Wednesday, October 9, 2013

BUDAYA KEKERASAN PADA MASYARAKAT JAWA

BUDAYA KEKERASAN DALAM PERSPEKTIF NILAI-NILAI DAN ETIKA 
MASYARAKAT JAWA


Selama ini, sebagian besar masyarakat Indonesia selalu memiliki anggapan bahwa etnis Jawa merupakan salah satu etnis di Indonesia yang memiliki kepribadian paling halus, sopan dan bertata karma paling sesuai serta menjunjung tinggi prinsip etika jawa tentang prinsip hormat, rukun, dan isin yang mengajarkan bahwa didalam kehidupannya, orang Jawa haruslah hormat terhadap orang lain yang disesuaikan dengan derajat dan kedudukannya, selalu bersikap rukun terhadap sesama agar tercapai kehidupan yang selaras tanpa perselisihan, serta yang terakhir adalah menanamkan sikap malu (isin) jika melakukan tindakan yang tidak semestinya dilakukan oleh orang Jawa.


Padahal, prinsip-prinsip hidup ala orang Jawa yang demikian itu justru sangatlah bertolak belakang dengan keadaan yang terjadi di masa lalu yang cenderung menganggap orang jawa sebagai etnis yang paling kasar dan memiliki daya takluk yang paling kuat untuk menguasai wilayah lain di kawasan dalam maupun luar negeri. Kemampuan dan keberanian suku ini untuk menaklukkan wilayah daerah lain di luar Pulau Jawa ditunjukkan melalui beberapa peristiwa besar yang tidak akan kita lupakan, seperti halnya Penaklukan Pulau Sumatera oleh Kerajaan Singasari melalui ekspedisi Pamalayu, Penaklukan hampir seluruh kawasan di wilayah Asia Tenggara oleh kerajaan Majapahit , dan keberhasilan penaklukan seluruh kawasan di seluruh pulau Jawa ( kecuali Banten dan Batavia), Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan oleh Kerajaan Mataram.

Tetapi sesuai dengan perkembangannya di masa kini, stigma negatif yang menganggap bahwa etnis Jawa sebagai etnis yang kasar sudah jarang terdengar lagi ke permukaan publik dikarenakan adanya persepsi baru di era kekinian yang justru menyatakan bahwa masyarakat Jawa masa kini lebih cenderung memandang perilaku kekerasan sebagai hal yang tidak baik dan memiliki dampak negatif yang harus dihindari oleh orang Jawa itu sendiri. Contoh kekerasan yang dapat diredam oleh peran orang Jawa di dalamnya adalah ketika terjadi peristiwa reformasi 1998 yang menuntut presiden Soeharto untuk mundur. Ketika didaerah lain di luar Yogyakarta terjadi huru-hara yang berakhir konflik berdarah, situasi demo besar-besaran yang juga terjadi di kota Yogya , justru berakhir tanpa kekerasan dikarenakan diadakan bebarengan dengan perhelatan Pisowanan Ageng yang diakhiri dengan acara Gunungan garebeg ( berupa pemberian makanan dan minuman secara gratis oleh masyarakat Yogya kepada massa pisowanan ageng di sepanjang jalan yang dilewati demonstran) yang diusulkan oleh Hamengkubowono X sebagai peredam atau penjinak dari aksi kekerasan yang dapat merusak stigma etnis Jawa sebagai etnis yang alus, sopan dan bertata krama Jawa yang adi luhung.


Dalam pelaksanaannya, ternyata acara pisowanan ageng yang dilaksanakan oleh pihak Kraton sering disebut oleh beberapa pengamat sebagai suatu tindakan people power yang didalamnya memiliki dua makna yang cukup masuk akal untuk keadaan negara waktu itu. Pertama, ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa gerakan massa pada 20 Mei 1998 bukan sebagai aksi people power dikarenakan aksi tersebut tidak sampai menggulingkan kekuasaaan dinasti Soeharto, tetapi hanya sekedar memberikan tekanan kepada penguasa saja. Kedua, di lain pihak ada beberapa orang pengamat yang justru menilai jika gerakan people power waktu itu lebih diartikan sebagai sebuah kekuatan rakyat untuk memaksa penguasa turun, maka gerakan massa pisowanan ageng 1998 juga bisa dikatakan sebagai gerakan people power.


Selain dari contoh nyata di atas yang dapat membuktikan bahwa sikap halus orang Jawa dapat mengalahkan angkara murka dapat pula diekspresikan dalam jargon jawa yang berbunyi” Surodiro Jayaningrat, Lebur dening pangastuti” yang mengandung arti bahwa sampai kapanpun, sifat negatif ( angkara murka) dapat dikalahkan dengan sifat positif ( Pangastuti yang mengandung kebaikan, alus, satria ,dan kesaktian) yang pasti akan menjadi pemenangnya. Dengan adanya jargon tersebut, orang Jawa masa kini kemudian seakan-akan menjadi mempercayai bahwa perilaku baik haruslah dijadikan pegangan di dalam bertindak sehari-hari dikarenakan dapat membawa dampak yang positif bagi kehidupan mereka. Sedangkan untuk perilaku jahat yang lebih banyak merugikan pihak lain haruslah dijauhi dikarenakan bagaimanapun juga, aksi tindak kejahatan akan selalu membawa dampak buruk bagi para pelakunya.



Tetapi, di balik sisi kealusan yang dimiliki orang Jawa, ternyata etnis Jawa juga mewariskan tradisi kekerasan lewat seni wayang kulit dan wong melalui cerita perang Barata Yudha yang sarat akan adegan kekerasan, peperangan, dan pertumpahan darah yang justru dikagumi oleh masyarakat Jawa kebanyakan. Disinyalir melalui pewarisan secara turun-temurun cerita wayang tersebut, sangatlah menginspirasi gagasan kekerasan di masyarakat Jawa  yang kemudian diaplikasikan di dalam kehidupan nyata .
Jika melihat fenomena diatas, Saya pribadi sebagai penulis menjadi paham tentang terjadinya fenomena kebergeseran perilaku yang dialami oleh orang Jawa akibat adanya perkembangan zaman. Jika di masa lalu, orang Jawa selalu diidentikkan sebagai suku yang gemar bertindak kekerasan dikarenakan kemampuan mereka untuk menguasai daerah lain dengan cara yang kejam dan terkesan brutal . Hal itu justru kemudian berubah di masa kekinian, dikarenakan muncul suatu presepsi baru yang justru menganggap orang Jawa sebagai orang yang ramah dan menjunjung tinggi sopan santun di dalam kehidupannya. Hal itupun nyatanya dibuktikan dalam perhelatan pisowanan agung yang pada akhirnya berakhir damai tanpa bentrok dikarenakan peran Sri Sultan Hamengkubowono X yang sangat bijaksana dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan di dalam berperilaku .
Tetapi walaupun begitu, sifat kekerasan masih diwarisi oleh orang Jawa masa kini melalui keberadaan cerita wayang yang lebih diwujudkan dalam bentuk kekerasan verbal atau yang biasa kita kenal dengan verbal abuse. Kekerasan verbal atau verbal abuse adalah sebentuk kekerasan menggunakan kata-kata. Kata-kata dipakai sebagai alat untuk menyerang atau menyakiti orang lain. Kekerasan ini bisa menjadi sejenis penyerangan terhadap kepercayaan diri seseorang, semacam kekerasan psikologis 


Menurut pendapat saya wayang bisa menjadi sumber kekerasan verbal karena secara umum wayang diterima sebagai media yang sehat untuk mewariskan nilai-nilai budaya Jawa. Lebih dari itu banyak orang Jawa menginditifikasikan diri dengan berbagai tokoh baik dalam wayang. Tetapi dalam kenyataannya kegandrungan masyarakat terhadap tokoh baik dalam wayang tidak sepenuhnya dapat dijadikan  tuladha ( contoh ) untuk kehidupan mereka, dikarenakan terkadang di beberapa adegan pewayangan tradisi, ada kalanya pula pemeran tokoh baik juga akan melakukan Kekerasan verbal yang selama ini hanya diidentikan dengan tokoh jahat saja. Wayang sendiri, dalam realita yang ada sangatlah jelas memisahkan tokoh baik dan tokoh jahat. Bahkan sebelum wayang mulai penonton sudah tahu siapa saja tokoh baik dan siapa saja tokoh jahat karena dalang menyusun tokoh baik di sebelah kanannya dan tokoh jahat di sisi kirinya.

MATUR SUWUN 



No comments: