MEREVIEW
BUKU MENEMUI AJAL “ Etnografi Jawa Tentang Kematian”
KARYA
Y. TRI SUBAGYA
Oleh
: Sae Panggalih
NIM
: 3401411122
(
Mahasiswa Jurusan Sosiologi dan Antropologi UNNES )
PENDAHULUAN
ejatinya, dalam kehidupan manusia, fenomena
tentang kematian pasti akan dihadapi oleh semua insan penghuni dunia, tetapi di
balik semua fenomena tersebut, ternyata muncul berbagai macam hal menarik yang
layak untuk di bahas setelah Saya pribadi membaca buku ini, tentunya dalam
kesempatan kali ini, Saya tidak akan melakukan pembahasan secara mendalam
tentang fenomena ” kehidupan si jenazah
atau jasad yang telah meninggal di alam akhirat ” yang rasanya sangat tidak
mungkin untuk diulas secara lebih mendalam dikarenakan ” ibarat mendirikan benang yang basah” ( melakukan suatu hal yang tak
mungkin bisa dilakukan ), Melainkan yang akan menjadi topik-topik
pembahasan menarik di dalam review buku yang sangat fenomenal ini adalah akan
lebih berkutat kepada fenomena-fenomena sosial dan budaya yang terjadi di
tengah-tengah kehidupan masyarakat Komunitas perkampungan Jawa di dalam menyikapi
peristiwa kematian yang dialami oleh anggota masyarakatnya. Pembahasan tentang
fenomena ini, Saya rasa memang perlu untuk dilakukan dikarenakan selama ini,
sebagian besar masyarakat kita ( terutama
yang tinggal di kawasan pedesaan Jawa ) masih menyikapi secara tabu dan ora’ elok ( enggan ) untuk
memperbincangkan hal-hal yang berbau kematian di dalam kehidupannya , karena
bagi mereka nalika wis bedho donya,
urusanne para manungsa wis dhewe-dhewe, sing isih urip ngurusi amale
masing-masing sakdurunge ngadhep sing kuwasa, lan sing wis sedha utawa mati kudhu
siyap siyaga ditagih amal perbuatane karo Sing Kuwasa ” artinya Ketika sudah berbeda alam atau
dunia, urusan setiap insan manusia sudahlah sendiri-sendiri ( berbeda ) , bagi yang masih hidup
diwajibkan untuk memperbanyak amal perbuatannya sebelum tiba saatnya bagi si
manusia untuk menghadap Sang Khalik, dan bagi yang sudah meninggal harus
bersiap ditagih seluruh amal perbuatannya selama hidup di alam dunia oleh Tuhan
sang pencipta kehidupan setiap insan ”, dari penggalan kalimat petuah jawa diatas kita bisa mengetahui
bahwa seakan-akan masyarakat Jawa tradisional masih memberikan sekat yang
begitu rapat antara urusan manusia yang masih hidup dan manusia yang sudah
tiada, jadi pantang hukummnya bagi mereka untuk memperbincangkan hal-hal berbau
kematian secara berlebih-lebihan dan terbuka di hadapan publik. Padahal dalam
realitanya, kita dapat mengetahui sendiri bahwa setiap ada fenomena kematian di
masyarakatnya , justru penduduk dari kawasan desalah yang lebih peka dan peduli
di dalam memperlakukan jasad si Jenazah yang telah tiada secara istimewa dan
terkesan berlebih-lebihan , berbagai
macam acara di dalam memperingati fenomena kematian seseorang, mereka gelar secara
besar-besaran hingga melibatkan partisipasi seluruh warga desa ” mulai dari
tradisi peringatan sadranan, ganti
kidjing, bukak luwur ( untuk
beberapa makam tertentu ) , mitung dina
hingga perhelatan nyewu dina si Jenazah , bukankah dari tradisi-tradisi ini
lebih dapat menunjukkan bahwa sejatinya masyarakat dari wilayah desalah yang
sebenarnya lebih siap dan peka di dalam menyambut
fenomena menemui ajal ?..
A.
REFLEKSI SOSIAL ATAS KEMATIAN
elama ini, apabila berbicara mengenai
fenomena kematian seseorang , yang terbesit pertama kalinya di pikiran manusia
Indonesia kebanyakan adalah sebuah
rangkaian peristiwa atau fase paling menyedihkan yang terjadi pada diri
seseorang, baik itu dari pihak orang yang telah meninggal ( dikarenakan itu merupakan hari dimana Ia
sudah tidak bisa lagi berinteraksi untuk selamanya dengan anggota keluarganya
dan komunitas kesehariannya karena telah menjemput ajal ) dan dari pihak
keluarga yang telah ditinggalkan oleh Si Jenazah ( dikarenakan itu merupakan hari terakhir dimana seluruh anggota
keluarga yang masih hidup bisa bersua dan menatap wajah si calon penghuni kubur
sebelum Ia akan tidur di pembaringan abadinya untuk selama-lamanya ) .
Padahal dalam
realita yang ada , tidaklah semua fenomena kematian selalu berakhir dengan acara menangis semalam suntuk yang terkesan penuh kedukaan dan tradisi pingsan berjamaah dikarenakan
tidak kuat menanggung rasa kehilangan salah seorang anggota keluarga untuk
selamanya. Fenomena kematian tanpa rasa duka yang berlebihan dapat kita jumpai hampir
diseluruh komunitas masyarakat Jawa yang tinggal di lingkungan pedesaan Jawa,
seperti yang dilukiskan oleh Clifford Geertz dalam deskripsinya yang justru
mengatakan bahwa ” kematian di Jawa lebih
sebagai salah satu siklus dalam slametan yang menjadi inti ritual dari
kehidupan orang Jawa . Dia terkesan dengan suasana kematian di Jawa yang begitu
datar , tenang, tanpa ada jerit tangis histeris, tidak demonstratif dan lesu
konon karena sikap ikhlas yang diusahakan bersama oleh komunitas ” , dari
ungkapan Clifford Geertz diatas, kita sebagai masyarakat awampun dapat memahami
bahwa sesungguhnya bagi orang Jawa , fenomena kematian itu sudah pasti akan
menjadi bagian dari siklus kehidupan , karena alur dalam kehidupan setiap
manusia akan diawali dengan fenomena kelahiran dan akan diakhiri pula dengan
fenomena kematian , jadi cepat atau lambat fase terakhir dalam ” rangkaian daur kehidupan ” tersebut
akan dialami dan tidak dapat dielakkan dari setiap insan manusia . Menurut Saya
pribadi, Sikap nrimo lan pasrah marang
Gusti Pangeran , merupakan salah satu senjata paling ampuh yang dimiliki
orang Jawa di dalam meredam dan mengeliminir rasa kedukaan mereka yang akan
timbul sewaktu-waktu akibat ditinggalkan oleh salah seorang anggota keluarga
untuk selama-lamanya . Sifat orang Jawa yang sedemikian itu di dalam menghadapi
fenomena kematian tidaklah bisa untuk kita permasalahkan dikarenakan tradisi menyikapi kematian di setiap wilayah
memanglah berbeda-beda dan disesuaikan dengan kebudayaan yang berkembang di
wilayah tersebut, ada budaya yang menyikapi datangnya fenomena kematian dengan perhelatan
pesta besar-besaran selama berhari-hari bahkan ada pula budaya yang menyikapi
fenomena datangnya kematian dengan penuh kesederhanaan dan kesedihan selama
berhari-hari .
Seusai melewati
serangkaian ritual kedukaan pra jenazah diberangkatkan ke makam , Saya
meyakini bahwa pasca prosesi tersebut
akan dilanjutkan dengan serangkaian acara ritual tradisi yang sesuai dengan
budaya masyarakat di masing-masing wilayah. Di kalangan masyarakat Jawa
sendiri, kegiatan pasca pemakaman
biasanya akan diikuti pula dengan tradisi-tradisi penyambutan kematian berbau kehinduan yang saya rasa masih dilakukan
oleh masyarakat Jawa di hampir seluruh penjuru negeri, rangkaian acara yang dihelat
biasanya akan diawali dengan acara mitung
dina, matang puluh, nyatus, dan diakhiri dengan acara nyewu dina serta diselingi
pula dengan acara nyadran dan ganti kidjing pada waktu-waktu tertentu yang
mau atau tidak harus mereka lakukan dikarenakan bagi masyarakat desa di
Jawa , rangkaian ritual tersebut memang harus dilaksanakan guna mengenang dan menghormati
mendiang Almarhum/Almarhumah selama hidup dialam dunia . Biasanya bagi anggota
keluarga yang menghiraukan tradisi tersebut akan menerima cibiran atau cemoohan
dari masyarakat di sekitar tempat tinggalnya , karena dalam daur hidup
masyarakat Jawa, unsur-unsur tradisi sangatlah sulit untuk dilepaskan dari
masyarakatnya, seperti yang diungkapkan oleh Henri Chambert-Loir yang
menguraikan tentang fenomena penghormatan orang suci dan leluhur di Jawa yang
diapropriasikan dalam tradisi ziarah makam leluhur ( yang dalam prakteknya, menurut Saya pribadi merupakan salah satu
bentuk kepatuhan seseorang terhadap aturan tradisi ) . Jadi sekali saja ada
hal yang berbau pelanggaran terhadap tradisi, seluruh warga pedesaan di Jawa
biasanya akan memberikan hukuman kepada pihak pelanggar berupa hinaan, cemooh ,
cacian, bahkan hingga aksi pengusiran warga kampung dari wilayah tempat
tinggalnya dikarenakan sudah berani melanggar ketentuan budaya lokal yang sudah
diwariskan secara turun-temurun .
Dari bagian review
di bab ini, Saya dapat menyimpulkan bahwa fenomena kematian tidak hanya
disikapi oleh orang Jawa sebagai suatu peristiwa terlepasnya ruh seorang
individu dari jasadnya untuk menuju ke alam keabadian di akhirat sana ,
melainkan dalam prakteknya di lingkungan masyarakat Jawa pedesaan, peristiwa
kematian juga dianggap sebagai suatu fenomena dimana seluruh anggota keluarga
dari pihak Almarhum/Almarhumah harus peduli dan tunduk kepada rangkaian tradisi di wilayah desanya masing-masing
supaya tidak memperoleh sanksi sosial dari masyarakat .
B.
KAMPUNG SEBAGAI ARENA REPRODUKSI JAWA
erbicara mengenai fenomena kematian di
wilayah kampung , tentunya akan sangat berbeda sekali jika kita bandingkan
dengan topik perbincangan fenomena kematian di wilayah perkotaan yang terkesan
lebih praktis dan tidak dipenuhi dengan rentetan acara pasca penguburan yang
memerlukan waktu yang begitu panjang dan memakan banyak biaya . Bagi warga
kampung, terutama yang terletak di wilayah pedesaan Jawa, justru menyikapi
fenomena kematian sebagai ajang pertemuan
terakhir antara mereka ( warga pelayat ) dan si Jenazah yang akan
dikuburkan, atau dalam studinya Robert R.Jay di Mojokutho kerap menyebut
kematian seseorang sebagai peristiwa yang mewujudkan hubungan ketetanggaan yang
paling hidup, jadi ketika mendengar kabar ada salah seorang tetangganya yang
meninggal dunia melalui pengeras suara ( TOA ) masjid atau musholla, secara
berbondong-bondong tanpa dikomando oleh pimpinan desa , para warga secara
otomatis langsung menuju ke rumah duka si jenazah, biasanya bagi warga pria
akan membantu keluarga yang berduka di dalam penataan kursi, penggalian makam,
peminjaman keranda di Taman Pemakaman Umum , pendirian bilik pemandian jenazah,
pembelian atribut keperluan jenazah ( kain mori, peti, pathok kuburan, air
mawar, kapas, dan lainnya ) dan pendirian tratag
atau tenda peneduh bagi para pelayat yang dalam prakteknya membutuhkan banyak
tenaga dan bantuan dari kalangan pria, sedangkan untuk warga perempuan biasanya
akan membantu di dalam mengurusi urusan domestik yang sederhana di dalam rumah
duka secara bersama-sama, semisal membuatkan minuman dan menyajikan makanan
ringan untuk para pelayat, meronce bunga untuk hiasan keranda, dan membersihkan
rumah duka agar terlihat rapi saat para pelayat mulai berdatangan .
Dalam prakteknya ,
masyarakat Jawa di pedesaan masih mempercayai bahwa bantuan yang mereka berikan
kepada keluarga yang berduka akan memperoleh balasan serupa ketika mereka telah
meninggal kelak ( dalam istilah jawanya dikenal dengan istilah bak-buk atau impas ) , selain memperoleh
balasan pahala dari Tuhan, warga desa juga mempercayai balasan sosial dari
perilaku mereka semasa hidup, bagi warga yang peduli dan peka terhadap
lingkungannya ( semisal suka menolong
warga lain yang kesusahan) , niscahya ketika mereka meninggal , bantuan
dari warga desa akan datang bertubi-tubi
tanpa perlu dikomando oleh pimpinan desa dan tak perlu susah payah untuk menyewa
jasa pengurusan pemakaman dari rumah duka swasta yang memerlukan banyak biaya ,
Tetapi hal yang sebaliknya justru akan terjadi terhadap warga kampung yang acuh
dan tidak peka sosial ( istilah jawa :
ora srawung tangga ) , ketika mereka meninggal niscahya para warga kampung
enggan untuk membantu prosesi pemakamannya, sekalipun mau membantu itupun
paling hanya membantu untuk menguburkannya saja dikarenakan alasan kemanusiaan
semata , tapi untuk selebihnya, semisal untuk acara tahlilan dan rangkaian
acara lainnya mereka terkesan tak sudi
untuk melakukannya dikarenakan mereka pernah menerima perlakuan yang kurang
menyenangkan dari si Jenazah . Dari fenomena nyata diatas kita dapat mengetahui
bahwa perilaku sosial seseorang di dalam komunitasnya sangatlah menentukan
perlakuan orang lain terhadap dirinya ketika Ia meninggal kelak .
Dalam bab ini,
Saya bisa menarik kesimpulan bahwa bagi masyarakat kampung di wilayah pedesaan
Jawa , fenomena kematian dapat dijadikan sebagai arena untuk membalas jasa-jasa
si Almarhum/Almarhumah semasa hidup, hukum sebab-akibat saya rasa sangat
berperan disini, apabila si warga kampung kerap berbuat baik terhadap warga
lainnya semasa hidupnya, maka akibat yang akan Ia peroleh adalah perlakuan baik di waktu prosesi kematiannya,
Tetapi apabila ada warga yang ora srawung
tangga atau tidak peduli terhadap lingkungan tempat tinggalnya, maka
perlakuan kurang baik terhadap jenazahnya akan diperoleh dari warga kampung
tempatnya tinggal . Hal ini sangatlah
senada dengan pernyataan Dr. P.M. Laksono yang menyatakan bahwa ” rasa solidaritas bersama dan berbagai
aktivitas warga yang mengarah pada integrasi masyarakat hampir selalu ditemukan
dalam komunitas Jawa ” , Dari pernyataan ini Saya dapat menarik pesan tersurat
yang berbunyi ” maka apabila ada orang Jawa yang tidak pernah menanamkan rasa solidaritas kelompok di dalam kehidupan
sosialnya, Jangan heran jika suatu hari nanti dirinya akan dikucilkan atau
tersingkir dari kelompok masyarakatnya yang dalam prakteknya sangat menjunjung
tinggi rasa integrasi kelompok masyarakat Jawa yang kuat .
C.
KEMATIAN DALAM KONSTELASI BUDAYA JAWA
alam daur kehidupan masyarakat Jawa,
fenomena kematian selalu saja dilekatkan dengan unsur-unsur kebudayaan lokal di
dalam menyikapinya , rentetan aturan budaya lokal di dalam memperlakukan jasad
si jenazah digelar dengan begitu runtutnya sesuai dengan pakem tradisi jawa yang adiluhung , mulai dari acara pemandian
jenazah, pengkafanan, hingga acara penguburan-pun, semuanya memiliki arti-arti
simbolik tertentu yang menggambarkan kebudayaan Jawa klasik yang sarat akan unsur-unsur
penyimbolan suatu prosesi adat yang mengandung makna tersirat dibaliknya . Saya
ambilkan contoh riil, seperti didalam prosesi pemandian jenazah yang dilakukan
oleh komunitas masyarakat Jawa kejawen yang masih memiliki unsur-unsur
penyimbolan tersirat di dalam memperlakukan jenazah anggota komunitasnya , semisal
dalam upacara pemandian jenazahnya , tempat air yang disediakan untuk
memandikan jenazah haruslah berjumlah ganjil, jumlah ganjil tersebut dipercaya
menyimbolkan kematian seseorang dan menggambarkan kedukaan keluarga yang
ditinggalkan , sedangkan gladhak debok
( batang pisang dibelah dua ) yang difungsikan sebagai alas jenazah menyimbolkan
pepadhang, serta piranti siwur bathok ( gayung tempurung kelapa ) juga harus
berjumlah ganjil yang ternyata melambangkan kematian pula. Dari fenomena diatas
, kita dapat memahami bahwa pakem
tradisi Jawa sangatlah mengikat dan dijunjung tinggi keluhurannya oleh para
warga , sehingga sangatlah kecil kemungkinan untuk melanggar pakem tradisi yang
sudah berlaku ratusan tahun didalam kehidupan masyarakat Jawa .
Selain dipengaruhi
oleh unsur-unsur penyimbolan di dalam rentetan ritualnya , ternyata terdapat
fenomena lain yang Saya kira cukup menarik untuk dibahas seputar kematian,
yaitu pembahasan tentang fenomena berkembangnya budaya lisan berupa
cerita-cerita mistis dibalik kematian orang Jawa , semisal : munculnya cerita
mistis tentang congculi ( tali pocong
njaluk diuculi ) , kuntilanak nggolek
bayen ( kuntilanak mencari mangsa berupa bayi ) , gundul pecengis dan bayi bajang yang dipercaya sebagai arwah para
bayi yang meninggal secara tidak wajar , penampakan arwah orang yang meninggal
di sekitar rumah duka, hingga fenomena mati Suri yang menggambarkan cerita
pengalaman kematian sesaat . Menurut Saya kepercayaan masyarakat Jawa tentang
cerita-cerita mistis yang muncul dipermukaan bukanlah merupakan suatu fenomena
yang aneh dan layak untuk diperdebatkan, hal itu dikarenakan dalam menjalani
hidupnya, orang Jawa Tulen sangatlah memiliki
ikatan yang erat dengan alam, disinyalir faktor inilah yang menyebabkan mereka
sangat memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda bagi
kejadian-kejadian lain. Sebenarnya hal itu bermula dari ilmu “titen”, yaitu ilmu mendeteksi suatu
kejadian yang konstan, terjadi terus-menerus dan berkaitan dengan kejadian lain
yang juga konstan berlangsung dalam kondisi yang sama atau serupa. Generasi
akhir yang tidak memahami filosofi ilmu titen
ini, mereka menganggap cerita-cerita mistis yang muncul hanyalah sebagai mitos yang pada satu sisi kerap dianggap
sebagai kejadian magis dan diyakini sepenuhnya, tetapi ada juga sebagian
masyarakat tak memperdulikannya dikarenakan takut dihukum ganjaran musyrik oleh
ajaran agama kekinian .
Dalam masyarakat
Jawa kekinian, berkembangnya mitos-mitos tentang peristiwa kematian lebih ditanggapi
hanya sebagai fenomena takhayul belaka,
mulai dari cerita mistis datangnya arwah di malam-malam tertentu dan
cerita-cerita mistis lainnya hanya dijadikan bahan gurauan untuk menakuti
anak-anak kecil saja, apalagi setelah berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan dunia medis dan kesehatan yang secara perlahan-lahan mulai
menghapus ritual-ritual budaya lokal didalam melihat fenomena kematian, dimasa
lalu misalnya, orang Jawa pedesaan sangatlah enggan dan pantang hukumnya untuk
menguburkan jenazah di malam hari dikarenakan
alasan takut terkena sawan dari sang
jenazah, tetapi setelah pengetahuan tentang dunia kesehatan semakin berkembang
hingga ke pelosok desa, kepercayaan itu kini mulai pudar dikarenakan adanya
anjuran dari dunia kesehatan agar menyegerakan menguburkan jenazah ,
dikhawatirkan bila dibiarkan begitu lama didalam rumah tanpa adanya unsur bahan
pengawet jenazah sejenis formalin, kuman dan bakteri berbahaya yang terdapat di
dalam tubuh mayat yang dipastikan segera mengalami masa pembusukan dapat
memberikan dampak yang kurang baik bagi para pelayat, apalagi anjuran untuk
menguburkan jenazah sesegera mungkin juga dibenarkan oleh beberapa ulama di
dalam agama Islam, seperti yang saya kutip dari majalah Furqon edisi September 2010 berikut : ” mengubur
jenazah di malam hari juga diamalkan oleh para shahabat, di mana Abu Bakar dan
Fathimah dikuburkan di malam hari. [Lihat Fathul Allam oleh Shiddiq
Hasan Khan 2/261]. Pembolehan ini berdasarkan pada keumumam
hadits di atas yaitu bersegera dalam mengurus jenazah termasuk di antaranya
dalam hal penguburan. Dalil yang lain, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam pernah memasukkan seseorang ke dalam kuburan pada malam hari, dengan
cara menerangi kuburannya di malam hari. [Hasan Lighairihi. HR.
at-Tirmidzi 1063. Dan dihasankan oleh al-Albani] ”.
Dalam bab ini Saya dapat menarik kesimpulan bahwa di dalam kebudayaan Jawa,
unsur-unsur ritual yang berbau tradisi masih saja menyelimuti fenomena
kematian, mulai dari syarat penyiapan piranti-piranti pemandian jenazah yang
harus sesuai pakem tradisi, pemilihan motif batik yang akan digunakan untuk
menutup tubuh si mayat, memilih lokasi makam , perintah untuk memberikan
sesajen dan kemenyan di bekas kamar orang yang telah meninggal, hingga
anjuran-anjuran klenik lainnya yang
mungkin dianggap aneh oleh masyarakat modern . Tetapi dibalik fenomena itu
semua, kita harus dapat menyadari bahwa sesungguhnya kematian dalam wacana
orang Jawa dianggap terletak di dalam kodrat
atau suratan takdir yang tak seorangpun mengetahui kapan tiba masanya Ia
akan menghadap Sang Illahi pencipta semesta raya .
D.
RITUS KEMATIAN DAN PERKABUNGAN
alam fenomena kedukaan berupa kematian, wajar
rasanya apabila kita mendengar suara jeritan histeris dan isak tangis anggota
keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal menyeruak ke seluruh
penjuru rumah duka, Hal ini juga senada dengan yang diungkapkan oleh Rossenbalt
yang mengatakan bahwa menangis merupakan
reaksi yang universal dalam situasi kematian. Tetapi ternyata di dalam
pandangan masyarakat Jawa, kebiasaan menangis di hadapan jenazah sangat tidak
baik hukumnya untuk dilakukan, hal tersebut dilandaskan pada petuah para
leluhur yang menyatakan bahwa linangan air mata yang menggambarkan keharuan
penuh rasa duka cita dapat menghalangi perjalanan orang yang sudah meninggal
menuju ke alam kelanggengan dikarenakan
Ia ( Sang Jenazah ) masih merasa ragu
untuk meninggalkan keluarganya yang belum bisa menerima kepergiannya secara
ikhlas ( istilah Jawa : nrimo kahanan
) . Jadi , apabila ada salah seorang
anggota keluarga yang tidak kuat menahan linangan air mata, janganlah
sekali-sekali diajak untuk menemui jenazah dikarenakan dapat menganggu kekhusyukan acara layatan dan membawa dampak yang kurang baik pula bagi jenazah .
Dalam ajaran para
leluhur Jawa, kesedihan yang terlalu berlebihan tidak akan membawa kebaikan di
dalam hidup, melainkan justru akan membawa kesengsaraan di dalam menapaki masa
depan, melalui petuah itu kita dapat memahami bahwa kesedihan yang terlalu
berlebihan akibat ditinggal oleh orang yang kita sayangi untuk selamanya tidak
akan pernah membawa keberkahan dan kebaikan didalam menjalani kehidupan, karena
percuma saja menangis berlama-lama mengenang Sang ahli kubur, karena linangan
air mata yang kita cucurkan nyatanya tidak dapat menghadirkan kembali denyut
kehidupan si Almarhum/Almarhumah di hadapan kita , Sikap menerima takdir sang
Ilahi ( nrimo kodrat ) saya kira
dapat dijadikan senjata yang paling ampuh di dalam menyikapi fenomena kematian,
karena tak ada satu manusiapun yang sejatinya dapat mengetahui kapan waktu bagi
dirinya untuk bersua dengan Sang
Khalik .
Beberapa hari sesudah
kematian seseorang, biasanya dalam tradisi masyarakat Jawa akan digelar
rangkaian acara peringatan kematian (
Slametan ) yang bertujuan untuk menghantarkan arwah orang yang telah
meninggal menuju ke alam kelanggengan,
beberapa ahli berpendapat bahwa penyelenggaran ritus ini dapat mengeliminir
rasa duka cita dari para anggota keluarga yang ditinggalkan dikarenakan mereka
dapat melupakan rasa dukanya dengan berinteraksi dengan para tamu yang hadir
dalam acara Slametan . Dalam prakteknya di masyarakat, acara Slametan tersebut
nantinya akan dibagi-bagi lagi menjadi beberapa sesi acara yang akan diawali
dengan acara peringatan nelung dina (
tiga harian ) , mitung dino ( tujuh
harian ) , matang puluh ( empat puluh
harian ) , nyatus ( seratus harian )
, setaun ( satu tahun ) , rong taun ( dua tahun ) , nganti nyewu dina ( seribu hari ) , Pada
prosesi seribu hari ini biasanya akan diikuti pula dengan acara Slametan Surtanah ( yang bertujuan
mengantar arwah Almarhum ke alam lain ) dan prosesi pendirian nisan atau tanda
kubur diatas makam .
Selain mempercayai
bahwa rentetan prosesi Slametan dapat
menghantarkan si Almarhum ke alam kelanggengan dengan tenang, ternyata ada
sebuah kepercayaan lain di seputar fenomena kematian orang Jawa, yang Saya rasa
sangat menarik untuk diulas, yaitu tentang fenomenan kepercayaan masyarakat
terhadap ” nglamat” dan ” firasat ” yang disinyalir dapat
menguak tanda-tanda menjelang kematian seseorang . Dalam nglamat misalnya,
orang yang akan meninggal biasanya akan melakukan suatu aktivitas di luar
kebiasannya dan kerap merasa dibuntuti oleh seseorang misterius yang dipercaya
oleh kebanyakan orang sebagai pengggambaran dari malaikat pencabut nyawa. Sedangkan
dalam fenomena firasat, tanda-tanda akan meninggalnya seseorang justru tidak
dialami oleh individu yang akan meninggal, melainkan anggota keluarga atau
kerabat terdekatlah yang justru akan merasakan tanda-tanda kematian yang
kebanyakan tergambar lewat mimpi mereka yang aneh-aneh, semisal : mimpi gigi
serinya tanggal, mimpi menebas jantung pohon pisang, dan mimpi-mimpi lainnya
yang kerap dideskripsikan sebagai mimpi pertanda kematian seseorang .
Dalam bab ini Saya
dapat menarik kesimpulan, bahwa sejatinya dalam menyikapi fenomena kematian,
komunitas masyarakat Jawa bukanlah tergolong ke dalam tipe masyarakat yang cengeng dan suka menyesali fenomena
kehilangan anggota keluarganya secara berlebihan , melainkan rasa nrimo lan ikhlas lebih mereka
tonjolkan dikarenakan alasan kesedihan yang mereka tampakkan justru akan
membawa kesengsaraan bagi arwah Almarhum di alam kelanggengan . Daripada
menangisi kepergian , lebih baik mereka berdoa kepada Tuhan melalui perantara
acara Slametan yang mereka gelar
bersama warga lainnya, agar Almarhum bisa memperoleh surga terindah dan
kehidupan yang kekal abadi di akhirat sana .
E.
KISAH-KISAH DAN PETUALANGAN PARA LELUHUR
DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
endengar kisah-kisah misteri setelah
datangnya fenomena kematian seseorang, Saya rasa bukanlah merupakan hal yang
asing bagi telinga orang Jawa, secara turun-temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya, cerita-cerita mistis itu disampaikan dengan begitu
runtutnya seiring dengan menjamurnya budaya lisan di bumi Nusantara . Mulai
dari kisah legenda hantu Sundel bolong hingga kisah kemunculan hantu api ganas
pati dan aneka dedemit maneka rupa
lainnya dituturkan dengan begitu gamblangnya
tanpa sensor . Akibatnya, masyarakat Jawa selalu mengaitkan bahwa kematian
identik dengan fenomena munculnya hantu-hantu gentayangan di sekitar mereka
. Padahal dalam dunia kekinian, fenomena
munculnya roh gentayangan sangatlah sulit untuk dibuktikan dan hanya dianggap
sebagai cerita bualan orang jadul dan
takhyul belaka dikarenakan ” roh tidak
terlihat dalam keadaan normal, Oleh karena itu , pandangan mengenai roh atau
nasibnya setelah kematian berada dalam aras gagasan yang hanya bisa diyakini
dengan iman dan kepercayaan ” ( dikutip dari buku menemui Ajal hal.145 ).
Fenomena kemunculan roh halus selama ini
kerap sekali dikaitkan dengan fenomena kematian seseorang yang tidak wajar,
entah itu karena tabrakan, diperkosa, disantet, maupun dikelilingi oleh
fenomena-fenomena kematian tragis lainnya. Dalam kepercayaan Jawa, kehadiran
mereka dipercayai sangat berhubungan dengan niat si roh halus untuk membalaskan
dendamnya ( mbales genten ) kepada orang-orang yang tega membunuhnya ,
semisal dalam kisah hantu bayi bajang di wilayah Jawa Tengah yang dikisahkan
bergentayangan untuk mencari-cari sosok kedua orang tuanya untuk dibunuh ,
dikarenakan si bayi merasa telah diperlakukan secara tidak adil melalui
tindakan aborsi yang dilakukan . Tetapi selain mendatangkan cerita-cerita yang
menyeramkan, ternyata fenomena kehadiran para lelembut juga kerap dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk
meminta rejeki lewat jalan pesugihan
yang mayoritas dilakukan oleh orang yang sudah tidak bisa lagi menemukan jalan
rasional guna memecahkan masalah perekonomian keluarganya, jenis lelembut yang
biasanya digunakan untuk menghasilkan pundi-pundi kekayaan dunia semacam ini
biasanya didominasi oleh makhluk-makhluk halus sejenis : tuyul , babi ngepet, bulus jimbung, kalong ireng, dan makhluk-makluk
jagading lelembut lainnya yang sangat irrasional dalam pandangan masyarakat
modern kekinian .
Selain fenomena kenampakan roh makhluk
halus dari jagading lelembut , pada
bab ini juga mengulas tentang fenomena ziarah yang dilakukan di berbagai macam
tempat, mulai dari menziarahi makam keluarga, Para wali dan raja-raja Jawa ,
hingga berkunjung ke petilasan-petilasan Kramat, bagi orang-orang yang masih
hidup misalnya, kegiatan ziarah semacam ini terkadang juga dimanfaatkan sebagai
arena untuk memohon keberkahan duniawi dari sang ahli kubur melalui perantara
doa yang mereka haturkan, mulai dari meminta jodoh, kesuksesan, panjang umur,
lulus ujian pegawai negeri, hingga permintaan-permintaan lainnya yang mereka
panjatkan kepada Tuhan melalui perantara Almarhumah, dalam kepercayaan Jawa
klasik, orang jawa tempo dulu percaya bahwa apabila memanjatkan doa dan harapan
kepada si penghuni kubur, segala keinginan dari si peziarah akan cepat dijabah atau dikabul Gusti Pangeran, dikarenakan sosok penghuni kubur yang
tinggal di akhirat dianggap lebih dekat posisinya dengan Tuhan yang Maha Esa
ketimbang manusia yang masih hidup di bumi . Jadi pada bulan-bulan tertentu,
lokasi ziarah keluarga maupun kramat akan sangat ramai untuk dikunjungi
dikarenakan ada keinginan setiap individu untuk meminta berkah lan keslametan dari sang ahli kubur yang dianggap telah
mencapai titik kelanggengan hidup yang kekal disamping pangkuan Gusti Allah
sang pencipta jagad buwana .
Dari bab terakhir ini, Saya dapat menarik
kesimpulan bahwa jagading lelembut memang ada di tengah-tengah kehidupan kita,
bahkan didalam kitab Suci Al-Quran-pun
sudah tertera jelas bahwa sesungguh-Nya Allah SWT memang menciptakan manusia
dan makhluk gaib di alam bumi guna hidup secara berdampingan dan seraya
menyembah hanya kepada-Nya . Jadi , jika selama ini kita sebagai umat beragama
masih mempercayai fenomena pesugihan dan ritual berbau klenik yang lebih
berkonotasi terhadap penyembahan kepada makhluk gaib , maka sesungguhnya perilaku
kita tersebut sudah mengarah kearah tindakan keblinger dan menentang ketentuan Tuhan yang hanya mewajibkan umat-Nya
untuk menyembah hanya kepada-Nya Sang penentu nasib seseorang .
TERIMA KASIH
MATUR NUWUN