Saturday, June 1, 2013

Ngesti Pandowo....antara hidup dan mati


                                  Wayang Orang Ngesti Pandowo, Ikon Budaya Kota Semarang yang Terlupakan


Wayang Orang Ngesti Pandowo, Ikon Budaya Kota Semarang yang Terlupakan 

Seperti api yang tak pernah padam. Mungkin ungkapan itulah yang tepat menggambarkan semangat pria setengah baya yang berdiri di hadapan kami. Dialah Cicuk Sastrosoedirjo, generasi penerus wayang orang Ngesti Pandowo,sebuah kelompok kesenian wayang orang yang menjadi ikon kota semarang dan pernah begitu terkenal di masanya.Suasana di belakang panggung hiruk pikuk pagi itu.Beberapa penari lalu lalang dengan kostum khas tokoh pewayangan.Pak cicuk,begitu kami memanggilnya,tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal sebelum pertunjukkan di gelar.”Sebentar ya? ,saya cek alat-alat dulu”,sapanya ramah ketika kami datang.Kami pun mengiyakan lalu beranjak ke sebuah warung di tepi gedung.Dari sanalah nanti akan mengalir cerita tentang perjalanan dan perjuangan Ngesti Pandowo dalam menghidupkan kesenian wayang orang yang telah hadir sejak 73 tahun silam.Perjalanan yang panjang dan tidak mudah,tentu saja.
Berdirinya Wayang Orang Ngesti Pandowo
Ngesti Pandowo dibentuk pada 1 Juli 1937 atas gagasan lima tokoh pendirinya yaitu Sastro Sabdo,Darso Sabdo,Narto Sabdo,Sastrosoedirjo dan Kusni.Berangkat dari niat untuk menyediakan ruang bagi publik dalam menikmati kesenian wayang orang, kemudian didirikanlah Ngesti Pandowo yang merupakan suatu wadah apresiasi para penggiat kesenian asli Jawa timur ini.Berawal dari niat itu pula,maka dimulailah perjalanan Ngesti dari satu panggung ke panggung lain.Dengan ukuran tonil (panggung-red) yang masih kecil dan kelir 7 ban per meter,Ngesti pentas dari pasar ke pasar.Dalam setiap pertunjukkan Ngesti Pandowo mengisahkan tentang cerita pewayangan seperti Hanoman,Baratayhuda,dan lain lain.Waktu itu,alat yang digunakan pun masih terbilang sederhana.Hanya ada beberapa busana dan gamelan sewaan.
Namun semangat Ngesti dalam memperkenalkan budaya wayang orang kepada masyarakat luastidaklah sia-sia.Masyarakat yang tadinya awam soal kesenian ini menjadi tertarik untuk menonton dan mempelajarinya lebih dalam.Bahkan muncul istilah pandhemen,sebutan bagi orang orang yang menggemari dan mencintai pertunjukkan wayang. Para Pandhemen ini tidak hanya berasal dari daerah Jawa Timur saja. Dalam hitungan tahun,Ngesti Pandowo menjadi kelompok wayang orang yang digemari masyarakat dan cukup terkenal di berbagai daerah.
Puncak kejayaaan Ngesti terjadi pada era 60-an.Ketika itu,Ngesti hijrah ke Semarang dan melakukan pertunjukkan tetap disana.Uniknya Ngesti Pandowo justru dibentuk di Madiun,bukan di Semarang,kota yang menjadi tempat bernaungnya Ngesti Pandowo hingga saat ini.”Memang kami asli dari Madiun.Pada awal didirikan, kami pentas menggunakan sistem tobong,yaitu sistem pertunjukkan keliling dari satu daerah ke daerah lain.Jadi tidak seperti sekarang,kami tidak pernah menetap di satu daerah” jelas pak Cicuk.
Tentang alasan mengapa akhirnya Ngesti Pandowo memutuskan untuk menetap di Semarang,pak Cicuk menjelaskan bahwa walikota Semarang sendiri yang meminta Ngesti Pandowo untuk menetap di Semarang.Ada permintaan langsung dari pak Hadisoebeno (walikota Semarang pada masa itu-red)”.Permintaan itu lalu disetujui oleh Ngesti Pandowo dengan syarat,pemerintah kota harus menyediakan tempat untuk latihan dan pementasan untuk keperluan pertunjukkan.Maka diberikanlah GRIS (Gedung Rakyat Indonesia Semarang) kepada Ngesti Pandowo.Sejak saat itu,Ngesti Pandowo menggelar pertunjukkan tetap di GRIS.Sebuah pertunjukkan yang ternyata mampu melambungkan nama Ngesti Pandowo dan menghantarkannya menjadi ikon kota Semarang.
Perjalanan Panjang Menuju Istana Negara
Seiring dengan kepindahannya ke Semarang,Ngesti Pandowo berubah dari sebuah kelompok wayang tobong ke kelompok wayang yang sangat digemari oleh berbagai kalangan.Bahkan para penggemar rela datang dari tempat yang jauh meski cuaca tidak bersahabat sekalipun .“Dulu meski hujan,penggemar tetap datang untuk menonton.Gedung belum dibuka,penonton sudah antri.Kalau tidak antri,tidak kebagian tempat”,ujar Pak Cicuk yang merupakan generasi ketiga penerus Ngesti Pandowo.
Kala itu,nama Ngesti Pandowo begitu terkenal sehingga sering muncul ungkapan yang mengatakan bahwa berkunjung ke Semarang belum lengkap rasanya jika tidak menonton pertunjukkan wayang ini.Penggemar Ngesti tidak hanya datang dari penduduk lokal,turis mancanegara juga ikut menikmati pentas yang disuguhkan,padahal cerita-cerita yang dikisahkan dalam pertunjukkan disampaikan menggunakan bahasa jawa.Namun kepiawaan Ngesti Pandowo dalam menyampaikan pesan yang terkandung dalam cerita melalui gerak dan tari yang indah dapat memukau siapa saja yang melihatnya.
Tak heran bila Presiden Soekarno juga menggemari pertunjukkan Ngesti Pandowo.Ngesti sempat beberapa kali diundang untuk bermain di istana.”Ya,itu adalah suatu pengalaman yang sangat berarti bagi kami.Bermain di istana merupakan penghargaan yang tidak ternilai,khususnya bagi para penari yang sempat diundang untuk makan bersama dengan pak Soekarno”,jelas pak Cicuk.Kegemaran Soekarno atas Ngesti Pandowo ditunjukkan dengan diberikannya piagam Wijaya Kusuma kepada Ngesti Pandowo pada tahun 1962.Bahkan piagam itu langsung ditulis sendiri oleh Presiden Soekarno,”itu merupakan apresiasi yang sungguh besar bagi kami”.
Kesulitan Ngesti Pandowo Menjawab Tantangan Zaman
Zaman berubah,kejayaan Ngesti Pandowo pun mulai memudar.Selera masyarakat mulai bergeser dari pertunjukan wayang ke film-film yang diputar di bioskop.Ekspansi budaya modern yang terus menggempur budaya tradisional menyebabkan antrian tidak lagi ramai,kursi penonton tidak lagi penuh seperti biasanya.Lambat namun pasti,Ngesti mulai ditinggalkan.Apalagi semenjak meninggalnya tokoh-tokoh pendiri Ngesti Pandowo seperti Sastrosoedirdjo dan Narto Sabdo pada tahun 1980-an,Ngesti seperti kehilangan ‘ruh’ dari pertunjukkannya.Kelompok wayang orang ini bak kehilangan panutan.
Yang terjadi sejak meninggalnya para tokoh pendiri itu adalah ketimpangan dalam tubuh Ngesti,yang berdampak pada kegagalan mereka dalam menangkap selera pasar”,ujar Haryono Rinanardi.Haryono Rinardi adalah dosen Fakultas Sejarah Universitas Diponegoro Semarang yang sempat mengadakan penelitian tentang manajemen seni pertunjukkan Ngesti Pandowo.Haryono berpendapat bahwa kemunduran Ngesti Pandowo diperparah dengan munculnya gaya hidup baru di masyarakat yang serba cepat dan instan.Globalisasi membuat masyarakat cenderung menyukai gaya hidup yang praktis dengan mobilitas yang cepat dan mudah.”Inilah yang membuat Ngesti kalah populer dibanding televisi atau bioskop.Untuk menonton televisi,masyarakat hanya perlu menekanremote tanpa perlu berpakaian rapi dan sebagainya.Tapi untuk menikmati pertunjukkan wayang yang disuguhkan Ngesti Pandowo,mereka harus keluar rumah,berdandan dan lain lain”.
Masalah kepraktisan sering kali menjadi hambatan bagi hampir seluruh kesenian tradisional yang ada.”Bukan hanya Ngesti Pandowo,hampir seluruh kesenian tradisional yang ada mengalami nasib yang sama jika tidak bisa menjawab tantangan ini”,tambah Haryono.

Masalah biaya memang menjadi kendala yang paling besar yang dihadapi Ngesti Pandowo saat ini.Apalagi semenjak mereka digusur dari GRIS pada tahun 1996,mereka tidak lagi memiliki tempat permanen untuk latihan dan pementasan sehingga biaya operasional pertunjukkan meningkat.Sementara ini mereka hanya dipinjami sebuah gedung di kompleks Taman Budaya Raden Saleh Semarang.Itupun hanya bisa dipakai 3 kali dalam seminggu yaitu hariKamis, Jum’at dan Sabtu.

1 comment:

Arie Sofyan R said...

Saya sebagai orang Semarang sangat mengharapkan hidupnya kembali kebudayaan kita tempo dulu, tapi ini tidak mudah tanpa adanya Campur tangan dari pemerintah daerah sendiri...