MEMAHAMI MULTIKULTURALISME PADA KEHIDUPAN
SUKU SASAK LOMBOK
TUGAS MID
MAHASISWA
Ditujukan
dalam rangka penyelesaian tugas MID
untuk mata kuliah Antropologi Indonesia
Disusun Oleh :
1.
Sae
Panggalih (
3401411122 )
2.
Tegar
Putra Adi Nugraha ( 3401411136 )
PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU
SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
LATAR BELAKANG
Indonesia sebelum
dikenal dunia Internasional sebagai negara multikultural , memang sudah sedari
dulu memiliki banyak kekayaan adat istiadat, budaya dan agama di masyarakatnya.
Hal itulah yang pada akhirnya menjadikan Indonesia dijuluki sebagai negara
dengan jumlah suku bangsa terbanyak di dunia. Dengan julukan tersebutlah, yang
pada akhirnya dapat memacu semangat masyarakat untuk melakukan berbagai usaha
untuk menegakkan dan mengembangkan prinsip-prinsip multikulturalisme di dalam
kehidupan mereka agar tujuan dari semboyan negara kita yaitu Bhineka Tunggal Ika dapat menjadi sebuah
kenyataan yang dapat diterapkan di dalam kehidupan warga negaranya yang berasal
dari berbagai macam suku bangsa .
Dan salah satu
provinsi di Indonesia yang kaya akan penerapan nilai-nilai multikultural adalah
Provinsi Nusa Tenggara Barat yang di masa kini sedang berupaya mengembangkan
diri menjadi provinsi yang senang tiasa menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi
dan menyikapi perbedaan budaya sebagai sebuah anugerah dari Tuhan yang harus
disyukuri dan justru dapat menjadi daya tarik wisata tersendiri dari Pulau yang
mendapat Julukan sebagai Pulau Semaspura (Seribu Masjid dan Pura) ini . Sebagai
entitas kebudayaan yang berdiri sendiri, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang
banyak dihuni oleh masyarakat suku Sasak sedang berusaha untuk membangun sebuah
kesadaran bahwa Pulau Nusa Tenggara Barat yang beribukota di Lombok ini kaya dengan
budaya sasaknya yang ternyata memiliki akar sejarah sendiri, jauh sebelum
kedatangan orang-orang Bali ke Lombok. Masyarakat tradisional Sasak merupakan
penghuni awal di Pulau Lombok. Konstruksi masyarakat ini dibentuk berdasarkan
konsensus bersama dari berbagai etnis yang pada masa lalu sudah ada di Lombok,
yaitu etnis Bali, Jawa, dan Makassar. Mereka membentuk kebudayaan baru melalui
proses alkulturasi budaya, yang kini dikenal sebagai Sasak.
Menurut Lalu Agus
Fathurrahman dalam buku Menuju Masa Depan Peradaban Refleksi Budaya
Etnik di NTB, sebagian besar orang Sasak kini adalah orang desa yang
mayoritas beragama Islam dan pernah dibangun di atas fondasi spiritualitas,
animisme, Hindu, dan Buddha. Hal ini menyebabkan masyarakat Sasak menjadi
sebuah kebudayaan yang multietnis dan multikulturalisme, dan merupakan gambaran
wajah kebudayaan yang alkulturatif. Proses akulturasi ini bisa diamati dari
beberapa peninggalan cagar budaya di Lombok seperti pura maupun masjid tua tradisional
yang banyak tersebar di banyak pemukiman Suku Sasak . Walaupun muncul perbedaan
dari segi keyakinan beragama, masyarakat Lombok yang mayoritas berasal dari
suku Sasak ini tidak pernah mempersoalkan tentang masalah keyakinan yang mereka
anut. Karena menurut pandangan orang Sasak , perbedaan yang ada memang sudah
diwariskan dari nenek moyang suku Sasak sendiri yang pada mulanya memang
berasal dari tiga suku besar ( Bali, Jawa,dan Makassar) yang kemudian melebur
menjadi satu menjadi sebuah suku baru bernama Suku Sasak. Apabila ada
masyarakat Lombok yang ingin merusak dan menganggu nilai multikulturalisme yang
ada itu artinya sama saja dengan merusak nama baik leluhur suku Sasak yang
telah berupaya menjunjung tinggi nilai bertoleransi .
Berdasarkan latar belakang di atas, memunculkan pertanyaan yang cukup
menarik dalam penelitian ini, diantaranya adalah :
1. Bagaimanakan sejarah
terjadinya proses multikulturalisme pada suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok
?
2. Bagaimanakah wujud nyata dari
penerapan nilai-nilai multikulturalisme pada suku Sasak ?
3. Bagaimanakah wujud kebudayaan
yang tercipta di kehidupan Suku Sasak yang tercipta akibat penerapan nilai-nilai
multikulturalisme dalam bermasyarakat ?
4. Bagaimanakah bentuk dari struktur
masyarakat Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok ?
5. Apakah dalam menerapkan
kehidupan multikultural, pernah terjadi masalah yang cukup serius di dalam
kehidupan masyarakat Suku Sasak ?
HASIL DAN PEMBAHASAN
A) Sejarah
Multikulturalisme Pada Suku Sasak
Era Pra
Sejarah tanah Lombok tidak jelas karena sampai saat ini belum ada data-data
dari para ahli serta bukti yang dapat menunjang tentang masa pra sejarah tanah
Lombok.Suku Sasak temasuk dalam ras tipe melayu yang konon telah tinggal di
Lombok selama 2.000 tahun yang lalu dan diperkirakan telah menduduki daerah
pesisir pantai sejak 4.000 tahun yang lalu, dengan demikian perdagangn antar
pulau sudah aktif terjadi sejak zaman tesebut dan bersamaan dengan itu saling
mempengaruhi antarbudaya juga telah menyebar.
Lombok Mirah Sasak Adi merupakan salah satu kutipan dari
kitab Negarakertagama, sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan
pemerintahaan kerajaan Majapahit. Kata Lombok dalam bahasa kawi berarti lurus
atau jujur, kata mirah berarti permata, kata sasak berarti kenyataan, dan kata
adi artinya yang baik atau yang utama maka arti keseluruhan yaitu kejujuran
adalah permata kenyataan yang baik atau utama. Makna filosofi itulah mungkin
yang selalu di idamkan leluhur penghuni tanah Lombok yang tercipta sebagai
bentuk kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestariakan oleh anak cucunya.
Dalam kitab – kitab lama, nama Lombok dijumpai disebut Lombok mirah dan Lombok
adi beberapa lontar Lombok juga menyebut Lombok dengan gumi selaparang atau
selapawis.
Asal-usul
penduduk pulau Lombok terdapat beberapa Versi salah satunya yaitu Kata sasak
secara etimilogis menurut Dr. Goris. s. berasal dari kata sah yang berarti
pergi dan shaka yang berarti leluhur. Berarti pergi ke tanah leluhur orang
sasak (Lombok). Dari etimologis ini diduga leluhur orang sasak adalah orang
Jawa, terbukti pula dari tulisan sasak yang oleh penduduk Lombok disebut
Jejawan, yakni aksara Jawa yang selengkapnya diresepsi oleh kesusastraan sasak.
Etnis
Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok, suku sasak merupakan etnis
utama meliputi hampir 95% penduduk seluruhnya. Bukti lain juga menyatakan bahwa
berdasarkan prasasti tong – tong yang ditemukan di Pujungan, Bali, Suku sasak
sudah menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI masehi, Kata sasak pada
prasasti tersebut mengacu pada tempat suku bangsa atau penduduk seperti
kebiasaan orang Bali sampai saat ini sering menyebut pulau Lombok dengan gumi
sasak yang berarti tanah, bumi atau pulau tempat bermukimnya orang sasak.
Sejarah Lombok tidak lepas dari silih bergantinya penguasaan dan peperangan yang terjadi di dalamnya baik konflik internal, yaitu peperangan antar kerajaan di Lombok maupun ekternal yaitu penguasaan dari kerajaan dari luar pulau Lombok. Perkembangan era Hindu, Budha, memunculkan beberapa kerajaan seperti selaparang Hindu, Bayan. Kereajaan-kerajaan tersebut dalam perjalannya di tundukan oleh penguasaan kerajaan Majapahit dari ekspedisi Gajah Mada pada abad XIII – XIV dan penguasaan kerajaan Gel – Gel dari Bali pada abad VI. Antara Jawa, Bali dan Lombok mempunyai beberapa kesamaan budaya seperti dalam bahasa dan tulisan jika di telusuri asal – usul mereka banyak berakar dari Hindu Jawa hal itu tidak lepas dari pengaruh penguasaan kerajaan Majapahit yang kemungkinan mengirimkan anggota keluarganya untuk memerintah atau membangun kerajaan di Lombok.
Pengaruh Bali memang sangat kental dalam kebudayaan Lombok hal tersebut tidak lepas dari ekspansi yang dilakukan kerajaan Bali sekitar tahun 1740 di bagian barat pulau Lomboq dalam waktu yang cukup lama. Sehingga banyak terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan kebudayaan kaum pendatang hal tersebut dapat dilihat dari terjelmanya genre – genre campuran dalam kesenian. Banyak genre seni pertunjukan tradisional berasal atau diambil dari tradisi seni pertunjukan dari kedua etnik. Sasak dan Bali saling mengambil dan meminjam dan terciptalah genre kesenian baru yang menarik dan saling melengkapi.
Sejarah Lombok tidak lepas dari silih bergantinya penguasaan dan peperangan yang terjadi di dalamnya baik konflik internal, yaitu peperangan antar kerajaan di Lombok maupun ekternal yaitu penguasaan dari kerajaan dari luar pulau Lombok. Perkembangan era Hindu, Budha, memunculkan beberapa kerajaan seperti selaparang Hindu, Bayan. Kereajaan-kerajaan tersebut dalam perjalannya di tundukan oleh penguasaan kerajaan Majapahit dari ekspedisi Gajah Mada pada abad XIII – XIV dan penguasaan kerajaan Gel – Gel dari Bali pada abad VI. Antara Jawa, Bali dan Lombok mempunyai beberapa kesamaan budaya seperti dalam bahasa dan tulisan jika di telusuri asal – usul mereka banyak berakar dari Hindu Jawa hal itu tidak lepas dari pengaruh penguasaan kerajaan Majapahit yang kemungkinan mengirimkan anggota keluarganya untuk memerintah atau membangun kerajaan di Lombok.
Pengaruh Bali memang sangat kental dalam kebudayaan Lombok hal tersebut tidak lepas dari ekspansi yang dilakukan kerajaan Bali sekitar tahun 1740 di bagian barat pulau Lomboq dalam waktu yang cukup lama. Sehingga banyak terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan kebudayaan kaum pendatang hal tersebut dapat dilihat dari terjelmanya genre – genre campuran dalam kesenian. Banyak genre seni pertunjukan tradisional berasal atau diambil dari tradisi seni pertunjukan dari kedua etnik. Sasak dan Bali saling mengambil dan meminjam dan terciptalah genre kesenian baru yang menarik dan saling melengkapi.
Gumi
sasak silih berganti mengalami peralihan kekuasaan hingga ke era Islam yang melahirkan
kerajaan Islam Selaparang dan Pejanggik. Islam masuk ke Lombok sepanjang abad
XVI ada beberapa versi masuknya Islam ke Lombok yang pertama berasal dari Jawa
masuk lewat Lombok timur. Yang kedua pengIslaman berasal dari Makassar dan
Sumbawa ketika ajaran tersebut diterima oleh kaum bangsawan ajaran tersebut
dengan cepat menyebar ke kerajaan–kerajaan di Lombok timur dan Lombok tengah.
Mayoritas etnis sasak beragama Islam, namun demikian dalam kenyataanya pengaruh Islam juga berakulturasi dengan kepercayaan lokal sehingga terbentuk aliran seperti waktu telu, jika dianalogikan seperti abangan di Jawa. Pada saat ini keberadaan waktu telu sudah tidak kurang mendapat tempat karena tidak sesuai dengan syariat Islam. Pengaruh Islam yang kuat menggeser kekuasaan Hindu di pulau Lombok, hingga saat ini dapat dilihat keberadaannya hanya di bagian barat pulau Lombok saja khususnya di kota Mataram.
Mayoritas etnis sasak beragama Islam, namun demikian dalam kenyataanya pengaruh Islam juga berakulturasi dengan kepercayaan lokal sehingga terbentuk aliran seperti waktu telu, jika dianalogikan seperti abangan di Jawa. Pada saat ini keberadaan waktu telu sudah tidak kurang mendapat tempat karena tidak sesuai dengan syariat Islam. Pengaruh Islam yang kuat menggeser kekuasaan Hindu di pulau Lombok, hingga saat ini dapat dilihat keberadaannya hanya di bagian barat pulau Lombok saja khususnya di kota Mataram.
Silih
bergantinya penguasaan di Pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya lain
membawa dampak semakin kaya dan beragamnya khasanah kebudayaan sasak. Sebagai
bentuk dari Pertemuan(difusi, akulturasi, inkulturasi) kebudayaan. Seperti
dalam hal Kesenian, bentuk kesenian di lombok sangat beragam.Kesenian asli dan
pendatang saling melengakapi sehingga tercipta genre-genre baru. Pengaruh yang
paling terasa berakulturasi dengan kesenian lokal yaitu kesenian bali dan
pengaruh kebudayaan islam. Keduanya membawa Kontribusi yang besar terhadap
perkembangan ksenian-kesenian yang ada di Lombok hingga saat ini. Implementasi
dari pertemuan kebudayaan dalam bidang kesenian yaitu, Yang merupakan pengaruh
Bali ; Kesenian Cepung, cupak gerantang, Tari jangger, Gamelan Thokol, dan yang
merupakan pengaru Islam yaitu Kesenian Rudad, Cilokaq, Wayang Sasak, Gamelan
Rebana.
B) Wujud Nyata Multikulturalisme di
Kehidupan Suku Sasak
o Berdasarkan Ras
Ras adalah sekelompok bangsa yang didasarkan pada ciri-ciri
fisik seperti tinggi badan,warna kulit, warna rambut , bentuk rambut, dan
lain-lain. Masyarakat Suku Sasak yang tinggal di Pulau Lombok, merupakan
berasal dari ras Melayu Tua ( Proto Melayu) .
Ras Melayu Tua (Proto Melayu) memiliki kulit sawo matang, bertubuh tidak terlalu tinggi, dan berambut lurus.Ras ini berasal dari Tionghoa bagian Selatan (Yunan).
o Berdasarkan Bahasa
Disamping
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional , Penduduk Pulau Lombok ( terutama
Suku Sasak ) menggunakan Bahasa Sasak sebagai bahasa utama dalkam percakapan
sehari-hari.
Bahasa
Sasak dapat dijumpai dalam empat macam dialek yang berebeda yakni dialek Lombok
Utara, Tengah, Timur Laut, dan Tenggara. Selain itu dengan banyaknya penduduk
Suku Bali yang berdiam di Lombok terutama di Lombok Barat dan Kota Madya
Mataram dapat dijumpai perkampungan yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa
percakapan Sehari-hari .
o
Berdasarkan Agama
Sebagian besar penduduk pulau Lombok terutama suku Sasak menganut agama Islam. Agama kedua terbesar yang dianut di pulau ini
adalah agama Hindu, yang
dipeluk oleh para penduduk keturunan Bali yang
berjumlah sekitar 15% dari seluruh populasi di sana. Penganut Kristen, Buddha dan
agama lainnya juga dapat dijumpai, dan terutama dipeluk oleh para pendatang
dari berbagai suku dan etnis yang bermukim di pulau ini.
Di
Kabupaten Lombok Utara, tepatnya di daerah Bayan, terutama di kalangan mereka yang
berusia lanjut, masih dapat dijumpai para penganut aliran Islam Wetu Telu (waktu
tiga). Tidak
seperti umumnya penganut ajaran Islam yang melakukan salat lima
kali dalam sehari, para penganut ajaran ini mempraktikan salat wajib hanya pada
tiga waktu saja. Konon hal ini terjadi karena penyebar Islam saat itu
mengajarkan Islam secara bertahap dan karena suatu hal tidak sempat
menyempurnakan dakwahnya.
Suku Sasak bersandar pada Sa'sa' Loombo",
sebagai sesuatu yang diyakini, dimana hal ini berpengaruh positif dalam hidup
dan kehidupannya. Hal ini bisa kita saksikan dalam sikap-sikap dalam
kehidupannya, yaitu, penyerahan diri kepada Tuhan (Tauhid), taat kepada Tuhan,
taat kepada pemerintah dan taat kepada orang tua.
Suku Sasak sangat memegang teguh apa yang diajarkan
sebelumnya, misalnya, penyebaran agama Islam pada awal masuknya di Pulau
Lombok, yang sholat hanya para mubalig, karena begitu taatnya mereka pada guru
yang mengajarkannya, mereka akan terus melakukan apa yang diajarkan dari guru
pertamanya tersebut, hal ini bisa disaksikan pada masyarakat yang dinamakan
"Islam Waktu Telu".
Suku Sasak sangat taat kepada orang tuanya (ibu
bapak atau orang yang lebih tua), jika orang tua telah memiliki pendapat atau
saran, maka yang lainnya harus ikut pada pendapat atau saran tersebut.
Kejujuran dan kesederhanaan, mereka menganggap bahwa orang yang lebih tua,
patut untuk dihormati, dan mereka tidak akan membohonginya, inilah yang menjadi
dasar bagi masyarakat Waktu Telu pada masa transisinya, bahwa untuk menjalankan
syari'at agama, lebih banyak diserahkan kepada kyai dan pemangkunya.
Orang Sasak sangat taat dalam menjalankan ajaran
agamanya, adanya ajaran taat kepada Tuhan, taat kepada Rasul, dan taat kepada
pemerintah, merupakan ajaran yang harus dijalankan secara murni dan apa adanya.
Ini jugalah yang merupakan salah satu titik lemah dari masyarakat Sasak, yang
menyerahkan bulat-bulat semua persoalannya kepada pemimpinnya. Kalaupun ada
yang kemudian ternyata menipunya, mereka juga tidak akan memberikan reaksi yang
berlebihan, mereka hanya akan menggerutu dalam Bahasa Sasak, "ia penje
ia penjahit, ia pete ia dait, bagus pete bagus tedait, lenge pete lenge tedait".
o
Berdasarkan
Gender
Dalam masyarakat Lombok,
walaupun hanya sebagian saja masih menganut sistem patriarki. Sistem patriarki
adalah sistem yang lebih mengakui kekuasaan laki-laki, sehingga perempuan
dinomorduakan.
Dalam suku Sasak sistem
patriarki pun juga berlaku. Sehingga para perempuan hanya bisa mengurus
keluarganya saja, tanpa bisa berkarir. Pekerjaan mereka hanya memasak, dan
membuat kain tenunan yang menjadi penghasilan dari mereka, untuk membantu
keuangan keluarga.
C)
Wujud Kebudayaan Multikulturalisme yang tercipta dalam kehidupan Suku Sasak
Hingga saat ini di Lombok yang terkenal suku Sasaknya
terdapat berbagai macam budaya daerah, yang merupakan hasil dari akulturasi
dengan berbagai macam budaya dari daerah lain memang perlu untuk dilestarikan
sebagai peninggalan nenek moyang. Kebudayaan Sasak bukan hanya milik Lombok,
melainkan sudah termasuk ke dalam kebudayaan Indonesia. Berikut adalah beberapa
kebudayaan yang masih berkembang di suku Sasak.
a. Bau Nyale
Bau Nyale adalah sebuah legenda dan bernilai
sakral tinggi bagi suku Sasak. Tradisi ini diawali oleh kisah seorang putri
Raja Tonjang Baru yang sangat cantik bernama Putri Mandalika. Karena
kecantikannya itu, para putra raja memperebutkan untuk meminangnya. Jika salah
satu putra raja ditolak pinangannya, maka akan timbul peperangan. Sang Putri
Mandalika mengambil keputusan: pada tanggal 20 bulan kesepuluh ia menceburkan
diri ke laut lepas. Dipercaya oleh masyarakat hingga kini bahwa Nyale adalah
jelmaan dari Putri Mandalika. Nyale adalah sejenis binatang laut berkembang
biak dengan bertelur, perkelaminan antara jantan dan betina. Upacara ini
diadakan setahun sekali. Bagi masyarakat Sasak,nyale dipergunakan
untuk bermacam-macam keperluan seperti santapan (emping nyale),
ditaburkan ke sawah untuk kesuburan padi, lauk-pauk, obat kuat, dan lainnya
yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.
b. Slober
Kesenian slober alat
musik tradisional Lombok yang tergolong cukup tua. Alat-alat musiknya sangat
unik dan sederhana yng terbuat dari pelepah enau dengan panjang 1 jengkal dan
lebar 3 cm. Kesenian slober didukung juga dengan peralatan yang lainnya
yaitu gendang, petuq, rincik, gambus, seruling. Namaslober diambil
dari salah seorang warga desa Pengadangan Kecamatan Pringgasela yang bernama
Amaq Asih alias Amaq Slober. Kesenian ini salah satu kesenian yang masih eksis
sampai saat ini yang biasanya dimainkan pada setiap bulan purnama.
c. Lomba Memaos
Lomba Memaos atau lomba membaca lontar merupakan lomba
menceritakan hikayat kerajaan masa lampau. Satu kelompok pepaos terdiri
dari 3-4 orang: satu orang sebagai pembaca, satu orang sebagai pejangga, dan
satu orang sebagai pendukung vokal. Tujuan pembacaan cerita ini untuk
mengetahui kebudayaan masa lampau dan menanamkan nilai-nilai budaya pada
generasi penerus.
d. Periseian
Periseian adalah kesenian beladiri yang
sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno di Lombok. Awalnya adalah semacam
latihan pedang dan perisai sebelum berangkat ke medan pertempuran. Pada
perkembangannya hingga kini, senjata yang dipakai berupa sebilah rotan dengan
lapisan aspal dan pecahan kaca yang dihaluskan, sedangkan perisai (ende) terbuat dari kulit lembu atau kerbau. Setiap
pemain atau pepadu dilengkapi
dengan ikat kepala dan kain panjang. Kesenian ini tak lepas dari upacara ritual
dan musik yang membangkitkan semangat untuk berperang. Pertandingan akan
dihentikan jika salah satu pepadu mengeluarkan darah atau dihentikan oleh
juri. Walau perkelahian cukup seru bahkan tak jarang terjadi cidera hingga
mengucurkan darah di dalam arena., tetapi di luar arena para pepadumenjunjung
tinggi sportifitas dan tidak ada dendam di antara mereka. Inilah pepadu Sasak.
Festival periseian diadakan
setiap tahun di Kabupaten Lombok Timur dan diikuti oleh pepadu sepulau Lombok.
e. Begasingan
Begasingan merupakan salah satu permainan yang
memunyai unsur seni dan olahraga, permainan yang tergolong cukup tua di masyarakat
Sasak. Begasingan ini sendiri berasal dari dua suku kata
Bahasa Sasak Lombok, yaitu gang dan
sing; gang artinya
“lokasi”, sing artinya
“suara”. Seni tradisional ini mencerminkan nuansa kemasyarakatan yang tetap
berpegangan kepada petunjuk dan aturan yang berlaku di tempat permainan itu.
Nilai-nilai yang berkembang di dalamnya selalu mengedepankan rasa saling
menghormati dan rasa kebersamaan yang cukup kuat serta utuh dalam melaksanakan
suatu tujuan di mana selalu menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Permainan ini
biasanya dilakukan semua kelompok umur dan jumlah pemain tergantung kesepakatan
kedua belah pihak di lapangan.
f.
Gendang Beleq
Gendang Beleq merupakan pertunjukan ensembel di mana alat perkusi gendang besar memainkan
peran utamanya. Ada dua buah jenis gendang beleq, yaitu gendang mama (laki-laki)
dan gendang nina (perempuan),
berfungsi sebagai pembawa dinamika. Sebuah gendang kodeq (gendang kecil), dua buah reog sebagai
pembawa melodi (yang satu reog mama, terdiri atas dua nada; dan reog nina, yakni
perembak beleq yang berfungsi sebagai alat ritmis), delapan buah perembak kodeq (paling sedikit enam buah dan paling
banyak sepuluh, berfungsi sebagai alat ritmis), sebuah petuk sebagai alat
ritmis, sebuah gong besar sebagai alat ritmis, sebuah gong penyentak sebagai
alat ritmis, sebuah gong oncersebagai alat ritmis, dan dua buah bendera maerah atau
kuning yang disebut lelontek.
Menurut cerita, gendang beleq dulu dimainkan bila ada pesta-pesta
kerajaan. Bila terjadi perang berfungsi ia sebagai komandan perang, sedang copek sebagai
prajuritnya. Bila datu (raja) ikut berperang, maka payung agung akan digunakan.
Sekarang, fungsi payung ini ditiru dalam upacara perkawinan.
Gendang Beleq dapat dimainkan sambil
berjalan atau duduk. Komposisi musiknya bila dilakukan dalam keadaan berjalan
maka memunyai aturan tertentu; berbeda dengan posisi duduk yang tidak memunyai
aturan. Pada waktu dimainkan, pembawa gendang beleq akan memainkannya sambil
menari, demikian juga pembawa petuk, copek, dan lelontok.
D)
Struktur Masyarakat Suku Sasak
Masyarakat Sasak dipandang sebagai penduduk asli Pulau
Lombok. Mereka mengenal suatu pelapisan atau penggolongan masyarakat. Secara
sosial-politik, masyarakat Sasak dapat digolongkan ke dalam dua tingkatan
utama, yaitu golongan bangsawan yang lazim disebut perwangsa dan golongan masyarakat kebanyakan
yang disebut jajar karang atau
bangsa Ama. Golongan perwangsa terbagi atas dua tingkatan, yaitu
bangsawan penguasa dan bangsawan rendahan. Para bangsawan penguasa atau
perwangsa menggunakan gelar datu. Penyebutan untuk kaum laki-laki golongan ini
adalah raden dan perempuan bangsawannya dipanggil denda. Jika
kelompok raden telah mencapai usia cukup dewasa dan
ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayahnya, mereka berhak memakai gelar datu. Perubahan
gelar itu dilakukan setelah melalui upacara tertentu.
Bangsawan rendahan atau triwangsa menggunakan
gelar lalu untuk para lelaki dan baiq untuk para perempuan. Tingkatan
terakhir disebut jajar karang, panggilan untuk laki-laki adalah loq dan perempuannya adalah le. Golongan
pertama dan kedua lazim disebut permenak. Sesuai dengan statusnya, golongan permenak di samping lebih tinggi daripada jajar karang, merupakan penguasa sekaligus pemilik
sumber daya lahan pertanian yang luas. Ketika dinasti Karangasem Bali berkuasa
di Lombok, golongan permenak hanya
menduduki jabatan sebagai pembekel di daerah berpenduduk Sasak. Masyarakat
Sasak memberikan penghormatan kepada golongan permenak berdasarkan
ikatan tradisi turun-temurun dan berdasarkan ikatan budaya Islam. Landasan
pelapisan sosial masyarakat Sasak mengikuti garis keturunan lelaki
(patrilineal).
Dalam alam kepercayaan, masyarakat Lombok mengenal tiga
kelompok agama yang dianut oleh kalangan orang Sasak, yaitu kelompok Boda, Waktu Telu, dan
Islam. Kelompok Boda dalam
bentuk komunitas kecil berdiam di pegunungan utara dan di jajaran lembah
pegunungan selatan Lombok. Kelompok Boda adalah
orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut
kepercayaan menyembah berhala. Mereka menyingkir ke daerah pegunungan dalam
upaya melepaskan diri atau menghindari islamisasi di Lombok. Nama Waktu Telu
diberikan kepada penganut kepercayaan yang beribadah tiga kali pada bulan
puasa, yaitu sembahyang magrib, isya, dan subuh. Di luar bulan puasa, mereka
dalam seminggu hanya sekali melakukan ibadah, yaitu pada hari Kamis dan Jumat,
saat waktu asar. Urusan ibadah salat dan puasa diserahkan kepada pemimpin agama
mereka, yaitu para kiai dan penghulu. Pada hari-hari tertentu penduduk memberi
sedekah kepada pemimpin agamanya. Mereka hanya menunaikan tugas yang diberikan
oleh para kiai. Semua kiai Waktu Telu tidak melaksanakan zakat dan naik haji.
Daerah-daerah penganut Waktu Telu meliputi Bayan dan Tanjung di Lombok Barat,
dataran tinggi Sembalun dan Suranadi di Lombok Timur, dan Pujut di Lombok
Tengah.
Hubungan kekerabatan masyarakat Sasak walau terkesan
bilateral, lebih menganut pola patrilineal. Pola kekerabatan itu disebut Wiring Kadang yang mengatur hak dan kewajiban warga.
Unsur-unsur kekerabatan itu meliputi ayah, kakek, saudara laki-laki ayah
(paman), anak lelaki saudara lelaki ayah (sepupu), dan anak-anak mereka. Warga
kelompok Wiring Kadang mengemban tanggung jawab terhadap masalah
keluarga, yang terutama terlihat pada saat persiapan penikahan salah seorang
anggota kerabat. Masalah warisan dan pengaturannya menjadi hak mereka. Harta
warisan biasanya disebut pustaka yang mengandung nilai-nilai luhur dan
berbentuk seperti tanah, rumah, dan benda-benda lainnya yang dianggap keramat. Benda-benda keramat itu,
antara lain, berupa pakaian, keris, dan permata. Orang-orang Bali di Lombok
juga memiliki pola kekerabatan yang serupa dan disebut purusa. Garis
keturunan mereka berdasarkan pada garis ayah. Seperti pada masyarakat Sasak,
pola pewarisan mereka disebut pusaka.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, kehidupan
masyarakat Sasak lebih banyak mengemban kewajiban terhadap kekuasaan kerajaan.
Walau di sejumlah desa, seperti Praya dan Sakra, memiliki hak perdikan, yaitu bebas dari pungutan pajak.
Namun, kewajiban apati getih, yaitu ikut serta dalam peperangan
kerajaan tetap harus dipenuhi. Kerajaan memberikan hak itu berkenaan dengan
jasa mereka yang telah membantu dalam memenangkan peperangan. Kehidupan petani
pada umumnya selalu berada di bawah “penindasan” para bangsawan dan pejabat
kerajaan. Banyak lahan pertanian mereka yang diambil alih oleh raja melalui hak
sita komunal sebelumnya. Banyak tanah yang tidak memiliki ahli waris menjadi
milik kerajaan. Selain itu, tuntutan kerja wajib menjadikan para bangsawan
tidak jarang secara sewenang-wenang mengambil putra-putri mereka untuk menjadi
pekerja dan pelayan. Padahal di lahan pertanian para petani sangat membutuhkan
tenaga putra-putri mereka. Para petani menjual hasil pertanian kepada para
pedagang di bawah syahbandar dan
sebaliknya mereka memperoleh barang kebutuhan lainnya dari jalur perdagangan
itu pula. Kekuasaan kerajaan sangat
memengaruhi kehidupan masyarakat perdesaan.
E)
* Masalah Yang Pernah
Muncul dalam kehidupan multikultural masyarakat Sasak
Konflik akibat munculnya
keberagaman, pernah terjadi pada kehidupan Suku Sasak lewat Tragedi perbedaan
paham warga tentang ajaran Islam. Bermula pada sebuah upacara pemakaman
meninggalnya seorang warga Sasak muslim Desa Dopang Kecamatan Gunungsari
Kabupaten Lombok Barat NTB. Dalam prosesi pemakaman tersebut, seorang tuan guru
(sebuah istilah yang lebih familiar pada masyarakat Lombok , Kyai
di Jawa) kemudian membacakan talqin untuk si mayit. Upacara pemakaman berjalan
sebagaimana mestinya, namun usai acara seorang warga desa tersebut yang bernama
Mashuri, menegur tindakan sang tuan guru kaitannya dengan talqinul mayyit.
Menurut Mashuri –salah seorang penganut paham salafi– dalam Islam tidak
dibenarkan adanya talqinul mayyit saat pemakaman, yang ada hanya ketika seorang
muslim hendak meninggal dunia atau saat-saat kritis menjelang maut, atau
sakaratul maut.
Melihat kejadian tersebut,
warga Desa Dopang kemudian meminta agar Mashuri segera meminta maaf atas
tidakannya. Secara
sosio kultural, permintaan masyarakat tersebut sangat beralasan. Sebab, sosok
tuan guru menjadi suat posisi yang sangat sakral dan dimuliakan. Sehingga
ketika terjadi hal sepele seperti di atas, tetap saja melahirkan respon besar
dari pengikut sang tuan guru. Dampaknya pun semakin meluas, yang semula hanya
bersumber di Desa Dopang, kemudian merebak ke berbagai desa tetangga, salah
satunya adalah Desa Sesela, yang sekaligus pusat salafi di Kecamatan
Gunungsari.
Dalam kasus salafi di desa Sesela, konteks pendukung konflik adalah pola
pemukiman yang terpisah dari masyarakat sekitar dan pemisahan ajaran agama dari
ajaran agama yang biasanya dilakukan oleh masyarakat setempat. Para pengikut
salafi secara terang-terangan menunjukkan jati diri mereka dengan identitas dan
ciri khas yang sangat berbeda dengan masyarakat setempat. Melihat fenomena
tersebut, masyarakat yang mayoritas awam, hanya mempercayai sosok tuan guru pun
merasa terganggu. Sebagai imbasnya, masyarakat tidak bisa menerima kehadiran
paham salafi dengan perbedaan pendapat dalam masalah fiqih.
* Alternatif Solusinya :
Konflik, apapun dan dimanapun terjadi selalu menimbulkan dampak, entah
negatif ataupun positif. Kebanyakan konflik memang menimbulkan dampak negatif
jika dilihat dari tinjauan sosial ekonomi, sebab hanya akan mewariskan kerugian
dari sudut finansial semata. Tetapi, terkadang konflik juga dapat memberikan
dampak positif jika dilihat dari sudut sosio-kultural. Pasca konflik,
masyarakat akan dapat mengambil teladan yang akan dijadikan pijakan untuk
selanjutnya melangkah membenahi akar konflik terdahulu.
Dalam kasus salafi di Desa Sesela, secara finansial ekonomi memang telah
meninggalkan kerugian yang cukup signifikan. Namun secara sosio-kultural,
masyarakat dapat mengambil suatu hikmah mendasar tentang indahnya hidup dalam
perbedaan, khususnya perbedaan paham (baca: madzhab). Perbedaan paham tentang
suatu ajaran agama, lebih-lebih dalam satu agama mesti diarifi dengan
bijaksana, sebab madzhab boleh saja berbeda, tetapi substansinya serupa dan
memiliki tujuan yang sama
Namun, seberapa besar atau
kecil dampak yang ditimbulkan oleh sebuah konflik, tetap saja akan
mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat dimana
konflik berlangsung. Sehingga, peran mediasi menjadi sebuah alternatif problem
solver. Mediasi bisa saja diperankan oleh masyarakat setempat, namun
disangsikan netralitasnya sebagai mediator. Sehingga, peran beberapa lembaga di
luar komunitas yang berkonflik menjadi pilihan strategis. Mediasi ini bisa
diperankan oleh pemerintah dalam hal ini MUI, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
namun sejauh ini masih belum ditemukan LSM yang concern di lahan tersebut.
Begitupula dengan peran ulama sebagai corong pemersatu umat. Peran mereka mesti
diperankan lebih aktif lagi untuk memberikan pemahaman agama secara sosiologis-teologis.
Sebab tidak menutup kemungkinan, ulama atau tuan guru dalam masyarakat Sasak
(suku Pulau Lombok), akan menjadi sumber konflik jika tidak pintar dalam
mengemas ajaran agama dalam bentuk yang dapat diterima oleh seluruh lapisan
masyarakat, tanpa harus mengklaim salah satu golongan dengan golongan yang
lain, satu madzhab dengan madzhab yang lain.
Daftar Pustaka
Melalatoa, M.Junus. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia .
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1975.
Hidayah, Zulyani. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia.1990
Rudini. Nusa Tenggara Barat. Jakarta : Yayasan Bhakti Wawasan
Nusantara.1992 http://www.lomboktravel.com/indonesia/informasi_sejarah_pulau_lombok.htm
literature.melayuonline.com
www..org/.../.../165-atraksi-budaya--.html