MENGENAL KI AGENG PANDANARANG II ADIPATI SEMARANG
Oleh: Ramli Nawawi
Ki Ageng Pandanarang II adalah putra sulung dari Ki Ageng Pandan Arang I. Nama
kecilnya adalah Raden Kaji. Ketika ayahnya meninggal, ia menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Adipati Semarang, dengan nama abiseka Adipati Mangkubumi. Akan
tetapi setelah selama 16 tahun memerintah, ia kemudian menyerahkan kedudukannya
sebagai Adipati Semarang kepada adiknya yang bernama Raden Ketib. Selanjutnya ia
menjalani hidupnya sebagai seorang mubalig di daerah Tembayat, sampai akhir
hayatnya dan dimakamkan di Gunung Jabalkat yang juga terletak di daerah
Tembayat.
Sejak kapan Raden Kaji mulai memegang jabatan sebagai Adipati Semarang, dapat
dilihat dari masa meninggalnya Ki Ageng Pandanarang I. Menurut Serat Kandaning
Ringgit Purwa, Ki Ageng Pandanarang I mangkat pada tahun 1418 Saka atau tahun
1496 Masehi, ditandai candra sengkala Mukniningrat Catur Bumi. Selanjutnya ia
menyerahkan jabatannya kepada adiknya pada tahun 1434 Saka atau 1512 Masehi.
Peristiwa itu diperingati dengan candra sengkala Rasa Guna Rasa Ningrat .Dengan
demikian masa pemerintahan Raden Kaji atau Sunan Kesepuhan yang kemudian
dikenal juga dengan nama Adipati Mangkubumi atau Ki Ageng Pandanarang II
sebagai Adipati Semarang berlangsung selama sekitar 16 tahun, yakni dari tahun
1496 sampai tahun 1512 Masehi.
Mengapa Ki Ageng Pandanarang II mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
Adipati Semarang dan kemudian pergi ke daerah Tembayat menjadi mubalig
menyebarkan Islam di masyarakat sekitarnya, terdapat berbagai sumber yang
berasal dari serat dan babad.Tetapi semuanya menggambarkan tentang kesadaran
diri Ki Ageng Pandanarang II yang pada masa memegang jabatan sebagai Adipati
Semarang sangat materialistis dan sangat mementingkan keduniawian. Sifat
tersebut sangat bertentangan dengan kehidupan Ki Ageng Pandanarang I, Adipati
Semarang pertama, yakni orang tuanya yang membangun kota Semarang dan menyebarkan Islam di daerahnya. Dari salah satu sumber
yakni Babad Demak, disebutkan bahwa Ki Ageng Pandanarang II pada masa hidupnya
merupakan seorang syahbandar yang kaya raya. Banyak para pedagang di Semarang
yang berhutang kepadanya. Walaupun demikian ia selalu berusaha menambah harta
kekayaannya, karena itu dia dikenal sebagai seorang yang serakah dan mabuk
harta. Namun demikian salah seorang Wali Songo yakni Sunan Kalijaga mengetahui
bahwa Adipati Semarang tersebut kelak akan menjadi seorang mukmin yang sejati,
hanya saja waktu itu hatinya belum terbuka. Karena itulah dalam rapat para wali
di Masjid Demak ketika membicarakan soal pengganti Syekh Siti Jenar, maka Sunan
Kalijaga menunjuk Pangeran Mangkubumi, Adipati Semarang yang kedua. Penunjukan
Sunan Kalijaga terhadap Adipati Semarang yang kedua ini, telah membuat para
wali tercengang. Karena itu Sunan Kalijaga menjelaskan bahwa Pangeran
Mangkubumi, Adipati Semarang yang dikenal sebagai seorang yang serakah tersebut
ibarat intan yang masih bercampur lumpur, dan ia akan berusaha membersihkannya
dan memang sudah saatnya dia berada di jalan Tuhan.
Nama Ki Ageng Pandanarang untuk Adipati Semarang yang kedua
ini merupakan penghormatan bagi orang tuanya yang telah dikenal sebagai pendiri
kota Semarang yakni Ki Ageng Pandanarang. Disebutkan bahwa lahirnya kota
Semarang diawali pada tahun 1398 Saka atau tahun 1476 Masehi, yakni dengan
kedatangan seorang pemuda di daerah Bukit Mugas dan Bergota, yang pada masa itu
masih merupakan sebuah jazirah atau semenanjung yang termasyhur dengan nama
Pulau Tirang. Ki Ageng Pandanarang, demikian nama pemuda itu, ia ditunjuk oleh
Sunan Bonang untuk membuka tanah dan bertempat tinggal di Pulau Tirang, yang
pada waktu itu mempunyai banyak teluk. Ki Ageng Pandanarang, putra Pangeran
Sebrang Wetan atau cucu Panembahan Demak, menyanggupi tugas tersebut.
Ki Ageng Pandanarang kemudian menetap di sebuah daerah
bernama Tirang Amper dan berhasil mengislamkan sejumlah orang penduduk yang
bertempat tinggal di pulau Tirang tersebut. Setelah usahanya berhasil ia
kemudian mendirikan pondok di daerah pengisikan. Banyak pengikutnya ikut pindah
bersamanya. Daerah pemukimannya tersebut kian lama kian ramai, dan di kemudian
hari disebut Semarang .
Melihat tugas yang diberikan Sunan Bonang kepada Ki Ageng
Pandanarang, yakni mengislamkan penduduk di Pulau Tirang dan sekitarnya
tersebut, maka tentu dia seorang yang berilmu tentang keislaman. Karena itu
sebagai seorang “mubalig” nama Ki Ageng Pandanarang yang dipakainya bukan
merupakan nama asli. Menurut penuturan Serat Kanda yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Belanda naskah KBG Nr. 540, bahwa nama Ki Ageng Pandanarang juga
memakai nama Arab, yakni Abdullah.
Nama Abdullah itu sendiri sesuai dengan bunyi inskripsi yang pernah terdapat pada batu nisan makam Ki Ageng Pandanarang di Mugas Atas, yang pernah dijumpai Dr. D.A. Rinkes ketika ia berkunjung kesana usai menyelesaikan kesarjanaannya mengenai Ki Ageng Pandanarang.
Inskripsi yang sederhana tulisannya itu berbunyi Ibnu Abdullah.
Dalam bahasa Arab, ibnu berarti putra dari. Jadi Ibnu Abdullah, sangat mungkin yang dimaksud adalah “putra dari Abdullah”, yang ada kemungkinan punya nama lain. Seperti tradisi nama-nama raja di Jawa, umumnya pewaris tahta tetap menggunakan nama raja pertama yang membangun daerah atau kerajaan yang diwariskannya. Setelah anak atau putra mahkota dilantik, yang bersangkutan meninggalkan nama aslinya, selanjutnya menggunakan nama tokoh raja yang mewariskan kerajaannya. Di Jawa umumnya nama raja berikutnya tetap menggunakan nama raja pertama dengan menambahkan ke I, II, III dan seterusnya.
Nama Abdullah itu sendiri sesuai dengan bunyi inskripsi yang pernah terdapat pada batu nisan makam Ki Ageng Pandanarang di Mugas Atas, yang pernah dijumpai Dr. D.A. Rinkes ketika ia berkunjung ke
Dalam bahasa Arab, ibnu berarti putra dari. Jadi Ibnu Abdullah, sangat mungkin yang dimaksud adalah “putra dari Abdullah”, yang ada kemungkinan punya nama lain. Seperti tradisi nama-nama raja di Jawa, umumnya pewaris tahta tetap menggunakan nama raja pertama yang membangun daerah atau kerajaan yang diwariskannya. Setelah anak atau putra mahkota dilantik, yang bersangkutan meninggalkan nama aslinya, selanjutnya menggunakan nama tokoh raja yang mewariskan kerajaannya. Di Jawa umumnya nama raja berikutnya tetap menggunakan nama raja pertama dengan menambahkan ke I, II, III dan seterusnya.
Berkaitan dengan siapa Ki Ageng Pandanarang, bisa pula
dicari dari silsilah Ki Ageng Pandanarang atau yang kemudian juga disebut
Abdullah tersebut, yakni seorang mubalig yang bertugas mengislamkan daerah
penduduk Pulau Tirang dan sekitarnya. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan
oleh Kantor Administrasi A.C. van Pernis tahun 1941 dalam rangka memperingati
35 tahun usia Kotapraja Semarang, disebutkan Raden Patah raja Demak yang
bergelar Sultan Sah Allam Akhbar Sirollah Khalifatul Rasul Amiril Mukminin
Ayudin Khamidkhan mempunyai anak tertua bernama Pangeran Sabrang Lor atau
disebut juga Adipati Sepuh. Ketika Raden Patah meninggal Pangeran Sabrang Lor menggantikannya sebagai
raja Demak. Selanjutnya ketika Pangeran Sebrang Lor meninggal, putranya yang
bernama Pangeran Made Panden menolak menggantikan ayahnya. Karena itulah yang
naik tahta adalah Raden Trenggono, adik ayahnya. Selanjutnya Pangeran Made
Panden hidup sebagai pertapa di Pulau Tirang. Pangeran Made Panden mempunyai
seorang putra bernama Kanjeng Pangeran Pandanarang (Panden Harang). Pangeran
Pandanarang inilah yang telah mendapatkan ijin dari pamannya, Raden Trenggono,
untuk membuka hutan yang terdapat di Pulau Tirang dan membuat tempat kediaman
di kawasan tersebut. Tempat inilah yang kemudian disebut Semarang, yang berasal
dari kata “asam arang”, di mana terdapat banyak pohon asam.
Ki Ageng Pandanarang yang dikenal juga dengan nama Ibnu Abdullah tersebut kemudian menduduki jabatan sebagai Adipati Semarang yang pertama. Ia memerintah Bubakan, di sebuah kawasan di mana pernah berdiri gedung selama 27 tahun lamanya. Ketika ia meninggal, semula jenazahnya dimakamkan di kompleks kadipatennya, tetapi di kemudian hari telah dipindahkan ke Bukit Pakisaji atau Tinjomoyo, yang terletak di sebelah timur dari daerah Bergota.
Ki Ageng Pandanarang yang dikenal juga dengan nama Ibnu Abdullah tersebut kemudian menduduki jabatan sebagai Adipati Semarang yang pertama. Ia memerintah Bubakan, di sebuah kawasan di mana pernah berdiri gedung selama 27 tahun lamanya. Ketika ia meninggal, semula jenazahnya dimakamkan di kompleks kadipatennya, tetapi di kemudian hari telah dipindahkan ke Bukit Pakisaji atau Tinjomoyo, yang terletak di sebelah timur dari daerah Bergota.
Selanjutnya seperti disebutkan
di muka bahwa setelah Ki Ageng Pandanarang atau yang juga dikenal dengan nama
Ibnu Abdullah tersebut mempunyai putra tertua yang bernama Raden Kaji. Karena
itu ketika Ki Ageng Pandanarang meninggal, Raden Kaji diangkat sebagai Adipati
Semarang yang kedua, dengan gelar Adipati Mangkubumi, atau kemudian dikenal
sebagai Ki Ageng Pandanarang II.
Ketika Ki Ageng Pandanarang II
menggantikan orang tuanya sebagai Adipati Semarang, kota ini telah mengalami
perkembangan dalam bidang perdagangan. Waktu itu pelabuhan Semarang sudah ramai
dikunjungi para kapal-kapal pedagang dari berbagai pulau di Nusantara bahkan
juga dikunjungi kapal-kapal pedagang asing. Di Semarang saat itu sudah ada
pedagang-pedagang asing seperti dari Arab dan Cina. Para pedagang Cina bahkan
sudah sebagian ada yang menetap, yang kemudian melahirkan kampung Pacinan di
Semarang. Sebagai adipati Ki Ageng Pandanaran II kemudian juga aktif dalam
kegiatan perdagangan. Karena itulah dia kemudian dikenal sebagai orang kaya di
Semarang. Banyak pedagang-pedagang yang berhutang kepada Ki Ageng Pandanarang
dalam menjalankan usaha dagang mereka. Karena itulah kekayaan Ki Ageng
Pandanarang II semakin bertambah. Ki Ageng Pandanarang II juga selalu memborong
barang-barang keperluan yang dijual di pasar Semarang untuk kemudian dijualnya
dengan harga yang lebih tinggi. Dengan aktifitasnya dalam mengumpulkan kekayaan
tersebut membawa dia menjadi seorang yang kaya raya dan tidak mengindahkan
kehidupan rakyatnya serta semakin jauh dari kearifan orang tuanya yang sebelumnya
dikenal sebagai penyebar Islam di kawasan Semarang tersebut.
Pada saat Ki Ageng Pandanaran
II lupa diri dengan kehidupan dunianya itulah Sunan Kalijaga menunjuk dia dalam
rapat para wali sebagai orang yang akan menggantikan Syekh Siti Jenar yang
dibunuh karena ajarannya yang dianggap dapat menyesatkan masyarakat pemeluk
Islam yang masih belum kuat imannya. Sehubungan dengan itulah kemudian Sunan
Kalijaga melakukan usaha untuk menyadarkan keserakahan Adipati Semarang
tersebut. Disebutkan bahwa dengan menyamar sebagai tukang rumput Sunan Kalijaga
dapat berhubungan dengan Ki Ageng Pandarang II penguasa Semarang ini. Untuk
membuat Ki Ageng Pandanarang suka membeli rumputnya maka Sunan Kalijaga
memasukkan potongan emas di dalam ikatan rumput yang dijualnya. Karena tahu ada
emas di dalam ikatan rumput itu maka Ki Ageng Pandanarang kemudian memesan lagi
kepada “si tukang rumput” tersebut agar dibawakan rumput untuk dibelimya. Agar
Adipati Semarang ini makin menyukainya lagi-lagi dimasukkan oleh Sunan Kalijaga
potongan emas di dalam ikatan rumput yang dijualnya. Ki Ageng Pandanarang II
semakin menyukainya, sehingga ia minta lagi agar besoknya dibawakan lagi rumput
untuk makanan kuda-kudanya. Besoknya pagi-pagi benar Sunan Kalijaga sudah
datang ke “istana” Adipati Semarang tersebut. Setelah Adipati Semarang membayar
harga rumputnya ia menanyakan di mana tinggalnya “penjual rumput” tersebut. Sunan
Kalijaga mengatakan bahwa ia tinggal di Jabalkat. Memang ada sedikit heran Ki
Ageng Pandanarang II karena ia tahu kalau tempat itu jauh dari Semarang. Disebutkan
bahwa ketika itulah Sunan Kalijaga menyampaikan sesuatu permintaan kepada orang
kaya Semarang tersebut. Karena itu penguasa Semarang tersebut melemparkan uang
kepada Sunan Kalijaga, tapi Sunan Kalijaga menolaknya, sehingga Ki Ageng
Pandanarang II menjadi marah dengan mengatakan orang tua tak tahu diri karena
menolak pemberiannya. Sementara Sunan Kalijaga mengatakan bahwa ia tidak perlu
harta benda, karena kalau ia mau emas cukup dengan menggalinya dan tanah itu
akan menjadi emas. Karena itulah Ki Ageng Pandanarang II memanggil pembantunya
agar memberikan cangkul kepada tukang rumput ini untuk membuktikan
kata-katanya. Sunan Kalijaga kemudian membenamkan mata cangkul yang diberikan
kepadanya ke tanah, kemudian mengangkatnya dan tanah tersebut kemudian menjadi
bungkah emas. Alangkah terkejutnya Ki Ageng Pandanarang II, dan dengan perasaan
takut ia menanyakan siapa sebenarnya “dia”. Sunan Kalijaga mengaku bahwa ia
adalah Syekh Malaya. Dengan penuh penyesalan Ki Ageng Pandanarang II mohon
ampun kepada Sunan Kalijaga, sekaligus ia memohon untuk menjadi murid Sunan
Kalijaga, yang oleh Sunan Kalijaga dipersilakan datang ke Jabalkat dengan tidak
membawa kekayaan yang dimilikinya. Semua itu disanggupi oleh Ki Ageng
Pandanarang II.
Selanjutnya dengan tekadnya
untuk berguru kepada Sunan Kalijaga tersebut, Ki Ageng Pandanarang II kemudian
menyerahkan jabatannya sebagai Adipati Semarang kepada adiknya yang bernama
Raden Ketib. Sebelum berangkat ke Jabalkat sesuai pesan Sunan Kalijaga agar ia
meninggalkan semua kekayaannya, maka Ki Ageng Pandarang II membagi-bagi harta
kekayaannya kepada isteri dan anak-anaknya. Menurut Serat Kandaningringgit
Purwa peristiwa Ki Ageng Pandanarang II melepaskan jabatanya dan pergi ke
Jabalkat untuk berguru kepada Sunan Kalijaga tersebut terjadi pada tahun 1434
Saka atau tahun 1512 Masehi, yang diperingati dengan candra sangkala Rasa Guna
Rasa Ningrat. .
No comments:
Post a Comment