Wednesday, October 2, 2013

Pengaruh Partisipasi Politik Etnis Tionghoa terhadap kemenangan pasangan Jokowi-Ahok dalam pemilukada Jakarta

Latar Belakang
Selama ini dalam perjalanan dunia politik di Indonesia, jarang sekali masyarakat kita yang menjumpai partisipasi etnis Tionghoa dalam pemilihan kepala daerah maupun Gubernur.Realitanya, mayoritas masyarakat awam selalu menganggap bahwa masyarakat etnis Tionghoa sebagai  "Bintang ekonomi" dan "apolitis" yang menilai partisipasi masyarakat Tionghoa di Indonesia hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan yang berkutat pada keuntungan ekonomis semata seperti halnya dunia perdagangan dan bisnis yang sebagian besar memang dirajai oleh pengusaha yang berlatar belakang dari keluarga keturunan Tionghoa.
Buktinya Pada pemilu tahun 1999, komunitas Tionghoa sangatlah malu-malu dan agak canggung dalam berpolitik dikarenakan muncul suatu rasa trauma yang mendalam akibat kekejaman pemimpin di era presiden Soeharto yang melarang berbagai macam aktivitas kebudayaan maupun kehidupan yang menggunakan unsur berbau Tionghoa di dalamnya, Selain itu aksi pembantaian dan pemerkosaan etnis Tionghoa pada 14 Mei 1998 juga sangat mempengaruhi ketidakinginan mereka untuk memilih pemimpin. Dikarenakan selama ini, Gaya kepemimpinan Soeharto sangat menomorduakan masyarakat Tionghoa dan tidak berpihak pada nasib kehidupan sosial dan politik warga Tionghoa Indonesia . Hal tersebut senada dengat pernyataan Ester Indriani Jusuf, Ketua Solidaritas Nusa Bangsa, yang menulis sebuah artikel di koran Jakarta Post (8-9 Juni 1999) yang menyatakan bahwa era kepemimpinan Soeharto memang menyudutkan warga Tionghoa selama ini, tetapi dengan turut serta dalam pemilihan umum di era yang baru ini, etnis Tiong-hoa dapat belajar dan berpartisipasi untuk memperjuangkan perubahan, termasuk perubahan atas nasibnya agar setara dengan WNI yang bukan warga keturunan Tionghoa.
Setelah Orde Baru runtuh, Pemilu 1999 memunculkan fenomena menarik untuk dicermati, khususnya berkaitan dengan perubahan perilaku politik WNI etnis Tionghoa.
Pada tahapan sebelum pemilu, terbentuk beberapa partai baru yang secara terbuka menyatakan akan memperjuangkan aspirasi etnis Tionghoa. Partai-partai itu adalah Partai Reformasi Tionghoa Indonesia, Partai Bhineka Tunggal Ika, Partai Pembaruan Indonesia dan Partai Warga Baru Indonesia.
Berdirinya partai-partai Tiong-hoa tersebut dihadapkan pada kondisi objektif masyarakat keturunan Tionghoa yang masih mengambil jarak cukup jauh dari politik praktis. Kemunculan partai-partai yang membawa nama Tionghoa dinilai hanya akan membawa kerugian secara politik, dan dikhawatirkan memancing reaksi antipati dari kalangan masyarakat luas. Kondisi  itu akhirnya membuat semua partai yang bernuansa etnis tersebut gagal dan bertumbangan satu persatu dalam dunia perpolitikan nasional .

Menurut Sejarah Perjalanan Bangsa , Partisipasi politik etnis Tionghoa di Indonesia mulai terlihat secara konkret ketika Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1926, walaupun warga Tionghoa hanya dapat menjadi pengamat. Pada waktu itu, semua partai politik di Indonesia bersifat eksklusif, hanya mengakui warga Indonesia, kecuali Perhimpunan Hindia (Indisch Partij) yang diprakarsai oleh Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara yang dapat menerima etnis lainnya sebagai anggota. Sebagai tanggapan atas tidak diikutsertakan dalam percaturan kekuatan politik, kelompok peranakan Tionghoa yang ingin mendukung Indonesia merdeka, membentuk Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 1930.
Setelah Indonesia merdeka, banyak etnis Tionghoa menjadi warga negara Indonesia. Pemimpin etnis Tionghoa yang ingin turut serta berpartisipasi dalam kancah politik di negara Republik Indonesia dengan membentuk berbagai macam organisasi politik untuk melindungi kepentingan mereka seperti Chung Hwa Hwee yang dibentuk sebelum Perang Dunia II, kemudian dilarang pemerintah pendudukan Jepang.
Tetapi, pada 1948, beberapa pemimpinnya mendirikan Persatuan Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Pada 1954, berbagai partai etnis Tionghoa (termasuk PDTI) membentuk Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Yang mula-mula berupaya memperjuangkan persamaan hak semua rakyat Indonesia, termasuk etnis Tionghoa, tetapi kemudian melenceng. Tokoh politik Tionghoa yang paling terkemuka di Baperki adalah Siauw Giok Tjhan dan Yap Thiam Hin. Siauw adalah mantan Direktur Harian Rakyat sebelum diambil alih secara resmi oleh PKI. Siauw yakin bahwa masalah Tionghoa di Indonesia hanya dapat dipecahkan setelah terwujud “Masyarakat Sosialis”.
Zamanpun terus berkembang dan pemimpin bangsapun satu persatu silih berganti , berbagai macam peristiwa politik yang terjadi semakin membuka pikiran masyarakat Tionghoa akan pentingnya Partisipasi mereka dalam dunia perpolitikan nasional. Apalagi setelah beberapa tahun belakangan ini, muncul pemimpin-pemimpin bangsa yang berasal dari etnis Tionghoa yang dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia. Dan salah satu yang menjadi fenomena yang menghebohkan dunia perpolitikan nasional adalah keberanian majunya pasangan Jokowi dan Ahok yang berasal dari luar Jakarta mampu untuk mencalonkan diri mereka sebagai calon Pemimpin Ibukota Negara yang menjadi basisnya pemerintahan nasional selama Negara ini merdeka.
Keberanian Ahok sebagai calon wakil gubernur yang berasal dari warga etnis keturunan Tionghoa, semakin membuka mata warga Tionghoa untuk membuktikan bahwa inilah saat yang paling tepat untuk memilih pemimpin masyarakat Tionghoa Jakarta melalui keterlibatan Bapak Basuki Tjahaja Purnama dalam kancah perpolitikan nasional dan daerah Jakarta yang selama ini mitosnya hanya dapat ditaklukkan oleh orang-orang asli Betawi.
Dukungan sepenuhnya warga etnis Tionghoa terhadap Ahok dibuktikan dengan diadakannya aksi galang cap jempol darah di Solo untuk mendukung kemenangan Jokowi Ahok dalam Pemilukada Jakarta, seperti yang Saya kutip dari website resmi surat kabar suara merdeka edisi minggu 15 Juli 2012, berikut ini :
“Kelima sekawan pemuda Tionghoa itu kompak beramai-ramai meletakkan jari jempol kanan ke bantalan stempel yang telah basah oleh tinta biru. Pun demikian saat ngecap jempol, mereka juga bareng-bareng menempelkan ibu jari ke poster. “Sebagai warga Solo, saya jelas mendukung Pak Jokowi dan berdoa semoga bisa menang. Saya dukung dua cap jempol,” kata pemuda asal kampung Gajahan, kecamatan Pasar Kliwon ini.
Menurut Hartono, cap jempol yang ia berikan juga diberikan untuk Ahok yang merupakan satu-satunya calon wakil gubernur DKI dari Tionghoa. Dukungannya pada Ahok ia dimaksudkan agar mantan Bupati Belitung Timur itu tak goyah oleh isu SARA yang dilontarkan oleh pasangan lain. “Tak perlu terpengaruh SARA. Cara menjatuhkan seperti itu sudah tidak jaman lagi saat ini,” katanya
Dengan adanya fenomena keikutsertaan warga etnis Tionghoa dalam pemilihan kepala daerah Jakarta , diharapkan dapat merubah steorotipe masyarakat pendukung pasangan Gubernur pertahanan yang mengatakan” Cuma Orang Betawi Aje nyang bisa mimpin ini tanah Jakarte” .Buktinya Pada saat ini yang memimpin mereka justru orang yang berasal dari luar etnis Betawi,yaitu Jokowi berasal dari etnis Jawa dan Ahok berasal dari etnis Tionghoa yang maju bersama untuk menciptakan Jakarta Baru yang ramah dan nyaman bagi penduduknya .





Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :
1) Adakah pengaruh partisipasi politik etnis Tionghoa terhadap kemenangan Pasangan Jokowi-Ahok dalam Pemilukada Jakarta ?
2) Seberapa besar pengaruh partisipasi poltik etnis Tionghoa terhadap kemenangan pasangan Jokowi-Ahok dalam pemilukada Jakarta  ?

No comments: