Wednesday, June 19, 2013

suku sasak


MEMAHAMI MULTIKULTURALISME PADA KEHIDUPAN
SUKU SASAK LOMBOK



TUGAS MID MAHASISWA


Ditujukan dalam rangka penyelesaian tugas MID
 untuk mata kuliah Antropologi Indonesia



Disusun Oleh :

1.            Sae Panggalih                     ( 3401411122 )
2.            Tegar Putra Adi Nugraha   ( 3401411136 )








PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
 FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013


LATAR BELAKANG
Indonesia sebelum dikenal dunia Internasional sebagai negara multikultural , memang sudah sedari dulu memiliki banyak kekayaan adat istiadat, budaya dan agama di masyarakatnya. Hal itulah yang pada akhirnya menjadikan Indonesia dijuluki sebagai negara dengan jumlah suku bangsa terbanyak di dunia. Dengan julukan tersebutlah, yang pada akhirnya dapat memacu semangat masyarakat untuk melakukan berbagai usaha untuk menegakkan dan mengembangkan prinsip-prinsip multikulturalisme di dalam kehidupan mereka agar tujuan dari semboyan negara kita yaitu Bhineka Tunggal Ika dapat menjadi sebuah kenyataan yang dapat diterapkan di dalam kehidupan warga negaranya yang berasal dari berbagai macam suku bangsa .
Dan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan penerapan nilai-nilai multikultural adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang di masa kini sedang berupaya mengembangkan diri menjadi provinsi yang senang tiasa menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan menyikapi perbedaan budaya sebagai sebuah anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri dan justru dapat menjadi daya tarik wisata tersendiri dari Pulau yang mendapat Julukan sebagai Pulau Semaspura (Seribu Masjid dan Pura) ini . Sebagai entitas kebudayaan yang berdiri sendiri, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang banyak dihuni oleh masyarakat suku Sasak sedang berusaha untuk membangun sebuah kesadaran bahwa Pulau Nusa Tenggara Barat yang beribukota di Lombok ini kaya dengan budaya sasaknya yang ternyata memiliki akar sejarah sendiri, jauh sebelum kedatangan orang-orang Bali ke Lombok. Masyarakat tradisional Sasak merupakan penghuni awal di Pulau Lombok. Konstruksi masyarakat ini dibentuk berdasarkan konsensus bersama dari berbagai etnis yang pada masa lalu sudah ada di Lombok, yaitu etnis Bali, Jawa, dan Makassar. Mereka membentuk kebudayaan baru melalui proses alkulturasi budaya, yang kini dikenal sebagai Sasak.
Menurut Lalu Agus Fathurrahman dalam buku Menuju Masa Depan Peradaban Refleksi Budaya Etnik di NTB, sebagian besar orang Sasak kini adalah orang desa yang mayoritas beragama Islam dan pernah dibangun di atas fondasi spiritualitas, animisme, Hindu, dan Buddha. Hal ini menyebabkan masyarakat Sasak menjadi sebuah kebudayaan yang multietnis dan multikulturalisme, dan merupakan gambaran wajah kebudayaan yang alkulturatif. Proses akulturasi ini bisa diamati dari beberapa peninggalan cagar budaya di Lombok seperti pura maupun masjid tua tradisional yang banyak tersebar di banyak pemukiman Suku Sasak . Walaupun muncul perbedaan dari segi keyakinan beragama, masyarakat Lombok yang mayoritas berasal dari suku Sasak ini tidak pernah mempersoalkan tentang masalah keyakinan yang mereka anut. Karena menurut pandangan orang Sasak , perbedaan yang ada memang sudah diwariskan dari nenek moyang suku Sasak sendiri yang pada mulanya memang berasal dari tiga suku besar ( Bali, Jawa,dan Makassar) yang kemudian melebur menjadi satu menjadi sebuah suku baru bernama Suku Sasak. Apabila ada masyarakat Lombok yang ingin merusak dan menganggu nilai multikulturalisme yang ada itu artinya sama saja dengan merusak nama baik leluhur suku Sasak yang telah berupaya menjunjung tinggi nilai bertoleransi .
Berdasarkan latar belakang di atas, memunculkan pertanyaan yang cukup menarik dalam penelitian ini, diantaranya adalah :
1.  Bagaimanakan sejarah terjadinya proses multikulturalisme pada suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok ?
2.     Bagaimanakah wujud nyata dari penerapan nilai-nilai multikulturalisme pada suku Sasak ?
3.    Bagaimanakah wujud kebudayaan yang tercipta di kehidupan Suku Sasak yang tercipta akibat penerapan nilai-nilai multikulturalisme dalam bermasyarakat ?
4.      Bagaimanakah bentuk dari struktur masyarakat Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok ?
5.      Apakah dalam menerapkan kehidupan multikultural, pernah terjadi masalah yang cukup serius di dalam kehidupan masyarakat Suku Sasak ?

HASIL DAN PEMBAHASAN

A)    Sejarah Multikulturalisme Pada Suku Sasak
Era Pra Sejarah tanah Lombok tidak jelas karena sampai saat ini belum ada data-data dari para ahli serta bukti yang dapat menunjang tentang masa pra sejarah tanah Lombok.Suku Sasak temasuk dalam ras tipe melayu yang konon telah tinggal di Lombok selama 2.000 tahun yang lalu dan diperkirakan telah menduduki daerah pesisir pantai sejak 4.000 tahun yang lalu, dengan demikian perdagangn antar pulau sudah aktif terjadi sejak zaman tesebut dan bersamaan dengan itu saling mempengaruhi antarbudaya juga telah menyebar.
Lombok Mirah Sasak Adi merupakan salah satu kutipan dari kitab Negarakertagama, sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan pemerintahaan kerajaan Majapahit. Kata Lombok dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, kata mirah berarti permata, kata sasak berarti kenyataan, dan kata adi artinya yang baik atau yang utama maka arti keseluruhan yaitu kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama. Makna filosofi itulah mungkin yang selalu di idamkan leluhur penghuni tanah Lombok yang tercipta sebagai bentuk kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestariakan oleh anak cucunya. Dalam kitab – kitab lama, nama Lombok dijumpai disebut Lombok mirah dan Lombok adi beberapa lontar Lombok juga menyebut Lombok dengan gumi selaparang atau selapawis.
Asal-usul penduduk pulau Lombok terdapat beberapa Versi salah satunya yaitu Kata sasak secara etimilogis menurut Dr. Goris. s. berasal dari kata sah yang berarti pergi dan shaka yang berarti leluhur. Berarti pergi ke tanah leluhur orang sasak (Lombok). Dari etimologis ini diduga leluhur orang sasak adalah orang Jawa, terbukti pula dari tulisan sasak yang oleh penduduk Lombok disebut Jejawan, yakni aksara Jawa yang selengkapnya diresepsi oleh kesusastraan sasak.
Etnis Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok, suku sasak merupakan etnis utama meliputi hampir 95% penduduk seluruhnya. Bukti lain juga menyatakan bahwa berdasarkan prasasti tong – tong yang ditemukan di Pujungan, Bali, Suku sasak sudah menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI masehi, Kata sasak pada prasasti tersebut mengacu pada tempat suku bangsa atau penduduk seperti kebiasaan orang Bali sampai saat ini sering menyebut pulau Lombok dengan gumi sasak yang berarti tanah, bumi atau pulau tempat bermukimnya orang sasak.
Sejarah Lombok tidak lepas dari silih bergantinya penguasaan dan peperangan yang terjadi di dalamnya baik konflik internal, yaitu peperangan antar kerajaan di Lombok maupun ekternal yaitu penguasaan dari kerajaan dari luar pulau Lombok. Perkembangan era Hindu, Budha, memunculkan beberapa kerajaan seperti selaparang Hindu, Bayan. Kereajaan-kerajaan tersebut dalam perjalannya di tundukan oleh penguasaan kerajaan Majapahit dari ekspedisi Gajah Mada pada abad XIII – XIV dan penguasaan kerajaan Gel – Gel dari Bali pada abad VI. Antara Jawa, Bali dan Lombok mempunyai beberapa kesamaan budaya seperti dalam bahasa dan tulisan jika di telusuri asal – usul mereka banyak berakar dari Hindu Jawa hal itu tidak lepas dari pengaruh penguasaan kerajaan Majapahit yang kemungkinan mengirimkan anggota keluarganya untuk memerintah atau membangun kerajaan di Lombok.
Pengaruh Bali memang sangat kental dalam kebudayaan Lombok hal tersebut tidak lepas dari ekspansi yang dilakukan kerajaan Bali sekitar tahun 1740 di bagian barat pulau Lomboq dalam waktu yang cukup lama. Sehingga banyak terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan kebudayaan kaum pendatang hal tersebut dapat dilihat dari terjelmanya genre – genre campuran dalam kesenian. Banyak genre seni pertunjukan tradisional berasal atau diambil dari tradisi seni pertunjukan dari kedua etnik. Sasak dan Bali saling mengambil dan meminjam dan terciptalah genre kesenian baru yang menarik dan saling melengkapi.
Gumi sasak silih berganti mengalami peralihan kekuasaan hingga ke era Islam yang melahirkan kerajaan Islam Selaparang dan Pejanggik. Islam masuk ke Lombok sepanjang abad XVI ada beberapa versi masuknya Islam ke Lombok yang pertama berasal dari Jawa masuk lewat Lombok timur. Yang kedua pengIslaman berasal dari Makassar dan Sumbawa ketika ajaran tersebut diterima oleh kaum bangsawan ajaran tersebut dengan cepat menyebar ke kerajaan–kerajaan di Lombok timur dan Lombok tengah.
Mayoritas etnis sasak beragama Islam, namun demikian dalam kenyataanya pengaruh Islam juga berakulturasi dengan kepercayaan lokal sehingga terbentuk aliran seperti waktu telu, jika dianalogikan seperti abangan di Jawa. Pada saat ini keberadaan waktu telu sudah tidak kurang mendapat tempat karena tidak sesuai dengan syariat Islam. Pengaruh Islam yang kuat menggeser kekuasaan Hindu di pulau Lombok, hingga saat ini dapat dilihat keberadaannya hanya di bagian barat pulau Lombok saja khususnya di kota Mataram.
Silih bergantinya penguasaan di Pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya lain membawa dampak semakin kaya dan beragamnya khasanah kebudayaan sasak. Sebagai bentuk dari Pertemuan(difusi, akulturasi, inkulturasi) kebudayaan. Seperti dalam hal Kesenian, bentuk kesenian di lombok sangat beragam.Kesenian asli dan pendatang saling melengakapi sehingga tercipta genre-genre baru. Pengaruh yang paling terasa berakulturasi dengan kesenian lokal yaitu kesenian bali dan pengaruh kebudayaan islam. Keduanya membawa Kontribusi yang besar terhadap perkembangan ksenian-kesenian yang ada di Lombok hingga saat ini. Implementasi dari pertemuan kebudayaan dalam bidang kesenian yaitu, Yang merupakan pengaruh Bali ; Kesenian Cepung, cupak gerantang, Tari jangger, Gamelan Thokol, dan yang merupakan pengaru Islam yaitu Kesenian Rudad, Cilokaq, Wayang Sasak, Gamelan Rebana. 

B)     Wujud Nyata Multikulturalisme di Kehidupan Suku Sasak
o       Berdasarkan Ras
Ras adalah sekelompok bangsa yang didasarkan pada ciri-ciri fisik seperti tinggi badan,warna kulit, warna rambut , bentuk rambut, dan lain-lain. Masyarakat Suku Sasak yang tinggal di Pulau Lombok, merupakan berasal dari ras Melayu Tua ( Proto Melayu) .
Ras Melayu Tua (Proto Melayu) memiliki kulit sawo matang, bertubuh tidak terlalu tinggi, dan berambut lurus.Ras ini berasal dari Tionghoa bagian Selatan (Yunan).
o       Berdasarkan Bahasa
Disamping Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional , Penduduk Pulau Lombok ( terutama Suku Sasak ) menggunakan Bahasa Sasak sebagai bahasa utama dalkam percakapan sehari-hari.
Bahasa Sasak dapat dijumpai dalam empat macam dialek yang berebeda yakni dialek Lombok Utara, Tengah, Timur Laut, dan Tenggara. Selain itu dengan banyaknya penduduk Suku Bali yang berdiam di Lombok terutama di Lombok Barat dan Kota Madya Mataram dapat dijumpai perkampungan yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa percakapan Sehari-hari .
o       Berdasarkan Agama
Sebagian besar penduduk pulau Lombok terutama suku Sasak menganut agama Islam. Agama kedua terbesar yang dianut di pulau ini adalah agama Hindu, yang dipeluk oleh para penduduk keturunan Bali yang berjumlah sekitar 15% dari seluruh populasi di sana. Penganut Kristen, Buddha dan agama lainnya juga dapat dijumpai, dan terutama dipeluk oleh para pendatang dari berbagai suku dan etnis yang bermukim di pulau ini.
Di Kabupaten Lombok Utara, tepatnya di daerah Bayan, terutama di kalangan mereka yang berusia lanjut, masih dapat dijumpai para penganut aliran Islam Wetu Telu (waktu tiga). Tidak seperti umumnya penganut ajaran Islam yang melakukan salat lima kali dalam sehari, para penganut ajaran ini mempraktikan salat wajib hanya pada tiga waktu saja. Konon hal ini terjadi karena penyebar Islam saat itu mengajarkan Islam secara bertahap dan karena suatu hal tidak sempat menyempurnakan dakwahnya.
Suku Sasak bersandar pada Sa'sa' Loombo", sebagai sesuatu yang diyakini, dimana hal ini berpengaruh positif dalam hidup dan kehidupannya. Hal ini bisa kita saksikan dalam sikap-sikap dalam kehidupannya, yaitu, penyerahan diri kepada Tuhan (Tauhid), taat kepada Tuhan, taat kepada pemerintah dan taat kepada orang tua.
Suku Sasak sangat memegang teguh apa yang diajarkan sebelumnya, misalnya, penyebaran agama Islam pada awal masuknya di Pulau Lombok, yang sholat hanya para mubalig, karena begitu taatnya mereka pada guru yang mengajarkannya, mereka akan terus melakukan apa yang diajarkan dari guru pertamanya tersebut, hal ini bisa disaksikan pada masyarakat yang dinamakan "Islam Waktu Telu".
Suku Sasak sangat taat kepada orang tuanya (ibu bapak atau orang yang lebih tua), jika orang tua telah memiliki pendapat atau saran, maka yang lainnya harus ikut pada pendapat atau saran tersebut. Kejujuran dan kesederhanaan, mereka menganggap bahwa orang yang lebih tua, patut untuk dihormati, dan mereka tidak akan membohonginya, inilah yang menjadi dasar bagi masyarakat Waktu Telu pada masa transisinya, bahwa untuk menjalankan syari'at agama, lebih banyak diserahkan kepada kyai dan pemangkunya.
Orang Sasak sangat taat dalam menjalankan ajaran agamanya, adanya ajaran taat kepada Tuhan, taat kepada Rasul, dan taat kepada pemerintah, merupakan ajaran yang harus dijalankan secara murni dan apa adanya. Ini jugalah yang merupakan salah satu titik lemah dari masyarakat Sasak, yang menyerahkan bulat-bulat semua persoalannya kepada pemimpinnya. Kalaupun ada yang kemudian ternyata menipunya, mereka juga tidak akan memberikan reaksi yang berlebihan, mereka hanya akan menggerutu dalam Bahasa Sasak, "ia penje ia penjahit, ia pete ia dait, bagus pete bagus tedait, lenge pete lenge tedait".
o       Berdasarkan Gender
Dalam masyarakat Lombok, walaupun hanya sebagian saja masih menganut sistem patriarki. Sistem patriarki adalah sistem yang lebih mengakui kekuasaan laki-laki, sehingga perempuan dinomorduakan.
Dalam suku Sasak sistem patriarki pun juga berlaku. Sehingga para perempuan hanya bisa mengurus keluarganya saja, tanpa bisa berkarir. Pekerjaan mereka hanya memasak, dan membuat kain tenunan yang menjadi penghasilan dari mereka, untuk membantu keuangan keluarga.

C)    Wujud Kebudayaan Multikulturalisme yang tercipta dalam kehidupan Suku Sasak
Hingga saat ini di Lombok yang terkenal suku Sasaknya terdapat berbagai macam budaya daerah, yang merupakan hasil dari akulturasi dengan berbagai macam budaya dari daerah lain memang perlu untuk dilestarikan sebagai peninggalan nenek moyang. Kebudayaan Sasak bukan hanya milik Lombok, melainkan sudah termasuk ke dalam kebudayaan Indonesia. Berikut adalah beberapa kebudayaan yang masih berkembang di suku Sasak.

a.      Bau Nyale
Bau Nyale adalah sebuah legenda dan bernilai sakral tinggi bagi suku Sasak. Tradisi ini diawali oleh kisah seorang putri Raja Tonjang Baru yang sangat cantik bernama Putri Mandalika. Karena kecantikannya itu, para putra raja memperebutkan untuk meminangnya. Jika salah satu putra raja ditolak pinangannya, maka akan timbul peperangan. Sang Putri Mandalika mengambil keputusan: pada tanggal 20 bulan kesepuluh ia menceburkan diri ke laut lepas. Dipercaya oleh masyarakat hingga kini bahwa Nyale adalah jelmaan dari Putri Mandalika. Nyale adalah sejenis binatang laut berkembang biak dengan bertelur, perkelaminan antara jantan dan betina. Upacara ini diadakan setahun sekali. Bagi masyarakat Sasak,nyale dipergunakan untuk bermacam-macam keperluan seperti santapan (emping nyale), ditaburkan ke sawah untuk kesuburan padi, lauk-pauk, obat kuat, dan lainnya yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.

b.      Slober
Kesenian slober alat musik tradisional Lombok yang tergolong cukup tua. Alat-alat musiknya sangat unik dan sederhana yng terbuat dari pelepah enau dengan panjang 1 jengkal dan lebar 3 cm. Kesenian slober didukung juga dengan peralatan yang lainnya yaitu gendang, petuq, rincik, gambus, seruling. Namaslober diambil dari salah seorang warga desa Pengadangan Kecamatan Pringgasela yang bernama Amaq Asih alias Amaq Slober. Kesenian ini salah satu kesenian yang masih eksis sampai saat ini yang biasanya dimainkan pada setiap bulan purnama.

c.       Lomba Memaos
Lomba Memaos atau lomba membaca lontar merupakan lomba menceritakan hikayat kerajaan masa lampau. Satu kelompok pepaos terdiri dari 3-4 orang: satu orang sebagai pembaca, satu orang sebagai pejangga, dan satu orang sebagai pendukung vokal. Tujuan pembacaan cerita ini untuk mengetahui kebudayaan masa lampau dan menanamkan nilai-nilai budaya pada generasi penerus.

d.      Periseian
Periseian adalah kesenian beladiri yang sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno di Lombok. Awalnya adalah semacam latihan pedang dan perisai sebelum berangkat ke medan pertempuran. Pada perkembangannya hingga kini, senjata yang dipakai berupa sebilah rotan dengan lapisan aspal dan pecahan kaca yang dihaluskan, sedangkan perisai (ende) terbuat dari kulit lembu atau kerbau. Setiap pemain atau pepadu dilengkapi dengan ikat kepala dan kain panjang. Kesenian ini tak lepas dari upacara ritual dan musik yang membangkitkan semangat untuk berperang. Pertandingan akan dihentikan jika salah satu pepadu mengeluarkan darah atau dihentikan oleh juri. Walau perkelahian cukup seru bahkan tak jarang terjadi cidera hingga mengucurkan darah di dalam arena., tetapi di luar arena para pepadumenjunjung tinggi sportifitas dan tidak ada dendam di antara mereka. Inilah pepadu Sasak. Festival periseian diadakan setiap tahun di Kabupaten Lombok Timur dan diikuti oleh pepadu sepulau Lombok.

e.      Begasingan
Begasingan merupakan salah satu permainan yang memunyai unsur seni dan olahraga, permainan yang tergolong cukup tua di masyarakat Sasak. Begasingan ini sendiri berasal dari dua suku kata Bahasa Sasak Lombok, yaitu gang dan sing; gang artinya “lokasi”, sing artinya “suara”. Seni tradisional ini mencerminkan nuansa kemasyarakatan yang tetap berpegangan kepada petunjuk dan aturan yang berlaku di tempat permainan itu. Nilai-nilai yang berkembang di dalamnya selalu mengedepankan rasa saling menghormati dan rasa kebersamaan yang cukup kuat serta utuh dalam melaksanakan suatu tujuan di mana selalu menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Permainan ini biasanya dilakukan semua kelompok umur dan jumlah pemain tergantung kesepakatan kedua belah pihak di lapangan.

f.        Gendang Beleq
Gendang Beleq merupakan pertunjukan ensembel di mana alat perkusi gendang besar memainkan peran utamanya. Ada dua buah jenis gendang beleq, yaitu gendang mama (laki-laki) dan gendang nina (perempuan), berfungsi sebagai pembawa dinamika. Sebuah gendang kodeq (gendang kecil), dua buah reog sebagai pembawa melodi (yang satu reog mama, terdiri atas dua nada; dan reog nina, yakni perembak beleq yang berfungsi sebagai alat ritmis), delapan buah perembak kodeq (paling sedikit enam buah dan paling banyak sepuluh, berfungsi sebagai alat ritmis), sebuah petuk sebagai alat ritmis, sebuah gong besar sebagai alat ritmis, sebuah gong penyentak sebagai alat ritmis, sebuah gong oncersebagai alat ritmis, dan dua buah bendera maerah atau kuning yang disebut lelontek.
Menurut cerita, gendang beleq dulu dimainkan bila ada pesta-pesta kerajaan. Bila terjadi perang berfungsi ia sebagai komandan perang, sedang copek sebagai prajuritnya. Bila datu (raja) ikut berperang, maka payung agung akan digunakan. Sekarang, fungsi payung ini ditiru dalam upacara perkawinan.
Gendang Beleq dapat dimainkan sambil berjalan atau duduk. Komposisi musiknya bila dilakukan dalam keadaan berjalan maka memunyai aturan tertentu; berbeda dengan posisi duduk yang tidak memunyai aturan. Pada waktu dimainkan, pembawa gendang beleq akan memainkannya sambil menari, demikian juga pembawa petuk, copek, dan lelontok.

D)    Struktur Masyarakat Suku Sasak
Masyarakat Sasak dipandang sebagai penduduk asli Pulau Lombok. Mereka mengenal suatu pelapisan atau penggolongan masyarakat. Secara sosial-politik, masyarakat Sasak dapat digolongkan ke dalam dua tingkatan utama, yaitu golongan bangsawan yang lazim disebut perwangsa dan golongan masyarakat kebanyakan yang disebut jajar karang atau bangsa Ama. Golongan perwangsa terbagi atas dua tingkatan, yaitu bangsawan penguasa dan bangsawan rendahan. Para bangsawan penguasa atau perwangsa menggunakan gelar datu. Penyebutan untuk kaum laki-laki golongan ini adalah raden dan perempuan bangsawannya dipanggil denda. Jika kelompok raden telah mencapai usia cukup dewasa dan ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayahnya, mereka berhak memakai gelar datu. Perubahan gelar itu dilakukan setelah melalui upacara tertentu.

Bangsawan rendahan atau triwangsa menggunakan gelar lalu untuk para lelaki dan baiq untuk para perempuan. Tingkatan terakhir disebut jajar karang, panggilan untuk laki-laki adalah loq dan perempuannya adalah le. Golongan pertama dan kedua lazim disebut permenak. Sesuai dengan statusnya, golongan permenak di samping lebih tinggi daripada jajar karang, merupakan penguasa sekaligus pemilik sumber daya lahan pertanian yang luas. Ketika dinasti Karangasem Bali berkuasa di Lombok, golongan permenak hanya menduduki jabatan sebagai pembekel di daerah berpenduduk Sasak. Masyarakat Sasak memberikan penghormatan kepada golongan permenak berdasarkan ikatan tradisi turun-temurun dan berdasarkan ikatan budaya Islam. Landasan pelapisan sosial masyarakat Sasak mengikuti garis keturunan lelaki (patrilineal).

Dalam alam kepercayaan, masyarakat Lombok mengenal tiga kelompok agama yang dianut oleh kalangan orang Sasak, yaitu kelompok Boda, Waktu Telu, dan Islam. Kelompok Boda dalam bentuk komunitas kecil berdiam di pegunungan utara dan di jajaran lembah pegunungan selatan Lombok. Kelompok Boda adalah orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut kepercayaan menyembah berhala. Mereka menyingkir ke daerah pegunungan dalam upaya melepaskan diri atau menghindari islamisasi di Lombok. Nama Waktu Telu diberikan kepada penganut kepercayaan yang beribadah tiga kali pada bulan puasa, yaitu sembahyang magrib, isya, dan subuh. Di luar bulan puasa, mereka dalam seminggu hanya sekali melakukan ibadah, yaitu pada hari Kamis dan Jumat, saat waktu asar. Urusan ibadah salat dan puasa diserahkan kepada pemimpin agama mereka, yaitu para kiai dan penghulu. Pada hari-hari tertentu penduduk memberi sedekah kepada pemimpin agamanya. Mereka hanya menunaikan tugas yang diberikan oleh para kiai. Semua kiai Waktu Telu tidak melaksanakan zakat dan naik haji. Daerah-daerah penganut Waktu Telu meliputi Bayan dan Tanjung di Lombok Barat, dataran tinggi Sembalun dan Suranadi di Lombok Timur, dan Pujut di Lombok Tengah.

Hubungan kekerabatan masyarakat Sasak walau terkesan bilateral, lebih menganut pola patrilineal. Pola kekerabatan itu disebut Wiring Kadang yang mengatur hak dan kewajiban warga. Unsur-unsur kekerabatan itu meliputi ayah, kakek, saudara laki-laki ayah (paman), anak lelaki saudara lelaki ayah (sepupu), dan anak-anak mereka. Warga kelompok Wiring Kadang mengemban tanggung jawab terhadap masalah keluarga, yang terutama terlihat pada saat persiapan penikahan salah seorang anggota kerabat. Masalah warisan dan pengaturannya menjadi hak mereka. Harta warisan biasanya disebut pustaka yang mengandung nilai-nilai luhur dan berbentuk seperti tanah, rumah, dan benda-benda lainnya yang dianggap keramat. Benda-benda keramat itu, antara lain, berupa pakaian, keris, dan permata. Orang-orang Bali di Lombok juga memiliki pola kekerabatan yang serupa dan disebut purusa. Garis keturunan mereka berdasarkan pada garis ayah. Seperti pada masyarakat Sasak, pola pewarisan mereka disebut pusaka.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, kehidupan masyarakat Sasak lebih banyak mengemban kewajiban terhadap kekuasaan kerajaan. Walau di sejumlah desa, seperti Praya dan Sakra, memiliki hak perdikan, yaitu bebas dari pungutan pajak. Namun, kewajiban apati getih, yaitu ikut serta dalam peperangan kerajaan tetap harus dipenuhi. Kerajaan memberikan hak itu berkenaan dengan jasa mereka yang telah membantu dalam memenangkan peperangan. Kehidupan petani pada umumnya selalu berada di bawah “penindasan” para bangsawan dan pejabat kerajaan. Banyak lahan pertanian mereka yang diambil alih oleh raja melalui hak sita komunal sebelumnya. Banyak tanah yang tidak memiliki ahli waris menjadi milik kerajaan. Selain itu, tuntutan kerja wajib menjadikan para bangsawan tidak jarang secara sewenang-wenang mengambil putra-putri mereka untuk menjadi pekerja dan pelayan. Padahal di lahan pertanian para petani sangat membutuhkan tenaga putra-putri mereka. Para petani menjual hasil pertanian kepada para pedagang di bawah syahbandar dan sebaliknya mereka memperoleh barang kebutuhan lainnya dari jalur perdagangan itu pula. Kekuasaan kerajaan sangat memengaruhi kehidupan masyarakat perdesaan.

E)     * Masalah Yang Pernah Muncul dalam kehidupan multikultural masyarakat Sasak 
Konflik akibat munculnya keberagaman, pernah terjadi pada kehidupan Suku Sasak lewat Tragedi perbedaan paham warga tentang ajaran Islam. Bermula pada sebuah upacara pemakaman meninggalnya seorang warga Sasak muslim Desa Dopang Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat NTB. Dalam prosesi pemakaman tersebut, seorang tuan guru (sebuah istilah yang lebih familiar pada masyarakat Lombok, Kyai di Jawa) kemudian membacakan talqin untuk si mayit. Upacara pemakaman berjalan sebagaimana mestinya, namun usai acara seorang warga desa tersebut yang bernama Mashuri, menegur tindakan sang tuan guru kaitannya dengan talqinul mayyit. Menurut Mashuri –salah seorang penganut paham salafi– dalam Islam tidak dibenarkan adanya talqinul mayyit saat pemakaman, yang ada hanya ketika seorang muslim hendak meninggal dunia atau saat-saat kritis menjelang maut, atau sakaratul maut.
Melihat kejadian tersebut, warga Desa Dopang kemudian meminta agar Mashuri segera meminta maaf atas tidakannya. Secara sosio kultural, permintaan masyarakat tersebut sangat beralasan. Sebab, sosok tuan guru menjadi suat posisi yang sangat sakral dan dimuliakan. Sehingga ketika terjadi hal sepele seperti di atas, tetap saja melahirkan respon besar dari pengikut sang tuan guru. Dampaknya pun semakin meluas, yang semula hanya bersumber di Desa Dopang, kemudian merebak ke berbagai desa tetangga, salah satunya adalah Desa Sesela, yang sekaligus pusat salafi di Kecamatan Gunungsari.
Dalam kasus salafi di desa Sesela, konteks pendukung konflik adalah pola pemukiman yang terpisah dari masyarakat sekitar dan pemisahan ajaran agama dari ajaran agama yang biasanya dilakukan oleh masyarakat setempat. Para pengikut salafi secara terang-terangan menunjukkan jati diri mereka dengan identitas dan ciri khas yang sangat berbeda dengan masyarakat setempat. Melihat fenomena tersebut, masyarakat yang mayoritas awam, hanya mempercayai sosok tuan guru pun merasa terganggu. Sebagai imbasnya, masyarakat tidak bisa menerima kehadiran paham salafi dengan perbedaan pendapat dalam masalah fiqih.
* Alternatif Solusinya :
Konflik, apapun dan dimanapun terjadi selalu menimbulkan dampak, entah negatif ataupun positif. Kebanyakan konflik memang menimbulkan dampak negatif jika dilihat dari tinjauan sosial ekonomi, sebab hanya akan mewariskan kerugian dari sudut finansial semata. Tetapi, terkadang konflik juga dapat memberikan dampak positif jika dilihat dari sudut sosio-kultural. Pasca konflik, masyarakat akan dapat mengambil teladan yang akan dijadikan pijakan untuk selanjutnya melangkah membenahi akar konflik terdahulu.
Dalam kasus salafi di Desa Sesela, secara finansial ekonomi memang telah meninggalkan kerugian yang cukup signifikan. Namun secara sosio-kultural, masyarakat dapat mengambil suatu hikmah mendasar tentang indahnya hidup dalam perbedaan, khususnya perbedaan paham (baca: madzhab). Perbedaan paham tentang suatu ajaran agama, lebih-lebih dalam satu agama mesti diarifi dengan bijaksana, sebab madzhab boleh saja berbeda, tetapi substansinya serupa dan memiliki tujuan yang sama
Namun, seberapa besar atau kecil dampak yang ditimbulkan oleh sebuah konflik, tetap saja akan mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat dimana konflik berlangsung. Sehingga, peran mediasi menjadi sebuah alternatif problem solver. Mediasi bisa saja diperankan oleh masyarakat setempat, namun disangsikan netralitasnya sebagai mediator. Sehingga, peran beberapa lembaga di luar komunitas yang berkonflik menjadi pilihan strategis. Mediasi ini bisa diperankan oleh pemerintah dalam hal ini MUI, lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun sejauh ini masih belum ditemukan LSM yang concern di lahan tersebut. Begitupula dengan peran ulama sebagai corong pemersatu umat. Peran mereka mesti diperankan lebih aktif lagi untuk memberikan pemahaman agama secara sosiologis-teologis. Sebab tidak menutup kemungkinan, ulama atau tuan guru dalam masyarakat Sasak (suku Pulau Lombok), akan menjadi sumber konflik jika tidak pintar dalam mengemas ajaran agama dalam bentuk yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa harus mengklaim salah satu golongan dengan golongan yang lain, satu madzhab dengan madzhab yang lain.

Daftar Pustaka

Melalatoa, M.Junus. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia . Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1975.
Hidayah, Zulyani. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia.1990
Rudini. Nusa Tenggara Barat. Jakarta : Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara.1992 http://www.lomboktravel.com/indonesia/informasi_sejarah_pulau_lombok.htm
literature.melayuonline.com
www..org/.../.../165-atraksi-budaya--.html 




Wednesday, June 5, 2013

                            

                                               SELAMAT HARI ISRA MIRAJ 2013 

Monday, June 3, 2013

nguri-nguri budaya Semarangan

Budaya "Semarangan" Perlu Dilestarikan


                                 



SEMARANG, KOMPAS.com — Budaya "Semarangan" perlu dilestarikan dan dipopulerkan agar lebih dikenal secara luas, tidak hanya di kalangan masyarakat Semarang.
Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Tim Penggerak (TP) Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Semarang, Ny Sinto Sukawi, seusai membuka acara "Gebyar Pengantin Semarangan Tradisional" di Hotel Santika Premiere Semarang, Jumat.
"Selama ini, budaya Semarangan masih kalah populer dibandingkan dengan kebudayaan tradisional Solo dan Yogyakarta," kata istri Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip tersebut.
Bahkan, katanya, masyarakat Semarang sendiri masih banyak yang belum mengenal budaya yang dimiliki oleh kotanya.
Padahal, ia mengatakan, budaya Semarangan merupakan kebudayaan yang cukup unik karena merupakan gabungan dari beberapa kebudayaan, yaitu kebudayaan China, Jawa, dan Islam.
Ia menyebutkan, bentuk-bentuk kebudayaan tradisional khas Semarang di antaranya adalah batik Semarangan, pakaian adat Semarang, prosesi perkawinan khas Semarang, termasuk makanan khas Semarang.
Menurut dia, pakaian adat Semarang juga dapat dimodifikasi sesuai keinginan calon pengantin agar lebih menarik. "Namun, sebaiknya tidak melanggar pakem pakaian adat khas Semarang," katanya.
Ia mengharapkan, lewat penyelenggaraan acara tersebut dapat membantu memperkenalkan dan memopulerkan kebudayaan khas yang dimiliki Semarang.
"Sehingga, masyarakat Semarang tidak lagi sungkan dan malu menggunakan aset budaya yang dimiliki oleh Semarang dalam penyelenggaraan prosesi perkawinan," katanya.
General Manager (GM) Hotel Santika Premiere, Andhy Irawan, mengatakan, acara tersebut merupakan salah satu cara untuk mengangkat citra Kota Semarang di tingkat nasional.
"Lebih jauh, acara ini dapat dijadikan alternatif bagi pasangan pengantin untuk memilih budaya Semarangan sebagai sarana dalam menyelenggarakan prosesi perkawinan," katanya.
Ia mengatakan, acara ini akan berlangsung mulai hari ini (22/5) sampai Minggu (24/5). "Kami berharap masyarakat tidak lagi hanya berkiblat pada budaya Solo dan Yogyakarta dalam penyelenggaraan prosesi perkawinan, sebab Semarang juga memiliki potensi yang tidak kalah dari mereka," katanya.

                                      
                WAYAHE NGURI-NGURI KABUDAYAN SEMARANGAN NDA...........



Ada rumah setan di Semarang ??

Tempat Angker Dan Misteri Rumah Setan Semarang



Tempat Angker Dan Misteri Suster Ngesot Rumah Setan Semarang

Tempat Angker Dan Misteri Suster Ngesot Rumah Setan Semarang - Rumah setan, sebutan ini muncul di lingkungan Gedong Setan Pendrian 1910-an Vrijmetselaars-loge yang merupakan loji (club house) untuk perkumpulan masoneri (vrijmetselar). Perkumpulan vrijmetselar ini adalah perkumpulan yang paling tertutup terbesar di seluruh dunia, bertujuan mengangkat derajat rohani, kesusilaan, setia-kawan dan berdasarkan cita-cita humanisme ketuhanan.
Awalnya, loji di Semarang yang didirikan pada tahun 1801 ini punya nama Prancis "La Constance et Fid'le" (Ketangguhan dan Kesetiaan). Terletak  dekat stasiun Poncol di perempatan Pendrian (sekarang bernama Jl Imam Bonjol) dengan Karangtengah (Jl Kapten Tendean).  Disebut "Rumah Setan" atau Gedong Setanâ oleh masyarakat sekitar Semarang karena pada saat itu loji ini suasananya angker dan agak gelap di malam hari. Gedung itu dulu sejarahnya memang dipergunakan oleh kelompok penganut aliran kebatinan.
Menurut masyarakat Pendrian yang kini berubah nama menjadi Pindrikan, pada masa pendudukan jepang perkumpulan masoneri ini dilarang. Pasca-Indonesia merdeka, gedung berubah fungsi menjadi Kantor Kejaksaan Negeri Semarang. Setyo Rini, salah seorang warga Pindrikan menyatakan banyak cerita horor yang didengarnya dari beberapa orangtua dan sesepuh kampung. Mulai dari cerita suster ngesot, hantu toilet, hantu kuda, hantu tentara baris, sampai hantu mesin ketik.
"Ayah saya kebetulan teman dari seorang saksi mata yaitu almarhum Pak Kasbi yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih di gedung itu. Banyak penampakan dan cerita horor di sana," ugkap Setyo Rini saat ditemui merdeka.com, Sabtu (23/6).

Termasuk cerita tentang arwah penasaran seorang Suster Kesot yang tinggal di gedung. Konon hantu suster ngesot ini muncul setelah ada seorang suster dibantai oleh tentara Jepang. Lalu dia diperkosa dan kaki sama tangannya dikapak oleh serdadu Jepang. Kemudian cerita tentang toilet di gedung, saat orang masuk toilet, tiba-tiba terdengar suara orang kencing atau batuk-batuk di dalam toilet. Namun, setelah ditunggu lama tak ada satupun orang yang keluar dari toilet. Kemudian saat diketuk pintunya tidak ada satu orang pun di dalam toilet itu.
"Kalau hantu mesin ketik biasanya terjadi di malam hari. Tidak ada karyawan kejaksaan atau pegawai yang lembur. Ruangan yang terdengar suara mesin ketik itu lampunya menyala. Ketika dicek, ternyata kosong tidak ada orang sama sekali dan ruangan terkunci," ungkap Setyo Rini menceritakan cerita ayahnya.

Gedong Setan yang memiliki bangunan bergaya arsitektur neo-klasik dibongkar pada tahun 1976. Saat ini, tempat itu menjadi rumah toko dan pemukiman penduduk warga Pindrikan Lor, Semarang.
Memang masih ada bekas tembok runtuh dan sisa bangunan rumah setan atau loji. Namun, kesan seram dan angker sudah tidak ada lagi di perempatan yang dulu sering terjadi kecelakaan itu. Lain lagi pernyataan Ibu Musfiah, warga yang tinggal di Pindrikan Lor mempunyai warung tepat berada di belakang loji atau rumah setan itu. Dirinya merasa yakin dan percaya sampai saat ini setan-setan yang menempati loji walau pun bangunannya sudah tidak ada tetapi arwah setan itu masih gentayangan.
"Belum ada sebulan kemarin seorang bocah berumur 3,5 tahun. Dicari-cari orangtuanya berhari-hari ternyata disembunyikan dalam mobil di bengkel yang merupakan bekas bagian bangunan deretan loji. Setelah ditanyai anak itu katanya diajak main sama teman yang diduga hantu anak-anak dari bekas rumah setan itu," ungkapnya.

Warga Prindikan lainnya, Sasonggo (51) yang menempati rumah panggung yang merupakan rumah sejarah peninggalan Perusahaan Kereta Api (Perumka) kiniPT KAI punya cerita lain. Gedung setan itu diubah fungsinya sebagai kantor kejaksaan supaya tidak dibuat bermain-main dan dimasuki oleh anak-anak dan orang sekitar kampung maka dihembuskanlah berbagai cerita horor.
"Apalagi kejaksaan kan tempatnya orang-orang nahan penjahat sama menyita mobil, sepeda motor dan barang-barang berharga. Supaya tidak ada orang luar masuk. Apalagi karyawanya rata-rata orang Belanda maka dihembuskanlah cerita misteri dan horor untuk nakut-nakuti dan berhasil," ungkap Sasongko yang juga Ketua RT.05 RW III Kota Semarang.

Sumber : Merdeka.com
Foto : jateng.multiply.com