Wednesday, October 23, 2013

NYUMET TENG-TENGAN ( MENYALAKAN TENG-TENGAN )

Teng-tengan, Tradisi Ramadan khas Semarangan
yang Terus Dilestarikan
Selasa, 30 Juli 2013 | 11:28

Junarso dan teng-tengan buatannya.


Junarso dan teng-tengan buatannya. 

[SEMARANG] Setiap bulan Ramadan tiba, mainan yang satu ini pasti akan hadir melengkapi indahnya warga Kota Semarang menjalankan ibadah puasa. Ya, teng-tengan, mainan khas Semarangan ini hanya dapat dijumpai saat bulan puasa. Di luar bulan ramadhan, praktis sulit dijumpai, kecuali pesan terlebih dulu. 

Teng-tengan dulu dikenal dengan nama damar kurung. Konon, damar kurung merupakan adaptasi dari lampion, simbol keberuntungan dan kesempurnaan warga Tionghoa. Mainan mirip lampion itu berbentuk persegi delapan, terbuat dari bilah bambu dan kertas minyak putih. Pada bagian tengah rangka diletakkan lengkung kulit bambu, berfungsi sebagai sumbu, tempat gambar-gambar kertas dilekatkan. Di atasnya ada kipas yang terbuat dari kertas koran.





''Jika api lilin yang ada di dasar damar disulut, kipas itu akan bergerak didorong oleh asap yang keluar. Kalau kipas berputar, gambar-gambar kertas yang ada di bawahnya juga turut berputar,'' tutur Junarso sambil mempertontonkan putaran bayangan dalam damar kurung.

Dari luar, bayangan kerbau, naga, petani, gerobak, penari, burung, becak, bahkan pesawat tampak bergerak. ''Tidak semua orang bisa membuat teng-tengan. Kalaupun bisa membuat rangkanya, tak banyak yang bisa memutar mainan ini dengan baik,'' lanjutnya.

Kemampuan membuat teng-tengan diturunkan oleh ayah Junarso, Ali Tarwadi. Tahun 1975-an Tarwadi mewarisi keahlian membuatnya dari tetua kampung yang sama, Sudarno dan Rokijah.

Meski meneruskan tradisi warisan orang tuanya, Junarso mengaku tidak cukup paham soal cerita asal muasal teng-tengan. Sepengetahuannya, sejak kecil dia mengenalnya sebagai mainan yang banyak dijual saat Ramadan tiba.

''Seingat saya, dulu banyak pedagang damar kurung dari kampung ini. Sejak kecil saya terbiasa menjajakan teng-tengan ke kampung-kampung,'' katanya.

Tiap pagi hingga petang, belasan pemuda berkumpul di ruang tamu rumah Junarso. Ada yang bertugas meraut bambu, menipiskan, dan memasang rangka teng-tengan. Menjelang sore, Junarso menjualnya keliling kampung. Dalam sehari, rata-rata 40-50 teng-tengan atau damar kurung bisa dihasilkan.

Hanya dengan berjalan kaki, Junarso menjelajahi kampung-kampung, mulai dari Gedungbatu sampai Simpanglima, menjajakan dagangannya seharga Rp 4.000-Rp 5.000-an. 
”Kami ingin melestarikan tradisi ini agar jangan sampai punah,” tutur Junarso. [142]

Sumber : www.suarapembaruan.com



No comments: