Tuesday, October 8, 2013

mbarang ( ngamen) ala bumi lumpia

Uniknya Pengamen Semarang

Sumber : Kompasiana 


Jathilan adalah kesenian tradisional masyarakat Jawa yang saya kenal pada masa kanak-kanak. Waktu itu saya amat sering menyaksikannya di lapangan kampung atau acara khusus. Saya kira, budaya ini sudah mati. Saya salah besar. Justru jathilan telah menjadi sebuah sumber rejeki beberapa orang. Kelompok jathilan jalanan ini mulai marak terlihat di sana-sini. Tak terkecuali Semarang (Semarang atas dan bawah). Apakah ini mengganggu lalu lintas jalan raya atau justru menyegarkan hati karena budaya negeri yang adi luhung tak pernah mati ?
***

13788059071173911117
Jathilan jalanan, terorganisir
13788062462091978039
Pemuda bermata biru, paling depan

Usai mengirim paket di kantor pos Bangkong dan mampir di soto Bangkong, saya berjalan menuju SMP negeri 2 Semarang. Saya ini hendak menyebarkan leaflet pameran kartu pos yang saya selenggarakan menggaet almamater, IKIP PGRI Semarang.
Di lampu merah, saya menunggu aba-aba boleh berjalan melewati zebra cross. Mata saya tertuju pada sekelompok anak muda yang berpakaian warna-warna, paling kentara adalah warna ungu, kata orang warna janda. Asesoris dari ujung rambut ke ujung kaki, menarik hati.

13788059791854784237
Warna dominan, ungu!
13788060781967322054
Joged di jalan, mau dan mampu
1378806113286284983
Menyodorkan keranjang agar mengepul asap dapur
1378806161213486775
Terima kasih, om ….
Begitu lampu merah, beberapa dari mereka segera meraih keranjang plastik dan menuju zebra cross.
Oh oh … mereka ini menari-nari di atas zebra cross. Saya ikut tersipu, karena saya juga ikut diperhatikan oleh para pengendara, tak hanya mbak dan mas yang jathilan itu.
Beberapa menit kemudian, mereka segera mendatangi para pengendara roda dua dan empat … jatuhan uang membuat mereka semakin sumringah.
Arghhhh … saya tak jadi menyeberang. Termangu, melihat apa yang mereka lakukan.
Saya dekati mereka. Motor dan mobil melaju kencang. Hoiiiii … 50 km per jam, pleaseeee ! Ora sopan!
Ya-ya-ya, sebuah tim yang baik dan mantab. Satu orang memegang icik-icik, satu di kendang dan satunya lagi pukul gong. Empat orang (satu pria dan tiga wanita), bagian menari. Saya, penggembira dan dokumentasi.
Lalu, saya tanya sedang apa mereka. Ngamen? Salah satu pemuda berlensa biru itu menanyakan apakah saya wartawan lantaran beberapa hari yang lalu ada stasiun televisi yang mewawancarai. Tentu saja tidak. Mana ada tampang kuli tinta pada saya? Hahaha. Kalau kuli batu atau kayu (di Jerman) malah betul lantaran pernah dan masih saya jalani (setidaknya di rumah sendiri). Ya. Di Semarang, saya ini hanya turis nyasar sajalah, begitu cerocos saya. Bagian lain-lain, titip.
Duduk di bug, batu yang membatasi selokan pinggir jalan yang airnya butek alias hitam dan kotor oleh sampah itu, senyum saya mengembang. Guliran pertanyaan seakan merekatkan kami. Mereka bilang, markasnya ada di belakang Polda. Kemampuan menari dan merias dari Jogja. Tak terasa, sudah 4 tahun mereka mengadu nasib di Semarang. Tidak, tidak ada kata malu dan ragu untuk menjalaninya. Tampil PD dengan seragam tradisional dan memperagakan kesenian ? Tidak sembarang orang mau dan mampu. Saya pernah menjadi penari sejak TK, tahu sekali rasanya harus mengikuti irama dan menggerakkan seluruh anggota badan di depan banyak orang, bahkan yang tidak dikenal sekalipun.
Lembaran kertas tertarik dari dompet warna merah bentuk hati, untuk meloncat ke empat keranjang disana. „Dibagi-bagi, ya? Tetap semangat dan semoga rejekinya banyak.“
Meninggalkan mereka, saya menyeringai. Siapa bilang seni tradisional itu mati? Justru ini menghidupi beberapa orang seperti mereka. Belum pernah tersiar kabar, ini memicu kecelakaan lalin. So? Bukankah ini luar biasa? Ayayay, A-C-I ! (G76).
Semarang, 28 Agustus 2013

No comments: