Wayang Orang Ngesti Pandowo, Ikon Budaya Kota Semarang yang Terlupakan
Seperti api yang tak pernah
padam. Mungkin ungkapan itulah yang tepat
menggambarkan semangat pria setengah baya yang berdiri di hadapan kami. Dialah
Cicuk Sastrosoedirjo, generasi penerus wayang orang Ngesti
Pandowo,sebuah kelompok kesenian wayang orang yang
menjadi ikon kota semarang dan pernah begitu terkenal di masanya.Suasana
di belakang panggung hiruk pikuk pagi itu.Beberapa
penari lalu lalang dengan kostum khas tokoh pewayangan.Pak
cicuk,begitu kami memanggilnya,tampak
sibuk mempersiapkan beberapa hal sebelum pertunjukkan di gelar.”Sebentar
ya? ,saya cek alat-alat
dulu”,sapanya ramah ketika kami datang.Kami
pun mengiyakan lalu beranjak ke sebuah warung di tepi gedung.Dari
sanalah nanti akan mengalir cerita tentang perjalanan dan perjuangan Ngesti
Pandowo dalam menghidupkan kesenian wayang orang yang telah hadir sejak 73
tahun silam.Perjalanan yang panjang dan tidak mudah,tentu
saja.
Berdirinya Wayang Orang Ngesti Pandowo
Ngesti
Pandowo dibentuk pada 1 Juli 1937 atas gagasan lima tokoh pendirinya yaitu
Sastro Sabdo,Darso Sabdo,Narto
Sabdo,Sastrosoedirjo dan Kusni.Berangkat
dari niat untuk menyediakan ruang bagi publik dalam menikmati kesenian wayang
orang, kemudian didirikanlah
Ngesti Pandowo yang merupakan suatu wadah apresiasi para penggiat kesenian asli
Jawa timur ini.Berawal dari niat itu pula,maka
dimulailah perjalanan Ngesti dari satu panggung ke panggung lain.Dengan
ukuran tonil (panggung-red)
yang masih kecil dan kelir 7 ban per meter,Ngesti
pentas dari pasar ke pasar.Dalam setiap pertunjukkan
Ngesti Pandowo mengisahkan tentang cerita pewayangan seperti Hanoman,Baratayhuda,dan
lain lain.Waktu itu,alat yang digunakan pun masih terbilang
sederhana.Hanya ada beberapa busana dan gamelan sewaan.
Namun
semangat Ngesti dalam memperkenalkan budaya wayang orang kepada masyarakat luastidaklah
sia-sia.Masyarakat
yang tadinya awam soal kesenian ini menjadi tertarik untuk menonton dan mempelajarinya lebih dalam.Bahkan
muncul istilah pandhemen,sebutan
bagi orang orang yang menggemari dan mencintai pertunjukkan wayang. Para Pandhemen ini tidak hanya berasal dari
daerah Jawa Timur saja. Dalam
hitungan tahun,Ngesti Pandowo menjadi kelompok wayang orang
yang digemari masyarakat dan cukup terkenal di berbagai daerah.
Puncak kejayaaan Ngesti terjadi pada era 60-an.Ketika
itu,Ngesti hijrah ke Semarang dan melakukan
pertunjukkan tetap disana.Uniknya Ngesti Pandowo
justru dibentuk di Madiun,bukan di Semarang,kota
yang menjadi tempat bernaungnya Ngesti Pandowo hingga saat ini.”Memang
kami asli dari Madiun.Pada awal didirikan, kami
pentas menggunakan sistem tobong,yaitu sistem pertunjukkan
keliling dari satu daerah ke daerah lain.Jadi
tidak seperti sekarang,kami tidak pernah menetap di
satu daerah” jelas pak Cicuk.
Tentang alasan mengapa akhirnya Ngesti
Pandowo memutuskan untuk menetap di Semarang,pak
Cicuk menjelaskan bahwa walikota Semarang sendiri yang meminta Ngesti Pandowo
untuk menetap di Semarang.”Ada
permintaan langsung dari pak Hadisoebeno (walikota Semarang pada masa itu-red)”.Permintaan
itu lalu disetujui oleh Ngesti Pandowo dengan syarat,pemerintah
kota harus menyediakan tempat untuk latihan dan pementasan untuk keperluan
pertunjukkan.Maka diberikanlah GRIS (Gedung Rakyat
Indonesia Semarang) kepada Ngesti Pandowo.Sejak
saat itu,Ngesti Pandowo menggelar pertunjukkan tetap
di GRIS.Sebuah pertunjukkan yang ternyata mampu
melambungkan nama Ngesti Pandowo dan menghantarkannya menjadi ikon kota Semarang.
Perjalanan Panjang
Menuju Istana Negara
Seiring dengan kepindahannya ke Semarang,Ngesti
Pandowo berubah dari sebuah kelompok wayang tobong ke kelompok wayang yang
sangat digemari oleh berbagai kalangan.Bahkan
para penggemar rela datang dari tempat yang jauh meski cuaca tidak bersahabat
sekalipun .“Dulu meski hujan,penggemar
tetap datang untuk menonton.Gedung belum dibuka,penonton
sudah antri.Kalau tidak antri,tidak
kebagian tempat”,ujar Pak Cicuk yang merupakan generasi
ketiga penerus Ngesti Pandowo.
Kala itu,nama
Ngesti Pandowo begitu terkenal sehingga sering muncul ungkapan yang mengatakan
bahwa berkunjung ke Semarang belum lengkap rasanya jika tidak menonton
pertunjukkan wayang ini.Penggemar Ngesti tidak hanya
datang dari penduduk lokal,turis mancanegara juga ikut
menikmati pentas yang disuguhkan,padahal cerita-cerita
yang dikisahkan dalam pertunjukkan disampaikan menggunakan bahasa jawa.Namun
kepiawaan Ngesti Pandowo dalam menyampaikan pesan yang terkandung dalam cerita
melalui gerak dan tari yang indah dapat memukau siapa saja yang melihatnya.
Tak heran bila Presiden Soekarno juga
menggemari pertunjukkan Ngesti Pandowo.Ngesti
sempat beberapa kali diundang untuk bermain di istana.”Ya,itu
adalah suatu pengalaman yang sangat berarti bagi kami.Bermain
di istana merupakan penghargaan yang tidak ternilai,khususnya
bagi para penari yang sempat diundang untuk makan bersama dengan pak Soekarno”,jelas
pak Cicuk.Kegemaran Soekarno atas Ngesti Pandowo
ditunjukkan dengan diberikannya piagam Wijaya Kusuma kepada Ngesti Pandowo pada
tahun 1962.Bahkan piagam itu langsung ditulis sendiri
oleh Presiden Soekarno,”itu merupakan apresiasi
yang sungguh besar bagi kami”.
Kesulitan
Ngesti Pandowo Menjawab Tantangan Zaman
Zaman berubah,kejayaan
Ngesti Pandowo pun mulai memudar.Selera masyarakat mulai
bergeser dari pertunjukan wayang ke film-film
yang diputar di bioskop.Ekspansi budaya modern yang
terus menggempur budaya tradisional menyebabkan antrian tidak lagi ramai,kursi
penonton tidak lagi penuh seperti biasanya.Lambat
namun pasti,Ngesti mulai ditinggalkan.Apalagi
semenjak meninggalnya tokoh-tokoh
pendiri Ngesti Pandowo seperti Sastrosoedirdjo dan Narto Sabdo pada tahun 1980-an,Ngesti
seperti kehilangan ‘ruh’ dari
pertunjukkannya.Kelompok wayang orang ini bak kehilangan
panutan.
”Yang
terjadi sejak meninggalnya para tokoh pendiri itu adalah ketimpangan dalam
tubuh Ngesti,yang berdampak pada kegagalan mereka dalam
menangkap selera pasar”,ujar Haryono Rinanardi.Haryono
Rinardi adalah dosen Fakultas Sejarah Universitas Diponegoro Semarang yang
sempat mengadakan penelitian tentang manajemen seni pertunjukkan Ngesti Pandowo.Haryono
berpendapat bahwa kemunduran Ngesti Pandowo diperparah dengan munculnya gaya
hidup baru di masyarakat yang serba cepat dan instan.Globalisasi
membuat masyarakat cenderung menyukai gaya hidup yang praktis dengan mobilitas
yang cepat dan mudah.”Inilah yang membuat Ngesti kalah populer
dibanding televisi atau bioskop.Untuk menonton televisi,masyarakat
hanya perlu menekanremote tanpa perlu berpakaian rapi dan
sebagainya.Tapi untuk menikmati pertunjukkan wayang
yang disuguhkan Ngesti Pandowo,mereka harus keluar rumah,berdandan
dan lain lain”.
Masalah kepraktisan sering kali menjadi
hambatan bagi hampir seluruh kesenian tradisional yang ada.”Bukan
hanya Ngesti Pandowo,hampir seluruh
kesenian tradisional yang ada mengalami nasib yang sama jika tidak bisa
menjawab tantangan ini”,tambah Haryono.
Masalah biaya memang menjadi
kendala yang paling besar yang dihadapi Ngesti Pandowo saat ini.Apalagi
semenjak mereka digusur dari GRIS pada tahun 1996,mereka
tidak lagi memiliki tempat permanen untuk latihan dan pementasan sehingga biaya
operasional pertunjukkan meningkat.Sementara ini mereka hanya
dipinjami sebuah gedung di kompleks Taman Budaya Raden Saleh Semarang.Itupun
hanya bisa dipakai 3 kali dalam seminggu yaitu hariKamis, Jum’at
dan Sabtu.
1 comment:
Saya sebagai orang Semarang sangat mengharapkan hidupnya kembali kebudayaan kita tempo dulu, tapi ini tidak mudah tanpa adanya Campur tangan dari pemerintah daerah sendiri...
Post a Comment