Friday, October 4, 2013

PEMUKIMAN ETNIS DI SEMARANG

Dinamika Kawasan Permukiman Etnis di Semarang

Titiek Suliyati




I.       Pendahuluan
Semarang merupakan salah satu kota yang cukup tua usianya yaitu telah mencapai 464 tahun.    Kota Semarang sebagai kota yang telah mengalami masa-masa perkembangan dari mulai munculnya sebagai kota tradisional, kota kolonial dan kota modern menunjukkan ciri spesifik terutama pada perkembangan permukiman kota atau kampung kota.
Melihat perkembangan sejarah kota Semarang, tercatat bahwa Semarang memiliki banyak kampung-kampung kuno, yang merupakan embrio perkembangan kota. Nama kampung-kampung kuno ini  disesuaikan dengan kelompok etnis, pekerjaan atau kondisi dan situasi yang pernah terjadi di kampung tersebut, seperti kampung Pecinan, kampung Melayu, kampung Kauman, kampung Batik, kampung Kulitan , kampung Geni dan lain sebagainya.        
   Tulisan ini akan membahas tentang kawasan permukiman atau kampung kuno yang spesifik yaitu  kampung yang dibentuk berdasarkan kelompok etnis. Kampung-kampung etnis seperti Kauman, Pecinan, kampung Melayu sebagai kampung tradisonal yang terbentuk pada awal pemerintahan kota mengalami dinamika dan perubahan yang pesat sampai saat ini. Walaupun telah mengalami perubahan, tetapi bayak hal yang masih dapat ditandai sebagai identitas dari kampung-kampung tersebut. Hal lain yang terkait dengan perubahan kampung kuno tersebut, tidak hanya dilihat dari aspek fisik saja tetapi juga terkait dengan dinamika masyarakatnya. Di kampung-kampung kuno tersebut, saat ini tidak hanya bermukim kelompok-kelompok etnis tertentu saja, melainkan etnis-etnis lain juga telah bermukim cukup lama, berbaur dan berinteraksi dengan harmonis.
 Kehidupan yang harmonis antar-etnis di kota Semarang merupakan suatu aset yang tak ternilai. Keharmonisan ini telah membentuk budaya yang sangat unik dan beraneka ragam, yang memberi sumbangan pada kebudayaan nasional kita.


II.    Terbentuknya Kota Semarang  dan Kampung-Kampung Etnis           
Perkembangan  Semarang sebagai kota besar dan kota pelabuhan  yang cukup penting di Indonesia disebabkan oleh letak geografis  yang strategis dan unik. Letak geografis yang unik ini diperlihatkan oleh bukit-bukit yang ada di salah satu bagian wilayah kota  seperti bukit Gajah Mungkur, Candi, Mrican, Mugas, Gunung Sawo, Simongan dan lain sebagainya serta dataran-dataran rendah pada bagian wilayah kota yang lain. Pendapat Van Bemmelen yang dikutip oleh Jongkie Tio, bahwa pada abad ke-15 Kaligarang merupakan pelabuhan alam yang cukup ramai dan potensial untuk melakukan kegiatan perdagangan. Di sekitar Kaligarang terdapat bukit Bergota dan bukit Mugas yang terletak pada suatu pulau/jasirah yang dikenal sebagai pulau Tirang. Pada perkembangannya kemudian, pulau Tirang menyatu dengan daratan di sekitar  Kaligarang sebagai akibat dari  terjadinya endapan lumpur (Tio, TT: 7).
Kota Semarang sampai menjadi bentuk seperti sekarang ini bermula ketika awal tahun 1476 M ( 1398 Çaka ) Pandan Arang datang dan bermukim di bukit Bergota di pulau Tirang untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Pada perkembangannya kemudian banyak pengikut Pandan Arang dan pendatang dari luar kota yang  juga bermukim di sana. Semakin lama pemukiman ini semakin  ramai dan membentuk kota, yang kemudian disebut sebagai kota Semarang (Budiman ,1978: 4).
Semarang waktu itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak.  Diperkirakan setelah tahun 1513 pusat kekuasaan bergeser ke Pajang. Ketika pusat kekuasaan di Pajang dapat dikuasai oleh kerajaan Mataram, Semarang kemudian berada di bawah kekuasaan Mataram. Sultan Mataram kemudian menobatkan Ki Ageng Pandan Arang  sebagai bupati Semarang pertama pada tahun 1547. Sebagai pusat pemerintahannya  adalah daerah Bubakan, di sebelah barat sungai Semarang. Jumlah pendatang yang bermukim di pusat kota semakin banyak, sehingga  menyebabkan daerah pusat kota semakin padat dan kemudian meluas sampai ke daerah Jurnatan, yaitu daerah sekitar Jl. Haji Agus Salim sampai ke daerah sekitar Kanjengan. Dibandingkan dengan daerah Tirang dan bukit Bergota yang merupakan daerah perbukitan dan jauh dari pelabuhan, daerah Bubakan dan Jurnatan merupakan daerah yang datar dan dilintasi sungai Semarang yang pada waktu  itu dapat dilayari perahu sebagai sarana transportasi dan perekonomian sampai ke pusat kota.
Pusat pemerintahan Semarang diketahui beberapa kali pindah. Pada masa pemerintahan Ki Ageng Pandan Arang pusat pemerintahah terletak di daerah Bubakan. Pada sekitar tahun 1659, pada masa pemerintahan Bupati Mas Tumenggung Wongsorejo, pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah Gabahan. Ketika masa pemerintahan bupati Mas Tumenggung Prawiroproyo (1666) pusat pemerintahan Semarang dipindahkan lagi ke daerah Sekayu. Pada tahun 1670 yaitu pada masa pemerintahan Tumenggung Alap-alap pusat pemerintahan Semarang dipindahkan lagi  ke daerah Kanjengan sampai tahun 1942. (Tio, TT: 12).
Ketika raja Amangkurat I berkuasa yaitu sekitar tahun 1678 terjadi pemberontakan Trunojoyo. Untuk memadamkan pemberontakan ini Amangkurat I meminta bantuan kepada Belanda dengan imbalan kekuasaan atas Semarang dan daerah-daerah sekitarnya.
Untuk menegaskan kekuasaannya atas hak untuk memerintah Semarang, Belanda membangun benteng besar yang mengelilingi pos-pos militernya. Pada 9 Juni 1702 Semarang dijadikan ibukota pantai utara Jawa Tengah. Untuk mengatur pemerintahan, tidak berselang lama Kotapraja Semarang dibentuk (Liem Thian Yoe, 1933 :18-20).
Di Semarang Belanda menerapkan sistim pemerintahan berdasarkan kelompok etnis, yaitu etnis Pribumi di bawah pemerintahan dan pengawasan bupati Semarang, etnis Belanda di bawah pengawasan dan administrasi kotapraja dan etnis Cina di bawah pengawasan dan administrasi Kongkoan  (Pratiwo, 2010 : 32).
Perkembangan Semarang sebagai kota pelabuhan terkait erat dengan perkembangan perdagangan di pantai utara Jawa. Seiring dengan perkembangan Semarang sebagai kota pelabuhan, pada tanggal 5 Oktober 1705 disusun suatu perjanjian antara Susuhunan Paku Buwono I dengan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) di Kartasura yang menentukan status hukum kota Semarang dalam pemerintahan VOC adalah sebagai kota kedua setelah Batavia. Perjanjian ini membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi yaitu di daerah  sekitar Semarang kemudian  banyak didirikan onderneming-onderneming, pabrik-pabrik gula dan perdagangan lainnya. Pertumbuhan ekonomi ini menarik minat   pendatang dari berbagai etnis dan daerah untuk mencari penghidupan di Semarang (Tio,TT : 16).  Dengan demikian kita dapat  melihat pertumbuhan penduduk yang sangat pesat di Semarang, baik penduduk setempat, penduduk dari luar Jawa seperti dari Bugis, Sumatra, Kalimantan dan lain sebagainya, maupun penduduk asing seperti  Cina, Arab, India, Eropa dan lain sebagainya. Penduduk Semarang dari berbagai etnis ini menetap sementara atau selamanya pada perkampungan-perkampungan berdasarkan etnis karena mereka lebih merasa nyaman dan aman tinggal dengan orang sedaerah atau sesuku.

III.       Terbentuknya Kampung Kauman
Secara umum kota-kota tradisional Jawa  memiliki pola yang hampir sama, yaitu pada pusat kota terdapat komplek pemerintahan yamg mengelilingi alun-alun. Di sekitar alun-alun juga terdapat masjid agung yang disekitarnya terdapat kampung. Kampung di sekitar masjid dikenal sebagai kampung  Kauman.
Secara umum kota-kota besar yang terbentuk sebagai kota Islam di Jawa selalu memiliki kampung Kauman, yang memiliki ciri-ciri tersendiri, tidak terkecuali kota Semarang.
Kampung Kauman Semarang sebagai kampung tradisional yang didiami oleh penduduk pribumi yang terbentuk pada masa pemerintahan Ki Ageng Padan Arang. Kampung kauman memiliki sejarah yang unik, yaitu dikaitkan dengan keberadaan masjid Kauman. Masjid Kauman walaupun merupakan masjid tertua tetapi masjid Kauman bukan merupakan masjid pertama yang dibangun oleh Ki Ageng Pandan Arang di kota Semarang. Pada awalnya Ki Ageng Pandan Arang bermukim di bukit Bergota dan kemudian pindah ke wilayah Semarang ”bawah”, yaitu  wilayah yang sekarang dikenal sebagai Pedamaran. Di daerah ini beliau membangun masjid dan permukiman untuk para santrinya, yaitu daerah yang dikenal sebagai ”Kemesjidan”. Ketika beliau diangkat sebagai bupati Semarang, beliau membangun pusat pemerintahan di daerah Kanjengan. Ketika terjadi pemberontakan masyarakat Cina  pada tahun 1740, pemukiman Cina yang terletak di daerah ”Pekojan”, masjid dan pemukiman santri di Pedamaran musnah terbakar. Keadaan ini menyebabkan muncul pemukiman masyarakat Cina yang baru yang terletak di daerah Pecinan sekarang ini. Selain itu pada tahun 1741 Bupati Suromengolo membangun dan memindahkan lokasi  masjid Pedamaran ke lokasi pengganti di daerah sekitar Kanjengan. Masjid tersebut dikenal sebagai Masjid Kauman. Lokasi di sekitar mesjid yang menjadi pemukiman para santri dikenal sebagai Kampung Kauman. Kampung Kauman saat ini berkembang sejalan dengan dinamika masyarakat penghuninya. Walaupun demikian Kampung Kauman masih menyisakan bekas-bekas keindahan budaya yang tampak pada arsitektur beberapa bangunan rumah tinggal, masjid serta tradisi Islam yang unik yaitu ”dugder” (Wijanarka, 2007 : 9)
Ada beberapa penafsiran yang berbeda terkait dengan nama “kauman”.Ada yang berpendapat  ”kauman” berasal dari kata : nggone wong kaum (tempat para kaum), pakauman (tempat tinggal para Kaum), kaum sing aman (golongan/kaum yang aman) atau ada juga yang menafsirkan qo’um muddin ( pemuka agama Islam). Dari tafsiran-tafsiran tersebut di atas, maka ”kauman” mengandung arti tempat tinggal para ulama.
Kampung Kauman terdiri dari kampung-kampung kecil seperti Bangunharjo, Patehan, Kepatihan, Book, Jonegaran, Getekan, Mustaram, Glondong, Butulan, Pompo, Krendo, Masjid, Kemplongan, Pungkuran, Suromenggalan dan Kadipaten. Nama-nama kampung ini menunjukkan keadaan setempat, sifat dari kampung tersebut dan jenis aktivitas masyrakatnya. Nama kampung Patehan dikenal sebagai kampung yang beberapa warganya memproduksi teh. Kampung Kepatihan dikenal sebagai kampung tempat tinggal patih. Book (berarti tembok), yaitu kampung yang terdapat tembok. Sebutan kampung Getekan (getek atau rakit) disebabkan kampung tersebut selalu kebanjiran bila hujan, sehingga masyarakatnya selalu menggunakan getek. Kampung Mustaram dinamai demikian karena di kampung tersebut bermukim pejabat pemerintahan yang bernama Mustaram. Nama kampung Glondong berasal dari kondisi kampung yang dipakai sebagai tempat penampungan kayu-kayu glondong. Kampung Butulan berasal dari kata butul (tembus), karena jalan di kampung itu merupakan jalan buntu. Kampung Pompo berasal dari kata pompo yaitu pompa air untuk memadamkan air kalau terjadi kebakaran. Nama kampung Krendo berasal dari kata krendo (keranda), yang menunjukkan bahwa kampung tersebut sebagai tempat penyimpanan keranda. Kampung Kemplongan memiliki makna bahwa di kampung tersebut banyak masyarakat yang melakukan pekerjaan ngemplong (salah satu proses pengelupasan lilin dengan cara dipukul-pukul dengan menggunakan kayu)
Dinamika kampung Kauman dapat dilihat dari perubahan fungsi bangunan dan lahan serta aktivitas masyarakatnya. Pada awal pembentukannya kampung Kauman sebagaian besar dihuni oleh penduduk pribumi. Pada perkembangannya kemudian penghuni kampung Kauman terdiri bari berbagai etnis, seperti Jawa, Cina, Arab, Melayu dan lain sebagainya. Aktivitas penduduknya tidak hanya untuk keagamaan saja, melainkan juga bisnis.
Beberapa bangunan yang telah hilang dari lingkungan Kauman adalah Pendopo Kanjengan, alun-alun yang telah berganti menjadi pasar dan komplek pertokoan, hotel dan lain sebagainya. Selain itu aktivitas budaya yang selalu dinanti setiap menjelang bulan Ramadhan yaitu dugder mulai menghilang dari area kampung Kauman berpindah lokasi di sekitar Masjid Agung Semarang yang dibangun pada 2007.

IV. Terbentuknya Kampung Melayu
Ada berbagai penafsiran terhadap nama kampung Melayu, yaitu untuk menandai bahwa kampung tersebut didiami orang-orang yang berasal dari luar Semarang seperti orang  Aceh, Banjar, Sumatra (Melayu), Bugis, Gersik, Samudera Pasai dan orang asing seperti Cina, Arab dan India/Gujarat. Selain itu nama kampung Melayu digunakan untuk membedakannya dengan kampung pribumi, karena diperkirakan kampung tersebut dibangun oleh pedagang-pedagang dari Melayu, Arab dan India (Budiman, 1978 : 40). Ciri yang menegaskan sebutan kampung Melayu adalah bahwa saat itu masyarakat yang berdiam di sana menggunakan bahasa Melayu dalam berkomunikasi dan berinteraksi.
            Diperkirakan  dasar dari pembentukan kampung Melayu sudah ada sejak sekitar tahun 1400, yaitu ketika Pandan Arang mulai membuka daerah Semarang. Wilayah sekitar muara sungai Semarang yang  yang saat itu menjadi sarana lalu lintas pelayaran perahu-perahu kecil mulai ramai disinggahi pedagang yang berasal dari luar Semarang (Budiman, 1978 : 48).
             Ketika Belanda memi   ndahkan pelabuhan dari Mangkang ke Boom Lama (Boom  artinya dermaga) pada tahun 1743, aktivitas perdagangan  yang melalui sungai Semarang semakin ramai karena lokasi Boom Lama dekat dengan pasar Pedamaran yang menjadi pusat perdagangan saat itu. Kawasan sekitar Boom Lama ini kemudian berkembang menjadi dusun atau desa, karena para pedagang banyak yang tinggal menetap di wilayah tersebut. Dusun tersebut sampai saat ini dikenal sebagai Kampung Darat (Ndarat). Tidak jauh dari kampung darat berkembang pula permukiman yang dikenal sebagai kampung Ngilir. Pada akhirnya kedua kampung ini menyatu menjadi kampung yang padat dan luas. Gabungan dari dua kampung tersebut di atas disebut Kampung Besar, yang peduduknya dari beragam etnis
            Kegiatan perdagangan yang semakin ramai, memerlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk menunjang keperluan tersebut pemerintah kolonial membangun dermaga yang lebih baik. Langkah awal dalam pembangunan dermaga yang baru adalah menyusun perencanaan pembangunan kanal baru pada tahun 1854. Pelaksanaan pembangunannya pada tahun 1873 dan selesai pada tahun 1875. Tujuan dari pembangunan Kanal baru sepanjang 1180 meter dan lebar 23 meter tersebut adalah untuk memotong aliran sungai Semarang yang terlalu panjang  (Liem Thian Joe,1933 :178).
            Penduduk kampung Melayu pada pertengahan abad ke-18 semakin berkembang dalam hal jumlah dan etnisitasnya. Nama-nama kampung yang berada dilingkungan kampung Melayu menunjukkan keadaan lingkungan, situasi maupun berdasarkan etnis penghuninya, seperti berikut :
a.      Kampung Darat atau ‘ndarat’. Nama ini dipakai karena tempat tersebut Kampung merupakan tempat mendarat perahu-perahu yang datang dari luar kawasan.        
b.      Kampung Ngilir atau ‘ngeli. Kata ”ngilir“ atau ”ngeli“ memiliki arti mengalir atau hanyut, karena letak dusun tersebut berada ditepi kali Semarang, yang sekarang jadi mulut kampung Melayu Semarang
c.       Kampung Kali Cilik.  Dinamakan kampung Kali Cilik karena di kampung tersebut terdapat sungai kecil (‘kali ciIik’). Kali cilik ini merupakan anak sungai dari kali Semarang, yang dahulu dapat dilayari oleh perahu-perahu kecil.
d.      Kampung Pencikan. Dinamakan ‘pencikan’ karena penduduknya kebanyakan orang Melayu, yang dalam pergaulan sehari-hari menggunakan panggilan ‘encik’.
e.        Kampung Geni Besar. Latar belakang penamaan kampung Geni Besar  adalah karena dahulu pernah terjadi kebakaran besar di kampung ini. Dalam bahasa Jawa “geni” berarti  ‘api’.
f.        Kampung Cerbonan. Kampung ini dinamakan kampung Cerbonan, karena di kampung ini dulu ada seorang tokoh yang berasal dari Cirebon yang cukup berpengaruh dan dihormati oleh masyarakat. Selain itu penduduk kampung ini sebagian besar berasal dari Cirebon.
g.      Kampung Banjar. Dinamakan kampung Banjar, karena mayoritas penduduk kampung Banjar pada awalnya adalah etnik Banjar.
h.       Kampung Peranakan. Dinamakan kampung Peranakan, karena sebagian besar penduduk kampung tersebut adalah masyarakat keturunan Arab dari Hadramaut.
i.        Kampung Baru. Kampung Baru merupakan kampung yang terbentuk pada masa yang relatif baru dibandingkan dengan kampung-kampung yang lain. Hal yang menarik di kampung Baru ini adalah masyarakat yang sangat heterogen yaitu masyarakat etnik Banjar dan etnik Arab Hadramaut, yang hidup berdampingan secara harmonis. Hubungan yang erat dalam lingkungan masyarakat ini ditandai dengan bentuk rumah yang memiliki lorong penghubung antar-tetangga.
j.        Kampung Pulo Petekan. Kampung ini dinamakan kampung Pulo Petekan karena bentuk blok kampung yang menyerupai pulau serta dikarenakan letak kampung ini  tepat berada di mulut jalan Petek.
Toponimik nama jalan maupun nama-nama kampung dikampung Melayu ini merupakan satu bentuk ”identitas lingkungan”, yang mencerminkan kondisi dan ekspresi dari aktivitas dan peristiwa yang terjadi di lingkungan tersebut. Hal-hal semacam ini harus diupayakan lestari dan dibina  dalam perencanaan dan perancangan wilayah kota sehingga sense of place dan jejak sejarah dari satu tempat tetap terjaga dengan baik. Seringkali karena faktor politis, nama jalan, area/kawasan dirubah sehingga kehilangan makna dan aspek historisnya.
Kerja paksa yang dipelopori oleh Deandels berhasil mewujudkan  jalan raya pos (de Groote Postweg). Jalur ini merupakan jalur perhubungan darat dari wilayah timur ke barat. Pembangunan jalan raya pos ini telah merubah pola tata kota di Semarang pada umumnya.  Kampung-kampung yang berdekatan dengan sungai  mengalami perubahan pola orientasi pada tempat tinggal mereka, yaitu berorientasi ke sumgai atau ke jalan raya. Setelah jalan pos dioperasikan, maka tingkat urbansasi  semakin tinggi sehingga permukiman semakin padat. Untuk penyediaan tempat tinggal, saat itu mulai berkembang usaha penyewaan rumah atau tanah, yaitu melalui  sistem sewa tanah atau bangunan di Kampung Melayu. Pelaku bisnis perumahan ini adalah warga keturunan  Arab dan Cina  (Budiman, 1978 : 63)
Sampai abad ke-18 Kampung  Melayu merupakan kampung yang dapat disebut multi etnis. Walaupun demikian masing masing warganya dapat menjalankan kepentingan sosial, keagamaan dan budayanya secara harmonis. Bukti bahwa masing-masing kelompok etnis saling menghargai  adalah di kampung Melayu ini terdapat bangunan masjid kuno yaitu mesjid Menara Layur dan kelenteng  Kampung Melayu. Selain itu kita dapat melihat walaupun masing-masing etnis tinggal mengelompok di satu kampung tetapi kerukunan antar-warga tetap terjaga. Kampung Baru hanya dihuni oleh etnik Banjar dan arab Hadramaut. Kampung Banjar dulu hanya dihuni oleh mayoritas etnik Banjar saja. Koridor jalan Kakap mayoritas dihuni oleh etnis Jawa.
Akulturasi budaya masyarakat kampung Melayu juga tampak dalam arsitektur rumah tinggal dan rumah ibadah. Rumah tinggal yang awalnya berarsitektur tradisional Banjar telah banyak mengalami perubahan, baik perubahan total maupun hanya tambahan. Saat ini di kampung Melayu hanya tersisa bebebrapa bangunan asli dalam arsitektur Banjar. Selebihnya rumah tinggal berarsitektur ”gado-gado” yaitu rumah lama yang diperbaharui atau rumah lama yang telah dirombak sama sekali benjadi bentuk yang baru, yang dipengaruhi oleh unsur-unsur indis.

V.Terbentuknya Kawasan Pecinan
Terbentuknya kawasan Pecinan tidak terlepas dari sejarah kedatangan orang-orang Cina di Semarang. Tidak diketahui secara pasti kapan orang-orang Cina datang ke Semarang. Walaupun demikian beberapa ahli sejarah  seperti Lombard (1996) dan Reid (1999)  menyebutkan bahwa sekitar tahun 1416 sudah terjalin hubungan dagang dan kemaritiman yang cukup aktif antara Cina dan Jawa, yang dalam hal ini adalah kerajaan Majapahit.
Menurut Yoe (1933) pada sekitar tahun 1412  sudah ada komunitas Cina yang bermukim di daerah Gedong Batu atau Simongan dan di tepi sungai Semarang. Daerah Gedong Batu menjadi pilihan sebagai tempat bermukin komunitas Cina karena daerah tersebut merupakan daerah yang paling baik dan sangat strategis. Daerah Simongan ini berupa  teluk yang terletak di antara muara kali Semarang dan Bandar Semarang. Letaknya yang strategis ini menjadi kunci utama dari bandar Semarang. Berdasarkan konsep kosmologi yang menjadi dasar pengaturan tata ruang untuk permukiman masyarakat yang disebut feng shui atau hong shui, Simongan sangat ideal sebagai permukiman karena dilatarbelakangi oleh gunung atau bukit dan menghadap kearah sungai atau laut (Skinner, 1982 : 22). Daerah  yang terletak di tengah kota Semarang waktu itu belum memadai untuk tempat hunian karena masih berupa rawa dan tegalan yang tidak sehat untuk dihuni (Budiman. 1978: 11)
Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 telah merubah kehidupan orang-orang Cina yang telah membentuk komunitas di Gedung Batu. Pada tahun 1740 di Batavia telah terjadi pemberontakan orang Cina melawan Belanda. Pemberontakan ini dipimpin oleh Souw  Pan Jiang atau sering disebut Souw Panjang. Pada pemberontakan ini banyak orang Cina terbunuh dan yang sebagian lagi melarikan diri ke arah timur melalui pantai utara Jawa sambil terus melakukan perlawanan terhadap pererintah Belanda. Setelah tiba di Semarang Souw Pan Jiang menghimpun orang-orang  Cina untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Karena terdesak, pemerintah Belanda meminta bantuan pasukan dari Batavia untuk menumpas pemberontakan tersebut. Setelah pemberontakan padam, orang-orang Cina banyak yang melarikan diri  ke Kartasura untuk bergabung dengan pasukan Trunojoyo melawan Belanda. Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memindahkan  permukiman komunitas Cina dari Gedongbatu ke arah utara yang berdekatan dengan pos militer Belanda, di sisi timur sungai Semarang. Pemindahan pemukiman komunitas Cina ini dengan maksud untuk memudahkan pemerintah Belanda melakukan pengawasan terhadap  komunitas Cina di Semarang.  Walaupun Belanda telah  melakukan pengawasan ketat terhadap Pecinan, namun masih ada kecurigaan terhadap kemungkinan orang-orang Cina akan memberontak lagi. Agar peristiwa pemberontakan masyarakat Cina pada tahun 1740 tidak terulang lagi, Belanda kemudian membakar Pecinan dan menangkap beberapa orang pemimpin masyarakat Cina yang dicuriagai akan memberontak. Belanda kemudian merubah aliran sungai Semarang 200 meter ke timur dan  memindahkan permukiman Cina ke tanah kosong yang terletak di sebelah barat sungai Semarang (Pratiwo, 2010 :33). Permukiman terakhir inilah yang kita kenal sebagai Pecinan saat ini.
Untuk  mengurus kepentingan masyarakat Cina terutama yang terkait dengan kepentingan ekonomi  atau perdagangan dengan pemerintah Belanda, diangkatlah seorang kapiten/ kapten. Selain jabatan kapten ada jabatan lain yaitu mayor (lebih tinggi dari kapten) dan letnan (lebih rendah dari kapten). Kapten pertama yang diangkat dari lingkungan mayarakat Cina adalah Kwee Kiauw yang diangkat pada tahun 1672. Jabatan-jabatan ini merupakan  prestise bagi masyarakat Cina karena mereka sangat dihormati dan dihargai. Oleh karena itu pada masa-masa kemudian jabatan ini sering diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya.
Pada awal pembentukannya kawasan Pecinan merupakan suatu bagian wilayah kota yang terletak di tengah kota Semarang. Bagian kawasan Pecinan  sebelah utara, timur dan selatan  dilingkari kali Semarang. Bagian kawasan sebelah barat merupakan tanah kosong. Hunian sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu, yang pada waktu itu belum banyak jumlahnya terdapat pada batas-batas kawasan saja, yaitu di Pecinan Lor (Utara), Pecinan Kidul (selatan) dan Pecinan Kulon (barat). Dengan demikian maka pada kawasan   Pecinan bagian tengah terdapat tanah kosong yang cukup luas (Widodo, 1988 :1)       
Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, kawasan Pecinan sudah memperlihatkan perannya dalam bidang ekonomi. Hal ini ditandai dengan perkembangan kawasan yang sangat cepat, seperti Pecinan Lor tumbuh  paling awal  sebagai  daerah ekonomi yang ramai. Hal  ini disebabkan daerah Pecinan Lor merupakan daerah penghubung antara bagian kawasan Pecinan lainnya dengan  pasar Padamaran dan bagian wilayah kota lainnya. Pecinan Lor yang oleh masyarakat Cina juga disebut A-long-kee, kemudian namanya lebih dikenal masyarakat sekitarnya sebagai Gang Warung, sebab di sekitarnya banyak terdapat  warung. Daerah Pecinan Kidul lebih dikenal sebagai Sebandaran, karena dahulu di sekitar tempat tersebut merupakan bandar (pelabuhan). Ada pula yang menafsirkan kata ”bandar” sebagai bandar judi. Daerah Pecinan Wetan  yang juga sering disebut  Tang-kee sekarang lebih dikenal dengan Gang Pinggir, karena letaknya di pinggir kawasan. Pecinan Kulon yang juga dikenal sebagai Sin-kee telah berubah menjadi Gang Baru karena merupakan perkampungan baru. Pecinan Tengah , yang dulu pernah disebut Kak-pan-kee  sekarang lebih populer disebut Gang Tengah, karena letaknya di tengah kawasan Pecinan. Daerah di belakang  Pecinan  Tengah sekarang  juga dikenal sebagai Gang Besen, karena di sana banyak usaha besi. Nama jalan dan nama tempat waktu itu memakai nama Cina. Hal ini merupakan salah satu identitas kawasan komunitas Cina. Nama-nama ini kemudian berubah dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang terus berkembang dan berinteraksi dengan  suku-suku bangsa lain. Daerah Tjap Kauw King merupakan salah satu daerah yang  menjadi identitas awal, yang  sangat melekat pada kawasan Pecinan. Nama jalan tersebut berdasarkan  jumlah rumah yang ada, yaitu 19 rumah (cap  adalah sepuluh, dan kauw  adalah sembilan). Sekarang jalan ini dikenal sebagai  Jl.Wotgandul. Daerah Pecinan Kulon dikenal sebagai Beteng karena di sana terdapat benteng. Benteng ini dibangun setelah terjadi pemberontakan masyarakat Cina di Semarang atas prakarsa kapten Cina Kwee An Say dengan tujuan untuk melindungi masyarakat Cina dari serangan pemerintah Hindia Belanda . Gang Mangkok sebelumnya bernama Oa-kee (Oa artinya mangkok). Say-kee berubah menjadi Gang Belakang karena letaknya di belakang kawasan Pecinan. Hoay-kee  sekarang berubah menjadi Gang Cilik karena struktur ukuran jalannya paling kecil dibandingkan jalan-jalan yang ada di kawasan Pecinan. Kang-kee  sekarang lebih dikenal dengan Gang Lombok karena dulu di daerah ini  banyak tanaman lombok. Pada akhir abad ke-17 rumah-rumah bagus berarsitektur Cina, yang terbuat dari tembok mulai dibangun di Gang Warung dan Gang Pinggir. Selanjutnya untuk menunjang aktivitas masyarakat Cina  dalam kegiatan  religi dan ritual telah dibangun klenteng-kelenteng yang sangat indah, yang menjadi ciri dan identitas serta citra kawasan Pecinan.
Sebagai salah satu kota besar di pantai utara Jawa, sejak tahun 1695 jumlah penduduk Cina di Semarang  merupakan jumlah terbesar di Jawa (Lombard, 1996 : 244-245). Sebagai salah satu kota dengan penduduk Cina terbanyak di Jawa, tidak mengherankan bila kawasan Pecinan Semarang sebagai komplek permukiman masyarakat Cina  memiliki 8 kelenteng. Kelenteng-kelenteng yang ada di Pecinan terdiri bari kelenteng besar dan kecil, yang kesemuanya terletak pada lokasi “tusuk sate”
            Dinamika kawasan Pecinan dewasa ini terlihat pada aktivitas bisnis yang sangat kuat serta aktivitas religi yang mulai menggeliat setelah dicabutnya Instruksi Presian  No. 26/1967  melalui Keputusan Presiden No.6/ 2000. Budaya Cina mulai bangkit dan menunjukkan jatidirinya kembali. Hal ini memberi warna baru pada kawasan Pecinan, yang cukup lama tidak menampilkan upacara tradisi dan perayaan-perayaan yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
VI. Kesimpulan
Semarang sebagai kota multi etnis memiliki sejarah panjang. Sebelum kedatangan pemerintah kolonial Belanda etnis-etnis dari berbagai wilayah telah hadir di Semarang dan dapat berbaur serta menyatu secara harmonis dengan masyarakat setempat. Kelompok-kelompok etnis membentuk permukiman-permukiman yang unik, yang kesemuanya memiliki peran dalam dinamika perkotaan.
            Kampung Kauman sebagai kampung tradisional yang bercorak Islam masih terlihat sisa-sisa “kecantikannya” melalui struktur kawasan dan beberapa bangunan asli berupa rumah kayu dan bangunan masjid Kauman yang legendaris. Perubahaan yang mendasar terjadi pada pengalihan kegiatan “dugder” ke lokasi sekitar Masjid Agung Semarang.
            Kampung Melayu yang merupakan salah satu kampung tua di Semarang masih memperlihatkan sisa-sisa kejayaannya sebagai kampung yang sangat beragam penduduknya.        Kampung Melayu dengan kekayaan potensi kulturalnya, keragaman etnisitas serta aritektural artefak-artefak merupakan bagian yang sangat berperan penting dalam perkembangan kota Semarang.
            Kawasan Pecinan yang memiliki sejarah panjang merupakan salah satu kawasan  yang dapat menjadi identitas kota Semarang. Aktivitas budaya, ekonomi, sosial dan kepercayaan dapat menjadi aset bagi pemerintah kota.
Dalam upaya melestarikan potensi warisan budaya serta kearifan lokal di kampung Kauman, kampung Melayu dan Pecinan perlu diperhatikan aspek-aspek yang mengacu pada kesinambungan antara masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Peninggalan-peninggalan sejarah berupa arsitektur bangunan, landmark ataupun rumah tradisional di kampung kampung tersebut dengan keunikan dan ciri khusus merupakan kekayaan dalam variasi khasanah arsitektur tradisional di Indonesia, yang dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu memberikan peluang terhadap disiplin ilmu lain untuk kajian lebih lanjut sehingga berguna bagi kepentingan konservasi. Seyogyanya, konsep pelestarian kampung Kauman, kampung Melayu dan Pecinan  hendaknya tidak didasarkan atas nilai keindahan dan keagungan semata,akan tetapi perlu dipertimbangkan nilai guna dan ekonomisnya.  Potensi dari keragaman budaya dari masing-masing etnis dan peninggalan-peninggalan sejarah berupa arsitektur bangunan dapat dikembangkan sebagai potensi wisata. Peran serta masyarakat merupakan hal terpenting dalam upaya pelestarian nilai kearifan lokal kampung Kauman,kampung Melayu dan Pecinan. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif, menumbuhkan kesadaran dan melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat setempat, serta melibatkan peran serta baik pemerintah maupun swasta untuk ikut berpartisipasi dalam usaha mempertahankan,melestarikan dan mengembangkan segenap potensi kultural di kampung  Kauman, kampung Melayu dan Pecinan Semarang.

Daftar Pustaka

Budiman,Amen.  1978. Semarang  Riwajatmoe Doeloe. Semarang : Penerbit Tanjung Sari.
______________ 1979. Semarang Juwita : Semarang Tempoe Doeloe. Semarang : Penerbit   Tanjung Sari.
______________ Budiman,Amen.  1978. Semarang  Riwajatmoe Doeloe. Semarang : Penerbit Tanjung Sari
Brommer, B. dkk.  1995. Semarang Beeld van een stad. Nederland : Asia Maior.
Dawson, Raymond. 1992. Kong Hu Cu. Penata Budaya Karajaan Langit . Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Dian,  1996. Logika Feng Shui. Seni Mencapai Hidup Harmonis & Bahagia Dalam Keberuntungan Bumi (Buku Satu). Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
_____, 1996.  Logika Feng Shui . Konsep Dan Metode Untuk Rumah Tinggal Yang 
                                                   Membawa Keberuntungan Hidup (Buku Kedua). Jakarta : Penerbit PT Elex  Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Gan Kok Hwie Dan Kwa Tong Hai (Penyusun).2005. 600 Tahun Pelayaran MuhibahZheng He (262  Tahun Tay Kak Sie). Semarang : Yayasan Tay Kak Sie
Gondomono. 1996. Membanting Tulang Menyembah Arwah : Kehidupan kekotaan Masyarakat Cina. Jakarta  (Depok) : Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Hartono, Chris. 1974. Ke-Tionghoaan dan Kekristenan. Jakarta : Penerbit BPK Gunung Mulia
Hidayat, Z.M.1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia. Bandung : Penerbit Tarsito
Koentjaraningrat, 2002. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Penerbit : Djambatan
Kong Yuanzhi, 2000. Muslim Tionghoa Cheng Ho. Misteri Perjalanan Muhibab di Nusantara. Penyunting : Hembing Wijayakusuma.Jakarta : Pusaka Populer Obor.
Liem Thian Joe. 1933. Riwayat Semarang. Semarang-Batavia. Semarang : Penerbit Ho Kim Yoe
_____________. Tanpa Tahun. Riwajat Semarang ( Dari Djamannja Sam Poo Sampe Terhapoesnja Kongkoan ) . Semarang- Batavia : Boekhandel Ho Kim Yoe.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa : Silang Budaya. Kajian Sejaarah Terpadu. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Lynch, Kevin. 1975. The Image of The City. Cambridge : MIT Press
Naveront, Jhon K.1997. Jaringan Masyarakat Cina. Jakarta : PT Golden terayon Press.

Nio Joe Lan.  1961. Peradaban Tionghoa Selajang Pandang. Djakarta : Penerbit Kong Po
.__________. 1977. Program Penentuan Hari Jadi Kota Semarang. Semarang : Badan Perencanaan Pembangunan Kotamadya Dati II Semarang.
__________.  1979. Rencana Kota Semarang. Rencana Dan Program Buku 3. Semarang : Badan Perencanaan Pembangunan Kotamadya Dati II Semarang.
Pratiwo.2010.Arsitektur Tradicional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Skinner, Stephen.. 2003. Feng Shui. Ilmu Tata letak Tanah Dan Kehidupan Cina Kuno. Semarang : Dahara  Prize.
Tan, Mely G.1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Suatu Masalah  Pembinaan Kesatuan Bangsa . Jakarta  : PT Gramedia.
Tio, Jongkie. Tanpa Tahun. Kota Semarang Dalam Kenangan. Tanpa Penerbit.
Tjahjono, Gunawan (Penyusun).Terjemahan  Damiano Q. Roosmin. 2002. Indonesian Haritage : Arsitektur . Jakarta : Buku Antar Bangsa
Tu Wei-Ming. 2005.Etika Konfusianisme. Terjemahan  Zubair. Jakarta : Penerbit Teraju PT Mizan Publika.
Van den Berg , H.J. et.al .1952. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia I. Djakarta : Groningen
Widodo, Johannes. 1988. Chinese Settlement in Changing City.  Thesis Master of Architectural Engineering. Belgium : Katholieke Universiteit Leuven.
Wijanarka,200.Semarang Tempo Dulu:Teori Desain Kawasan Bersejarah. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Willmott, Donald Earl. 1960. The Chinese of Semarang : A Changing  Minority of Community in Indonesia. New York : Cornell Univesity Press Ithaca.
Zein, Abdul Baqir.2000. Etnis Cina Dalam Potret Pembauran di Indonesia. Jakarta : Prestasi Insan Indonesia






No comments: