PANDANGAN HIDUP ORANG JAWA DI DESA SUSUKAN
KECAMATAN UNGARAN TIMUR, KABUPATEN
SEMARANG
Oleh: Sae Panggalih
( Mahasiswa UNNES Jurusan Sosiologi dan Antropologi )
Desa Susukan merupakan sebuah
Desa di Kabupaten Semarang yang tergolong kedalam kategori Desa Maju atau yang
biasa disebut juga sebagai Desa Swasembada, Hal itu dibuktikan dengan mata
pencaharian masyarakatnya yang mulai beragam dan kondisi desanya yang sudah
cukup modern dan dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan prasarana yang
lumayan lengkap dan memadai untuk memenuhi kehidupan warganya.
Tetapi walaupun desa ini sudah dikategorikan
sebagai Desa Maju, Prinsip-prinsip kehidupan orang Jawa tradisional yang
terwujud dalam bentuk pandangan hidup yang telah diwariskan oleh Leluhur Desa
Susukan tetap menjadi pegangan hidup
bagi seluruh warga di Desa Susukan.
Dan berikut ini merupakan
beberapa petuah pandangan hidup Leluhur orang Jawa di Desa Susukan yang masih
dipegang teguh dan dipercaya kebenarannya oleh warga desa :
1. Jasane leluhur kuwi kayata godhong sulur , bakal
dieling-eling sakdawane umur para panerus leluhur ( Jasa Pengorbanan yang telah
dilalukan oleh para leluhur diibaratkan seperti daun sulur , akan selalu dingat
oleh para generasi penerus di sepanjang usianya )
Hal itu
mengisyaratkan bahwa di dalam perjalanan hidupnya, pantang hukumnya bagi warga
desa Susukan untuk melupakan jasa dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh
para leluhur yang telah mengawali asal-mula berdirinya Desa Susukan. Dan
menurut sepengetahuan dari penulis sendiri, warga desa Susukan ( baik yang
masih tinggal di Desa maupun sudah hijrah ke luar kota ) masih sering
menyempatkan dirinya untuk mengenang dan
menghormatri jasa-jasa para leluhur desa yang telah mendahuluinya dengan
cara berkunjung ke makam mereka, misalnya berziarah ke makam Ki Mandung dan Nyi
Mandung selaku pendiri Desa Susukan di waktu diadakannya acara Sadran Mandung yang diadakan pada setiap
bulan Suro . Dengan diadakannya acara sadranan ini , dapat membuktikan bahwa
ikatan batin antara para generasi muda dengan leluhur desa tetap dapat terjalin
selama-lamanya dan sepanjang masa ( yang diibaratkan seperti daun sulur yang
terus memanjang batangnya dari waktu ke waktu) .
2. Ingkang ngecat Lombok kuwi duwe kekuwatan
paling sampurna , sapa sing wani lelaku ala bakal digawe uripe sengsara nganti
seda ( Tuhan itu adalah zat yang mempunyai kekuatan paling sempurna, barang
siapa berani berlaku buruk terhadap perintah-Nya maka akan dibuat sengsara
hidupnya hingga ajal tiba )
Pandangan
hidup diatas merupakan penggambaran dari prinsip kehidupan yang telah dipegang
sejak lama oleh sebagian besar warga desa Susukan. Konon pandangan hidup diatas
sangat menggambarkan perilaku dari Ki Mandung dan Nyi Mandung selaku penyebar agama
Islam di Dusun Susukan yang selalu mempercayai adanya hukum sebab akibat dari
Sang Maha Pencipta alam Semesta, maksudnya adalah apabila orang selalu berbuat
baik di alam dunia maka Tuhan juga akan memberikan kebaikan untuknya baik di
Dunia maupun di alam Akhirat, Tetapi barang siapa berani berbuat perilaku yang
sebaliknya, maka bersiaplah menerima murka Tuhan di sepanjang usianya . Dan
sampai saat ini warga Desa Susukan masih mempercayai kebenaran dari petuah
diatas yang mengajarkan kepada umat manusia bahwa kekuatan dari Tuhanlah yang
paling sempurna dan janganlah berani kita mencoba untuk mengalahkan dan
meremehkannya .
3. Alam kuwi kudu dirawat supaya ora nimbulke
mudharat nganggo makhluk sa’jagad ( Alam ini harus kita rawat supaya tidak
menimbulkan kerugian untuk makhluk sedunia )
Pandangan
hidup diatas merupakan salah satu prinsip pandangan hidup warga Desa Susukan
yang berkaitan dengan cara menjaga kelestarian ekosistem alam agar tidak
menimbulkan kerugian bagi Masyarakatnya. Dan salah satu bentuk aksi nyatanya
tertuang dalam peraturan Sesepuh Desa Susukan yang sangat melarang dilakukannya
kegitan pengrusakan hutan dan cagar alam yang terletak di Kawasan Cemara Sewu
dan Hutan cagar alam Penggaron karena dikhawatirkan dapat mengganggu kehidupan
makhluk yang tampak maupun yang tak tampak oleh mata, dan jika apabila hal itu
tetap dilakukan, maka dipercaya orang yang melakukan akan menerima ganjaran
dari Tuhan Sang Pencipta alam.
4. Kahanan donya
ora langgeng, mula aja ngegungake kesugihan lan drajat ira, awit samangsa ana
wolak-waliking jaman ora ngisin-ngisini. (Keadaan dunia tidaklah abadi, maka jangan mengagungkan kekayaan dan
derajat pangkat, sebab bila sewaktu-waktu terjadi zaman serba berbalik tidak
menderita malu).
Petuah
diatas, disinyalir merupakan petuah yang diajarkan oleh Ki Mandung kepada Para
Santrinya di Pesantren Susukan yang Ia dirikan bersama istrinya. Dari konsep
pandangan hidup diatas, Ki Mandung ingin mengajarkan kepada santrinya dan pada
masyarakat Desa Susukan waktu itu bahwa janganlah kita sebagai umat manusia
selalu membanggakan kenikmatan duniawi semata seperti nikmat kekayaan dan
jabatan, hal itu dikarenakan ketika suatu hari Tuhan yang Maha Esa menghendaki
untuk mengambil semua kenikmatan duniawi yang kita miliki dan merubah nasib
hidup kita menjadi lebih miskin dari sekarang, Kita Sebagai umatnya sudah siap
dan tidak merasa malu dengan kondisi yang telah berubah dikarenakan sikap
rendah hati kita miliki sewaktu masih berlimpah kenikmatan dunia dahulu .
5. Mumpung
anom ngudiya laku utama. (Selagi muda berusahalah selalu berbuat
baik)
Pandangan
hidup diatas sangatlah berkaitan dengan kehidupan kawula muda di Desa Susukan
yang selalu diajarkan untuk selalu berbuat baik kepada siapapun hingga kini .
Petuah yang satu ini, disinyalir sudah ada di Desa Susukan ketika awal mula
masuknya agama Islam di Desa Susukan, di waktu itu banyak pemuda dari luar Desa
Susukan menempuh pendidikan agama di Pesantren yang didirikan oleh Ki Mandung.
Dan seperti yang kita ketahui sendiri bahwa di dalam lingkungan pesantren,
secara otomatis materi pembelajaran kehidupan tentang penerapan berperilaku
baik akan selalu diajarkan kepada para santri muda yang diharapkan dapat
berbuat sesuai dengan tuntunan akhlak Mahmudah ( berkonotasi ke hal yang baik )
dalam hidupnya .
6. Sing sing
tenanan bakal kelaksanan (Siapa
yang bersungguh-sungguh akan berhasil)
Pandangan
hidup yang satu ini, mengajarkan kepada warga Desa Susukan untuk selalu
berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan, karena
siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan keberhasilan seperti yang
tertuang juga dalam konsep ajaran islam tentang prinsip ” Man Jadda Wajada”.
ternyata
prinsip pandangan hidup diatas masih ada kaitannya dengan Penyebaran agama
Islam yang dilakukan oleh Ki Mandung di Desa Susukan. Dahulu kala, ketika agama
Islam ingin masuk ke wilayah Desa, Sebagian besar warga Susukan yang waktu itu
mayoritas masih beragama Hindu, Animisme dan Dinamisme menolak keras masuknya
agama Islam ke wilayahnya dikarenakan dianggap sebagai agama yang aneh . Tetapi
berkat usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh Ki Mandung , pada akhirnya
keberadaan agama Islam perlahan-lahan mulai bisa diterima oleh masyarakat
Susukan yang pada awalnya sangat menentang keras kehadiran Islam dan masih
mempercayai kekuatan agama lain selain Islam .
7. Kabudayan kudu diuri-uri supoyo ora lali
karo jati diri Negeri ( Kebudayaan itu harus dilestarikan supaya kita tidak
lupa terhadp jati diri budaya bangsa )
Pandangan
hidup diatas, sangatlah mengajarkan kepada warga Desa Susukan yang berasal dari
berbagai golongan usia untuk selalu melestarikan budaya Lokal agar tidak
mengalami kepunahan dan hilang dari wilayah Desa, karena apabila budaya lokal
sudah hilang dari Desa Susukan maka dapat diibaratkan bahwa ” Desa Susukan
sudah kehilangan jati dirinya ” dikarenakan sudah lupa pada akar budaya tradisi
yang telah diwariskan oleh para Leluhur desa Susukan .
Tetapi
untungnya, hingga kini masyarakat Desa belum kehilangan jati dirinya dikarenakan di waktu-waktu tertentu masih
dilaksanakan kegiatan yang masih mengangkat tradisi budaya Lokal khas Desa
Susukan sebagai acara utama, dan beberapa diantaranya adalah :
o
Ziarah
Sadran Mandung : kegiatan ziarah yang di lakukan ke makam Ki Mandung dan Nyi
Mandung setiap Suronan .
o
Suronan
: Acara Slametan yang digelar untuk
menyambut bulan Suro.
o
Wayangan
: Acara Pementasan Wayang Kulit yang biasanya digelar di waktu ada Upacara adat
, Suronan dan Ulang Tahun Kabupaten Semarang .
o
Upacara
Merti Dusun : Acara adat yang biasanya dilakukan pada awal tahun dengan cara
mengelilingi desa Susukan untuk dilakukan ritual pembersihan desa untuk
mengusir hawa negatif dari para makhluk gaib.
o
Padhusan
: Biasanya dilakukan sehari sebelum memasuki bulan ramadhan di kawasan mata air
dekat makam Nyi Mandung dan Ki Mandung sebagai simbol pembersihan diri sebelum
menyambut bulan suci
o
Jathilan
: Tari kuda kepang yang Biasanya digelar bersamaan dengan acara Merti Dusun.
o
Sedekah
bumi : Biasanya diadakan di acara Haul Desa Susukan dan Ulang Tahun Kabupaten
Semarang sebagai simbol ucapan syukur kepada Tuhan Pencipta alam atas berkah
yang telah diberikan .
o
Bakdha
Kupat atau Syawal : Merupakan Tradisi yang biasanya digelar oleh warga Susukan
setelah hari ke tujuh hari raya Idul Fitri
atau setelah selesainya puasa Syawal sebagai simbol ungkapan berbagi
rasa dengan cara membuat ketupan sebanyak-banyak untuk diberikan ke anggota
keluarga maupun ke tetangga dekat.
o
Ngarak
Gunungan : Kegiatan mengarak atau membawa berkeliling gunungan Lanang dan
Wadhon untuk diperebutkan di Balai Desa Susukan yang dilakukan bersamaan dengan
acara sadran Mandhung .
8. Marang tonggo kudu tulung-tinulung supoyo
uripmu ora kepenthung ( Terhadap sesama anggota masyarakat atau tetangga
haruslah saling tolong-menolong supaya hidup kita tidak sengsara di masyarakat
) .
Pandangan
hidup diatas membawa pesan sosial bagi masyarakat di Desa Susukan untuk saling
tolong-menolong terhadap sesama anggota masyarakat desa yang membutuhkan
bantuan. Karena apabila ada seorang warga desa Susukan bersifat acuh kepada
tetangganya atau anggota masyarakat sekitar yang membutuhkan bantuannya, maka
Ia akan selalu dikucilkan dan dibenci oleh masyarakat Desa untuk selamanya
akibat perilaku acuhnya dalam hal tolong-menolong terhadap sesama .
No comments:
Post a Comment