dalam pelaksanaan UN , Pemerintah seolah buta atau bersikap seolah tidak tahu terkait banyaknya sekolah di negeri ini yang belum layak dalam berbagai hal. Sekolah-sekolah yang berada di perkotaan dengan fasilitas lengkap dan memadai, pasti tak bisa disamakan dengan sekolah-sekolah di pelosok negeri yang serba kekurangan; guru dan fasilitas pendukung untuk mengajar belajar. Sekolah-sekolah di wilayah perkotaan dengan gedung beton, minimal dari bahan yang bagus, pasti berbeda dengan bangunan sekolah di pelosok yang beralas tanah, beratap daun, berdinding bahan bangunan apkir. Kemudian ditambah dengan guru-guru pengajar yang terbatas, lalu buku-buku pelajaran yang juga sama terbatasnya; dalam hal penerapan UN antara sekolah mentereng dengan fasilitas serba lengkap dipersamakan dengan sekolah yang sedikit lebih bagus dari kandang sapi atau kambing; adalah bukan suatu keadilan. Tetapi fenomena ketidakadilan pendidikan diatas , justru dijawab pemerintah dengan solusi konyol berupa pelaksanaan UN yang memiliki keseragaman tipe soal yang sama dan tak pandang bulu ( Pokoknya...Mau Anda tinggal di kawasan Hutan terpencil maupun di kawasan Hutan beton , semuanya harus mengerjakan soal UN dengan bobot kesulitan yang sama...untuk masalah lulus dan tidak lulus itu semua ada ditangan Anda...  ) . Kita pasti ingat dan hapal dengan bunyi Sila Kelima dari Pancasila; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalau pendidikan dimasukkan kedalam berkeadilan sosial, maka negeri ini sudah tak berlaku adil terhadap pendidikan anak bangsa ini. Maka UN selayaknya dihapus untuk digantikan dengan ujian yang diterapkan oleh masing-masing daerah.
Dari topik pembahasan diatas, Saya dapat menyimpulkan bahwa ternyata pelaksanaan UN tak memacu budaya belajar, tetapi justru memicu tindak kecurangan dan cara belajar ala bimbingan belajar. Kecurangan dan cara belajar ala bimbingan belajar seolah menegaskan lagi pendapat (alm) Koentjaraningrat tentang mentalitas menerabas dan budaya instan bangsa ini. Kecurangan dalam UN terasa sekali menunjukkan mentalitas menerabas, sikap menghalalkan segala cara demi tujuan lulus dan sukses UN. Adapun cara belajar dengan drill soal, try out, menghafal soal, dan trik-trik mengerjakan soal obyektif menunjukkan sikap instan dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Cara belajar ini tidak menuntut eksplorasi cipta, rasa, dan karsa anak didik terhadap substansi kompetensi ilmu pengetahuan. Implikasinya, kompetensi dan kecerdasan dalam menguasai ilmu pengetahuan hanya diukur dari kemampuan memilih jawaban secara cepat dan tepat untuk mendapatkan skor tertinggi. UN alih-alih sebagai kebijakan untuk peningkatan mutu pendidikan justru telah menihilisasi budaya belajar.
Sebenarnya, Budaya belajar akan menjadi pilar pengembangan kebudayaan yang kuat dan beradab. Sayang sekali, hadirnya UN belum mampu menjadikan budaya itu sebagai budaya dominan di kalangan pelajar Indonesia. Budaya belajar dikalahkan oleh nihilisasi budaya belajar: menerabas dan instan. Nihilisasi budaya belajar itu akhirnya memunculkan kekhawatiran ” akan kuatkah kebudayaan Indonesia bersanding dengan budaya global di masa depan ? ” Sebab, menurut Naisbitt, hanya suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang kuat dan luwes yang bisa bertahan di tengah konstelasi global.

C.     Solusi terhadap carut-marutnya pelaksanaan UN


Berbeda dengan Pemerintah Indonesia yang lebih menekankan assesment pada ujian, Negara Finlandia justru menekankan assessment melalui metode proyek terhadap siswanya. Proyek bisa berupa karya siswa, baik penelitian, merancang sebuah desain, dan sebagainya, yang bisa dikerjakan bersama-sama dalam satu tim dan lintas bidang studi. Untuk menjalankan proyek-proyek tersebut, siswa harus mampu mengaplikasikan semua yang dipelajarinya di sekolah di dalam sebuah karya nyata. Ada begitu banyak variasi bentuk assessment termasuk tugas harian di sekolah, karya siswa, penelitian ilmiah, tulisan, proyek, laporan, dan sebagainya. Semuanya bisa digunakan untuk menilai siswa.
Assessment terhadap siswa sudah seharusnya tidak didominasi oleh ujian, apalagi untuk menentukan kelulusan. Maka, bisa dikatakan, banyak yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pertama, harus ada evaluasi sistem pendidikan Indonesia secara keseluruhan. Pemetaan pendidikan nasional harus segera dilakukan dan hasilnya harus dipublikasikan di depan publik sehaingga berbagai pihak bisa membantu menganalisanya. Hasil analisa ini bisa digunakan sebagai dasar untuk merancang berbagai program peningkatan kualitas pendidikan. Sistemlah yang perlu dievaluasi terlebih dahulu, sebelum mengevaluasi siswa. Kedua, assessment terhadap siswa harus digunakan sedemikian rupa untuk memberikan dukungan siswa dalam belajar, membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar. Sistem pendidikan bukan untuk melabeli mereka dengan kata lulus atau tidak lulus. Ketiga, kita memang harus mulai meninggalkan paradigma belajar yang menekankan pada ujian. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara pada topik sebelumnya, yang mengatakan kepada kita sebagai generasi penerus saat ini dan nanti, bahwa, "Anak-anak dan pemuda-pemuda kita sukar dapat belajar dengan tenteram, karena dikejar-kejar oleh ujian yang sangat keras dalam tuntutannya. Mereka belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaannya, sebaliknya mereka belajar untuk dapat nilai-nilai yang tinggi dalam raport sekolah atau untuk dapat ijazah. Jikalau memang itu yang terjadi, maka memang sudah selayaknya Momok Ujian Nasional memang harus musnah dari negeri ini dan digantikan oleh sistem penentuan kelulusan model lain yang tentunya harus ramah terhadap seluruh warga belajar .
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, HB. 2012. Buku Hitam Ujian Nasional . Yogyakarta : Resis Book dan CBE Publishing .
Ali , Marzukie . Ujian Nasional dan Permasalahan Pendidikan Kita. www.marzukialie.com ( Diakses pada : 28 April 2014 )

Chatif, Munif. 2009. Sekolahnya Manusia . Bandung : PT Mizan Pustaka .  
Martono, Nanang. 2010. Pendidikan Bukan Tanpa Masalah : “ Mengungkap Problematika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi “ . Yogyakarta : Gava Media .
Mutiarasari, Dian. Makalah Antropologi Pendidikan. www.dian-mutiarasari.blogspot.com   ( Diakses pada : 28 April 2014 )
Nasution. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara             
Partaonan, Shaleh. Mengapa Ujian Nasional Harus Dihapus ? . www.republika.co.id . ( Diakses pada : 28 April 2014 )
Tjandra, Tri. UN : Dilema dan Tantangan . website SMAN 1 Ksatrian Semarang ( Diakses pada : 28 April 2014 )




No comments: